Kian tiba di rumah sakit lebih cepat dari ia bayangkan. Ia tidak bermaksud untuk terburu-buru datang ke sana, tapi nyatanya ia pun tak sabar untuk menghadapi semua ini.Ia mengetuk pintu tiga kali, lalu memutar gagang pintu, dan masuk. Di sana ada Marisa dan Adinda yang sudah menunggu kehadirannya. Matanya tertuju pada Adinda. Seketika ia paham mengapa Marisa dan ayahnya sudah tahu tentang hal itu.Semua itu karena ada Adinda di sini. Adiknya itu pasti yang telah memberitahu Marisa dan ayahnya. Adinda balas menatap Kian dengan pandangan sinis penuh kebencian.Kian mengatur napasnya dan mengembuskannya melalui mulut supaya ia sedikit lebih tenang. Ia mendekati ranjang ayahnya, lalu menyapanya.“Pa,” sapa Kian.Ayahnya sedang menatap kosong ke arah ranjang kaki. Bagian punggung ranjang sudah ditegakkan. Sudah lama Kian tidak pernah melihat ayahnya duduk setegak itu. Kedua tangannya terlipat di dada. Meski sedang sakit, tapi ayahnya terlihat begitu menakutkan.Kian menunggu hingga ayahny
Kian menekan tombol darurat yang ada di samping ranjang. Ia mencoba memeriksa denyut nadi di leher ayahnya. Lalu ia menaruh jarinya di depan hidung ayahnya. Sepertinya ayahnya masih hidup, hanya saja ia marah sangat berlebihan hingga tekanan darahnya kacau balau.“Kamu masih berani datang ke sini,” ujar Elisa pada Laureta.“Aku tidak akan membiarkan Kian menghadapi semua ini sendirian.”“Ah, kamu ingin menolong Kian? Kalau begitu, kamu dengar dengan sangat jelas apa yang papa inginkan. Dia ingin supaya kamu bercerai dengan Kian. Jangan harap kamu akan mendapatkan uang dari kami lagi. Pergilah kamu dasar anak perampok!”“Tutup mulutmu, Elisa!” seru Kian yang kini berdiri di hadapan Elisa untuk menghalanginya dari Laureta.“Aku tidak akan tinggal diam!” timpal Elisa. “Kamu tidak pantas untuk mendapatkan warisan itu dari papa! Sudah seharusnya Erwin yang mendapatkannya! Kamu sebaiknya t
Entah sudah berapa banyak air mata yang tertumpah selama Laureta menjadi istrinya Kian. Kebahagiaan apa yang sedang ia kejar selama ini? Laureta terus menerus mempertanyakan tentang hal itu.Kian berkata bahwa ia mencintai Laureta, tapi Laureta tidak bisa mempercayainya sepenuh hatinya. Ia hanya membuat dirinya semakin menderita karena berusaha keras mempercayai hal tersebut.Ingatan pahit Kian pernah berselingkuh dengan Helga membuat Laureta semakin pedih dan sakit hati. Kian tega menorehkan luka itu di hatinya. Luka itu akan terus ada untuk waktu yang sangat lama.Elisa begitu membencinya. Ayahnya Kian sudah tidak menginginkannya lagi berada di keluarga Aleandro. Marisa dan Adinda pun tidak membelanya. Kian mungkin tetap bersikeras ingin tetap bersamanya, tapi untuk apa.Hubungan Kian dengan keluarganya tidak akan berjalan dengan baik. Satu-satunya orang yang tepat untuk menjadi istrinya Kian hanyalah Helga. Laureta hanyalah seorang anak perampok yang m
Erwin menciumnya begitu lembut dan hangat. Semua kenangan yang pernah terjadi di antara Laureta dan Erwin seolah diputar kembali. Laureta teringat saat pertama kali Erwin mencium bibirnya. Ciuman itu terasa begitu romantis dan sulit untuk dilupakan.Hati Laureta telah hancur hari di mana ia melihat Erwin mengkhianatinya. Hatinya pun tergantikan dengan kehadiran Kian. Namun, apa yang pernah terjadi di antara Laureta dan Erwin tak akan pernah bisa menghilang begitu saja.Laureta hanya bisa diam, membiarkan Erwin mengecupnya, melumat bibirnya. Laureta benar-benar pasrah, menyerah. Ia menyerah menghindari Erwin terus menerus. Ia memang harus menghadapi pria itu.Laureta sadar jika hari-hari kebersamaannya dengan Kian akan segera berakhir. Ia akan segera meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Ia tidak akan pernah menjadi nyonya di keluarga Aleandro lagi.Seketika bibir Erwin menjauh. Laureta membuka matanya dan terlalu terkejut untuk melihat sosok Kian yang t
Rumah Laureta benar-benar kosong. Tidak ada barang apa pun di dalam sana selain keresek berisi pakaian Laureta. Tak kuasa menahan semua ini, air mata Laureta pun meleleh di pipinya. Dadanya terasa sesak.Dengan susah payah, Laureta mengeluarkan ponsel dari tasnya karena tangannya gemetaran. Ia mencari-cari nama ibunya dan kemudian meneleponnya. Sudah tiga bulan lamanya, ia tidak pernah menghubungi ibunya, begitu pun juga sebaliknya.Biasanya ibunya selalu rutin meminta uang padanya. Namun, sudah tiga bulan ini ibunya diam saja. Laureta masih tetap rutin mengirim uang meski tanpa komunikasi.Kemudian hari ini tiba-tiba semuanya lenyap begitu saja. Apakah orang lain sudah merampok rumahnya? Tampaknya tidak karena masih ada sisa pakaiannya. Dan mengapa pula harus merampok rumahnya yang tidak ada benda berharganya?Putus asa karena tidak ada nada sambung apa pun di teleponnya, Laureta kembali mengulang untuk meneleponnya lagi. Bermenit-menit ia habiskan untuk menghubungi ibunya dan semua
“Sa-saya …, saya sebenarnya anak dari pemilik rumah ini sebelumnya.” Laureta menelan kenyataan pahit jika ibu tirinya itu adalah pemilik rumah sebelumnya.“Oh ya? Saya pikir ibu itu sudah tidak punya anak lagi. Katanya anaknya sudah meninggal.”“Saya tidak meninggal!” seru Laureta dengan mata yang berlinang air mata. “Apa Ibu dan Bapak punya nomor kontak ibu saya?”“Hah? Kalau Mbak memang anaknya, seharusnya Mbak punya nomor ibunya sendiri. Hmmm, Pa sepertinya kita tidak bisa mempercayai orang itu.”Wanita itu menarik-narik tangan suaminya dengan gusar. Sementara itu, sang suami mendekat dan menatap Laureta dari bawah ke atas.“Mbak, maaf ya. Kami tidak bisa membantu. Kalau boleh, saya minta Mbak keluar dari rumah ini baik-baik. Sungguh, saya tidak mau memanggil polisi untuk mengusir Mbak. Maaf ya, Mbak. Tolong keluar dari sini.”“Tapi Pak, saya ini memang anaknya Ibu Ima. Ibu saya menjual rumah ini tanpa seizin saya! Saya tidak bisa menghubungi ibu saya sejak kemarin. Tolong Pak, ber
Laureta merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu meski tanpa ranjang. Ia memeluk guling dengan erat. “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih,” ucapnya sambil memejamkan matanya dengan keras.Kosan itu begitu bersih dan harganya sangat murah. Jika tahu begitu, sejak awal ia tidak akan diam di rumahnya yang tanpa barang sama sekali. Ia jadi merasa bersalah karena sudah membuat pakaiannya jadi kotor karena ia jadikan alas tidur.Laureta sudah memisahkan keresek pakaian yang ia pakai alas tidur dan pakaian yang bersih. Beruntung karena pakaiannya cukup banyak. Semua pakaian dalamnya pun lengkap karena ia tidak punya banyak pakaian.Untuk berjaga-jaga, Laureta harus mengecek uang di ATM-nya. Jangan sampai Kian memblokir uangnya. Uang di tabungannya itu lumayan besar dan sangat cukup untuk menghidupinya selama lima tahun bahkan lebih jika ia bisa berhemat.Namun, Laureta tidak bisa terus menerus menggunakan uang itu. Ia harus menghasilkan uang untuk k
“Ayo makan dulu sedikit,” bujuk Marisa pada Kian.Kian sedang berbaring di kasurnya dalam keadaan yang lemah karena sejak kemarin ia tidak makan. Para pelayan sudah berusaha untuk membuatkannya makanan yang paling ia suka, tapi tidak ada satu pun yang ia sentuh.Sejak tadi, Marisa terus menerus membujuknya supaya ia mau membuka mulutnya. Kian benar-benar kesal sekali, tapi ia tidak ada tenaga untuk marah-marah.“Aku tidak mau,” ucap Kian sambil membuang wajahnya.“Kalau kamu begini terus, kamu benar-benar bisa sakit dan mati. Kamu mau mati sia-sia?” ancam Marisa.“Tidak usah menggangguku, Marisa. Aku ingin sendirian.”Marisa menaruh sendok di piring dengan kesal. Ia menggeram lalu berdiri menjulang di samping Kian sambil berkacak pinggang.“Kamu benar-benar mau mati ya? Aku tidak akan datang ke pemakamanmu sekalipun karena kamu sengaja membuat badanmu sakit seperti ini! Aku tahu ka