“Sudah biarkan saja. Kenapa kamu harus memikirkan apa yang mereka pikirkan. Jika mereka tidak mengusikmu justru lebih baik. Jadi aku lebih tenang.” Dima langsung memutuskan apa yang dipikirkan oleh Dira.Dira hanya diam. Dia berpikir mungkin Dima memang benar. Jika tidak ada yang berani mendekat padanya. Justru itu bagus. Jadi tidak ada yang berani mengganggunya. Namun, dia merasa tidak punya teman.“Sudah cepat makan, kamu harus mengerjakan banyak pekerjaan.” Dima memberikan perintah pada Dira.Mendapati jawaban itu membuat Dira tidak punya pilihan. Dia pun memilih untuk segera memakan makanannya. Tak mau memikirkan hal itu lagi.Dira segera menghabiskan makanannya. Kemudian melanjutkan kembali pekerjaannya. Dira tidak mau sampai pekerjaannya tidak selesai. Karena sore nanti, dia harus kuliah.Saat sore tiba, Dira segera bersiap untuk ke kampus. Kali ini dia diantar oleh Dima, sekalian Dima pulang.“Kak, sebaiknya Kak Dima tidak perlu jemput aku. Aku akan naik angkutan saja.” Dira ti
“Maksud Kak Dima apa?” Dira masih tidak mengerti apa yang dikatakan Dima. “Kamu tidak mau aku jemput karena sudah berkenalan dengan pria tadi ‘kan?” Dima menatap Dira kesal. Dira memikirkan pria yang dimaksud oleh Dima. Memutar ingatannya kembali ke kampus untuk menemukan siapa pria yang dimaksud Dina. Sejenak dia mengingat jika tadi sempat bicara dengan Andrie ketika baru keluar kelas. “Maksud Kak Dima adalah Andrie?” Dira dengan polosnya memastikan. “Aku tidak peduli namanya. Yang jelas adalah pria yang keluar dari kelas bersamamu tadi.” Entah apa yang merasuki Dima. Dia begitu kesal ketika melihat Dira bersama pria lain. “Dia hanya temanku, Kak. Aku tidak punya hubungan dengannya. Lagi pula bukan itu alasanku meminta Kak Dima tidak menjemput. Aku benar-benar tidak tega saja ketika Kak Dima lelah. Apalagi pulang kerja. Harus bolak-balik jemput aku.” Dira mencoba menjelaskan hal itu pada Dima. “Harusnya kamu tahu jika kamu adalah tanggung jawabku. Jadi tidak masalah bagiku jika
“Apa wajahku terlihat bercanda?” tanya Dima.Dira melihat ke dalam kedua bola mata Dima. Melihat apakah benar Dima berniat mengatakan hal itu. Dari sorot mata Dima tampak tidak ada keraguan dari tatapan Dima.“Bukankah kita sudah sepakat jika kita akan menikah jika sudah jatuh cinta?” Dira mencoba mengingatkan lagi Dima dengan perjanjian mereka.“Iya, aku pikir begitu, tapi melihatmu dekat dengan pria, lebih baik kita menikah. Jadi agar kamu tidak mudah dekat pria lain.”Mendengar jawaban Dima itu membuat Dira semakin tercengang. Alasan Dima terlalu konyol menurutnya. Tidak masuk akal. “Aku sudah bilang bukan jika aku dan pria tadi tidak ada hubungan apa-apa. Lagi pula saat aku ditanya, aku dijemput siapa, aku jawab jika aku dijemput pacarku. Jadi secara tidak langsung itu sudah menegaskan jika aku berusaha untuk menjauh dari pria lain.” Dira mencoba menjelaskan pada Dima jika dia tidak akan dekat semudah itu dengan para pria.Binar bahagia terlihat dari mata Dima. Ternyata Dira tak s
Dima membulatkan matanya. Dia pikir Dira akan lama memikirkan hal ini. Namun, ternyata begitu cepat dia memutuskan.“Kamu yakin?” tanya Dima memastikan.“Iya.” Dira mengangguk.Entah Dima harus bagaimana mengungkapkan kebahagiaannya. Dia merasa senang karena Dira mau menikah dengannya.“Kalau begitu ayo kita bilang mama dan papa.” Dima langsung menarik tangan Dira. Mengajak Dira untuk menemui orang tuanya.Namun, saat menarik tangan Dira. Gadis itu justru tidak mau berjalan. Masih diam di tempat di mana berpijak.Dima memutar kepalanya. Melihat ke arah Dira. Merasa bingung kenapa Dira tidak mau bergerak.“Kenapa?” tanya Dima.“Kak, bolehkah aku minta beberapa hal?” Dira menatap Dima dengan tatapan penuh harap.Dima melepaskan tangan Dira, kemudian memutar tubuhnya menghadap ke arah gadis cantik di depannya itu.“Apa yang kamu minta?” Dima cukup penasaran dengan apa yang diinginkan Dira.“Aku mau menikah secara sederhana. Hanya keluarga saja. Aku juga tidak mau orang kantor tahu. Karen
Sesuai dengan permintaan Dima, Dira berangkat dengan Arlo. Sepanjang perjalanan Arlo terus memerhatikan Dira. Hal itu membuat Dira merasa canggung.“Kenapa Kak Arlo melihat aku seperti itu?” Dira merasa Arlo sedari tadi melihat ke arahnya.“Kamu tidak sedang hamil ‘kan Dira?” Arlo menoleh sejenak pada Dira.Dira langsung membulatkan matanya ketika mendengar hal itu. Tuduhan Arlo benar-benar di luar nalar.“Kenapa Kak Arlo bertanya seperti itu?” Dira menatap Arlo yang sedang menyetir.“Kamu dan Kak Dima tiba-tiba sekali menikah. Jadi aku pikir pasti ada sesuatu di antara kalian.” Alrlo mengungkapkan apa yang dipikirkannya.“Tentu saja aku tidak hamil. Pernikahan kami tidak bisa dibilang tiba-tiba juga. Sejak surat wasiat itu dibacakan kami harusnya sudah menikah. Tapi, kami menunda lebih dulu.” Dira berusaha menjelaskan.Arlo ingat mamanya cerita tentang surat wasiat itu dua minggu lalu. Memang harusnya kakaknya menikah saat itu. Namun, kakaknya belum mau.“Baguslah kalau kamu tidak ha
Sesuai dengan keinginan oma, akhirnya Dima membawa Dira ke rumah. Dima hanya datang ke kantor untuk menjemput Dira. Menjemput tepat jam tiga sore. Sebelum Dira masuk kuliah, mereka masih punya waktu untuk bertemu dengan oma.“Kita mau ke mana, Kak?” tanya Dira yang begitu penasaran.“Kita mau ke rumah oma.” Dima menjawab sambil fokus pada jalanan.Mendengar ke mana Dima akan membawanya membuat Dira seketika takut. Dia membayangkan jika oma Dima menakutkan. Pasti galak dan menakutkan.“Kak, seperti apa oma?” Dira menatap Dima yang sedang menyetir. Ingin tahu. Paling tidak dia harus tahu lebih dulu.“Oma baik. Dia begitu menyayangi aku.” Dima menjelaskan tanpa menoleh ke arah Dira.Kalimat itu diartikan Dira lain. Artinya jika oma Dima menyayangi Dima, artinya dia orang yang protektif terhadap Dima.Dira hanya bisa berusaha tenang. Berharap jika oma Dima bisa menerima dirinya dengan baik, seperti Mama Ale.Saat mobil berhenti, Dima segera turun, menyusul Dima. Pemandangan pertama yang d
“Oma, tunggulah sebentar dulu. Lagi pula Dira masih kuliah. Jadi kasihan jika hamil.” Dima berusaha untuk membujuk sang oma. “Tapi, aku ingin punya cicit segera. Umur oma sudah tua. Berharap bisa menemani cicit oma.” Oma Mauren hanya bisa merengek. Dima benar-benar bingung. Begitu juga Dira. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Masalah ini terlalu sulit untuk diselesaikan. Jika anak kecil merengek minta permen, mungkin dia bisa melakukannya. Namun, jika minta anak. Tentu saja sulit. Apalagi usianya masih terlalu muda. “Ren, jangan membebani cucu-cucumu seperti itu.” Opa David akhirnya ikut bicara juga. Dima bernapas lega, karena ternyata opanya ikut membantu. “Anak-anak muda itu tidak tahanan, pasti sebentar saja mereka akan membuat cucu. Kamu duduk manis menunggu saja.” Opa David menenangkan sang istri lagi. Sayangnya, kalimat kali ini membuat Dima terperangah. Bagaimana bisa opanya menenangkan dengan cara seperti itu. “Benar juga.” Oma Mauren langsung semringah lagi. Dima semaki
Dima membantu Dira memilih cincin. Beberapa cincin memang cantik. Membuat Dima sendiri bingung. “Kenapa Kak Luel buat cincin bagus-bagus? Kami jadi susah memilih.” Dima melayangkan protesnya. “Kalau susah, belilah semua.” Luel tertawa. Senang menggoda adik sepupunya itu. “Aku belum sekaya itu dengan membeli semua cincin.” Dima baru bekerja setahun ini. Jadi di belum banyak penghasilan. “Cepatlah pilih. Seperti Dira yang cantik dari ribuan wanita, cincin itu pun juga ada yang cantik dari beberapa yang kamu lihat.” Luella mencoba memberi pandangannya. “Baiklah, kita lihat lagi.” Dima pun melihat ke etalase lagi. Melihat apakah ada cincin yang paling cantik di antara yang cantik. Dima terus memandangi satu per satu cincin tersebut. Begitu pun Dira. Dia terus memandangi mana cincin yang cantik. “Ini.” Secara bersamaan Dima dan Dira menunjuk satu cincin yang sama. “Wah ... kalian memang benar-benar cocok. Secara bersamaan bisa memilih cincin yang sama.” Luella mengomentari Dima dan