Kian terkejut mendengar ucapan Laureta. Bagaimana bisa istrinya itu menyalahkan dirinya sendiri?
“Jangan, jangan. Memang aku yang salah karena tidak bisa menguasai diriku sendiri dari tindakan dosa itu. Itu murni kesalahanku.”
“Aku yang telah membuatmu jadi seperti itu,” ujar Laureta tegas. “Kalau saja aku bisa melupakan kejadian itu, aku mungkin tidak perlu berlarut-larut terus dalam kesedihanku. Maafkan aku, Kian.”
Kian menatap Laureta tak percaya. Wanita yang ada di hadapannya ini memang wanita luar biasa. Di tengah kepedihannya karena kehilangan anaknya, lalu Kian mengaku telah berselingkuh dengan Helga, Kian bahkan sempat menyalahkannya atas semua ini, lalu kini Laureta mau berkata maaf.
Sungguh, Kian terkesima menatap Laureta. Tak pernah ada dalam dunia ini, ada wanita yang mau mengakui kesalahannya di saat yang berat seperti ini.
Kian benar-benar sedang menatap seorang malaikat yang Tuhan kirim da
Sesungguhnya, tidak perlu menunggu sampai satu bulan hingga Laureta mau memaafkan dirinya dan menghapus hukumannya. Jujur saja, sebenarnya Kian merasa tidak pantas. Ia adalah suami yang berengsek karena tidak bisa menjaga dirinya dengan baik.Sudah berkali-kali ia dicobai dan berhasil menyingkirkan Helga. Namun, begitu wanita itu tidak mengejarnya lagi, ia justru merasa dirinya seperti yang ditantang. Dan ternyata semudah itu Kian jatuh dalam dosa.Ia berusaha menguatkan dirinya, tapi cobaan itu terlalu kuat. Ternyata Kian membutuhkan Helga. Dalam hatinya, ia masih belum bisa melupakan wanita itu.Namun, setelah Adinda menamparnya dengan keras, maka ia pun tersadar. Ia mulai mempertanyakan dalam dirinya, hal apa yang sebenarnya ia cari dalam hidupnya.Kian pun tidak ingin berlabuh ke tempat yang lain lagi selain pada Laureta. Ia tidak ingin menikah lagi selain dengan Laureta. Sudah cukup permainannya selama ini dengan Helga. Yang lama biarlah usai, tak perlu ia cari lagi, tak perlu ia
Tak mudah bagi Adinda untuk memaafkan Kian, kakaknya. Baginya, pria yang berselingkuh dari istrinya itu adalah pria yang paling bejat di dunia. Di antara semua pria di bumi, mengapa harus Kian yang menjadi salah satu pria yang berselingkuh.Kian adalah kakaknya yang paling ia sayangi di antara semuanya. Dan justru Kian yang menyakiti hatinya begitu dalam. Ia merasa seperti suaminya sendiri yang berselingkuh. Semenjak kejadian hari itu, Adinda jadi menaruh curiga pada suaminya. Semua itu salah Kian.Beruntung, Andre adalah suami yang sangat baik. Suaminya tidak pernah mengeluh meski Adinda meminta ponselnya untuk mengecek semua pesan, galeri, dan sosial medianya. Dengan santai, Andre menyerahkan kata sandi ponselnya. Bahkan semua urusan kartu ATM dan kartu kredit, Adinda yang memegangnya.Sungguh, ia sama sekali tidak perlu mencurigai suaminya karena suaminya adalah pria yang bisa dipercaya. Adinda pikir, ia pun bisa mempercayai kakaknya tersayang, ternyata tidak.Sudah berbulan-bulan
“Ada apa, Ma? Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Andre pada Adinda.“A-aku …, aku baru saja bertemu dengan sekretarisnya Kak Kian,” jawab Adinda sambil duduk dengan wajah tegang.“Oh, siapa namanya? Hmmm, Clara bukan ya?”“Ya, betul. Namanya Clara.”Andre mengangguk, lalu ia menautkan alisnya. “Lalu kenapa? Apa yang terjadi? Apa kamu baik-baik saja, Ma?”“Pa, sepertinya aku harus bertemu dengan Kak Marisa.” Lalu Adinda menoleh pada suaminya. “Clara memberiku surat ini.”Adinda menunjukkan surat itu pada suaminya. Seketika Andre pun terkejut setelah membacanya.“Mama yakin surat ini asli?!” seru Andre.“Yakin sekali. Itu adalah tulisan tangannya Kak Kian.”“Wah! Berarti selama ini, Kak Kian dan Laureta itu hanya nikah kontrak?”Adinda menatap Andre seperti ia tidak pernah menatap suaminya sebelumnya. “Jadi, itu sebabnya Kak Kian berselingkuh dengan wanita itu. Hmmm.”“Selingkuh?” Andre meremas tangan Adinda. “Yang benar, Ma kalau bicara. Kak Kian selingkuh dengan siapa?”Adinda men
Tangan Elisa masih terasa sakit setelah Laureta memelintir tangannya. Ia kesal bukan main. Hari itu juga, ia langsung menagih janji Clara yang akan memberikan surat perjanjian pernikahan Kian dan Laureta.Satu-satunya jalan supaya wanita itu mau bergerak adalah dengan mengancamnya. Kali ini, cara Elisa sepertinya berhasil.Clara benar-benar datang ke tempat ini. Elisa sudah menunggunya sejak tadi. Ia menatap Clara dari bawah ke atas, memperhatikan saat wanita itu memasuki ruangan privat di restoran itu. Elisa tidak mau ambil resiko. Lebih baik mereka bertemu di tempat yang tertutup.Wajah Clara tampak pucat pasi. Ia seperti orang yang sakit. Wanita itu pasti ketakutan karena Elisa telah mengancamnya. Sebenarnya, Elisa tidak pernah benar-benar berniat untuk menyakiti apalagi membunuh ibunya Clara. Semua itu hanya omong kosong. Lucunya, Clara mempercayai kata-kata Elisa.“Bu,” sapa Clara sambil mengangguk.Elisa menyeringai. Ia menyipitkan matanya sambil menatap Clara tajam. Wanita itu
Kian baru saja selesai makan siang di kantor. Ia tidak akan ke The Prince hari ini karena sorenya ia harus ke rumah sakit untuk berganti jaga dengan Marisa.Ia sedang membuang bungkus bekas makanan ke tong sampah, lalu keluar dari ruangan untuk ke toilet. Pintu lift terbuka, lalu Clara muncul dari sana.Wajahnya tampak memerah dan matanya berair seperti yang baru saja habis menangis. Rambutnya awut-awutan seperti yang terkena angin ribut. Kian memiringkan kepalanya sambil melihat sekretarisnya itu berjalan melewatinya tanpa menyapanya sama sekali.Tidak biasanya Clara seperti itu. Kian pun mendekati Clara sambil menautkan alisnya.“Clara, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kian.“Tidak!” seru Clara yang kemudian menangis. “Aku tidak baik-baik saja! Aku ingin meledak rasanya!”“Hei, santai saja, Clara. Apa yang sebenarnya terjadi?”Kian mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Clara beberapa kali. Namun kemudian ia menarik lagi tangannya. Ia tidak ingin membuat sekretarisnya itu merasa mend
Debar jantung Kian terus bertalu-talu di dadanya. Ia sedang menunggu Laureta mengangkat telepon darinya, tapi rasanya lama sekali. Hingga entah nada sambung ke berapa, Laureta pun baru menjawabnya.“Halo?”“Laura! Gawat!” seru Kian.“Ada apa, Kian?”“Elisa sudah tahu tentang perjanjian pernikahan kita!”Laureta tidak segera merespon. Ia terdiam sejenak hingga membuat Kian tidak sabar lagi. Laureta pasti terguncang mendengar berita itu darinya.“Laura, apa kamu mendengar suaraku?”“Ya, aku dengar.”“Gawat ini, Laura! Kalau sampai Elisa memberitahu papa dan mamaku, semuanya bisa kacau!”“Aku pikir, kamu sudah memusnahkan surat itu. Kamu bilang, surat itu sudah tidak berlaku lagi kan?”“A-aku lupa! Aku pikir, hal itu sudah tidak penting sama sekali. Yang tahu tentang hal itu kan hanya kita saja. Jadi, aku tidak memusnahkan surat itu.”“Kamu yakin yang tahu tentang surat itu hanya kita saja? Bukankah Clara juga tahu?”Kian menelan ludahnya. “Ya, Clara juga tahu. Justru Clara yang memberit
Kian tiba di rumah sakit lebih cepat dari ia bayangkan. Ia tidak bermaksud untuk terburu-buru datang ke sana, tapi nyatanya ia pun tak sabar untuk menghadapi semua ini.Ia mengetuk pintu tiga kali, lalu memutar gagang pintu, dan masuk. Di sana ada Marisa dan Adinda yang sudah menunggu kehadirannya. Matanya tertuju pada Adinda. Seketika ia paham mengapa Marisa dan ayahnya sudah tahu tentang hal itu.Semua itu karena ada Adinda di sini. Adiknya itu pasti yang telah memberitahu Marisa dan ayahnya. Adinda balas menatap Kian dengan pandangan sinis penuh kebencian.Kian mengatur napasnya dan mengembuskannya melalui mulut supaya ia sedikit lebih tenang. Ia mendekati ranjang ayahnya, lalu menyapanya.“Pa,” sapa Kian.Ayahnya sedang menatap kosong ke arah ranjang kaki. Bagian punggung ranjang sudah ditegakkan. Sudah lama Kian tidak pernah melihat ayahnya duduk setegak itu. Kedua tangannya terlipat di dada. Meski sedang sakit, tapi ayahnya terlihat begitu menakutkan.Kian menunggu hingga ayahny
Kian menekan tombol darurat yang ada di samping ranjang. Ia mencoba memeriksa denyut nadi di leher ayahnya. Lalu ia menaruh jarinya di depan hidung ayahnya. Sepertinya ayahnya masih hidup, hanya saja ia marah sangat berlebihan hingga tekanan darahnya kacau balau.“Kamu masih berani datang ke sini,” ujar Elisa pada Laureta.“Aku tidak akan membiarkan Kian menghadapi semua ini sendirian.”“Ah, kamu ingin menolong Kian? Kalau begitu, kamu dengar dengan sangat jelas apa yang papa inginkan. Dia ingin supaya kamu bercerai dengan Kian. Jangan harap kamu akan mendapatkan uang dari kami lagi. Pergilah kamu dasar anak perampok!”“Tutup mulutmu, Elisa!” seru Kian yang kini berdiri di hadapan Elisa untuk menghalanginya dari Laureta.“Aku tidak akan tinggal diam!” timpal Elisa. “Kamu tidak pantas untuk mendapatkan warisan itu dari papa! Sudah seharusnya Erwin yang mendapatkannya! Kamu sebaiknya t
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian