Dima menemui Alia, kekasihnya yang merupakan model. Mereka berpacaran sejak kuliah. Dua tahun mereka berpacaran. Sengaja Dima menyembunyikan hubungannya agar tidak segera dipaksa menikah. Apalagi Alia masih harus mengejar karier modelnya“Hai, Sayang.” Alia langsung menautkan pipi ketika kekasihnya itu datang.“Hai.” Dima memang dingin. Tak banyak bicara. Namun, dia benar-benar mencintai Alia. Dia menautkan pipinya pada sang pujaan hati.Mereka duduk di kursi. Saling berhadapan. Di meja makan sudah tersedia makanan. Tadi Alia sudah bertanya Dima sampai di mana, karena dia sudah memperkirakan waktu untuk memesan makanan, dan benar saja makanan datang lima menit sebelum Dima datang.“Aku sudah memesan makanan untukmu.” Alia tersenyum.“Terima kasih. Ayo kita makan.” Dima ikut tersenyum.Mereka berdua menikmati makan bersama. Keduanya memanfaatkan waktu yang ada untuk bersama.“Aku ingin kamu datang ke rumahku.” Di tengah-tengah makan, Dima mengatakan apa yang diinginkannya.Alia seketik
Dima bergabung dengan keluarganya untuk sarapan. Disusul oleh Dira di belakangnya.“Kak Dima tidak bekerja hari ini?” Arlo yang sudah duduk manis di ruang makan menatap sang kakak. Kakaknya memakai pakaian biasa.“Iya, aku ada urusan.” Dima menjawab singkat. Nanti antarkan Dira kerja sekalian kamu ke kampus.” Dia menitipkan Dira pada adiknya.“Baiklah, nanti aku akan antar Dira.” Arlo mengangguk. Dia kemudian beralih pada Dira. “Nanti kamu pergi ke kantor bersamamu.” Dia tersenyum manis pada Dira.“Iya, Kak.” Dira mengangguk.Mama Ale menatap Dima. Dia tahu jika sang anak ingin menunggu kekasihnya.Semalam ....“Sebenarnya ada urusan apa Dima?” tanya Ale yang begitu penasaran.“Dia bilang jika punya pacar. Jadi dia berencana membawa pacarnya ke sini.” Alca menjelaskan apa yang dikatakan anaknya tadi.Ale cukup terkejut. Tidak tahu ternyata anaknya memiliki kekasih. Padahal dia pikir sang anak tidak punya pacar. Karena beberapa hari lalu saat ditanya jawabnya tidak punya.“Apa dia hany
Dima sampai di bandara. Segera mencari keberadaan Alia. Ternyata Alia masih berada di ruang tunggu. Gadis cantik dan tinggi semampai itu sedang duduk manis dengan beberapa temannya.“Alia.” Dima memanggil kekasihnya itu.Alia cukup terkejut ketika ternyata Dima menyusulnya. Padahal dia tadi mengatakan sedang ke bandara agar Dima tidak menunggunya. Namun, justru Dima menyusulnya.“Dima.” Alia segera menghampiri Dima. “Kenapa kamu ke sini?” tanya Alia polos.“Aku yang harusnya tanya kamu. Kenapa kamu di sini? Bukankah kamu akan pergi siang nanti?” Dima sudah tahu jadwal Alia. Jadi merasa aneh ketika Alia mengganti kepergiannya.“Aku memajukan keberangkatanku.” Alia mencoba menjelaskan.“Apa kamu sengaja menghindar untuk tidak ke rumahku?” Dima menatap gadis yang dipacarinya itu sejak lama.Alia terdiam. Dia tidak berani menjawab.“Jawab Alia!” Dima yang biasanya diam tak banyak bicara. Kini meninggikan suaranya.Alia cukup terkejut dengan sikap Dima. Baru kali ini Dima bersikap seperti
Siapa dia?” tanya Wina, salah satu cleaning servis pada Ina.“Dia cleaning servis baru.”Kemarin Wina libur. Jadi tidak tahu jika ada cleaning servis baru.“Bule kesasar jadi cleaning servis.” Wina tertawa ketika mengetahui jika ada orang asing yang menjadi cleaning servis. Ina tidak menanggapi ucapan Wina. Wina memang selalu saja begitu jika ada anak baru. Apalagi anak baru yang sekarang wajah cantik blasteran. Jadi tentu saja mengusiknya.“Hai, Ina.” Dira menyapa Ina.“Hai, Dira.” Ina tersenyum. Dia segera mengalihkan pandangan pada Wina. “Dira, kenalkan ini Wina.” Dia memperkenalkan temanya itu.“Hai, aku Dira.” Dira memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.“Wajah bule, nama tetap lokal,” ledek Wina. “ Wina.” Dia memperkenalkan diri seraya menerima uluran tangan Dira.Dira tersenyum. Tak terlalu menanggapi.“Ayo, Dira.” Ina mengajak Dira melanjutkan pekerjaannya.Dira mengikuti Ina untuk melanjutkan pekerjanya. Mereka akan membersihkan toilet di lobi. Karena tadi banyak pela
“Iya, kamu pikir siapa!” Dima menatap malas pada Dira. Dira menekuk bibirnya, sedikit kesal. Bagaimana dia tahu jika itu adalah Dima. Karena pria di depannya itu memakai helm. Terlebih lagi suara yang tertahan helm, membuatnya tidak dapat mendengar suara asli Dima. Dima segera berbalik. Naik lagi ke motornya. Dira pun segera mengekor di belakang Dima. “Ini.” Dima memberikan helm pada Dira. Dira segera memakai helm tersebut. Kemudian naik ke atas motor. Sayangnya, karena motor begitu tinggi, Dira nyaris jatuh. Untung saja Dima sigap memegangi tubuh Dira. “Apa kamu tidak bisa hati-hati?” Dima melemparkan pertanyaan bernada sindiran. “Aku sudah hati-hati. Motornya saja yang terlalu tinggi.” Dira menyalahkan motor Dima. Dima menyatukan giginya untuk menahan kekesalannya itu. “Sudah pegang pundakku.” Dia menepuk pundaknya. Dira segera memegangi pundak Dima. Kemudian naik ke atas motor. Akhirnya setelah bersusah payah, dia bisa naik motor juga. Dima melihat Dira dari pantulan kaca s
Dira dan Dima duduk bersebelahan. Berharapan dengan Ale dan Alca. Dira benar-benar tidak tahu apa yang akan dibicarakan. “Dira, sebenarnya yang ditulis mamamu bukan sekadar menitipkanmu pada kami saja. Tapi, ada hal lain.” Alca memulai pembicaraan dengan Dira. Dira cukup terkejut ketika mendengar hal itu. Dia pikir jika mamanya hanya sekadar menitipkan. “Lalu apa yang mama inginkan?” tanya Dira penasaran. “Ini.” Alca memberikan amplop yang diberikan surat yang diberikan Dira waktu itu. Dira segera membuka surat yang diberikan Alca padanya. Membaca apa yang terdapat di dalam surat wasiat yang ditulis mamanya sebelum meninggal. Alangkah terkejutnya Dira, ternyata mamanya meminta Alca untuk menikahkan dirinya dengan anak Alca. Sebagai luka di masa lalu. “Kenapa mama harus minta hal seperti ini?” tanya Dira. Dia tidak habis pikir. Kenapa bisa mamanya meminta hal konyol seperti ini. “Sebenarnya, aku dan mamamu adalah sepasang kekasih sebelum aku menikah. Saat itu aku harus menik
“Aku sudah bilang bukan jika rambutmu harus dicat hitam. Apa kamu tidak mendengarkan perintahku?” Dira hanya bisa diam ketika mendengar cacian dari kepala HRD. Sejak kemarin dia memang diminta untuk mewarnai rambutnya. Namun, karena semalam menangis, dia lupa melakukannya. “Maaf, Bu. Saya janji besok sudah saya cat.” Dira menjawab sambil menundukkan kepalanya. Merasa takut dengan kepala HRD tersebut. “Baiklah, jika besok rambutmu itu tidak dicat hitam, aku benar-benar akan memecatmu. Tidak peduli siapa yang berada di belakangmu.” “Baik, Bu.” Dira menangguk. Kepala HDR segera pergi meninggalkan toilet di lobi. Tinggal Dira saja yang ada di sana. Dira merasa lega karena masih dikasih kesempatan lagi. Entah apa yang harus dilakukannya jika tidak diberikan kesempatan. Ternyata pembicaraan kepala HRD tadi didengar oleh Dima. Dia yang tadi melihat Dira ke toilet lobi segera mengejarnya. Namun, justru mendengarkan omelan dari kepala HRD. Dima merasa kasihan juga. Pasti semalam Dira tida
Dima sudah sampai di rumah. Dia segera masuk ke kamarnya. Membersihkan tubuhnya. Beberapa saat kemudian dia keluar dari kamar. Berniat menunggu makan malam. “Kamu sudah pulang, Dim.” Ale yang keluar dari kamar tampak terkejut melihat anaknya. Dia pikir sang anak belum pulang. “Iya, sudah dari tadi.” Dima menuruni anak tangga. “Mama pikir kamu belum pulang. Karena Dira juga belum pulang.” Ale tidak melihat Dira pulang. Jadi dia pikir Dira pulang bersama Dima. “Dira belum pulang?” Dima begitu terkejut sekali. “Belum?” Ale menggeleng. “Apa jangan-jangan dia tidak tahu jalan?” Ale mencoba menebak. “Mana mungkin dia tidak tahu jalan. Tadi pagi saja dia sampai di kantor dengan selamat.” Dima tidak percaya jika Dira tidak sampai di rumah karena tidak tahu jalan. “Lalu ke mana dia, Dim?” Ale panik ketika Dira tak kunjung pulang. “Aku akan cari dia.” Dima segera kembali ke kamar. Mengambil jaket dan kunci motor. Dengan segera Dima mengambil motornya. “Dim, kabari mama jika bertemu Dir