Tak mudah bagi Adinda untuk memaafkan Kian, kakaknya. Baginya, pria yang berselingkuh dari istrinya itu adalah pria yang paling bejat di dunia. Di antara semua pria di bumi, mengapa harus Kian yang menjadi salah satu pria yang berselingkuh.Kian adalah kakaknya yang paling ia sayangi di antara semuanya. Dan justru Kian yang menyakiti hatinya begitu dalam. Ia merasa seperti suaminya sendiri yang berselingkuh. Semenjak kejadian hari itu, Adinda jadi menaruh curiga pada suaminya. Semua itu salah Kian.Beruntung, Andre adalah suami yang sangat baik. Suaminya tidak pernah mengeluh meski Adinda meminta ponselnya untuk mengecek semua pesan, galeri, dan sosial medianya. Dengan santai, Andre menyerahkan kata sandi ponselnya. Bahkan semua urusan kartu ATM dan kartu kredit, Adinda yang memegangnya.Sungguh, ia sama sekali tidak perlu mencurigai suaminya karena suaminya adalah pria yang bisa dipercaya. Adinda pikir, ia pun bisa mempercayai kakaknya tersayang, ternyata tidak.Sudah berbulan-bulan
“Ada apa, Ma? Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Andre pada Adinda.“A-aku …, aku baru saja bertemu dengan sekretarisnya Kak Kian,” jawab Adinda sambil duduk dengan wajah tegang.“Oh, siapa namanya? Hmmm, Clara bukan ya?”“Ya, betul. Namanya Clara.”Andre mengangguk, lalu ia menautkan alisnya. “Lalu kenapa? Apa yang terjadi? Apa kamu baik-baik saja, Ma?”“Pa, sepertinya aku harus bertemu dengan Kak Marisa.” Lalu Adinda menoleh pada suaminya. “Clara memberiku surat ini.”Adinda menunjukkan surat itu pada suaminya. Seketika Andre pun terkejut setelah membacanya.“Mama yakin surat ini asli?!” seru Andre.“Yakin sekali. Itu adalah tulisan tangannya Kak Kian.”“Wah! Berarti selama ini, Kak Kian dan Laureta itu hanya nikah kontrak?”Adinda menatap Andre seperti ia tidak pernah menatap suaminya sebelumnya. “Jadi, itu sebabnya Kak Kian berselingkuh dengan wanita itu. Hmmm.”“Selingkuh?” Andre meremas tangan Adinda. “Yang benar, Ma kalau bicara. Kak Kian selingkuh dengan siapa?”Adinda men
Tangan Elisa masih terasa sakit setelah Laureta memelintir tangannya. Ia kesal bukan main. Hari itu juga, ia langsung menagih janji Clara yang akan memberikan surat perjanjian pernikahan Kian dan Laureta.Satu-satunya jalan supaya wanita itu mau bergerak adalah dengan mengancamnya. Kali ini, cara Elisa sepertinya berhasil.Clara benar-benar datang ke tempat ini. Elisa sudah menunggunya sejak tadi. Ia menatap Clara dari bawah ke atas, memperhatikan saat wanita itu memasuki ruangan privat di restoran itu. Elisa tidak mau ambil resiko. Lebih baik mereka bertemu di tempat yang tertutup.Wajah Clara tampak pucat pasi. Ia seperti orang yang sakit. Wanita itu pasti ketakutan karena Elisa telah mengancamnya. Sebenarnya, Elisa tidak pernah benar-benar berniat untuk menyakiti apalagi membunuh ibunya Clara. Semua itu hanya omong kosong. Lucunya, Clara mempercayai kata-kata Elisa.“Bu,” sapa Clara sambil mengangguk.Elisa menyeringai. Ia menyipitkan matanya sambil menatap Clara tajam. Wanita itu
Kian baru saja selesai makan siang di kantor. Ia tidak akan ke The Prince hari ini karena sorenya ia harus ke rumah sakit untuk berganti jaga dengan Marisa.Ia sedang membuang bungkus bekas makanan ke tong sampah, lalu keluar dari ruangan untuk ke toilet. Pintu lift terbuka, lalu Clara muncul dari sana.Wajahnya tampak memerah dan matanya berair seperti yang baru saja habis menangis. Rambutnya awut-awutan seperti yang terkena angin ribut. Kian memiringkan kepalanya sambil melihat sekretarisnya itu berjalan melewatinya tanpa menyapanya sama sekali.Tidak biasanya Clara seperti itu. Kian pun mendekati Clara sambil menautkan alisnya.“Clara, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kian.“Tidak!” seru Clara yang kemudian menangis. “Aku tidak baik-baik saja! Aku ingin meledak rasanya!”“Hei, santai saja, Clara. Apa yang sebenarnya terjadi?”Kian mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Clara beberapa kali. Namun kemudian ia menarik lagi tangannya. Ia tidak ingin membuat sekretarisnya itu merasa mend
Debar jantung Kian terus bertalu-talu di dadanya. Ia sedang menunggu Laureta mengangkat telepon darinya, tapi rasanya lama sekali. Hingga entah nada sambung ke berapa, Laureta pun baru menjawabnya.“Halo?”“Laura! Gawat!” seru Kian.“Ada apa, Kian?”“Elisa sudah tahu tentang perjanjian pernikahan kita!”Laureta tidak segera merespon. Ia terdiam sejenak hingga membuat Kian tidak sabar lagi. Laureta pasti terguncang mendengar berita itu darinya.“Laura, apa kamu mendengar suaraku?”“Ya, aku dengar.”“Gawat ini, Laura! Kalau sampai Elisa memberitahu papa dan mamaku, semuanya bisa kacau!”“Aku pikir, kamu sudah memusnahkan surat itu. Kamu bilang, surat itu sudah tidak berlaku lagi kan?”“A-aku lupa! Aku pikir, hal itu sudah tidak penting sama sekali. Yang tahu tentang hal itu kan hanya kita saja. Jadi, aku tidak memusnahkan surat itu.”“Kamu yakin yang tahu tentang surat itu hanya kita saja? Bukankah Clara juga tahu?”Kian menelan ludahnya. “Ya, Clara juga tahu. Justru Clara yang memberit
Kian tiba di rumah sakit lebih cepat dari ia bayangkan. Ia tidak bermaksud untuk terburu-buru datang ke sana, tapi nyatanya ia pun tak sabar untuk menghadapi semua ini.Ia mengetuk pintu tiga kali, lalu memutar gagang pintu, dan masuk. Di sana ada Marisa dan Adinda yang sudah menunggu kehadirannya. Matanya tertuju pada Adinda. Seketika ia paham mengapa Marisa dan ayahnya sudah tahu tentang hal itu.Semua itu karena ada Adinda di sini. Adiknya itu pasti yang telah memberitahu Marisa dan ayahnya. Adinda balas menatap Kian dengan pandangan sinis penuh kebencian.Kian mengatur napasnya dan mengembuskannya melalui mulut supaya ia sedikit lebih tenang. Ia mendekati ranjang ayahnya, lalu menyapanya.“Pa,” sapa Kian.Ayahnya sedang menatap kosong ke arah ranjang kaki. Bagian punggung ranjang sudah ditegakkan. Sudah lama Kian tidak pernah melihat ayahnya duduk setegak itu. Kedua tangannya terlipat di dada. Meski sedang sakit, tapi ayahnya terlihat begitu menakutkan.Kian menunggu hingga ayahny
Kian menekan tombol darurat yang ada di samping ranjang. Ia mencoba memeriksa denyut nadi di leher ayahnya. Lalu ia menaruh jarinya di depan hidung ayahnya. Sepertinya ayahnya masih hidup, hanya saja ia marah sangat berlebihan hingga tekanan darahnya kacau balau.“Kamu masih berani datang ke sini,” ujar Elisa pada Laureta.“Aku tidak akan membiarkan Kian menghadapi semua ini sendirian.”“Ah, kamu ingin menolong Kian? Kalau begitu, kamu dengar dengan sangat jelas apa yang papa inginkan. Dia ingin supaya kamu bercerai dengan Kian. Jangan harap kamu akan mendapatkan uang dari kami lagi. Pergilah kamu dasar anak perampok!”“Tutup mulutmu, Elisa!” seru Kian yang kini berdiri di hadapan Elisa untuk menghalanginya dari Laureta.“Aku tidak akan tinggal diam!” timpal Elisa. “Kamu tidak pantas untuk mendapatkan warisan itu dari papa! Sudah seharusnya Erwin yang mendapatkannya! Kamu sebaiknya t
Entah sudah berapa banyak air mata yang tertumpah selama Laureta menjadi istrinya Kian. Kebahagiaan apa yang sedang ia kejar selama ini? Laureta terus menerus mempertanyakan tentang hal itu.Kian berkata bahwa ia mencintai Laureta, tapi Laureta tidak bisa mempercayainya sepenuh hatinya. Ia hanya membuat dirinya semakin menderita karena berusaha keras mempercayai hal tersebut.Ingatan pahit Kian pernah berselingkuh dengan Helga membuat Laureta semakin pedih dan sakit hati. Kian tega menorehkan luka itu di hatinya. Luka itu akan terus ada untuk waktu yang sangat lama.Elisa begitu membencinya. Ayahnya Kian sudah tidak menginginkannya lagi berada di keluarga Aleandro. Marisa dan Adinda pun tidak membelanya. Kian mungkin tetap bersikeras ingin tetap bersamanya, tapi untuk apa.Hubungan Kian dengan keluarganya tidak akan berjalan dengan baik. Satu-satunya orang yang tepat untuk menjadi istrinya Kian hanyalah Helga. Laureta hanyalah seorang anak perampok yang m