“Apa wajahku terlihat bercanda?” tanya Dima.Dira melihat ke dalam kedua bola mata Dima. Melihat apakah benar Dima berniat mengatakan hal itu. Dari sorot mata Dima tampak tidak ada keraguan dari tatapan Dima.“Bukankah kita sudah sepakat jika kita akan menikah jika sudah jatuh cinta?” Dira mencoba mengingatkan lagi Dima dengan perjanjian mereka.“Iya, aku pikir begitu, tapi melihatmu dekat dengan pria, lebih baik kita menikah. Jadi agar kamu tidak mudah dekat pria lain.”Mendengar jawaban Dima itu membuat Dira semakin tercengang. Alasan Dima terlalu konyol menurutnya. Tidak masuk akal. “Aku sudah bilang bukan jika aku dan pria tadi tidak ada hubungan apa-apa. Lagi pula saat aku ditanya, aku dijemput siapa, aku jawab jika aku dijemput pacarku. Jadi secara tidak langsung itu sudah menegaskan jika aku berusaha untuk menjauh dari pria lain.” Dira mencoba menjelaskan pada Dima jika dia tidak akan dekat semudah itu dengan para pria.Binar bahagia terlihat dari mata Dima. Ternyata Dira tak s
Dima membulatkan matanya. Dia pikir Dira akan lama memikirkan hal ini. Namun, ternyata begitu cepat dia memutuskan.“Kamu yakin?” tanya Dima memastikan.“Iya.” Dira mengangguk.Entah Dima harus bagaimana mengungkapkan kebahagiaannya. Dia merasa senang karena Dira mau menikah dengannya.“Kalau begitu ayo kita bilang mama dan papa.” Dima langsung menarik tangan Dira. Mengajak Dira untuk menemui orang tuanya.Namun, saat menarik tangan Dira. Gadis itu justru tidak mau berjalan. Masih diam di tempat di mana berpijak.Dima memutar kepalanya. Melihat ke arah Dira. Merasa bingung kenapa Dira tidak mau bergerak.“Kenapa?” tanya Dima.“Kak, bolehkah aku minta beberapa hal?” Dira menatap Dima dengan tatapan penuh harap.Dima melepaskan tangan Dira, kemudian memutar tubuhnya menghadap ke arah gadis cantik di depannya itu.“Apa yang kamu minta?” Dima cukup penasaran dengan apa yang diinginkan Dira.“Aku mau menikah secara sederhana. Hanya keluarga saja. Aku juga tidak mau orang kantor tahu. Karen
Sesuai dengan permintaan Dima, Dira berangkat dengan Arlo. Sepanjang perjalanan Arlo terus memerhatikan Dira. Hal itu membuat Dira merasa canggung.“Kenapa Kak Arlo melihat aku seperti itu?” Dira merasa Arlo sedari tadi melihat ke arahnya.“Kamu tidak sedang hamil ‘kan Dira?” Arlo menoleh sejenak pada Dira.Dira langsung membulatkan matanya ketika mendengar hal itu. Tuduhan Arlo benar-benar di luar nalar.“Kenapa Kak Arlo bertanya seperti itu?” Dira menatap Arlo yang sedang menyetir.“Kamu dan Kak Dima tiba-tiba sekali menikah. Jadi aku pikir pasti ada sesuatu di antara kalian.” Alrlo mengungkapkan apa yang dipikirkannya.“Tentu saja aku tidak hamil. Pernikahan kami tidak bisa dibilang tiba-tiba juga. Sejak surat wasiat itu dibacakan kami harusnya sudah menikah. Tapi, kami menunda lebih dulu.” Dira berusaha menjelaskan.Arlo ingat mamanya cerita tentang surat wasiat itu dua minggu lalu. Memang harusnya kakaknya menikah saat itu. Namun, kakaknya belum mau.“Baguslah kalau kamu tidak ha
Sesuai dengan keinginan oma, akhirnya Dima membawa Dira ke rumah. Dima hanya datang ke kantor untuk menjemput Dira. Menjemput tepat jam tiga sore. Sebelum Dira masuk kuliah, mereka masih punya waktu untuk bertemu dengan oma.“Kita mau ke mana, Kak?” tanya Dira yang begitu penasaran.“Kita mau ke rumah oma.” Dima menjawab sambil fokus pada jalanan.Mendengar ke mana Dima akan membawanya membuat Dira seketika takut. Dia membayangkan jika oma Dima menakutkan. Pasti galak dan menakutkan.“Kak, seperti apa oma?” Dira menatap Dima yang sedang menyetir. Ingin tahu. Paling tidak dia harus tahu lebih dulu.“Oma baik. Dia begitu menyayangi aku.” Dima menjelaskan tanpa menoleh ke arah Dira.Kalimat itu diartikan Dira lain. Artinya jika oma Dima menyayangi Dima, artinya dia orang yang protektif terhadap Dima.Dira hanya bisa berusaha tenang. Berharap jika oma Dima bisa menerima dirinya dengan baik, seperti Mama Ale.Saat mobil berhenti, Dima segera turun, menyusul Dima. Pemandangan pertama yang d
“Oma, tunggulah sebentar dulu. Lagi pula Dira masih kuliah. Jadi kasihan jika hamil.” Dima berusaha untuk membujuk sang oma. “Tapi, aku ingin punya cicit segera. Umur oma sudah tua. Berharap bisa menemani cicit oma.” Oma Mauren hanya bisa merengek. Dima benar-benar bingung. Begitu juga Dira. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Masalah ini terlalu sulit untuk diselesaikan. Jika anak kecil merengek minta permen, mungkin dia bisa melakukannya. Namun, jika minta anak. Tentu saja sulit. Apalagi usianya masih terlalu muda. “Ren, jangan membebani cucu-cucumu seperti itu.” Opa David akhirnya ikut bicara juga. Dima bernapas lega, karena ternyata opanya ikut membantu. “Anak-anak muda itu tidak tahanan, pasti sebentar saja mereka akan membuat cucu. Kamu duduk manis menunggu saja.” Opa David menenangkan sang istri lagi. Sayangnya, kalimat kali ini membuat Dima terperangah. Bagaimana bisa opanya menenangkan dengan cara seperti itu. “Benar juga.” Oma Mauren langsung semringah lagi. Dima semaki
Dima membantu Dira memilih cincin. Beberapa cincin memang cantik. Membuat Dima sendiri bingung. “Kenapa Kak Luel buat cincin bagus-bagus? Kami jadi susah memilih.” Dima melayangkan protesnya. “Kalau susah, belilah semua.” Luel tertawa. Senang menggoda adik sepupunya itu. “Aku belum sekaya itu dengan membeli semua cincin.” Dima baru bekerja setahun ini. Jadi di belum banyak penghasilan. “Cepatlah pilih. Seperti Dira yang cantik dari ribuan wanita, cincin itu pun juga ada yang cantik dari beberapa yang kamu lihat.” Luella mencoba memberi pandangannya. “Baiklah, kita lihat lagi.” Dima pun melihat ke etalase lagi. Melihat apakah ada cincin yang paling cantik di antara yang cantik. Dima terus memandangi satu per satu cincin tersebut. Begitu pun Dira. Dia terus memandangi mana cincin yang cantik. “Ini.” Secara bersamaan Dima dan Dira menunjuk satu cincin yang sama. “Wah ... kalian memang benar-benar cocok. Secara bersamaan bisa memilih cincin yang sama.” Luella mengomentari Dima dan
Dari toko perhiasan, lanjut toko sepatu, akhirnya Dima dan Dira berakhir di restoran. Mereka sedari tadi belum makan siang. Ini tidak bisa dibilang makan siang, karena sudah menjelang sore. Mereka memilih makan di restoran yang berada di mal. Karena tadi baru saja mereka dari toko sepatu Marlene yang berada di salah satu mal terkenal. Dima memesan beberapa makanan untuk dirinya dan Dira. Beberapa menu favorit di restoran. “Kak, bukannya kita tidak akan mengadakan pesta. Kenapa Kak Dima bilang tetap akan ada pesta?” Sambil menunggu makanan datang, mereka mengobrol bersama. “Oh ... itu. Oma tetap mau ada pesta, Ra. Jadi aku berjanji jika akan ada pesta.” “Tapi, Kak Dima juga janji padaku juga tidak ada pesta. Lalu janji mana yang akan Kak Dima dipenuhi?” Dira merasa dibohongi. Karena dari awal itu sudah menjadi perjanjian mereka. Dima mengembuskan napasnya. Merasa jika memang sulit sekali dalam keadaan ini. “Begini, Ra. Lambat laun hubungan kita akan diketahui orang. Jadi memang a
“Apa kamu tidak bisa melihat jalanan dengan benar, Ra?” tanya Dima. Dira langsung mengalihkan pandangan pada Dima yang ditabraknya. “Kak Dima ... maksud saya Pak Dima.” Dira merasa malu ketika ternyata yang ditabrak adalah Dima. “Saya menyuruh kamu mengantarkan berkas, tapi kamu tidak kunjung kembali. Apa kamu ingat jika kita harus pergi?” tanya Dima. Dira terperangah melihat sikap Dima. Namun, ternyata ada beberapa karyawan yang ada di belakangnya. Jadi sikap itu wajar dilakukan Dima. “Maaf, Pak. Perut saya tadi sakit, jadi saya ke harus ke toilet dulu.” Dira memberikan alasannya. “Sudah ayo, kita harus pergi.” Dima segera berbalik. Kemudian mengayunkan langkahnya. “Baik, Pak.” Dira langsung mengekor di belakang Dima. Mengikuti Dima. Apa yang dilakukan Dima dilihat oleh beberapa karyawan. Mereka tahu jika Dima memang tegas. Namun, tidak menyangka tegas pada Dira juga. Dima dan Dira segera masuk ke dalam lift. Dima menekan lantai ruang kerjanya. Karena harus mengambil barang-b