Jika memang harus berlutut, Kian akan berlutut. Apa pun akan ia lakukan untuk bisa mendapatkan hati Laureta kembali. Jika ditanya, apakah ia sudah gila? Ya, Kian memang sudah gila.
Godaan itu datang ketika ia lengah. Kian memang menyalahkan Laureta karena istrinya itu tidak memberinya jatah selama dua bulan lebih.
Andai kata ia mengemis, mungkin ia bisa mendapatkannya. Hanya saja, bukan karena soal mengemis, tapi Laureta sedang berduka dan kepedihannya itu benar-benar terasa nyata dan mendalam.
Kian tak mungkin melakukannya dengan Laureta dalam keadaan seperti itu. Ia memang sangat membutuhkannya, bahkan semua pria di dunia ini sama. Lantas apa lagi yang harus ia lakukan? Menunggu sampai Laureta mau?
Kemudian tiba-tiba Helga datang dan menawarkan diri dengan senang hati. Kian pun jatuh dalam dosa. Semudah itu ia tergoda. Betapa lemah imannya.
Malam itu, Kian dan Laureta pulang ke rumah. Ia baru saja memarkirkan mobilnya. Lalu ia melihat Erwin dan R
Kian terkejut mendengar ucapan Laureta. Bagaimana bisa istrinya itu menyalahkan dirinya sendiri?“Jangan, jangan. Memang aku yang salah karena tidak bisa menguasai diriku sendiri dari tindakan dosa itu. Itu murni kesalahanku.”“Aku yang telah membuatmu jadi seperti itu,” ujar Laureta tegas. “Kalau saja aku bisa melupakan kejadian itu, aku mungkin tidak perlu berlarut-larut terus dalam kesedihanku. Maafkan aku, Kian.”Kian menatap Laureta tak percaya. Wanita yang ada di hadapannya ini memang wanita luar biasa. Di tengah kepedihannya karena kehilangan anaknya, lalu Kian mengaku telah berselingkuh dengan Helga, Kian bahkan sempat menyalahkannya atas semua ini, lalu kini Laureta mau berkata maaf.Sungguh, Kian terkesima menatap Laureta. Tak pernah ada dalam dunia ini, ada wanita yang mau mengakui kesalahannya di saat yang berat seperti ini.Kian benar-benar sedang menatap seorang malaikat yang Tuhan kirim da
Sesungguhnya, tidak perlu menunggu sampai satu bulan hingga Laureta mau memaafkan dirinya dan menghapus hukumannya. Jujur saja, sebenarnya Kian merasa tidak pantas. Ia adalah suami yang berengsek karena tidak bisa menjaga dirinya dengan baik.Sudah berkali-kali ia dicobai dan berhasil menyingkirkan Helga. Namun, begitu wanita itu tidak mengejarnya lagi, ia justru merasa dirinya seperti yang ditantang. Dan ternyata semudah itu Kian jatuh dalam dosa.Ia berusaha menguatkan dirinya, tapi cobaan itu terlalu kuat. Ternyata Kian membutuhkan Helga. Dalam hatinya, ia masih belum bisa melupakan wanita itu.Namun, setelah Adinda menamparnya dengan keras, maka ia pun tersadar. Ia mulai mempertanyakan dalam dirinya, hal apa yang sebenarnya ia cari dalam hidupnya.Kian pun tidak ingin berlabuh ke tempat yang lain lagi selain pada Laureta. Ia tidak ingin menikah lagi selain dengan Laureta. Sudah cukup permainannya selama ini dengan Helga. Yang lama biarlah usai, tak perlu ia cari lagi, tak perlu ia
Tak mudah bagi Adinda untuk memaafkan Kian, kakaknya. Baginya, pria yang berselingkuh dari istrinya itu adalah pria yang paling bejat di dunia. Di antara semua pria di bumi, mengapa harus Kian yang menjadi salah satu pria yang berselingkuh.Kian adalah kakaknya yang paling ia sayangi di antara semuanya. Dan justru Kian yang menyakiti hatinya begitu dalam. Ia merasa seperti suaminya sendiri yang berselingkuh. Semenjak kejadian hari itu, Adinda jadi menaruh curiga pada suaminya. Semua itu salah Kian.Beruntung, Andre adalah suami yang sangat baik. Suaminya tidak pernah mengeluh meski Adinda meminta ponselnya untuk mengecek semua pesan, galeri, dan sosial medianya. Dengan santai, Andre menyerahkan kata sandi ponselnya. Bahkan semua urusan kartu ATM dan kartu kredit, Adinda yang memegangnya.Sungguh, ia sama sekali tidak perlu mencurigai suaminya karena suaminya adalah pria yang bisa dipercaya. Adinda pikir, ia pun bisa mempercayai kakaknya tersayang, ternyata tidak.Sudah berbulan-bulan
“Ada apa, Ma? Kenapa wajahmu tertekuk begitu?” tanya Andre pada Adinda.“A-aku …, aku baru saja bertemu dengan sekretarisnya Kak Kian,” jawab Adinda sambil duduk dengan wajah tegang.“Oh, siapa namanya? Hmmm, Clara bukan ya?”“Ya, betul. Namanya Clara.”Andre mengangguk, lalu ia menautkan alisnya. “Lalu kenapa? Apa yang terjadi? Apa kamu baik-baik saja, Ma?”“Pa, sepertinya aku harus bertemu dengan Kak Marisa.” Lalu Adinda menoleh pada suaminya. “Clara memberiku surat ini.”Adinda menunjukkan surat itu pada suaminya. Seketika Andre pun terkejut setelah membacanya.“Mama yakin surat ini asli?!” seru Andre.“Yakin sekali. Itu adalah tulisan tangannya Kak Kian.”“Wah! Berarti selama ini, Kak Kian dan Laureta itu hanya nikah kontrak?”Adinda menatap Andre seperti ia tidak pernah menatap suaminya sebelumnya. “Jadi, itu sebabnya Kak Kian berselingkuh dengan wanita itu. Hmmm.”“Selingkuh?” Andre meremas tangan Adinda. “Yang benar, Ma kalau bicara. Kak Kian selingkuh dengan siapa?”Adinda men
Tangan Elisa masih terasa sakit setelah Laureta memelintir tangannya. Ia kesal bukan main. Hari itu juga, ia langsung menagih janji Clara yang akan memberikan surat perjanjian pernikahan Kian dan Laureta.Satu-satunya jalan supaya wanita itu mau bergerak adalah dengan mengancamnya. Kali ini, cara Elisa sepertinya berhasil.Clara benar-benar datang ke tempat ini. Elisa sudah menunggunya sejak tadi. Ia menatap Clara dari bawah ke atas, memperhatikan saat wanita itu memasuki ruangan privat di restoran itu. Elisa tidak mau ambil resiko. Lebih baik mereka bertemu di tempat yang tertutup.Wajah Clara tampak pucat pasi. Ia seperti orang yang sakit. Wanita itu pasti ketakutan karena Elisa telah mengancamnya. Sebenarnya, Elisa tidak pernah benar-benar berniat untuk menyakiti apalagi membunuh ibunya Clara. Semua itu hanya omong kosong. Lucunya, Clara mempercayai kata-kata Elisa.“Bu,” sapa Clara sambil mengangguk.Elisa menyeringai. Ia menyipitkan matanya sambil menatap Clara tajam. Wanita itu
Kian baru saja selesai makan siang di kantor. Ia tidak akan ke The Prince hari ini karena sorenya ia harus ke rumah sakit untuk berganti jaga dengan Marisa.Ia sedang membuang bungkus bekas makanan ke tong sampah, lalu keluar dari ruangan untuk ke toilet. Pintu lift terbuka, lalu Clara muncul dari sana.Wajahnya tampak memerah dan matanya berair seperti yang baru saja habis menangis. Rambutnya awut-awutan seperti yang terkena angin ribut. Kian memiringkan kepalanya sambil melihat sekretarisnya itu berjalan melewatinya tanpa menyapanya sama sekali.Tidak biasanya Clara seperti itu. Kian pun mendekati Clara sambil menautkan alisnya.“Clara, apa kamu baik-baik saja?” tanya Kian.“Tidak!” seru Clara yang kemudian menangis. “Aku tidak baik-baik saja! Aku ingin meledak rasanya!”“Hei, santai saja, Clara. Apa yang sebenarnya terjadi?”Kian mengulurkan tangannya dan menepuk bahu Clara beberapa kali. Namun kemudian ia menarik lagi tangannya. Ia tidak ingin membuat sekretarisnya itu merasa mend
Debar jantung Kian terus bertalu-talu di dadanya. Ia sedang menunggu Laureta mengangkat telepon darinya, tapi rasanya lama sekali. Hingga entah nada sambung ke berapa, Laureta pun baru menjawabnya.“Halo?”“Laura! Gawat!” seru Kian.“Ada apa, Kian?”“Elisa sudah tahu tentang perjanjian pernikahan kita!”Laureta tidak segera merespon. Ia terdiam sejenak hingga membuat Kian tidak sabar lagi. Laureta pasti terguncang mendengar berita itu darinya.“Laura, apa kamu mendengar suaraku?”“Ya, aku dengar.”“Gawat ini, Laura! Kalau sampai Elisa memberitahu papa dan mamaku, semuanya bisa kacau!”“Aku pikir, kamu sudah memusnahkan surat itu. Kamu bilang, surat itu sudah tidak berlaku lagi kan?”“A-aku lupa! Aku pikir, hal itu sudah tidak penting sama sekali. Yang tahu tentang hal itu kan hanya kita saja. Jadi, aku tidak memusnahkan surat itu.”“Kamu yakin yang tahu tentang surat itu hanya kita saja? Bukankah Clara juga tahu?”Kian menelan ludahnya. “Ya, Clara juga tahu. Justru Clara yang memberit
Kian tiba di rumah sakit lebih cepat dari ia bayangkan. Ia tidak bermaksud untuk terburu-buru datang ke sana, tapi nyatanya ia pun tak sabar untuk menghadapi semua ini.Ia mengetuk pintu tiga kali, lalu memutar gagang pintu, dan masuk. Di sana ada Marisa dan Adinda yang sudah menunggu kehadirannya. Matanya tertuju pada Adinda. Seketika ia paham mengapa Marisa dan ayahnya sudah tahu tentang hal itu.Semua itu karena ada Adinda di sini. Adiknya itu pasti yang telah memberitahu Marisa dan ayahnya. Adinda balas menatap Kian dengan pandangan sinis penuh kebencian.Kian mengatur napasnya dan mengembuskannya melalui mulut supaya ia sedikit lebih tenang. Ia mendekati ranjang ayahnya, lalu menyapanya.“Pa,” sapa Kian.Ayahnya sedang menatap kosong ke arah ranjang kaki. Bagian punggung ranjang sudah ditegakkan. Sudah lama Kian tidak pernah melihat ayahnya duduk setegak itu. Kedua tangannya terlipat di dada. Meski sedang sakit, tapi ayahnya terlihat begitu menakutkan.Kian menunggu hingga ayahny