Dari toko perhiasan, lanjut toko sepatu, akhirnya Dima dan Dira berakhir di restoran. Mereka sedari tadi belum makan siang. Ini tidak bisa dibilang makan siang, karena sudah menjelang sore. Mereka memilih makan di restoran yang berada di mal. Karena tadi baru saja mereka dari toko sepatu Marlene yang berada di salah satu mal terkenal. Dima memesan beberapa makanan untuk dirinya dan Dira. Beberapa menu favorit di restoran. “Kak, bukannya kita tidak akan mengadakan pesta. Kenapa Kak Dima bilang tetap akan ada pesta?” Sambil menunggu makanan datang, mereka mengobrol bersama. “Oh ... itu. Oma tetap mau ada pesta, Ra. Jadi aku berjanji jika akan ada pesta.” “Tapi, Kak Dima juga janji padaku juga tidak ada pesta. Lalu janji mana yang akan Kak Dima dipenuhi?” Dira merasa dibohongi. Karena dari awal itu sudah menjadi perjanjian mereka. Dima mengembuskan napasnya. Merasa jika memang sulit sekali dalam keadaan ini. “Begini, Ra. Lambat laun hubungan kita akan diketahui orang. Jadi memang a
“Apa kamu tidak bisa melihat jalanan dengan benar, Ra?” tanya Dima. Dira langsung mengalihkan pandangan pada Dima yang ditabraknya. “Kak Dima ... maksud saya Pak Dima.” Dira merasa malu ketika ternyata yang ditabrak adalah Dima. “Saya menyuruh kamu mengantarkan berkas, tapi kamu tidak kunjung kembali. Apa kamu ingat jika kita harus pergi?” tanya Dima. Dira terperangah melihat sikap Dima. Namun, ternyata ada beberapa karyawan yang ada di belakangnya. Jadi sikap itu wajar dilakukan Dima. “Maaf, Pak. Perut saya tadi sakit, jadi saya ke harus ke toilet dulu.” Dira memberikan alasannya. “Sudah ayo, kita harus pergi.” Dima segera berbalik. Kemudian mengayunkan langkahnya. “Baik, Pak.” Dira langsung mengekor di belakang Dima. Mengikuti Dima. Apa yang dilakukan Dima dilihat oleh beberapa karyawan. Mereka tahu jika Dima memang tegas. Namun, tidak menyangka tegas pada Dira juga. Dima dan Dira segera masuk ke dalam lift. Dima menekan lantai ruang kerjanya. Karena harus mengambil barang-b
Dira memilih kebaya yang dipegang Mama Ale. Detailnya lebih cantik. Tidak norak dan tidak terlalu heboh. “Jadi kamu pilih ini?” tanya Mama Ale. “Iya, Ma.” Dira mengangguk. “Bagus kalau begitu.” Mama Ale begitu senang ketika melihat Dira memilih kebayanya. Oma Mauren dan Oma Arriel pun harus menerima ketika Dira lebih memilih gaun Mama Ale. “Sisanya masalah WO. Oma yang urus. Apa pun itu, aku akan setuju.” Dima membesarkan hati oma-omanya itu. Dia tahu bagaimana membuat oma-omanya bisa senang lagi. “Benarkah?” Oma Mauren memastikan. “Iya.” Dima mengangguk. “Kita akan atur semuanya.” Oma Mauren menatap iparnya dengan senang. “Ingat, jangan bertengkar.” Dima memberikan peringatan. “Iya.” Oma Arriel mengangguk. Dari butik, mereka beralih ke restoran. Rencananya Aunty Loveta akan bergabung untuk makan siang bersama. Dia juga ingin berkenalan dengan calon Dima. Mereka semua menikmati makan siang bersama sambil saling bercerita tentang rencana pernikahan Dima dan Dira. Untuk saat
“Tidak akan ada apa-apa? Jika pun ada, paling hanya menemani kamu tidur.” “Kak.” Dira memukul lengan Dima. Kesal sekali. Di saat takut, Dima justru menakutinya. Dima hanya tertawa saja. Mereka sampai di kamar tamu. Dima segera menyalakan lampu. Saat lampu menyala, ruangan terlihat jelas. Dira melihat jelas jika kamar begitu besar. Dua kali lebih besar dari kamar yang ditempatinya di rumah Dima. “Kak, aku tidak mau tinggal di sini. Aku mau pulang.” Dira menggoyang-goyangkan tubuh Dima. “Ra, kamu tahu kan jika kata oma kita harus tinggal terpisah.” Dira mencoba mengingatkan Dira. “Tapi, aku takut, Kak. Kamar ini terlalu besar, dan di lantai atas juga sepi. Hanya aku saja. Aku tidak mau, Kak.” Dira merengek seperti anak kecil. Dia benar-benar tidak mau ditinggal di kamar ini. “Lalu harus bagaimana?” tanya Dima bingung. “Kalau Kak Dima mau aku tinggal di sini, Kak Dima juga harus temani aku.” “Ra, kita belum sah suami-istri. Bagaimana bisa tinggal sekamar?” Dima melayangkan protes
Oma Mauren segera mencari Dima. Dia naik ke lantai atas. Tempat yang dituju Oma Mauren mencari Dima di kamarnya. Di rumah Janitra, mereka memang menyiapkan rumah untuk cucu-cucu mereka. Jadi setiap cucu punya kamar. Sayangnya, saat membuka kamar Dima, tidak ditemukan cucunya itu di sana. “Di mana dia?” Oma Mauren merasa heran karena cucunya tidak ada di kamarnya. “Jangan-jangan.” Oma Mauren memikirkan tempat di mana Dima berada.Untuk memastikan pikiran itu, Oma Mauren segera berlalu ke kamar tamu. Memastikan hal itu. Saat pintu kamar terbuka, Oma Mauren melihat Dira dan Dima berada dalam satu kamar. Padahal mereka justru harusnya berjauhan dan tidak bertemu. Namun, ini justru mereka berada dalam satu kamar. Suara pintu yang terbuka membuat Dira dan Dima langsung terbangun. Mereja begitu terkejut ketika melihat Oma Mauren sudah ada di kamar. “Oma.” Dima ketakutan ketika melihat sang oma. Oma Mauren segera menghampiri Dima. “Anak nakal.” Dia menjewer telinga Dima. Cucunya benar-ben
Dima melihat layar ponselnya. Dilihat nama ‘Alia’ di layar ponselnya. Tentu saja itu membuatnya merasa aneh. Untuk apa gadis itu menghubunginya.“Kak ... Kak Dima ....” Ketika tidak ada suara Dira mencoba memanggil Dima.Dima langsung tersadar. Dia langsung mengabaikan panggilan itu dan kembali pada Dira.“Iya, Ra.”“Aku pikir Kak Dima tidur.” Dira yang tidak mendengar suara Dima, justru mengira Dima tidur.Pikiran Dira memang sederhana. Jadi tidak pikiran macam-macam.“Tidak, aku tidak tidur.” Dima tertawa.“Kalau Kak Dima tidak tidur dan tidak mengantuk, bagaimana jika menunggu aku tidur?” Dira tertawa, memberikan ide lucu.“Kamu masih takut?” tanya Dima lagi.“Em ...tidak juga, tapi mau ditemani saja. Nanti jika aku sudah tidur, Kak Dima bisa matikan teleponnya.”“Baiklah, aku akan temani.” Dima setuju.“Baiklah, kita bercerita saja.”“Kamu dulu yang cerita.”“Cerita apa?” Dira bingung“Ceritakan waktu sekolahmu saja.” Dima memberikan ide.“Tidak ada yang menarik dari cerita sekola
Semua keluarga memberikan ucapan selamat. Semua memberikan doa terbaik untuk pasangan baru ini. Semua berdoa agar Dima dan Dira saling mencintai sampai akhir hayat.Pesta berakhir. Satu persatu keluarga berpamitan. Tersisa keluarga orang tua Dima dan Arlo saja.“Ini hadiah dari Mama dan Papa.” Mama Ale memberikan amplop kecil untuk Dira dan Dima.Dima langsung menerimanya hadiah yang diberikan mama dan papanya itu. “Apa ini?” tanyanya.“Buka saja.” Mama Ale tersenyum.Dima yang penasaran membuka amplop tersebut. Saat dibuka ternyata itu adalah tiket hotel. Tertera tanggal malam ini.“Mama mau aku menginap si hotel?” tanya Dima memastikan.“Lebih tepatnya kalian.” Mama Ale membenarkan ucapan anaknya lebih dulu.Dima menoleh ke arah Dira. Yang dimaksud adalah dirinya dan Dira.Mendapati tiket hotel tentu saja membuat Dira merona. Malu sekali ketika mendapatkan hal itu. Seolah orang tua Dima mau pengantin baru hanya berdua saja. Sayangnya, Dira tidak tahu apa yang harus dilakukan berdua
Pipi Dira langsung menghangat ketika mendengar ucapan Dima itu. Sudah bisa dipastikan jika sekarang pasti pipinya sudah merona.Dima mengangsur wajahnya. Mendekat ke arah Dira. Saat wajah Dima mendekat, refleks Dira memejamkan matanya. Dima langsung tersenyum ketika melihat hal itu.“Ada bulu mata yang jatuh di matamu.” Dima mengambil bulu mata di mata Dira.Sesaat setelah Dima mengambil bulu mata yang terjatuh, Dira segera membuka matanya. Dia benar-benar terkejut ketika melihat hal itu.“Apa? Bulu mata?” Dira tampak terkejut mendengar apa dikatakan Dima. Namun, memang benar, Dima memang mengambil bulu mata yang terjatuh.“Kamu pikir aku mau apa?” goda Dima.Jelas pertanyaan itu membuat Dira semakin salah tingkah. Karena ternyata hanya dirinya yang berpikir jauh sebuah ciuman, sedangkan Dima tidak.Karena tidak mau Dima melihatnya salah tingkah, Dira memilih menghindar. “Aku mau ke toilet.” Dira segera pergi. Meninggalkan Dima.Melihat Dira yang pergi begitu saja membuat Dima benar-b