Dima baru saja selesai mandi. Kemudian segera keluar dari kamar. Menuruni anak tangga, menuju ke ruang kerja sang papa.Saat masuk tampak papanya duduk di sana. Sudah menunggu di sofa ruang kerjanya.“Duduk, Dim,” pinta Alca.“Iya, Pa.” Dima mengangguk. Segera dia duduk di sofa berhadapan dengan sang papa. “Ada apa papa memanggil aku ke sini?” tanya Dima penasaran.“Aku hanya ingin mengobrol denganmu.” Alca tersenyum. “Sudah lama sekali papa tidak mengobrol denganmu.Dima tersenyum. “Mungkin karena aku mulai sibuk dengan pekerjaan. Jadi kita jarang mengobrol, Pa.” Dima merasa pekerjaannya membuat dia tidak bisa punya waktu banyak.“Aku ingat sekali sejak kita saling jujur, akhirnya kita semakin akur.” Alca mengingat hal itu.Kala itu Dima terkejut ketika melihat nama papanya di akta kelahirannya saat mendaftar sekolah dasar. Saat nama papanya berbeda dengan milik Arlo. Hal itu membuat Dima marah. Hingga akhirnya Alca menjelaskan pelan-pelan. Jika dia memang bukan anaknya. Melainkan an
langkah terkejutnya Dima ketika membaca surat tersebut. Ternyata mama Dira meminta papanya menikahkan anaknya dengan Dira.“Tapi, papa kemarin bilang Dira jika mamanya meminta menjaganya saja.” Dima ingat sekali ucapan papanya.“Papa mengatakan itu karena belum memutuskan apa-apa.” Alca memberikan alasannya.Dima semakin penasaran dengan keputusan papanya. “Lalu keputusan papa apa? Apa papa akan menikahkan salah satu dari aku dan Arlo?” Dima mencecar sang papa dengan pertanyaan ganda.“Iya, papa akan menikahkah salah satu dari kalian.” Alca membenarkan ucapan papanya.“Lalu, siapa yang papa akan nikahkan?” Dima semakin penasaran.Untuk sejenak Alca terdiam. Diamnya Alca itu membuat Dima memikirkan sesuatu. Dia menebak tujuan papanya yang menceritakan masa lalu sampai pada surat wasiat yang dibuat mama Dira.“Apa itu aku?” tanya Dima memastikan.“Iya, papa sudah memilih kamu.” Alca mengangguk.Dima membulatkan matanya. Tak menyangka jika papanya memilih untuk menikahi Dira. Tentu saja
Dima menemui Alia, kekasihnya yang merupakan model. Mereka berpacaran sejak kuliah. Dua tahun mereka berpacaran. Sengaja Dima menyembunyikan hubungannya agar tidak segera dipaksa menikah. Apalagi Alia masih harus mengejar karier modelnya“Hai, Sayang.” Alia langsung menautkan pipi ketika kekasihnya itu datang.“Hai.” Dima memang dingin. Tak banyak bicara. Namun, dia benar-benar mencintai Alia. Dia menautkan pipinya pada sang pujaan hati.Mereka duduk di kursi. Saling berhadapan. Di meja makan sudah tersedia makanan. Tadi Alia sudah bertanya Dima sampai di mana, karena dia sudah memperkirakan waktu untuk memesan makanan, dan benar saja makanan datang lima menit sebelum Dima datang.“Aku sudah memesan makanan untukmu.” Alia tersenyum.“Terima kasih. Ayo kita makan.” Dima ikut tersenyum.Mereka berdua menikmati makan bersama. Keduanya memanfaatkan waktu yang ada untuk bersama.“Aku ingin kamu datang ke rumahku.” Di tengah-tengah makan, Dima mengatakan apa yang diinginkannya.Alia seketik
Dima bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Disusul oleh Dira di belakangnya.“Kak Dima tidak bekerja hari ini?” Arlo yang sudah duduk manis di ruang makan menatap sang kakak. Kakaknya memakai pakaian biasa.“Iya, aku ada urusan.” Dima menjawab singkat. Nanti antarkan Dira kerja sekalian kamu ke kampus.” Dia menitipkan Dira pada adiknya.“Baiklah, nanti aku akan antar Dira.” Arlo mengangguk. Dia kemudian beralih pada Dira. “Nanti kamu pergi ke kantor bersamamu.” Dia tersenyum manis pada Dira.“Iya, Kak.” Dira mengangguk.Mama Ale menatap Dima. Dia tahu jika sang anak ingin menunggu kekasihnya.Semalam ....“Sebenarnya ada urusan apa Dima?” tanya Ale yang begitu penasaran.“Dia bilang jika punya pacar. Jadi dia berencana membawa pacarnya ke sini.” Alca menjelaskan apa yang dikatakan anaknya tadi.Ale cukup terkejut. Tidak tahu ternyata anaknya memiliki kekasih. Padahal dia pikir sang anak tidak punya pacar. Karena beberapa hari lalu saat ditanya jawabnya tidak punya.“Apa dia hany
Dima sampai di bandara. Segera mencari keberadaan Alia. Ternyata Alia masih berada di ruang tunggu. Gadis cantik dan tinggi semampai itu sedang duduk manis dengan beberapa temannya.“Alia.” Dima memanggil kekasihnya itu.Alia cukup terkejut ketika ternyata Dima menyusulnya. Padahal dia tadi mengatakan sedang ke bandara agar Dima tidak menunggunya. Namun, justru Dima menyusulnya.“Dima.” Alia segera menghampiri Dima. “Kenapa kamu ke sini?” tanya Alia polos.“Aku yang harusnya tanya kamu. Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu akan pergi siang nanti?” Dima sudah tahu jadwal Alia. Jadi merasa aneh ketika Alia mengganti kepergiannya.“Aku memajukan keberangkatanku.” Alia mencoba menjelaskan.“Apa kamu sengaja menghindar untuk tidak ke rumahku?” Dima menatap gadis yang dipacarinya itu sejak lama.Alia terdiam. Dia tidak berani menjawab.“Jawab Alia!” Dima yang biasanya diam tak banyak bicara. Kini meninggikan suaranya.Alia cukup terkejut dengan sikap Dima. Baru kali ini Dima bersikap seperti
Siapa dia?” tanya Wina, salah satu cleaning servis pada Ina.“Dia cleaning servis baru.”Kemarin Wina libur. Jadi tidak tahu jika ada cleaning servis baru.“Bule kesasar jadi cleaning servis.” Wina tertawa ketika mengetahui jika ada orang asing yang menjadi cleaning servis. Ina tidak menanggapi ucapan Wina. Wina memang selalu saja begitu jika ada anak baru. Apalagi anak baru yang sekarang wajah cantik blasteran. Jadi tentu saja mengusiknya.“Hai, Ina.” Dira menyapa Ina.“Hai, Dira.” Ina tersenyum. Dia segera mengalihkan pandangan pada Wina. “Dira, kenalkan ini Wina.” Dia memperkenalkan temanya itu.“Hai, aku Dira.” Dira memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.“Wajah bule, nama tetap lokal,” ledek Wina. “ Wina.” Dia memperkenalkan diri seraya menerima uluran tangan Dira.Dira tersenyum. Tak terlalu menanggapi.“Ayo, Dira.” Ina mengajak Dira melanjutkan pekerjaannya.Dira mengikuti Ina untuk melanjutkan pekerjanya. Mereka akan membersihkan toilet di lobi. Karena tadi banyak pela
“Iya, kamu pikir siapa!” Dima menatap malas pada Dira. Dira menekuk bibirnya, sedikit kesal. Bagaimana dia tahu jika itu adalah Dima. Karena pria di depannya itu memakai helm. Terlebih lagi suara yang tertahan helm, membuatnya tidak dapat mendengar suara asli Dima. Dima segera berbalik. Naik lagi ke motornya. Dira pun segera mengekor di belakang Dima. “Ini.” Dima memberikan helm pada Dira. Dira segera memakai helm tersebut. Kemudian naik ke atas motor. Sayangnya, karena motor begitu tinggi, Dira nyaris jatuh. Untung saja Dima sigap memegangi tubuh Dira. “Apa kamu tidak bisa hati-hati?” Dima melemparkan pertanyaan bernada sindiran. “Aku sudah hati-hati. Motornya saja yang terlalu tinggi.” Dira menyalahkan motor Dima. Dima menyatukan giginya untuk menahan kekesalannya itu. “Sudah pegang pundakku.” Dia menepuk pundaknya. Dira segera memegangi pundak Dima. Kemudian naik ke atas motor. Akhirnya setelah bersusah payah, dia bisa naik motor juga. Dima melihat Dira dari pantulan kaca s
Dira dan Dima duduk bersebelahan. Berharapan dengan Ale dan Alca. Dira benar-benar tidak tahu apa yang akan dibicarakan. “Dira, sebenarnya yang ditulis mamamu bukan sekadar menitipkanmu pada kami saja. Tapi, ada hal lain.” Alca memulai pembicaraan dengan Dira. Dira cukup terkejut ketika mendengar hal itu. Dia pikir jika mamanya hanya sekadar menitipkan. “Lalu apa yang mama inginkan?” tanya Dira penasaran. “Ini.” Alca memberikan amplop yang diberikan surat yang diberikan Dira waktu itu. Dira segera membuka surat yang diberikan Alca padanya. Membaca apa yang terdapat di dalam surat wasiat yang ditulis mamanya sebelum meninggal. Alangkah terkejutnya Dira, ternyata mamanya meminta Alca untuk menikahkan dirinya dengan anak Alca. Sebagai luka di masa lalu. “Kenapa mama harus minta hal seperti ini?” tanya Dira. Dia tidak habis pikir. Kenapa bisa mamanya meminta hal konyol seperti ini. “Sebenarnya, aku dan mamamu adalah sepasang kekasih sebelum aku menikah. Saat itu aku harus menik
Pembawa acara memanggil Alcander Janitra dan Alegra Cecilia pemilik Janitra Grup untuk memberikan sambutan pada para tamu undangan. Mereka memperkenalkan penerus dari Janitra Grup tersebut. Ada Dima Janitra berserta istri dan anaknya. Ada Arlo Alcander Janitra bersama sang istri.Semua orang akhirnya tahu jika Almeta adalah istri dari Arlo. Apalagi nama Almeta disebut dengan jelas oleh pembawa acara.Rafael yang melihat hal itu akhirnya pasrah. Dia sepertinya memang sudah harus merelakan Almeta untuk selamanya karena Almeta benar-benar sudah menjadi istri Arlo seutuhnya.Pesta begitu mewah sekali. Dihadiri oleh para tamu undangan yang didominasi oleh pengusaha-pengusaha kelas atas.“Mama senang melihat kalian sekarang sudah dekat.” Mama Ale tersenyum ketika melihat Almeta dan Arlo. Apalagi sejak tadi mereka berdua saling bergandengan tangan.“Doakan kami bisa seperti mama dan papa.” Arlo berharap jika pernikahan dengan Almeta akan berlangsung lama sampai kakek dan nenek seperti orang
Rafael begitu terkejut ketika mendengar suara Arlo yang tiba-tiba terdengar.“Pak Arlo.” Rafael menyapa Arlo.Arlo hanya menatap sejenak pada Arlo, sebelum akhirnya kembali pada mama Rafael. “Anda bilang siapa yang mau dengan Meta?” tanya Arlo menatap mama Rafael. “Itu saya. Saya yang menerima Almeta untuk dijadikan istri.” Arlo menegaskan pada mama Rafael.“Ma, sudah.” Rafael menegur sang mama.“Oh ... jadi ini orang yang menerima wanita ini.” Mama Rafael tidak mendengarkan anaknya sama sekali. Masih terus menghina Almeta dan Arlo.“Iya, kenalkan saya Arlo Alcander Janitra, manajer Janitra Grup sekaligus putra pemilik Janitra Grup.” Arlo mengulurkan tangannya pada mama Rafael. Mama Rafael begitu terkejut mendengar ucapan Arlo. Dia langsung melihat ke arah Rafael.“Dia atasanmu?” tanya sang mama.“Iya, Ma. Dia atasanku.” Rafael membenarkan ucapan sang mama.Mama Rafael terkejut ketika ternyata Arlo adalah atasan Rafael. Dia juga tidak menyangka jika Almeta menikah dengan atasan
Arlo membulatkan matanya ketika mendengar pertanyaan Almeta itu. Tidak menyangka Almeta bertanya seperti itu. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” tanya Arlo.“Kak Arlo suka aku yang berambut keriting seperti Kak Zila. Kak Arlo juga meminta aku memakai semua pakaian Kak Zila.” Almeta menjelaskan apa yang membuatnya berpikir seperti itu.Arlo akhirnya tahu apa yang membuat Almeta berpikir seperti itu.“Aku memintamu mengeriting rambut karena merasa kamu cantik saat dengan rambut bergelombang. Rambutmu lebih bervolume. Aku memintamu memakai baju Zila karena merasa sayang baju itu ada di lemari. Apalagi badanmu setipe dengan Zila. Jadi tidak ada salahnya ketika kamu memakai itu. Tidak bermaksud membuatmu menjadi Zila. Aku menyukaimu karena memang kamu bukan karena kamu mirip Zila.” Arlo mencoba menjelaskan pada Almeta. Perasaannya ada bukan karena Almeta yang mirip Zila, tetapi lebih karena memang dia adalah Almeta.Almeta menatap Arlo. Mencari kebohongan dari sorot matanya.“Jika kamu
“Kak Arlo bilang jika istri Kak Arlo yang sekarang memakaikan dasi?” Almeta langsung melemparkan pertanyaan itu saat masuk ke mobil.“Iya.” Dengan entengnya Arlo menjawab.“Kenapa Kak Arlo mengatakan hal itu?” Almeta masih tidak habis pikir. Kenapa suaminya mengatakan seperti itu.“Bukankah kamu sendiri yang bilang. Biarkan mereka tahu pelan-pelan. Aku sedang memberitahu pelan-pelan.” Arlo menyeringai. Dia memang sengaja mengatakan hal itu pada Rina-sang sekretaris karena tahu berita itu akan menyebar dengan cepat. Terbukti Almeta saja sudah dengar.Almeta hanya bisa pasrah ketika mengetahui alasan Arlo itu. Memang benar adanya jika orang perlahan harus tahu.Melihat Almeta yang sudah tidak melayangkan protes, Arlo segera melajukan mobilnya untuk segera pulang.Almeta menikmati perjalanan bersama sang suami. Namun, tiba-tiba saja Almeta teringat sesuatu.“Tadi Kak Rina bilang, Kak Arlo pesan bunga untuk istri, bunga apa?” tanya Almeta penasaran.“Lihat saja di rumah.” Arlo tidak mau m
Saat tautan bibir terlepas keduanya saling malu. Ini adalah kali pertama mereka berciuman sebagai suami dan istri.“Berapa bulan kita menikah?” tanya Arlo menatap sang istri.“Enam bulan.”“Dalam enam bulan baru ini aku menciummu.” Arlo tersenyum ketika menyadari berapa lama bertahan tanpa saling menyentuh.“Tapi, aku merasa seperti mengkhianati Kak Zila.” Almeta menundukkan kepalanya. Merasa bersalah sekali ketika baru saja melakukan ciuman.“Zila justru senang jika kita mulai membuka hati.” Arlo meyakinkan Almeta.Almeta membenarkan ucapan Arlo. Memang bisa jadi kakaknya justru senang ketika melihat dirinya dan Arlo bisa membuka hati.“Bersiaplah, kita makan malam di luar.” Arlo membelai lembut wajah Almeta.“Baiklah.” Almeta mengangguk. Dia segera berlalu keluar dari kamar Arlo. Menuju ke kamarnya.Almeta yang menutup pintu merasakan debaran yang begitu kencang di dadanya. Bayangan baru saja berciuman dengan Arlo pun menghiasi pikirannya.“Aku benar-benar jatuh cinta pada Kak Arlo
“Dasi Kak Arlo mana?” Almeta menadahkan tangannya.“Untuk apa?” tanya Arlo.“Sudah cepat mana?” Almeta terus memaksa.Arlo pun segera merogoh kantung celananya. Kemudian mengeluarkan dasi di dalam kantung celananya.Dengan segera Almeta langsung mengambil dasi yang berada di tangan Arlo. Kemudian melingkarkan ke leher Arlo.Apa yang dilakukan Almeta itu membuat Arlo terkejut.“Aku baru tahu jika Kak Arlo minta Kak Rina membuat simpul dasi. Kenapa tidak meminta padaku saja? Aku pikir selama ini Kak Arlo bisa melakukannya.” Almeta menegakkan kerah kemeja Arlo. Kemudian membuat simpul pada dasi itu.Arlo memandangi Almeta yang sedang sibuk membuat simpul. Karena dia lebih tinggi dibanding Almeta. Jadi dia tinggal menundukkan kepala saja ketika melihat Almeta. Entah debaran apa yang tiba-tiba dirasakannya itu. Dia bingung sendiri.“Aku memang tidak bisa memakai sendiri. Waktu sekolah mama yang memakaikan. Saat kuliah ada Zila. Sampai menikah pun Zila yang melakukannya.” Arlo berusaha tena
“Kalian mau ke mana?” tanya salah seorang karyawan senior.“Mau makan di kantin, Kak.” Almeta yang menjawab pertanyaan tersebut.“Kalian urungkan saja. Karena Pak Arlo mengajak kita semua untuk makan bersama. Jadi kalian ikut saja bersama untuk makan di restoran.” Karyawan senior itu memberitahu dengan penuh semangat.“Wah ... lumayan, aku bisa berhemat.” Dani begitu semangat mendengar hal itu.Almeta dan Rafael saling pandang sejenak. Sampai akhirnya Almeta membuang muka.“Kalau begitu ayo.” Karyawan senior itu menarik tangan Almeta.“Ayo, Rafael.” Dani pun menarik tangan Rafael.Almeta dan Rafael tidak punya pilihan. Mereka pun ikut bersama yang lain.Almeta dan teman-temannya pergi ke restoran di dekat kantor. Selang beberapa saat barulah Arlo datang.“Terima kasih, Pak Arlo untuk traktirannya.” Salah satu karyawan menatap Arlo.“Kalian belum makan. Kenapa berterima kasih?” Arlo tersenyum. “Sudah ayo duduk dan pesanlah apa yang kalian inginkan.” Arlo menatap para karyawannya. Terma
Keduanya dalam keadaan canggung sekali. Apalagi baru saja Arlo memeluk Fazila.“Maafkan aku.” Arlo benar merasa tidak enak.“Tidak apa-apa, Kak. Aku yang harusnya minta maaf karena memakai baju Kak Zila, jadi membuat Kak Arlo mengira aku Kak Zila.” Almeta sadar alasan apa yang membuat Arlo memeluknya.Arlo merasa lega karena Almeta tahu alasannya memeluk. “Jadi baju ini yang kamu pinjam?” Arlo langsung mengalihkan pembicaraan.“Iya, aku tidak punya baju kerja, jadi aku meminjam baju Kak Zila. Nanti jika aku gajian, aku akan membeli.” Almeta mencoba memberitahu.“Tidak perlu beli. Pakai saja baju kakakmu. Lagi pula juga sayang jika baju dibiarkan di lemari begitu saja.” Arlo merasa jika lebih baik baju Fazila dipakai Almeta, dibanding Almeta harus membeli.Almeta tidak menyangka jika Arlo akan justru mengizinkannya untuk memakai semua pakaian kakaknya.“Baiklah, nanti aku akan ambil pakaian seperlunya saja.” Almeta tidak mau aji mumpung. Karena itu di akan memakai pakaian seperlunya sa
“Dengan saudara Almeta Annora?” Seseorang dari sambungan telepon terdengar bertanya.“Iya, saya sendiri. Ini dari siapa?” Almeta penasaran dengan yang siap yang berada di sambungan tersebut.“Saya, bagian HRD dari Janitra Grup, ingin memberitahu jika Anda sudah diterima bekerja di Janitra Grup.”Mendengar kabar itu Almeta langsung berbinar. Dia benar-benar senang sekali akhirnya dapat kabar jika diterima bekerja.“Silakan datang besok untuk tanda tangan kontrak.”“Baik, saya akan datang.” Almeta benar-benar terkejut sekali. Akhirnya dapat diterima di Janitra. Dia benar-benar begitu senang sekali.Akhirnya sambungan telepon mati juga. Dia langsung bersorak senang ketika akhirnya di terima di Janitra Grup.Seharian Almeta mempersiapkan diri untuk besok datang ke Janitra. Dia memilih-milih baju kerja untuk dipakai besok. Almeta baru menyadari jika dia tidak punya banyak baju ker