Kian baru saja selesai makan siang di kantor. Ia tidak akan ke The Prince hari ini karena sorenya ia harus ke rumah sakit untuk berganti jaga dengan Marisa.Ia sedang membuang bungkus bekas makanan ke tong sampah, lalu keluar dari ruangan untuk ke toilet. Pintu lift terbuka, lalu Clara muncul dari sana.Wajahnya tampak memerah dan matanya berair seperti yang baru saja habis menangis. Rambutnya awut-awutan seperti yang terkena angin ribut. Kian memiringkan kepalanya sambil melihat sekretarisnya itu berjalan melewatinya tanpa menyapanya sama sekali.Tidak biasanya Clara seperti itu. Kian pun mendekati Clara sambil menautkan alisnya.“Clara, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kian.“Tidak!” seru Clara yang kemudian menangis. “Aku tidak baik-baik saja! Aku ingin meledak rasanya!”“Hei, santai saja, Clara. Apa yang sebenarnya terjadi?”Kian mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Clara beberapa kali. Namun kemudian ia menarik lagi tangannya. Ia tidak ingin membuat sekretarisnya itu merasa mend
Debar jantung Kian terus bertalu-talu di dadanya. Ia sedang menunggu Laureta mengangkat telepon darinya, tapi rasanya lama sekali. Hingga entah nada sambung ke berapa, Laureta pun baru menjawabnya.“Halo?”“Laura! Gawat!” seru Kian.“Ada apa, Kian?”“Elisa sudah tahu tentang perjanjian pernikahan kita!”Laureta tidak segera merespon. Ia terdiam sejenak hingga membuat Kian tidak sabar lagi. Laureta pasti terguncang mendengar berita itu darinya.“Laura, apa kamu mendengar suaraku?”“Ya, aku dengar.”“Gawat ini, Laura! Kalau sampai Elisa memberitahu papa dan mamaku, semuanya bisa kacau!”“Aku pikir, kamu sudah memusnahkan surat itu. Kamu bilang, surat itu sudah tidak berlaku lagi kan?”“A-aku lupa! Aku pikir, hal itu sudah tidak penting sama sekali. Yang tahu tentang hal itu kan hanya kita saja. Jadi, aku tidak memusnahkan surat itu.”“Kamu yakin yang tahu tentang surat itu hanya kita saja? Bukankah Clara juga tahu?”Kian menelan ludahnya. “Ya, Clara juga tahu. Justru Clara yang memberit
Kian tiba di rumah sakit lebih cepat dari ia bayangkan. Ia tidak bermaksud untuk terburu-buru datang ke sana, tapi nyatanya ia pun tak sabar untuk menghadapi semua ini.Ia mengetuk pintu tiga kali, lalu memutar gagang pintu, dan masuk. Di sana ada Marisa dan Adinda yang sudah menunggu kehadirannya. Matanya tertuju pada Adinda. Seketika ia paham mengapa Marisa dan ayahnya sudah tahu tentang hal itu.Semua itu karena ada Adinda di sini. Adiknya itu pasti yang telah memberitahu Marisa dan ayahnya. Adinda balas menatap Kian dengan pandangan sinis penuh kebencian.Kian mengatur napasnya dan mengembuskannya melalui mulut supaya ia sedikit lebih tenang. Ia mendekati ranjang ayahnya, lalu menyapanya.“Pa,” sapa Kian.Ayahnya sedang menatap kosong ke arah ranjang kaki. Bagian punggung ranjang sudah ditegakkan. Sudah lama Kian tidak pernah melihat ayahnya duduk setegak itu. Kedua tangannya terlipat di dada. Meski sedang sakit, tapi ayahnya terlihat begitu menakutkan.Kian menunggu hingga ayahny
Kian menekan tombol darurat yang ada di samping ranjang. Ia mencoba memeriksa denyut nadi di leher ayahnya. Lalu ia menaruh jarinya di depan hidung ayahnya. Sepertinya ayahnya masih hidup, hanya saja ia marah sangat berlebihan hingga tekanan darahnya kacau balau.“Kamu masih berani datang ke sini,” ujar Elisa pada Laureta.“Aku tidak akan membiarkan Kian menghadapi semua ini sendirian.”“Ah, kamu ingin menolong Kian? Kalau begitu, kamu dengar dengan sangat jelas apa yang papa inginkan. Dia ingin supaya kamu bercerai dengan Kian. Jangan harap kamu akan mendapatkan uang dari kami lagi. Pergilah kamu dasar anak perampok!”“Tutup mulutmu, Elisa!” seru Kian yang kini berdiri di hadapan Elisa untuk menghalanginya dari Laureta.“Aku tidak akan tinggal diam!” timpal Elisa. “Kamu tidak pantas untuk mendapatkan warisan itu dari papa! Sudah seharusnya Erwin yang mendapatkannya! Kamu sebaiknya t
Entah sudah berapa banyak air mata yang tertumpah selama Laureta menjadi istrinya Kian. Kebahagiaan apa yang sedang ia kejar selama ini? Laureta terus menerus mempertanyakan tentang hal itu.Kian berkata bahwa ia mencintai Laureta, tapi Laureta tidak bisa mempercayainya sepenuh hatinya. Ia hanya membuat dirinya semakin menderita karena berusaha keras mempercayai hal tersebut.Ingatan pahit Kian pernah berselingkuh dengan Helga membuat Laureta semakin pedih dan sakit hati. Kian tega menorehkan luka itu di hatinya. Luka itu akan terus ada untuk waktu yang sangat lama.Elisa begitu membencinya. Ayahnya Kian sudah tidak menginginkannya lagi berada di keluarga Aleandro. Marisa dan Adinda pun tidak membelanya. Kian mungkin tetap bersikeras ingin tetap bersamanya, tapi untuk apa.Hubungan Kian dengan keluarganya tidak akan berjalan dengan baik. Satu-satunya orang yang tepat untuk menjadi istrinya Kian hanyalah Helga. Laureta hanyalah seorang anak perampok yang m
Erwin menciumnya begitu lembut dan hangat. Semua kenangan yang pernah terjadi di antara Laureta dan Erwin seolah diputar kembali. Laureta teringat saat pertama kali Erwin mencium bibirnya. Ciuman itu terasa begitu romantis dan sulit untuk dilupakan.Hati Laureta telah hancur hari di mana ia melihat Erwin mengkhianatinya. Hatinya pun tergantikan dengan kehadiran Kian. Namun, apa yang pernah terjadi di antara Laureta dan Erwin tak akan pernah bisa menghilang begitu saja.Laureta hanya bisa diam, membiarkan Erwin mengecupnya, melumat bibirnya. Laureta benar-benar pasrah, menyerah. Ia menyerah menghindari Erwin terus menerus. Ia memang harus menghadapi pria itu.Laureta sadar jika hari-hari kebersamaannya dengan Kian akan segera berakhir. Ia akan segera meninggalkan rumah ini untuk selamanya. Ia tidak akan pernah menjadi nyonya di keluarga Aleandro lagi.Seketika bibir Erwin menjauh. Laureta membuka matanya dan terlalu terkejut untuk melihat sosok Kian yang t
Rumah Laureta benar-benar kosong. Tidak ada barang apa pun di dalam sana selain keresek berisi pakaian Laureta. Tak kuasa menahan semua ini, air mata Laureta pun meleleh di pipinya. Dadanya terasa sesak.Dengan susah payah, Laureta mengeluarkan ponsel dari tasnya karena tangannya gemetaran. Ia mencari-cari nama ibunya dan kemudian meneleponnya. Sudah tiga bulan lamanya, ia tidak pernah menghubungi ibunya, begitu pun juga sebaliknya.Biasanya ibunya selalu rutin meminta uang padanya. Namun, sudah tiga bulan ini ibunya diam saja. Laureta masih tetap rutin mengirim uang meski tanpa komunikasi.Kemudian hari ini tiba-tiba semuanya lenyap begitu saja. Apakah orang lain sudah merampok rumahnya? Tampaknya tidak karena masih ada sisa pakaiannya. Dan mengapa pula harus merampok rumahnya yang tidak ada benda berharganya?Putus asa karena tidak ada nada sambung apa pun di teleponnya, Laureta kembali mengulang untuk meneleponnya lagi. Bermenit-menit ia habiskan untuk menghubungi ibunya dan semua
“Sa-saya …, saya sebenarnya anak dari pemilik rumah ini sebelumnya.” Laureta menelan kenyataan pahit jika ibu tirinya itu adalah pemilik rumah sebelumnya.“Oh ya? Saya pikir ibu itu sudah tidak punya anak lagi. Katanya anaknya sudah meninggal.”“Saya tidak meninggal!” seru Laureta dengan mata yang berlinang air mata. “Apa Ibu dan Bapak punya nomor kontak ibu saya?”“Hah? Kalau Mbak memang anaknya, seharusnya Mbak punya nomor ibunya sendiri. Hmmm, Pa sepertinya kita tidak bisa mempercayai orang itu.”Wanita itu menarik-narik tangan suaminya dengan gusar. Sementara itu, sang suami mendekat dan menatap Laureta dari bawah ke atas.“Mbak, maaf ya. Kami tidak bisa membantu. Kalau boleh, saya minta Mbak keluar dari rumah ini baik-baik. Sungguh, saya tidak mau memanggil polisi untuk mengusir Mbak. Maaf ya, Mbak. Tolong keluar dari sini.”“Tapi Pak, saya ini memang anaknya Ibu Ima. Ibu saya menjual rumah ini tanpa seizin saya! Saya tidak bisa menghubungi ibu saya sejak kemarin. Tolong Pak, ber