“Sa-saya …, saya sebenarnya anak dari pemilik rumah ini sebelumnya.” Laureta menelan kenyataan pahit jika ibu tirinya itu adalah pemilik rumah sebelumnya.“Oh ya? Saya pikir ibu itu sudah tidak punya anak lagi. Katanya anaknya sudah meninggal.”“Saya tidak meninggal!” seru Laureta dengan mata yang berlinang air mata. “Apa Ibu dan Bapak punya nomor kontak ibu saya?”“Hah? Kalau Mbak memang anaknya, seharusnya Mbak punya nomor ibunya sendiri. Hmmm, Pa sepertinya kita tidak bisa mempercayai orang itu.”Wanita itu menarik-narik tangan suaminya dengan gusar. Sementara itu, sang suami mendekat dan menatap Laureta dari bawah ke atas.“Mbak, maaf ya. Kami tidak bisa membantu. Kalau boleh, saya minta Mbak keluar dari rumah ini baik-baik. Sungguh, saya tidak mau memanggil polisi untuk mengusir Mbak. Maaf ya, Mbak. Tolong keluar dari sini.”“Tapi Pak, saya ini memang anaknya Ibu Ima. Ibu saya menjual rumah ini tanpa seizin saya! Saya tidak bisa menghubungi ibu saya sejak kemarin. Tolong Pak, ber
Laureta merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu meski tanpa ranjang. Ia memeluk guling dengan erat. “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih,” ucapnya sambil memejamkan matanya dengan keras.Kosan itu begitu bersih dan harganya sangat murah. Jika tahu begitu, sejak awal ia tidak akan diam di rumahnya yang tanpa barang sama sekali. Ia jadi merasa bersalah karena sudah membuat pakaiannya jadi kotor karena ia jadikan alas tidur.Laureta sudah memisahkan keresek pakaian yang ia pakai alas tidur dan pakaian yang bersih. Beruntung karena pakaiannya cukup banyak. Semua pakaian dalamnya pun lengkap karena ia tidak punya banyak pakaian.Untuk berjaga-jaga, Laureta harus mengecek uang di ATM-nya. Jangan sampai Kian memblokir uangnya. Uang di tabungannya itu lumayan besar dan sangat cukup untuk menghidupinya selama lima tahun bahkan lebih jika ia bisa berhemat.Namun, Laureta tidak bisa terus menerus menggunakan uang itu. Ia harus menghasilkan uang untuk k
“Ayo makan dulu sedikit,” bujuk Marisa pada Kian.Kian sedang berbaring di kasurnya dalam keadaan yang lemah karena sejak kemarin ia tidak makan. Para pelayan sudah berusaha untuk membuatkannya makanan yang paling ia suka, tapi tidak ada satu pun yang ia sentuh.Sejak tadi, Marisa terus menerus membujuknya supaya ia mau membuka mulutnya. Kian benar-benar kesal sekali, tapi ia tidak ada tenaga untuk marah-marah.“Aku tidak mau,” ucap Kian sambil membuang wajahnya.“Kalau kamu begini terus, kamu benar-benar bisa sakit dan mati. Kamu mau mati sia-sia?” ancam Marisa.“Tidak usah menggangguku, Marisa. Aku ingin sendirian.”Marisa menaruh sendok di piring dengan kesal. Ia menggeram lalu berdiri menjulang di samping Kian sambil berkacak pinggang.“Kamu benar-benar mau mati ya? Aku tidak akan datang ke pemakamanmu sekalipun karena kamu sengaja membuat badanmu sakit seperti ini! Aku tahu ka
Empat hari berlalu semenjak ia sakit dan mulai bisa makan lagi setelah bujukan Adinda. Kian baru sanggup untuk berangkat lagi ke kantor. Pagi itu, ia sarapan seperti biasa di ruang makan. Di sana hanya ada Marisa, Kelvin, ibunya, dan juga Erwin.Kian masih memiliki dendam pribadi pada keponakannya itu, tapi ia tidak akan melanjutkannya lagi. Sudah cukup ia menghajar anak itu sampai babak belur. Keberaniannya untuk tetap muncul di hadapan Kian sungguh luar biasa. Mungkin bukan Erwin, tapi Kian yang sudah lama mengurung diri di kamar, sekarang ia baru muncul begitu saja.Nyaris semua orang melihatnya dengan tatapan penasaran, kecuali Erwin. Kian tersenyum tipis sambil menyapa semua orang. Lalu ia duduk di kursinya seperti biasa. Ada sesuatu yang berbeda saat ia duduk di sana.Biasanya ia duduk bersama Laureta, tapi kali ini pertama kalinya ia sarapan di sana seperti seorang duda yang baru saja ditinggal istrinya yang sudah meninggal. Sesuatu yang perih mencakar di dalam dadanya.Ini ada
Alis Kian benar-benar bertautan sekarang. “Istriku tidak punya suami yang lain selain aku!”“Sebentar ya, Pak. Saya panggilkan dulu ibunya, kebetulan ada di dalam.”Kian tak sabar, jadi ia mengikuti pria itu. Laureta tidak mungkin menjalin hubungan dengan pria lain lagi selain Erwin. Atau jangan-jangan Erwin juga ada di sini? Kian terus menerus bertanya-tanya dalam benaknya.“Bu, permisi!” seru sang tukang bangunan di depan kamar Laureta. “Katanya, ada suaminya mencari Ibu!”“Oh ya? Cepat sekali dia sudah pulang lagi,” ujar seorang wanita yang suaranya agak teredam.Kian mulai curiga karena suaranya tidak mirip dengan suara Laureta. Ia melipat tangannya di dada dan menunggu wanita itu keluar dari kamar.“Papa cepat sekali sud ….”Kata-kata wanita itu terhenti begitu melihat Kian berdiri menjulang di hadapannya. Wanita itu jelas-jelas bukan Laureta. Kian semakin bingung dengan keadaan ini. Mengapa ada orang lain di rumah ini?“Bapak siapa ya?” tanya wanita itu.“Aku yang seharusnya ber
Kian tidak terbiasa dengan keadaan yang seperti ini. Clara jadi terasa seperti orang lain. Wanita itu sebentar lagi akan keluar dari tempat ini. Sebenarnya Kian merasa tidak enak hati dan sedih juga harus kehilangan Clara.Namun, Kian tetap harus menyingkirkan Clara dari tempat ini. Beberapa permasalahan yang terjadi selama ini semuanya disebabkan oleh Clara juga. Kalau saja Clara tidak pernah membeberkan masalah ini pada Elisa, maka Laureta tidak perlu sampai harus keluar dari rumahnya.Mengingat tentang hal itu hanya membuat Kian kembali dirundung kepedihan di dalam hatinya. Luka itu menganga lebar dan terus menerus terkena siraman air garam setiap kali Kian mengingatnya.Kian terluka, bersedih, tapi ia pun merasa jika dirinya pantas mendapatkan penyiksaan ini karena ia telah terlebih dulu menyakiti Laureta. Apa lagi yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya?Kian mengusap wajahnya dengan kepedihan yang ia rasakan. Ia harus terus bekerja dan melanjutkan hidupnya supaya ia bis
Sungguh bukan waktu yang tepat untuk hamil. Laureta tidak bisa hamil dalam keadaan seperti ini. Ia sudah tidak mempunyai suami lagi. Ia tidak akan pernah kembali ke rumah itu lagi dan meminta Kian untuk bertanggung jawab.Laureta harus hidup menjauh dari keluarga Aleandro untuk selamanya. Mengapa Tuhan malah menitipkan anak dari benihnya Kian di tubuhnya?Yang bisa ia lakukan saat ini hanya menangis, entah harus sampai kapan ia seperti ini. Bisa melanjutkan hidup seperti ini saja sudah pencapaian yang luar biasa baginya.Sebenarnya, Laureta tidak ingin melanjutkan hidupnya lagi. Namun, ia sudah terlanjur merencanakan banyak hal untuk dirinya sendiri. Kehamilannya menghambat geraknya dan menghancurkan semangat hidupnya.Bayangan akan sakit yang tidak ada habis-habisnya, mual sepanjang hari, pusing, sakit kepala yang tak ada obatnya, membuat Laureta semakin tertekan. Ia tidak mau mengalami hal itu lagi, tidak apalagi di saat ia benar-benar hidup sendiri seperti ini. Tak ada satu orang p
Beberapa hari kemudian, Laureta pun berhasil mendapatkan panggilan untuk wawancara. Betapa beruntungnya Laureta karena wawancara itu berjalan dengan sangat mulus.Kondisi badan Laureta tidak selemah sebelumnya. Ia bisa beraktifitas dengan cukup baik meski terkadang tubuhnya terasa dingin di sore hari. Ia berusaha untuk makan lebih sehat lagi. Ia baru akan pergi ke dokter kandungan setelah ia mendapatkan gaji pertamanya.Malam itu, Laureta mengusap perutnya dengan perasaan yang campur aduk. Anak yang tengah ia kandung di dalam rahimnya ini sepertinya sangat mengerti kondisi yang sedang dialami Laureta. Sudah selama ini, Laureta tidak merasa pusing dan mual yang berlebihan seperti kehamilannya yang pertama.Laureta benar-benar bersyukur karena ia diberi kemudahan dalam mencari pekerjaan dan kehamilannya tidak mengganggu aktifitasnya.“Terima kasih ya, Nak,” ucap Laureta pelan sambil mengusap-usap perutnya. “Semoga kelak Mama bisa mendapatkan uang yang banyak untuk masa depan kita. Maafk