Entah sudah berapa banyak air mata yang tertumpah selama Laureta menjadi istrinya Kian. Kebahagiaan apa yang sedang ia kejar selama ini? Laureta terus menerus mempertanyakan tentang hal itu.
Kian berkata bahwa ia mencintai Laureta, tapi Laureta tidak bisa mempercayainya sepenuh hatinya. Ia hanya membuat dirinya semakin menderita karena berusaha keras mempercayai hal tersebut.
Ingatan pahit Kian pernah berselingkuh dengan Helga membuat Laureta semakin pedih dan sakit hati. Kian tega menorehkan luka itu di hatinya. Luka itu akan terus ada untuk waktu yang sangat lama.
Elisa begitu membencinya. Ayahnya Kian sudah tidak menginginkannya lagi berada di keluarga Aleandro. Marisa dan Adinda pun tidak membelanya. Kian mungkin tetap bersikeras ingin tetap bersamanya, tapi untuk apa.
Hubungan Kian dengan keluarganya tidak akan berjalan dengan baik. Satu-satunya orang yang tepat untuk menjadi istrinya Kian hanyalah Helga. Laureta hanyalah seorang anak perampok yang m
Erwin menciumnya begitu lembut dan hangat. Semua kenangan yang pernah terjadi di antara Laureta dan Erwin seolah diputar kembali. Laureta teringat saat pertama kali Erwin mencium bibirnya. Ciuman itu terasa begitu romantis dan sulit untuk dilupakan.Hati Laureta telah hancur hari di mana ia melihat Erwin mengkhianatinya. Hatinya pun tergantikan dengan kehadiran Kian. Namun, apa yang pernah terjadi di antara Laureta dan Erwin tak akan pernah bisa menghilang begitu saja.Laureta hanya bisa diam, membiarkan Erwin mengecupnya, melumat bibirnya. Laureta benar-benar pasrah, menyerah. Ia menyerah menghindari Erwin terus menerus. Ia memang harus menghadapi pria itu.Laureta sadar jika hari-hari kebersamaannya dengan Kian akan segera berakhir. Ia akan segera meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Ia tidak akan pernah menjadi nyonya di keluarga Aleandro lagi.Seketika bibir Erwin menjauh. Laureta membuka matanya dan terlalu terkejut untuk melihat sosok Kian yang t
Rumah Laureta benar-benar kosong. Tidak ada barang apa pun di dalam sana selain keresek berisi pakaian Laureta. Tak kuasa menahan semua ini, air mata Laureta pun meleleh di pipinya. Dadanya terasa sesak.Dengan susah payah, Laureta mengeluarkan ponsel dari tasnya karena tangannya gemetaran. Ia mencari-cari nama ibunya dan kemudian meneleponnya. Sudah tiga bulan lamanya, ia tidak pernah menghubungi ibunya, begitu pun juga sebaliknya.Biasanya ibunya selalu rutin meminta uang padanya. Namun, sudah tiga bulan ini ibunya diam saja. Laureta masih tetap rutin mengirim uang meski tanpa komunikasi.Kemudian hari ini tiba-tiba semuanya lenyap begitu saja. Apakah orang lain sudah merampok rumahnya? Tampaknya tidak karena masih ada sisa pakaiannya. Dan mengapa pula harus merampok rumahnya yang tidak ada benda berharganya?Putus asa karena tidak ada nada sambung apa pun di teleponnya, Laureta kembali mengulang untuk meneleponnya lagi. Bermenit-menit ia habiskan untuk menghubungi ibunya dan semua
“Sa-saya …, saya sebenarnya anak dari pemilik rumah ini sebelumnya.” Laureta menelan kenyataan pahit jika ibu tirinya itu adalah pemilik rumah sebelumnya.“Oh ya? Saya pikir ibu itu sudah tidak punya anak lagi. Katanya anaknya sudah meninggal.”“Saya tidak meninggal!” seru Laureta dengan mata yang berlinang air mata. “Apa Ibu dan Bapak punya nomor kontak ibu saya?”“Hah? Kalau Mbak memang anaknya, seharusnya Mbak punya nomor ibunya sendiri. Hmmm, Pa sepertinya kita tidak bisa mempercayai orang itu.”Wanita itu menarik-narik tangan suaminya dengan gusar. Sementara itu, sang suami mendekat dan menatap Laureta dari bawah ke atas.“Mbak, maaf ya. Kami tidak bisa membantu. Kalau boleh, saya minta Mbak keluar dari rumah ini baik-baik. Sungguh, saya tidak mau memanggil polisi untuk mengusir Mbak. Maaf ya, Mbak. Tolong keluar dari sini.”“Tapi Pak, saya ini memang anaknya Ibu Ima. Ibu saya menjual rumah ini tanpa seizin saya! Saya tidak bisa menghubungi ibu saya sejak kemarin. Tolong Pak, ber
Laureta merebahkan tubuhnya di atas kasur empuk itu meski tanpa ranjang. Ia memeluk guling dengan erat. “Terima kasih, Tuhan. Terima kasih,” ucapnya sambil memejamkan matanya dengan keras.Kosan itu begitu bersih dan harganya sangat murah. Jika tahu begitu, sejak awal ia tidak akan diam di rumahnya yang tanpa barang sama sekali. Ia jadi merasa bersalah karena sudah membuat pakaiannya jadi kotor karena ia jadikan alas tidur.Laureta sudah memisahkan keresek pakaian yang ia pakai alas tidur dan pakaian yang bersih. Beruntung karena pakaiannya cukup banyak. Semua pakaian dalamnya pun lengkap karena ia tidak punya banyak pakaian.Untuk berjaga-jaga, Laureta harus mengecek uang di ATM-nya. Jangan sampai Kian memblokir uangnya. Uang di tabungannya itu lumayan besar dan sangat cukup untuk menghidupinya selama lima tahun bahkan lebih jika ia bisa berhemat.Namun, Laureta tidak bisa terus menerus menggunakan uang itu. Ia harus menghasilkan uang untuk k
“Ayo makan dulu sedikit,” bujuk Marisa pada Kian.Kian sedang berbaring di kasurnya dalam keadaan yang lemah karena sejak kemarin ia tidak makan. Para pelayan sudah berusaha untuk membuatkannya makanan yang paling ia suka, tapi tidak ada satu pun yang ia sentuh.Sejak tadi, Marisa terus menerus membujuknya supaya ia mau membuka mulutnya. Kian benar-benar kesal sekali, tapi ia tidak ada tenaga untuk marah-marah.“Aku tidak mau,” ucap Kian sambil membuang wajahnya.“Kalau kamu begini terus, kamu benar-benar bisa sakit dan mati. Kamu mau mati sia-sia?” ancam Marisa.“Tidak usah menggangguku, Marisa. Aku ingin sendirian.”Marisa menaruh sendok di piring dengan kesal. Ia menggeram lalu berdiri menjulang di samping Kian sambil berkacak pinggang.“Kamu benar-benar mau mati ya? Aku tidak akan datang ke pemakamanmu sekalipun karena kamu sengaja membuat badanmu sakit seperti ini! Aku tahu ka
Empat hari berlalu semenjak ia sakit dan mulai bisa makan lagi setelah bujukan Adinda. Kian baru sanggup untuk berangkat lagi ke kantor. Pagi itu, ia sarapan seperti biasa di ruang makan. Di sana hanya ada Marisa, Kelvin, ibunya, dan juga Erwin.Kian masih memiliki dendam pribadi pada keponakannya itu, tapi ia tidak akan melanjutkannya lagi. Sudah cukup ia menghajar anak itu sampai babak belur. Keberaniannya untuk tetap muncul di hadapan Kian sungguh luar biasa. Mungkin bukan Erwin, tapi Kian yang sudah lama mengurung diri di kamar, sekarang ia baru muncul begitu saja.Nyaris semua orang melihatnya dengan tatapan penasaran, kecuali Erwin. Kian tersenyum tipis sambil menyapa semua orang. Lalu ia duduk di kursinya seperti biasa. Ada sesuatu yang berbeda saat ia duduk di sana.Biasanya ia duduk bersama Laureta, tapi kali ini pertama kalinya ia sarapan di sana seperti seorang duda yang baru saja ditinggal istrinya yang sudah meninggal. Sesuatu yang perih mencakar di dalam dadanya.Ini ada
Alis Kian benar-benar bertautan sekarang. “Istriku tidak punya suami yang lain selain aku!”“Sebentar ya, Pak. Saya panggilkan dulu ibunya, kebetulan ada di dalam.”Kian tak sabar, jadi ia mengikuti pria itu. Laureta tidak mungkin menjalin hubungan dengan pria lain lagi selain Erwin. Atau jangan-jangan Erwin juga ada di sini? Kian terus menerus bertanya-tanya dalam benaknya.“Bu, permisi!” seru sang tukang bangunan di depan kamar Laureta. “Katanya, ada suaminya mencari Ibu!”“Oh ya? Cepat sekali dia sudah pulang lagi,” ujar seorang wanita yang suaranya agak teredam.Kian mulai curiga karena suaranya tidak mirip dengan suara Laureta. Ia melipat tangannya di dada dan menunggu wanita itu keluar dari kamar.“Papa cepat sekali sud ….”Kata-kata wanita itu terhenti begitu melihat Kian berdiri menjulang di hadapannya. Wanita itu jelas-jelas bukan Laureta. Kian semakin bingung dengan keadaan ini. Mengapa ada orang lain di rumah ini?“Bapak siapa ya?” tanya wanita itu.“Aku yang seharusnya ber
Kian tidak terbiasa dengan keadaan yang seperti ini. Clara jadi terasa seperti orang lain. Wanita itu sebentar lagi akan keluar dari tempat ini. Sebenarnya Kian merasa tidak enak hati dan sedih juga harus kehilangan Clara.Namun, Kian tetap harus menyingkirkan Clara dari tempat ini. Beberapa permasalahan yang terjadi selama ini semuanya disebabkan oleh Clara juga. Kalau saja Clara tidak pernah membeberkan masalah ini pada Elisa, maka Laureta tidak perlu sampai harus keluar dari rumahnya.Mengingat tentang hal itu hanya membuat Kian kembali dirundung kepedihan di dalam hatinya. Luka itu menganga lebar dan terus menerus terkena siraman air garam setiap kali Kian mengingatnya.Kian terluka, bersedih, tapi ia pun merasa jika dirinya pantas mendapatkan penyiksaan ini karena ia telah terlebih dulu menyakiti Laureta. Apa lagi yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya?Kian mengusap wajahnya dengan kepedihan yang ia rasakan. Ia harus terus bekerja dan melanjutkan hidupnya supaya ia bis
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian