Dima sudah sampai di rumah. Dia segera masuk ke kamarnya. Membersihkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluar dari kamar. Berniat menunggu makan malam. “Kamu sudah pulang, Dim.” Ale yang keluar dari kamar tampak terkejut melihat anaknya. Dia pikir sang anak belum pulang. “Iya, sudah dari tadi.” Dima menuruni anak tangga. “Mama pikir kamu belum pulang. Karena Dira juga belum pulang.” Ale tidak melihat Dira pulang. Jadi dia pikir Dira pulang bersama Dima. “Dira belum pulang?” Dima begitu terkejut sekali. “Belum?” Ale menggeleng. “Apa jangan-jangan dia tidak tahu jalan?” Ale mencoba menebak. “Mana mungkin dia tidak tahu jalan. Tadi pagi saja dia sampai di kantor dengan selamat.” Dima tidak percaya jika Dira tidak sampai di rumah karena tidak tahu jalan. “Lalu ke mana dia, Dim?” Ale panik ketika Dira tak kunjung pulang. “Aku akan cari dia.” Dima segera kembali ke kamar. Mengambil jaket dan kunci motor. Dengan segera Dima mengambil motornya. “Dim, kabari mama jika bertemu Dir
Dira terus memanggil sampai akhirnya dia lelah. Dia tak bisa berbuat apa-apa karena tidak bisa meminta bantuan siapa pun.Dira benar-benar merasa takut berada di ruangan sendiri seperti sekarang. Ingatannya kembali pada bagaimana papanya mengurungkannya kala itu. Terasa tersiksa sepi sendiri.Sejak kecil hubungan rumah tangga orang tua Dira memang tidak baik. Papa Dira selalu memukul mamanya. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk pergi dari rumah. Sejak saat itu Dira tidak tahu di mana keberadaan papanya. Jika ditanya, tentu saja Dira akan menjawab jika papanya sudah mati.Dira duduk di lantai. Melipat kakinya dan menyembunyikan wajahnya di antara kaki dan dadanya. Dia hanya bisa menangis. Meratapi dirinya yang selalu sendiri.Saat menjaga mamanya, Dira selalu sendiri, dan kini dia sendiri juga. Dira berpikir mungkin memang dia akan sendiri terus.Dira yang kelelahan menangis pun lambat laun memejamkan matanya. Tubuhnya lemas perlahan merebah di lantai. Energinya sudah terpakai habi
“Aku menemukannya di ruang rapat, Pa. Sepertinya dia terkunci di sana.” Dima menjelaskan pada papanya.Alca merasa heran bagaimana bisa orang terkunci di dalam ruang rapat.“Kamu yakin dia terkunci, tidak ada yang sengaja mengunci?” Alca menatap anaknya.“Aku akan cari tahu besok, Pa.” Dima juga yakin jika Dira dikunci, bukan terkunci. Pasti ada orang yang sengaja mengunci Dira.Dima kembali ke dalam kamar setelah mamanya mengganti baju. Dira masih memejamkan matanya. Tak bangun sama sekali.Arlo yang datang pun segera memberikan obat pada Dima. Dengan cepat, Dima meminumkan obat tersebut.Dira yang begitu kelelahan, mengikuti saja. Dia tidak sadar sama sekali ketika Dima memintanya minum obat.“Aku akan menjaganya, mama dan papa bisa tidur.” Dima menatap kedua orang tuanya.Alca menatap sang istri. Meminta sang istri untuk menuruti apa yang dikatakan sang anaknya.“Baiklah, kami akan tidur. Kamu jagalah Dira.” Alca menepuk bahu Dima.Mendapatkan kode sang suami Ale pun mengerti. “Jag
Seketika pipi Dira menghangat. Dia salah tingkah ketika mendengar ucapan Dima. Sudah dipastikan jika kini pipinya pasti sudah memerah bak tomat busuk.Dima pun juga akhirnya menyadari ucapannya. Dia sedikit menyesali apa yang baru saja diucapkan. Namun, dia tidak bisa menarik ucapannya.“Jika kamu sudah bisa bangun, bersihkan tubuhmu, aku akan ambilkan makan.” Dima mengalihkan pembicaraan. Tak mau sampai membuat Dira tidak nyaman.“Iya, aku akan segera mandi.” Dira yang salah tingkah berusaha untuk tenang.“Baiklah.” Dima segera keluar dari kamar Dira. Memberikan ruang pada Dira.Saat Dima keluar, Dira menjadi jauh lebih tenang. Karena tidak salah tingkah di depan Dima.Dira segera menyibak selimutnya. Bersiap untuk mandi. Saat melihat ke arah bajunya, Dira mulai berpikir. Siapa gerangan yang mengganti bajunya.“Apa Kak Dima yang mengganti?” Dira melemparkan pertanyaan itu pada dirinya sendiri. “Tidak mungkin.” Dira menggeleng. “Pasti Tante Ale.” Dia menebak hal itu. Jika berada di ru
Siapa yang Anda tugaskan untuk membersihkan ruang rapat?” Dima menatap tajam pada kepala cleaning servis.“Saya menyuruh dua cleaning servis, Pak. Tapi, bukan Dira yang saya suruh.”“Kalau begitu panggil dua orang itu!” Dima masih tidak terima jika ada yang menyuruh Dira tanpa sepengetahuan atasannya.“Baik, Pak.”Kepala cleaning servis segera keluar dari ruangan Dima. Kemudian memanggil dua orang yang disuruhnya membersihkan ruang rapat.“Wina, Ina, kalian ikut saya ke ruang Pak Dima.”Wina dan Ina saling pandang. Mereka tidak menyangka jika hal ini sampai ke CEO mereka. Entah apa hubungan Dira sebenarnya dengan CEO Janitra, sampai-sampai CEO-nya sendiri yang turun tangan.Mereka berdua langsung ke ruangan CEO. Mereka menemui Dima di sana.Dima yang melihat dua wanita itu memerhatikan dua wanita itu. Satu wanita dia kenal, karena wanita itu pernah berdebat dengan Dira. Namun, yang satunya Dima tidak kenal.“Siapa di antara kalian yang menyuruh Dira membersihkan ruang rapat?” Dima lan
Bab 230 S2 Dima dan Dira berada di rumah berdua. Kebetulan Ale mengajak serta asisten rumah tangga karena ada beberapa barang yang ingin dibeli. Jadi dia butuh bantuan. Setelah makan siang, Dima masuk ke kamar untuk mengganti baju. Begitu juga Dira, dia masuk ke kamar juga untuk mengambil cat rambutnya. Karena tidak ada yang bisa dia kerjakan, dia memilih untuk mewarnai rambutnya. Dira mengambil air lebih dulu ke dapur untuk membuat cairan cat rambut. “Kamu mau apa?” Dima yang melihat Dira langsung bertanya. Dira menoleh ke arah belakang. Di mana Dima berada. “Mau cat rambut.” Dima hanya menangguk-anggukkan kepalanya. Setelah menyiapkan cairan cat rambut, Dira segera membawanya ke taman belakang. Dia sudah membawa kaca di taman belakang. Dima yang penasaran pun ikut ke taman belakang. Melihat apa yang dilakukan Dima. Dira melapisi tubuhnya dengan kain agar tidak mengenai bajunya tak lupa dia memakai sarung tangan agar tangannya tidak terkena cat rambut. Di depan cermin, Dira
“Kenapa tidak ke salon saja?” Dima melempar pertanyaan sambil mengolesi cairan cat rambut.“Aku saja masih berhutang uang untuk cat rambut ini, bagaimana bisa aku mengecat rambutku di salon. Yang ada aku akan berhutang lebih banyak.”Dima ingat jika kemarin dia mencatat uang membeli cat rambut sebagai hutang. Jadi dia membenarkan ucapan Dira jika pasti akan berhutang banyak jika ke salon. Karena Dima tidak akan meminta cuma-cuma.Dima terus mengolesi rambut Dira dengan cat rambut. Hingga akhirnya seluruh rambut belakang Dira terwarna dengan sempurna.“Sudah selesai.”Dira langsung melihat dengan kaca. Memastikan jika rambutnya hitam sempurna.“Akhirnya rambutku berwarna hitam.” Dira merasa senang ketika rambutnya akhirnya berwarna hitam. Karena dengan begitu dia bisa bekerja dengan tenang.“Siapa yang memiliki rambut pirang, papamu apa mamamu?” Dima kembali duduk.“Papaku.” Dira menjelaskan, tetapi dengan wajah malas.Raut wajah malas itu tertangkap jelas oleh Dima. “Sepertinya kamu t
“Apa kamu tahu?” Ale menghampiri sang suami yang baru saja keluar dari kamar mandi.“Tidak tahu.” Alca menggeleng.“Kamu.” Ale memukul lengan sang suami. Merasa kesal pada suaminya itu.Alca hanya tertawa saja. Dia senang sekali menggoda istrinya.“Cepat katakan.”“Tadi aku tinggal Dima dengan Dira, dan kamu tahu saat aku pulang mereka sibuk berdua. Entah apa yang sedang mereka kerjakan.” Ale mengatakan itu pada suaminya. “Sepertinya mereka mulai dekat.” Ale begitu bersemangat bercerita.“Bagus jika mereka dekat. Bisa jadi jika mereka menikah, mereka sudah saling cinta.” Alca merasa bisa jadi kisah cinta Dima dan Dira akan berbeda dengannya dan Ale.“Iya semoga saja mereka saling suka. Jadi mereka menikah karena cinta.” Ale membenarkan ucapan suaminya.Seusai mengobrol, Ale dan Alca segera keluar dari kamar. Ale bersiap untuk menyiapkan makan malam dan Alca menonton televisi.Dira turun ke lantai bawah segera membantu Ale merapikan makanan di atas meja.“Kamu tadi melihat apa di lapto