“Apa kamu tidak bisa berhati-hati?” tegur Dima seraya menegakkan tubuh Dira. Dia buru-buru menyadarkan dirinya agar tidak terbuai dengan kecantikan Dira.“Maaf, Kak.” Dira merasa bersalah sekali karena tidak berhati-hati.“Bagus kamu jatuh ke pelukanku, bagaimana jika di pelukan orang lain?” Dima bergumam kesal.“Jika aku jatuh ke pelukan orang lain, ya mungkin saja aku bisa jatuh cinta padanya.” Suara gumaman dari Dima. Jadi dia membalasnya.Dima langsung membulatkan matanya. “Kamu mau jatuh cinta pada orang lain?” tanya Dima kesal.Dahi Dira berkerut dalam. Tidak mengerti kenapa Dima tiba-tiba marah.“Kak Dima kenapa marah?” Dira masih kebingungan. Dia merasa jika Dima aneh.“Kamu mau jatuh cinta pada orang lain? Bukankah kamu bilang pada mama jika kamu akan berusaha untuk jatuh cinta padaku.” Dima yang kesal pun langsung meluapkan kekesalannya itu.Dira tercengang ketika melihat Dima mengatakan hal itu. Sejenak dia teringat dengan ucapan dari Dima sama persis dengan yang dikatakan
Dira segera mencari Dima. Tak sabar untuk bertanya apa yang sudah dilakukan oleh Dima. Dira mencari ke ruang rapat. Namun, alangkah terkejutnya ketika sampai di ruang rapat. Di depan ruang rapat, Dira melihat Dima sedang bersama orang-orang penting perusahaan. Ada Papa Alca dan juga para pemegang saham di sana.Dima begitu terkejut sekali ketika Dira mencarinya sampai ke ruang rapat. Padahal sedang banyak orang di sana.“Pasti kamu mau mengingatkan aku untuk bertemu klien?” Dima menatap Dira. Berpura-pura agar Dira tidak malu di hadapan banyak orang.“Iya, Pak. Saya ingin mengingatkan Pak Dima untuk bertemu klien.” Dira dengan sopan membenarkan ucapan Dima.“Saya permisi dulu, karena harus bertemu klien.” Dima berpamitan dengan beberapa pemegang saham dan juga papanya.Mereka semua mengangguk. Mempersilakan Dima untuk pergi lebih dulu.Dima dan Dira segera menuju ke lift. Orang-orang masih memerhatikan Dima yang masih menunggu lift. Mereka baru terlepas dari pandangan saat lift tertut
Akhirnya Dima memanggil supervisor cleaning servis. Mengatakan siapa yang sebenarnya salah. Dima meminta supervisor menyelesaikannya. Menyampaikan apa yang disampaikan Dira kemarin.Supervisor pun segera memanggil Ina kembali. Meminta Wina dan Ina menemuinya.“Ina, kami sudah mendengarkan cerita sebenarnya. Jadi kamu tidak bersalah dalam hal ini. Kamu bisa kembali lagi bekerja di sini.”Mendengar ucapan supervisor membuat Ina benar-benar merasa senang sekali. Ternyata dia akhirnya dapat kembali bekerja lagi. Rasanya lega karena akhirnya kebenaran terbongkar.“Terima kasih, Bu.” Ina tersenyum lebar. Akhirnya dia bisa kembali lagi bekerja.Ina melirik Wina yang berada di sebelahnya. Dia menatap dengan kepuasan. Senang sekali akhirnya kejahatan Wina terbongkar.“Kamu bisa keluar.”“Baik, Bu.” Ina segera keluar.Kini tinggal Wina dan supervisor saja. Perasaan Wina begitu takut sekali. Dia merasa jika kali ini dia tidak akan“Wina, kamu sudah tahu bukan kesalahan kamu. Kamu sudah membuat D
“Sudah biarkan saja. Kenapa kamu harus memikirkan apa yang mereka pikirkan. Jika mereka tidak mengusikmu justru lebih baik. Jadi aku lebih tenang.” Dima langsung memutuskan apa yang dipikirkan oleh Dira.Dira hanya diam. Dia berpikir mungkin Dima memang benar. Jika tidak ada yang berani mendekat padanya. Justru itu bagus. Jadi tidak ada yang berani mengganggunya. Namun, dia merasa tidak punya teman.“Sudah cepat makan, kamu harus mengerjakan banyak pekerjaan.” Dima memberikan perintah pada Dira.Mendapati jawaban itu membuat Dira tidak punya pilihan. Dia pun memilih untuk segera memakan makanannya. Tak mau memikirkan hal itu lagi.Dira segera menghabiskan makanannya. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya. Dira tidak mau sampai pekerjaannya tidak selesai. Karena sore nanti, dia harus kuliah.Saat sore tiba, Dira segera bersiap untuk ke kampus. Kali ini dia diantar oleh Dima, sekalian Dima pulang.“Kak, sebaiknya Kak Dima tidak perlu jemput aku. Aku akan naik angkutan saja.” Dira ti
“Maksud Kak Dima apa?” Dira masih tidak mengerti apa yang dikatakan Dima. “Kamu tidak mau aku jemput karena sudah berkenalan dengan pria tadi ‘kan?” Dima menatap Dira kesal. Dira memikirkan pria yang dimaksud oleh Dima. Memutar ingatannya kembali ke kampus untuk menemukan siapa pria yang dimaksud Dina. Sejenak dia mengingat jika tadi sempat bicara dengan Andrie ketika baru keluar kelas. “Maksud Kak Dima adalah Andrie?” Dira dengan polosnya memastikan. “Aku tidak peduli namanya. Yang jelas adalah pria yang keluar dari kelas bersamamu tadi.” Entah apa yang merasuki Dima. Dia begitu kesal ketika melihat Dira bersama pria lain. “Dia hanya temanku, Kak. Aku tidak punya hubungan dengannya. Lagi pula bukan itu alasanku meminta Kak Dima tidak menjemput. Aku benar-benar tidak tega saja ketika Kak Dima lelah. Apalagi pulang kerja. Harus bolak-balik jemput aku.” Dira mencoba menjelaskan hal itu pada Dima. “Harusnya kamu tahu jika kamu adalah tanggung jawabku. Jadi tidak masalah bagiku jika
“Apa wajahku terlihat bercanda?” tanya Dima.Dira melihat ke dalam kedua bola mata Dima. Melihat apakah benar Dima berniat mengatakan hal itu. Dari sorot mata Dima tampak tidak ada keraguan dari tatapan Dima.“Bukankah kita sudah sepakat jika kita akan menikah jika sudah jatuh cinta?” Dira mencoba mengingatkan lagi Dima dengan perjanjian mereka.“Iya, aku pikir begitu, tapi melihatmu dekat dengan pria, lebih baik kita menikah. Jadi agar kamu tidak mudah dekat pria lain.”Mendengar jawaban Dima itu membuat Dira semakin tercengang. Alasan Dima terlalu konyol menurutnya. Tidak masuk akal. “Aku sudah bilang bukan jika aku dan pria tadi tidak ada hubungan apa-apa. Lagi pula saat aku ditanya, aku dijemput siapa, aku jawab jika aku dijemput pacarku. Jadi secara tidak langsung itu sudah menegaskan jika aku berusaha untuk menjauh dari pria lain.” Dira mencoba menjelaskan pada Dima jika dia tidak akan dekat semudah itu dengan para pria.Binar bahagia terlihat dari mata Dima. Ternyata Dira tak s
Dima membulatkan matanya. Dia pikir Dira akan lama memikirkan hal ini. Namun, ternyata begitu cepat dia memutuskan.“Kamu yakin?” tanya Dima memastikan.“Iya.” Dira mengangguk.Entah Dima harus bagaimana mengungkapkan kebahagiaannya. Dia merasa senang karena Dira mau menikah dengannya.“Kalau begitu ayo kita bilang mama dan papa.” Dima langsung menarik tangan Dira. Mengajak Dira untuk menemui orang tuanya.Namun, saat menarik tangan Dira. Gadis itu justru tidak mau berjalan. Masih diam di tempat di mana berpijak.Dima memutar kepalanya. Melihat ke arah Dira. Merasa bingung kenapa Dira tidak mau bergerak.“Kenapa?” tanya Dima.“Kak, bolehkah aku minta beberapa hal?” Dira menatap Dima dengan tatapan penuh harap.Dima melepaskan tangan Dira, kemudian memutar tubuhnya menghadap ke arah gadis cantik di depannya itu.“Apa yang kamu minta?” Dima cukup penasaran dengan apa yang diinginkan Dira.“Aku mau menikah secara sederhana. Hanya keluarga saja. Aku juga tidak mau orang kantor tahu. Karen
Sesuai dengan permintaan Dima, Dira berangkat dengan Arlo. Sepanjang perjalanan Arlo terus memerhatikan Dira. Hal itu membuat Dira merasa canggung.“Kenapa Kak Arlo melihat aku seperti itu?” Dira merasa Arlo sedari tadi melihat ke arahnya.“Kamu tidak sedang hamil ‘kan Dira?” Arlo menoleh sejenak pada Dira.Dira langsung membulatkan matanya ketika mendengar hal itu. Tuduhan Arlo benar-benar di luar nalar.“Kenapa Kak Arlo bertanya seperti itu?” Dira menatap Arlo yang sedang menyetir.“Kamu dan Kak Dima tiba-tiba sekali menikah. Jadi aku pikir pasti ada sesuatu di antara kalian.” Alrlo mengungkapkan apa yang dipikirkannya.“Tentu saja aku tidak hamil. Pernikahan kami tidak bisa dibilang tiba-tiba juga. Sejak surat wasiat itu dibacakan kami harusnya sudah menikah. Tapi, kami menunda lebih dulu.” Dira berusaha menjelaskan.Arlo ingat mamanya cerita tentang surat wasiat itu dua minggu lalu. Memang harusnya kakaknya menikah saat itu. Namun, kakaknya belum mau.“Baguslah kalau kamu tidak ha