Sudah hampir tiga tahun Nabila menjadi seorang janda, padahal dia masih bersuami.
Nabila memandangi pantulan tubuhnya di cermin. Melihat baik-baik di mana kekurangannya.Padahal tidak ada yang kurang. Dia masih sangat cantik, kulitnya putih bersih, semua anggota tubuhnya pun masih sangat indah meski dia pernah melahirkan dan menyusui anak yang kini sudah berusia hampir dua tahun.Nabila sangat merawat bentuk tubuhnya agar selalu terlihat cantik di mata suaminya.Tapi sampai sekarang, Dewa—suaminya, belum pernah sekalipun mendatanginya. Jangankan mendatanginya, menatap dirinya pun seperti enggan. Mereka pisah kamar dari awal pernikahan.Bayangkan! Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar. Bagaimana pun, Nabila seorang wanita dewasa dan normal. Dia juga memiliki kebutuhan biologis yang harus terpenuhi.Namun jika demikian, maka jangan salahkan Nabila jika dia melakukannya dengan caranya sendiri.Kendati Nabila tahu, perbuatan ini sangat berdosa dan sangat dilarang di dalam agama yang dia yakini. Tapi Nabila pikir, seperti ini masih lebih baik daripada dia berselingkuh dengan laki-laki di luar sana yang bakal menjadi masalah baru dalam hidupnya.Tidak sedikit yang memilih jalan hidup seperti itu dan pada akhirnya, masa depan mereka hancur. Anak menjadi korban dan hidupnya tak pernah tenang.Mungkin orang-orang—terutama kedua orang tua mereka, menganggap Nabila dan Dewa adalah pasangan yang harmonis dan jauh dari kata pertengkaran. Karena begitu yang kerap terlihat jika keduanya sedang bersama di setiap kesempatan.Tapi jauh di belakang pasang mata banyak orang, keduanya adalah pasangan yang sangat dingin. Jarang terlibat pembicaraan apalagi sekadar duduk berdua.Nabila dan Dewa justru mirip seperti kedua orang yang asing, namun terpaksa tinggal bersama dalam satu atap.Dan mungkin bila satu sampai dua tahun pernikahan—Nabila masih memakluminya. Wajar jika pria itu masih marah dan kecewa dengan kesalahan besar yang dia lakukan. Sebab Nadia telah menodai cinta suci mereka.Tapi sampai di tahun ketiga ini, sepertinya kesabaran Nabila sudah mulai menipis. Godaan setan mulai membisik di kanan kiri telinganya, memerintahkannya untuk bercerai saja dan segera mencari lelaki yang lebih baik dari Dewa. Dari segi apapun.** *“Ayaaahh!” panggil Zaki pada Dewa yang kini sedang menuruni tangga, “Ayah! Jaki puna mainan balu!”Pria berusia 26 tahun itu hanya menatap Zaki sekilas, sebelum dia kembali melanjutkan langkahnya keluar. Mengabaikan Zaki yang kini terus berlari mengejar untuk memperlihatkan pesawat barunya.“Ayah liat, Jaki puna mainan balu...”Mendengar Zaki terus meneriaki ayahnya, Nabila pun keluar dari dapur untuk segera melihat apa yang dilakukan oleh sang anak.Khawatir Zaki mengejar-ngejar lelaki itu seperti biasanya hanya untuk mencari perhatian.Benar saja. Pemandangan yang terlihat, Zaki menangis dan terus memanggil Dewa. Menarik perhatiannya agar Dewa mau melihat apa yang dia tunjukkan, namun tak dihiraukan oleh pria itu. Seolah Zaki tak pernah ada.Wajah Dewa fokus lurus tanpa ekspresi. Mengaitkan tali sepatunya sebelum dia keluar rumah.“Ayah liat, Jaki puna mainan balu. Liat ini, Ayah, liaat...” rengek Zaki tak lelah menunjukkan mainan pesawat barunya.“Zaki, udah, Nak. Zaki main sama Ibu aja, ya?” Nabila meraih tubuh Zaki yang kini memberontak dan ingin tetap berada di dekat laki-laki yang dia anggap ayahnya.“Jaki mau sama Ayah, mau sama Ayahh!”“Ayah mau berangkat kerja, Nak!”Nabila pasrah saat Zaki harus terlepas dari tubuhnya karena tenaga sang anak jauh lebih kuat. Zaki kembali mengejar Dewa, saat laki-laki itu justru mendorong tubuh kecil Zaki hingga terjatuh dan meninggalkannya begitu saja.“Ayaaah! Ayaaaah!”Nabila segera menubruk tubuh Zaki lagi, mencegah bocah itu agar tak kembali mengejar.Dibawanya Zaki masuk ke dalam rumah. Zaki bahkan tak memedulikan rasa sakitnya. Dia hanya inginkan ayahnya, karena nama itu yang terus Zaki teriakkan.“Ayaahh!”“Tolongin aku, Dar. Dewa bener-bener udah keterlaluan,” ujar Nabila pada temannya di sambungan telepon.** *“Yang sabar ya, Bil. Aku cuma bisa jadi pendengar kalau kamu butuh tempat sampah.”Dara, sahabat Nabila datang ke rumah untuk menenangkan Nabila. Diraihnya Nabila ke dalam pelukan.Sedikitnya, Dara paham seperti apa rumah tangga sang teman karena mereka sering bertemu dan bercerita.Ah, bukan Nabila yang sengaja menceritakannya, tetapi dirinyalah yang memaksanya untuk menjawab pertanyaan.Sebab yang kerap terjadi saat mereka bertemu, Dara selalu mendapati mata Nabila sembab seperti habis menangis.Belakangan sudah tidak terlalu parah. Dulu, lebih parah saat Nabila baru saja melahirkan. Jangan ditanya lagi bagaimana keadaan Nabila. Nabila di matanya sangat menyedihkan.Kantung matanya menghitam, tubuhnya kurus, rambutnya berantakan macam tak pernah disisir. Daster sobek adalah pakaiannya sehari-hari.Konon, Dewa tidak pernah tersentuh bagaimana Nabila mengalami hari-harinya yang cukup berat. Lantaran juga harus berhadapan dengan mertua dan saudara iparnya yang sangat cerewet.“Kalau nggak tahan, kamu bisa bilang udah kok, Bil,” ujar Dara usai mengikis jarak antara keduanya.“Iya, aku udah capek banget, tapi aku juga nggak bisa melepas dia. Aku nggak tau harus gimana, aku pun bingung sama diriku sendiri,” katanya frustrasi.Perasaan Nabila sudah hampir habis di orang pertama dan Nabila takut, tak bisa mencintai orang lain lagi. Lagipula belum tentu, dia bisa mendapatkan yang lebih baik.Nabila tak bisa membayangkan jika nasibnya justru akan lebih menderita daripada sekarang.“Kasihan Zaki, Bil. Dia butuh ayah yang tulus menyayanginya.”“Iya, aku tau. Aku egois, ya?”“Banget. Kamu egois banget.” Dara menekankan kalimatnya.“Kapan Dewa bisa liat aku ya, Dar?”“Cuma orang bego yang masih berharap seperti itu setelah tiga tahun diabaikan.”“Tapi penantian dia lebih lama dari aku. Kami pacaran semenjak SMA, sampai kuliah dan menikah. Berapa taun coba? Tapi aku malah hamil anak orang lain. Kadang kalau dipikir-pikir, kesalahan aku lebih besar daripada dia.”“Coba kamu telaah lagi deh, Bil. Itu beneran cinta atau cuma perasaan bersalah. Dua antara kata itu adalah hal yang berbeda.”“Dua-duanya, Dar.”“Ibu ....” Langkah kecil Zaki mendekat. Anak itu mengulurkan tangannya meminta untuk diraih.“Daripada kamu sedih terus begini, mendingan kamu kerja aja deh. Kayaknya Zaki udah bisa dititipin ke daycare.”“Kerja lagi? Tapi aku takut kehilangan momenku sama dia. Pertumbuhan dia sangat cepat.”“Kamu juga butuh kewarasan dan itu hanya bisa kamu temukan di luar rumah.”“Begitukah?”Sang teman mengangguk yakin. “Ayo, akan aku bantu.”Setelah perjalanan yang cukup panjang, akhirnya gelar sarjana Nabila terpakai juga. Dia berhasil diterima kerja di sebuah perusahaan agen jasa iklan. Menjadi seorang penulis naskah dan pembuat gambar iklan.Sementara Zaki Nabila titipkan ke daycare dan akan ia jemput sepulang dirinya bekerja, seperti yang dilakukannya hari ini.“Ibu! Ibu!” seru anak itu senang saat mendapati sang ibu datang menjemput.“Sayang.” Nabila memeluknya. “Kangen ya, sama Ibu?”“Hu’um.” Anak itu seluruh bajunya berkeringat, itu sebabnya Nabila langsung menggantinya setibanya mereka di rumah.“Zaki belajar apa aja hari ini, Nak?”“Main ail...”Nabila terkekeh. Dari sekian banyaknya aktivitas yang Zaki lakukan, hanya bermain air yang dia ingat. Mungkin itulah kegiatan yang dianggapnya paling seru.“Ibu keljanya lama. Jaki ngga mau sama Miss, Jaki maunya sama Ibu aja,” ujarnya mengeluh.“Maaf ya, Nak. Tapi Ibu harus kerja, biar Zaki bisa beli mainan.”“Kan ada Ayah....”Bibir Nabila langsung mengatup. Kesedihan m
“Pindahkan semua barang-barangmu ke kamarku!” kata Dewa usai kedua orang tuanya pergi dan di terpaksa menyetujui mereka untuk tinggal.Sehingga keduanya terlebih dahulu pulang untuk mengambil semua barang keperluan mereka.“Nggak usah, ngapain? Aku bisa tidur di kamar Zaki,” balas Nabila enggan karena Dewa tak memintanya dengan baik, alias terpaksa.“Mereka bisa memergokimu jika malam atau siang namun tak mendapati barang-barangmu di sana.”“Apa yang kamu takutkan, Mas? Memang kenyataannya kita tidak pernah tidur bersama.”“Nabila, menurutlah! Jangan berlagak sok paling tersakiti. Kamulah yang menghancurkan semua mimpi-mimpiku yang kubangun susah payah!” teriak Dewa dengan sorot mata menajam. “Cepat masuklah ke kamarmu dan ambil semua barang-barangmu!”“Kamu nggak perlu melakukannya kalau kamu terpaksa,” Nabila memberanikan diri untuk melawan.“Dan apa kamu siap kalau mereka dan orang tuamu tahu hubungan kita yang sebenarnya? Tentang kita, juga tentang Zaki, dari mana anak harammu itu
Hati siapa yang tidak babak belur mendapat penolakan dari suaminya sendiri?Seperti itu yang selalu Nabila rasakan setiap hari, tapi berusaha ditahannya sampai dia siap melepas semuanya nanti. Ketika dia sudah bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada suaminya lagi.Saat ini, Nabila sedang pelan-pelan mengumpulkan penghasilan. Sebab tak mungkin dirinya menyisihkan uang Dewa demi kepentingannya sendiri. Sementara dia tak pernah berbuat apa-apa untuknya.Tidak dipungkiri, selama ini, Nabila memakai uang nafkah dari Dewa untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Tapi hanya sebatas itu. Nabila sadar diri atas statusnya yang hanya seorang istri pajangan. Masih diterima dan sudah diberi tempat tinggal saja, Nabila sudah sangat bersyukur. Nabila tidak bisa bayangkan jika Dewa mengusirnya atau mengembalikannya ke rumah dan mengatakan semua yang sejujurnya kepada kedua orang tuanya. Terutama sang ayah yang memiliki riwayat sakit jantung.Nabila berbalik badan. Ditatapnya sang suami yang kini terba
Meski berat, namun pada akhirnya Nabila bersyukur karena hampir semua pekerjaannya hari ini bisa selesai lebih awal dari waktu yang diperkirakan. Tinggal menyetrika pakaian. Tapi biasanya, Nabila hanya akan menyetrika pakaian yang penting-penting saja, seperti kemeja Dewa dan baju kantornya sendiri.Untuk baju si kecil—selain baju-baju tertentu pastinya, maka akan cukup Nabila lipat rapi dan dia masukkan ke dalam lemari. Jam sembilan malam setelah Nabila menidurkan Zaki, Nabila menuju ke kamar Dewa. Di saat yang bersamaan Dewa membuka pintunya.“Ke mana saja kamu? Aku panggil-panggil dari tadi,” kata pria itu.“Zaki baru aja tidur. Nggak bisa kutinggal,” jawab Nabila, “ada apa, Mas?”“Di mana motornya? Kok nggak ada di garasi?”“Motorku ditinggal di kantor. Rusak.”“Bisa-bisanya sampai rusak? Itu kan motor satu-satunya, Bila.”“Maaf, Mas. Kemungkinan akinya rusak, jadi nggak bisa nyala. Tapi besok pasti udah diperbaiki lagi, kok.”Dewa berdecak. “Aku mau pakai.”“Untuk sementara, Ma
Tanpa Nabila sadari, dia turun dari mobil Dewa dengan mata yang sembab. Dan tersebut disadari oleh teman satu timnya yang kini memberikan sebotol concealer padanya.“Nabila kurang tidur atau abis nangis?” tanya wanita itu.“Oh, makasih, Mba.” Nabila terlebih dahulu menerimanya, barulah dia menjawab pertanyaan Risa barusan, “Dua-duanya.”“Ya, ampun. Mengsad banget, sih.”Nabila tersenyum sumbang.“Berat banget ya, masalahnya?”“Lumayan.” Namun bukannya membaik, mata kurang ajar Nabila malah semakin membanjir. Ya, beginilah memang Nabila yang Dewa kenal, dia memang perempuan yang sangat perasa dan sensitif. Bayangkan, dia bahkan sudah memendamnya sendiri selama bertahun-tahun.“Nggak papa, Bil. Puasin aja nggak usah ditahan biar hati kamu lega.”“Nabila, motormu akhirnya nginap di bengkel. Ternyata bukan Cuma akinya yang—” ucapan Aditya terhenti ketika dia mendapati apa yang terjadi di balik meja bawahannya. “M-maaf, Pak. S-saya, nggak profesional,” sahut Nabila buru-buru menghapus ai
Dewa memang bisa dikatakan pria yang aneh. Dia tidak pernah menganggap Nabila sebagai istrinya selama tiga tahun ini. Namun begitu Nabila mengatakan bahwa dia lelah dan ingin pergi, mengapa pria itu tak kunjung menanggapi? Kenapa? Apa Dewa keberatan? Jika keberatan, kenapa dia tak mengatakannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benak Nabila sekarang. Nabila masih termenung sampai beberapa menit berlalu. Saat batas kesabarannya menunggu telah habis dan dia memilih keluar dari kamar ini tanpa pria itu mencegahnya. Dia akan tidur bersama putranya malam ini. Masa bodoh dengan pandangan mertuanya jika salah satu dari mereka mendapatinya pisah ranjang. Nabila sudah tidak peduli lagi sekarang karena yang terpenting adalah kewarasannya. Berkali-kali Nabila katakan, tidak sampai gila saja dia masih untung. Tidak ada perbincangan keesokan harinya. Semua orang kompak diam tanpa bicara. Bahkan ketika Nabila terpaksa membawa sang anak ke tempat kerjanya. Padahal biasanya, wan
“Eh, anakmu ini, Bil?” tanya Risa begitu sang teman tiba di kantor dengan membawa seorang anak laki-laki sangat lucu dan menggemaskan. Terlebih jika dia tersenyum, !aka hilang kedua bola matanya terhimpit pipinya yang tembam. Dan yang terlucu adalah giginya, lantaran ompong di bagian tengah hingga membuatnya seperti drakula mini. “Iya, Mba. Maaf, aku harus bawa anakku ke sini. Soalnya di rumah nggak ada yang jagain. Mau masukin dia ke daycare juga nggak dibolehin sama neneknya. Bingung kan aku jadinya?” jawab Nabila panjang kali lebar. “Oh, my, God ... lutunaaaa.” Risa menjembil pipi Zaki yang kini langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki sang ibu. “Kenapa, Nak? Malu ya, sama tante cantik?” Kepala Zaki malah dirasa semakin dalam. “Kok malah makin ngumpet? Ayo kenalan dulu sama Tante Risa, Sayang.” Nabila mengambil Zaki dan menuntunnya untuk mengulurkan tangan pada Risa. Tapi dia bersembunyi lagi setelah itu. Risa terkekeh, “Dia pemalu banget, ya?” “Padaha
“Jelaskan, kenapa aku harus menyetujui dia membawa anaknya ke sini?” tanya Aditya pada istrinya selepas Nabila keluar dari ruangan.“Kita nggak tau apa alasan dibaliknya,” Siwi menjawab.“Tapi kita bisa dianggap melanggar aturan.”“Tidak apa-apa daripada kamu kehilangan satu tim kreatif sehebat dia. Kamu bilang dia hebat, kan? Karena dia, klien-klienmu yang berasal dari perusahaan besar, berani membayar dua kali lipat iklannya lebih tinggi.”“Kamu benar, Wi... tapi....”Dengan segera Siwi menyela, “Sudah, jangan terlalu banyak tapi. Apa yang membuatmu jadi keberatan, Dit?”“Gimana cara aku menjelaskannya ke mereka—maksudnya anak-anak kantor?”“Gampang saja sebetulnya kalau kamu punya niat. Kamu berkuasa di sini, Dit. Kamu bosnya.”“Nanti dikira aku pilih kasih.”“Dit...” Siwi menggenggam tangan Aditya, meminta pria itu menatapnya, “percaya deh, nggak ada seorang pemimpin yang sempurna.”“Kamu benar, dan aku sedang mengusahakan itu.”“Nggak akan bisa, Dit. Setiap manusia pasti punya ba
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa