“Tidak akan ada apa-apa? Jika pun ada, paling hanya menemani kamu tidur.” “Kak.” Dira memukul lengan Dima. Kesal sekali. Di saat takut, Dima justru menakutinya. Dima hanya tertawa saja. Mereka sampai di kamar tamu. Dima segera menyalakan lampu. Saat lampu menyala, ruangan terlihat jelas. Dira melihat jelas jika kamar begitu besar. Dua kali lebih besar dari kamar yang ditempatinya di rumah Dima. “Kak, aku tidak mau tinggal di sini. Aku mau pulang.” Dira menggoyang-goyangkan tubuh Dima. “Ra, kamu tahu kan jika kata oma kita harus tinggal terpisah.” Dira mencoba mengingatkan Dira. “Tapi, aku takut, Kak. Kamar ini terlalu besar, dan di lantai atas juga sepi. Hanya aku saja. Aku tidak mau, Kak.” Dira merengek seperti anak kecil. Dia benar-benar tidak mau ditinggal di kamar ini. “Lalu harus bagaimana?” tanya Dima bingung. “Kalau Kak Dima mau aku tinggal di sini, Kak Dima juga harus temani aku.” “Ra, kita belum sah suami-istri. Bagaimana bisa tinggal sekamar?” Dima melayangkan protes
Oma Mauren segera mencari Dima. Dia naik ke lantai atas. Tempat yang dituju Oma Mauren mencari Dima di kamarnya. Di rumah Janitra, mereka memang menyiapkan rumah untuk cucu-cucu mereka. Jadi setiap cucu punya kamar. Sayangnya, saat membuka kamar Dima, tidak ditemukan cucunya itu di sana. “Di mana dia?” Oma Mauren merasa heran karena cucunya tidak ada di kamarnya. “Jangan-jangan.” Oma Mauren memikirkan tempat di mana Dima berada.Untuk memastikan pikiran itu, Oma Mauren segera berlalu ke kamar tamu. Memastikan hal itu. Saat pintu kamar terbuka, Oma Mauren melihat Dira dan Dima berada dalam satu kamar. Padahal mereka justru harusnya berjauhan dan tidak bertemu. Namun, ini justru mereka berada dalam satu kamar. Suara pintu yang terbuka membuat Dira dan Dima langsung terbangun. Mereja begitu terkejut ketika melihat Oma Mauren sudah ada di kamar. “Oma.” Dima ketakutan ketika melihat sang oma. Oma Mauren segera menghampiri Dima. “Anak nakal.” Dia menjewer telinga Dima. Cucunya benar-ben
Dima melihat layar ponselnya. Dilihat nama ‘Alia’ di layar ponselnya. Tentu saja itu membuatnya merasa aneh. Untuk apa gadis itu menghubunginya.“Kak ... Kak Dima ....” Ketika tidak ada suara Dira mencoba memanggil Dima.Dima langsung tersadar. Dia langsung mengabaikan panggilan itu dan kembali pada Dira.“Iya, Ra.”“Aku pikir Kak Dima tidur.” Dira yang tidak mendengar suara Dima, justru mengira Dima tidur.Pikiran Dira memang sederhana. Jadi tidak pikiran macam-macam.“Tidak, aku tidak tidur.” Dima tertawa.“Kalau Kak Dima tidak tidur dan tidak mengantuk, bagaimana jika menunggu aku tidur?” Dira tertawa, memberikan ide lucu.“Kamu masih takut?” tanya Dima lagi.“Em ...tidak juga, tapi mau ditemani saja. Nanti jika aku sudah tidur, Kak Dima bisa matikan teleponnya.”“Baiklah, aku akan temani.” Dima setuju.“Baiklah, kita bercerita saja.”“Kamu dulu yang cerita.”“Cerita apa?” Dira bingung“Ceritakan waktu sekolahmu saja.” Dima memberikan ide.“Tidak ada yang menarik dari cerita sekola
Semua keluarga memberikan ucapan selamat. Semua memberikan doa terbaik untuk pasangan baru ini. Semua berdoa agar Dima dan Dira saling mencintai sampai akhir hayat.Pesta berakhir. Satu persatu keluarga berpamitan. Tersisa keluarga orang tua Dima dan Arlo saja.“Ini hadiah dari Mama dan Papa.” Mama Ale memberikan amplop kecil untuk Dira dan Dima.Dima langsung menerimanya hadiah yang diberikan mama dan papanya itu. “Apa ini?” tanyanya.“Buka saja.” Mama Ale tersenyum.Dima yang penasaran membuka amplop tersebut. Saat dibuka ternyata itu adalah tiket hotel. Tertera tanggal malam ini.“Mama mau aku menginap si hotel?” tanya Dima memastikan.“Lebih tepatnya kalian.” Mama Ale membenarkan ucapan anaknya lebih dulu.Dima menoleh ke arah Dira. Yang dimaksud adalah dirinya dan Dira.Mendapati tiket hotel tentu saja membuat Dira merona. Malu sekali ketika mendapatkan hal itu. Seolah orang tua Dima mau pengantin baru hanya berdua saja. Sayangnya, Dira tidak tahu apa yang harus dilakukan berdua
Pipi Dira langsung menghangat ketika mendengar ucapan Dima itu. Sudah bisa dipastikan jika sekarang pasti pipinya sudah merona.Dima mengangsur wajahnya. Mendekat ke arah Dira. Saat wajah Dima mendekat, refleks Dira memejamkan matanya. Dima langsung tersenyum ketika melihat hal itu.“Ada bulu mata yang jatuh di matamu.” Dima mengambil bulu mata di mata Dira.Sesaat setelah Dima mengambil bulu mata yang terjatuh, Dira segera membuka matanya. Dia benar-benar terkejut ketika melihat hal itu.“Apa? Bulu mata?” Dira tampak terkejut mendengar apa dikatakan Dima. Namun, memang benar, Dima memang mengambil bulu mata yang terjatuh.“Kamu pikir aku mau apa?” goda Dima.Jelas pertanyaan itu membuat Dira semakin salah tingkah. Karena ternyata hanya dirinya yang berpikir jauh sebuah ciuman, sedangkan Dima tidak.Karena tidak mau Dima melihatnya salah tingkah, Dira memilih menghindar. “Aku mau ke toilet.” Dira segera pergi. Meninggalkan Dima.Melihat Dira yang pergi begitu saja membuat Dima benar-b
Ahirnya Dira memberanikan diri untuk keluar dari kamar hotel. Saat keluar, Dima tampak biasa saja. Mereka berdua ke restoran hotel yang berada di lantai paling atas. Kali ini pemandangan jauh lebih indah dari ketinggian. Apalagi malam ini bulan tampak bulat dan bersinar penuh.“Wah ...bulannya bulat sempurna.” Dira melihat bulan malam ini begitu cantik sekali. Membuatnya terkagum.“Ini tanggal lima belas. Biasanya bulan akan tampak penuh.” Dima mengomentari seraya menarik kursi.Dira pernah belajar itu. Namun, memang dia jarang memerhatikan sekitar. Jadi dia tidak terlalu memerhatikan kapan bulan bersinar penuh.Mereka duduk berdua. Kemudian memesan makanan. Sambil menunggu makanan, mereka memilih diam. Tidak ada obrolan yang mereka lakukan. Keduanya memilih diam saja. Keduanya masih saling menghindar.Saat makanan datang pun, mereka memilih diam. Menikmati makanan tanpa bicara. Benar-benar seperti dua orang asing yang tidak saling kenal.Sampai makanan habis dan kembali ke kamar ho
Dima merasakan gerakan kasur yang cukup kencang. Hal itu membuat Dima membuka matanya. Saat menoleh ke sebelah, alangkah terkejutnya Dima melihat Dira sudah begitu dekat dengannya.‘Sudah aku bilang bukan, jika kamu yang akan mendekat,’ batin Dima.Dima sudah bisa menebak jika Dira akan mendekati ke padanya. Karena sewaktu tidur bersama di rumah oma, dia melihat Dira yang tidak bisa diam saat tidur. Dan, benar saja, sekarang Dira benar-benar mendekat ke arahnya.Dira semakin dekat. Tangannya langsung memeluk Dima. Dira pastinya mengira jika yang dipeluk itu adalah guling.‘Aku yakin, besok kamu yang akan berteriak.’Dima tidak bisa bayangkan bagaimana reaksi Dira melihat aksinya sendiri. Pasti dia akan berteriak histeris.Mendapati Dira memeluk justru membuat Dima senang. Karena itu justru menikmati. Kembali tidur dan menunggu hari esok tiba.***Dira menikmati tidurnya. Guling empuk yang dipeluknya begitu menghangatkannya. Terasa nyaman sekali.Dira pun melingkarkan kakinya untuk mem
“Untuk apa kita di kamar sepanjang hari?”Dira tidak habis pikir dengan Dima. Membayangkan berada di kamar sepanjang hari tentu saja membuatnya merasa bingung.“Untuk menikmati istirahat.” Dima merebahkan tubuhnya di tempat tidur. Menjadikan tangannya sebagai bantalan.“Istirahat manusia hanya butuh delapan jam tidur, sedangkan kita punya dua puluh empat jam. Sisa enam belas jam. Tidak mungkin juga kita tidur sepanjang waktu dalam enam belas jam.” Dira mencoba menjelaskan hal itu.“Memang siapa yang menggunakan enam belas jam untuk tidur. Istirahat juga tidak melulu tidur. Seperti yang kamu lalukan sekarang. Menikmati menonton kartun atau kita bisa menonton film. Itu disebut istirahat juga.”“Lalu apa kita akan di kamar sepanjang hari tanpa makan?” tanya Dira kembali.“Makan, jika malas keluar, kita pesan dari sini.” Dima tersenyum.Dira benar-benar tidak membayangkan berada di dalam kamar seharian bersama dengan Dima.Melihat Dira yang seperti itu membuat Dima gemas. “Ayo, kita maka
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker