Sesuai dengan permintaan Dima, Dira berangkat dengan Arlo. Sepanjang perjalanan Arlo terus memerhatikan Dira. Hal itu membuat Dira merasa canggung.“Kenapa Kak Arlo melihat aku seperti itu?” Dira merasa Arlo sedari tadi melihat ke arahnya.“Kamu tidak sedang hamil ‘kan Dira?” Arlo menoleh sejenak pada Dira.Dira langsung membulatkan matanya ketika mendengar hal itu. Tuduhan Arlo benar-benar di luar nalar.“Kenapa Kak Arlo bertanya seperti itu?” Dira menatap Arlo yang sedang menyetir.“Kamu dan Kak Dima tiba-tiba sekali menikah. Jadi aku pikir pasti ada sesuatu di antara kalian.” Alrlo mengungkapkan apa yang dipikirkannya.“Tentu saja aku tidak hamil. Pernikahan kami tidak bisa dibilang tiba-tiba juga. Sejak surat wasiat itu dibacakan kami harusnya sudah menikah. Tapi, kami menunda lebih dulu.” Dira berusaha menjelaskan.Arlo ingat mamanya cerita tentang surat wasiat itu dua minggu lalu. Memang harusnya kakaknya menikah saat itu. Namun, kakaknya belum mau.“Baguslah kalau kamu tidak ha
Sesuai dengan keinginan oma, akhirnya Dima membawa Dira ke rumah. Dima hanya datang ke kantor untuk menjemput Dira. Menjemput tepat jam tiga sore. Sebelum Dira masuk kuliah, mereka masih punya waktu untuk bertemu dengan oma.“Kita mau ke mana, Kak?” tanya Dira yang begitu penasaran.“Kita mau ke rumah oma.” Dima menjawab sambil fokus pada jalanan.Mendengar ke mana Dima akan membawanya membuat Dira seketika takut. Dia membayangkan jika oma Dima menakutkan. Pasti galak dan menakutkan.“Kak, seperti apa oma?” Dira menatap Dima yang sedang menyetir. Ingin tahu. Paling tidak dia harus tahu lebih dulu.“Oma baik. Dia begitu menyayangi aku.” Dima menjelaskan tanpa menoleh ke arah Dira.Kalimat itu diartikan Dira lain. Artinya jika oma Dima menyayangi Dima, artinya dia orang yang protektif terhadap Dima.Dira hanya bisa berusaha tenang. Berharap jika oma Dima bisa menerima dirinya dengan baik, seperti Mama Ale.Saat mobil berhenti, Dima segera turun, menyusul Dima. Pemandangan pertama yang d
“Oma, tunggulah sebentar dulu. Lagi pula Dira masih kuliah. Jadi kasihan jika hamil.” Dima berusaha untuk membujuk sang oma. “Tapi, aku ingin punya cicit segera. Umur oma sudah tua. Berharap bisa menemani cicit oma.” Oma Mauren hanya bisa merengek. Dima benar-benar bingung. Begitu juga Dira. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Masalah ini terlalu sulit untuk diselesaikan. Jika anak kecil merengek minta permen, mungkin dia bisa melakukannya. Namun, jika minta anak. Tentu saja sulit. Apalagi usianya masih terlalu muda. “Ren, jangan membebani cucu-cucumu seperti itu.” Opa David akhirnya ikut bicara juga. Dima bernapas lega, karena ternyata opanya ikut membantu. “Anak-anak muda itu tidak tahanan, pasti sebentar saja mereka akan membuat cucu. Kamu duduk manis menunggu saja.” Opa David menenangkan sang istri lagi. Sayangnya, kalimat kali ini membuat Dima terperangah. Bagaimana bisa opanya menenangkan dengan cara seperti itu. “Benar juga.” Oma Mauren langsung semringah lagi. Dima semaki
Dima membantu Dira memilih cincin. Beberapa cincin memang cantik. Membuat Dima sendiri bingung. “Kenapa Kak Luel buat cincin bagus-bagus? Kami jadi susah memilih.” Dima melayangkan protesnya. “Kalau susah, belilah semua.” Luel tertawa. Senang menggoda adik sepupunya itu. “Aku belum sekaya itu dengan membeli semua cincin.” Dima baru bekerja setahun ini. Jadi di belum banyak penghasilan. “Cepatlah pilih. Seperti Dira yang cantik dari ribuan wanita, cincin itu pun juga ada yang cantik dari beberapa yang kamu lihat.” Luella mencoba memberi pandangannya. “Baiklah, kita lihat lagi.” Dima pun melihat ke etalase lagi. Melihat apakah ada cincin yang paling cantik di antara yang cantik. Dima terus memandangi satu per satu cincin tersebut. Begitu pun Dira. Dia terus memandangi mana cincin yang cantik. “Ini.” Secara bersamaan Dima dan Dira menunjuk satu cincin yang sama. “Wah ... kalian memang benar-benar cocok. Secara bersamaan bisa memilih cincin yang sama.” Luella mengomentari Dima dan
Dari toko perhiasan, lanjut toko sepatu, akhirnya Dima dan Dira berakhir di restoran. Mereka sedari tadi belum makan siang. Ini tidak bisa dibilang makan siang, karena sudah menjelang sore. Mereka memilih makan di restoran yang berada di mal. Karena tadi baru saja mereka dari toko sepatu Marlene yang berada di salah satu mal terkenal. Dima memesan beberapa makanan untuk dirinya dan Dira. Beberapa menu favorit di restoran. “Kak, bukannya kita tidak akan mengadakan pesta. Kenapa Kak Dima bilang tetap akan ada pesta?” Sambil menunggu makanan datang, mereka mengobrol bersama. “Oh ... itu. Oma tetap mau ada pesta, Ra. Jadi aku berjanji jika akan ada pesta.” “Tapi, Kak Dima juga janji padaku juga tidak ada pesta. Lalu janji mana yang akan Kak Dima dipenuhi?” Dira merasa dibohongi. Karena dari awal itu sudah menjadi perjanjian mereka. Dima mengembuskan napasnya. Merasa jika memang sulit sekali dalam keadaan ini. “Begini, Ra. Lambat laun hubungan kita akan diketahui orang. Jadi memang a
“Apa kamu tidak bisa melihat jalanan dengan benar, Ra?” tanya Dima. Dira langsung mengalihkan pandangan pada Dima yang ditabraknya. “Kak Dima ... maksud saya Pak Dima.” Dira merasa malu ketika ternyata yang ditabrak adalah Dima. “Saya menyuruh kamu mengantarkan berkas, tapi kamu tidak kunjung kembali. Apa kamu ingat jika kita harus pergi?” tanya Dima. Dira terperangah melihat sikap Dima. Namun, ternyata ada beberapa karyawan yang ada di belakangnya. Jadi sikap itu wajar dilakukan Dima. “Maaf, Pak. Perut saya tadi sakit, jadi saya ke harus ke toilet dulu.” Dira memberikan alasannya. “Sudah ayo, kita harus pergi.” Dima segera berbalik. Kemudian mengayunkan langkahnya. “Baik, Pak.” Dira langsung mengekor di belakang Dima. Mengikuti Dima. Apa yang dilakukan Dima dilihat oleh beberapa karyawan. Mereka tahu jika Dima memang tegas. Namun, tidak menyangka tegas pada Dira juga. Dima dan Dira segera masuk ke dalam lift. Dima menekan lantai ruang kerjanya. Karena harus mengambil barang-b
Dira memilih kebaya yang dipegang Mama Ale. Detailnya lebih cantik. Tidak norak dan tidak terlalu heboh. “Jadi kamu pilih ini?” tanya Mama Ale. “Iya, Ma.” Dira mengangguk. “Bagus kalau begitu.” Mama Ale begitu senang ketika melihat Dira memilih kebayanya. Oma Mauren dan Oma Arriel pun harus menerima ketika Dira lebih memilih gaun Mama Ale. “Sisanya masalah WO. Oma yang urus. Apa pun itu, aku akan setuju.” Dima membesarkan hati oma-omanya itu. Dia tahu bagaimana membuat oma-omanya bisa senang lagi. “Benarkah?” Oma Mauren memastikan. “Iya.” Dima mengangguk. “Kita akan atur semuanya.” Oma Mauren menatap iparnya dengan senang. “Ingat, jangan bertengkar.” Dima memberikan peringatan. “Iya.” Oma Arriel mengangguk. Dari butik, mereka beralih ke restoran. Rencananya Aunty Loveta akan bergabung untuk makan siang bersama. Dia juga ingin berkenalan dengan calon Dima. Mereka semua menikmati makan siang bersama sambil saling bercerita tentang rencana pernikahan Dima dan Dira. Untuk saat
“Tidak akan ada apa-apa? Jika pun ada, paling hanya menemani kamu tidur.” “Kak.” Dira memukul lengan Dima. Kesal sekali. Di saat takut, Dima justru menakutinya. Dima hanya tertawa saja. Mereka sampai di kamar tamu. Dima segera menyalakan lampu. Saat lampu menyala, ruangan terlihat jelas. Dira melihat jelas jika kamar begitu besar. Dua kali lebih besar dari kamar yang ditempatinya di rumah Dima. “Kak, aku tidak mau tinggal di sini. Aku mau pulang.” Dira menggoyang-goyangkan tubuh Dima. “Ra, kamu tahu kan jika kata oma kita harus tinggal terpisah.” Dira mencoba mengingatkan Dira. “Tapi, aku takut, Kak. Kamar ini terlalu besar, dan di lantai atas juga sepi. Hanya aku saja. Aku tidak mau, Kak.” Dira merengek seperti anak kecil. Dia benar-benar tidak mau ditinggal di kamar ini. “Lalu harus bagaimana?” tanya Dima bingung. “Kalau Kak Dima mau aku tinggal di sini, Kak Dima juga harus temani aku.” “Ra, kita belum sah suami-istri. Bagaimana bisa tinggal sekamar?” Dima melayangkan protes
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker