Home / Romansa / Istri Tanpa Nafkah (Batin) / Bab 7: Hadirnya Zaki

Share

Bab 7: Hadirnya Zaki

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2024-02-09 15:35:54

Dewa memang bisa dikatakan pria yang aneh. Dia tidak pernah menganggap Nabila sebagai istrinya selama tiga tahun ini. Namun begitu Nabila mengatakan bahwa dia lelah dan ingin pergi, mengapa pria itu tak kunjung menanggapi?

Kenapa? Apa Dewa keberatan? Jika keberatan, kenapa dia tak mengatakannya?

Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benak Nabila sekarang.

Nabila masih termenung sampai beberapa menit berlalu. Saat batas kesabarannya menunggu telah habis dan dia memilih keluar dari kamar ini tanpa pria itu mencegahnya.

Dia akan tidur bersama putranya malam ini. Masa bodoh dengan pandangan mertuanya jika salah satu dari mereka mendapatinya pisah ranjang.

Nabila sudah tidak peduli lagi sekarang karena yang terpenting adalah kewarasannya. Berkali-kali Nabila katakan, tidak sampai gila saja dia masih untung.

Tidak ada perbincangan keesokan harinya. Semua orang kompak diam tanpa bicara. Bahkan ketika Nabila terpaksa membawa sang anak ke tempat kerjanya.

Padahal biasanya, wanita tua yang berstatus ibu mertuanya itu selalu berteriak jika dia membawa Zaki pergi.

Berkali-kali Nabila meloloskan air matanya di tengah jalan hingga membuat pandangannya mengabur. Dia masih tidak mengerti, kenapa Tuhan tidak kunjung memberikannya keadilan?

Bukannya Tuhan itu maha pemaaf? Apa sedemikian besarnya kesalahan yang Nabila miliki sehingga hukuman tak henti-hentinya Nabila terima?

Mula-mula kesalahan ini terjadi adalah saat Dewa dan Nabila bertengkar hebat beberapa minggu sebelum pernikahan.

Di mana pada saat itu, Nabila tidak cocok dengan perencanaan pernikahan mereka. Sebab dari hampir semua hal yang dipersiapkan, diatur oleh calon ibu mertuanya. Seolah Nabila tak berhak menentukan sendiri, mana-mana yang menjadi inginnya.

Sesuai dengan konsep wedding yang sedang trend masa itu.

Nabila marah pada Dewa. Dia tidak setuju dengan keputusan yang dibuat oleh orang tua Dewa.

“Sebenarnya yang mau nikah itu kita, atau orang tua kamu, sih? Kenapa aku nggak berhak milih sendiri konsep yang aku pengen? Keluargaku pun sama sekali nggak dilibatkan. Aku nggak bisa kayak gini, Mas. Aku nggak bisa?! Ini nggak adil namanya!” Nabila mengamuk di ujung telepon.

“Bunda itu mempermudah kita, harusnya kamu itu bersyukur, bukan malah marah-marah, Nabila!” sentak Dewa tak kalah meninggi.

“WO sama MUA yang Bunda kamu itu sama sekali bukan seleraku, Mas. Udah nggak kekinian lagi, udah ketinggalan zaman! Aku nggak mau ya, momen penting kita jadi amburadul gara-gara salah pilih orang.”

“Halahhh, gitu aja ribet!”

“Kok ribet? Nggak ribet, dong. Aku berhak memilih mana yang terbaik buat kita. Ini kita yang mau nikah loh, Mas. Temen-temen aku tuh, banyak. Aku malu sama mereka kalau—Dewa! Mas Dewa!”

Dewa menutup telepon sebelum Nabila menyelesaikan kalimatnya.

Untuk memperjelas semuanya, Nabila menuju ke rumah Dewa. Meminta agar Adawiyyah menggunakan MUA yang Nabila inginkan.

Tapi jawaban wanita itu, sungguh mengejutkan. Dia tak terlalu mempedulikan protes Nabila dan malah cenderung menyepelekan permintaan calon menantunya itu.

“Kan yang ini juga bagus, Bila. Nggak papalah. Sebelas dua belas, kok.”

Pun sama dengan Dewa. Pria itu juga nampak acuh melihat wajah memelas Nabila yang sebenarnya sangat membutuhkan pembelaan.

“Di mana hati kamu Mas Dewa? Di mana?”

“Sudahlah, pakai itu saja. Bunda udah terlanjur bilang ke orangnya, nggak enak kalau sampai di cancel. Pakai saja apa yang ada. Sama saja, kok,” kata Adawiyyah lagi.

Sekali lagi Nabila tatap pria tercintanya. Sempat terbesit dalam pikirannya untuk membatalkan pernikahan ini. Tapi sayangnya, semua sudah terlanjur. Dia sudah berada di persimpangan jalan.

Nabila akhirnya pasrah. Saat prewedding dilakukan dan nyata seperti dugaannya, hasilnya tak sesuai ekspektasi.

Make up nya terlalu menor alias tebal dan membuat wajahnya terlihat jauh lebih tua. Pilihan gaunnya tak sesuai dengan tema yang dipilih, penataan rambutnya pun aneh dan terkesan seperti asal-asalan.

Nabila semakin frustrasi ketika sepulang dari sana dan melihat hasil fotonya. Selama satu minggu itu, Nabila dan Dewa saling diam tanpa tegur sapa meski ponsel penghubung selalu ada dalam genggaman.

Hingga puncaknya adalah pada saat Adawiyyah kembali menghubunginya dan berkata, “Nabila, nanti honeymoon-nya di Puncak saja, ya. Sekalian Bunda sama Ayah mau ikut. Enak kan, kalau kita kumpul bareng-bareng. Biar rame.”

Nabila bahkan sudah mencetak dua tiket pesawat yang dipesannya melalui aplikasi. Karena rencananya, mereka akan bulan madu ke Bali. Namun mendadak, ibunda mertuanya malah berkata demikian. Ironisnya, Dewa juga tak melakukan pembelaan apa-apa.

Ya, Dewa memang pria yang dingin. Namun Nabila sama sekali tak menyangka sampai separah ini. Tidak ada tempat untuk Nabila dalam hidupnya, semua hanya tentang dirinya dan keluarganya.

Sungguh malang nasib Nabila. Bertahun-tahun berpacaran dengan Dewa, dia masih tidak bisa membuatnya mengenal calon suaminya itu dengan baik.

Benar apa kata orang. Tidak ada yang bisa mengenali siapa sebenarnya orang itu, terkecuali dirinya sendiri.

Nabila menemui Dewa di suatu tempat. Di depan wajah pria itu langsung, Nabila menyobek tiket pesawatnya menjadi serpihan kecil dengan tatapan yang sulit diartikan.

Dan Nabila pikir, Dewa akan mengejarnya dan meminta maaf padanya atas kejadian ini. Tapi ternyata dia salah besar. Dewa membiarkan masalah itu berlalu begitu saja seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Lagi-lagi baru Nabila ketahui jika Dewa ternyata ... sepengecut itu.

Nabila yang sedang sangat kacau akhirnya bersedia mengikuti ajakan teman-temannya menuju ke tempat hiburan.

Di sana, Nabila tergiur dengan minuman beralkohol berdosis tinggi—yang katanya bisa membuat beban hidupnya sejenak terasa ringan.

Ya, terasa ringan sejenak namun menghancurkan seluruhnya kemudian.

Karena saat perempuan itu mabuk parah, Nabila sekonyong-konyong memasuki taksi yang salah.

Nabila terbangun keesokan harinya. Pun jika Dara tak menemukannya, namun dalam keadaan tubuh yang sudah terjamah.

Nabila sudah berusaha mencegah kehamilan. Tapi sayangnya terlambat. Karena tak sampai satu bulan, Nabila sudah mendapati dirinya dalam keadaan hamil. Dan dia tak kuasa untuk menggugurkannya, karena Nabila sangat menyayangi anaknya itu.

Meski sampai sekarang, dia tidak tahu siapa pria yang sudah menghamilinya. Karena pria itu tak meninggalkan identitas atau bekas apapun di Hotel tempatnya menginap.

Ke sekian kalinya, Nabila bertemu dengan seorang pengecut.

Related chapters

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 8: Disetujui

    “Eh, anakmu ini, Bil?” tanya Risa begitu sang teman tiba di kantor dengan membawa seorang anak laki-laki sangat lucu dan menggemaskan. Terlebih jika dia tersenyum, !aka hilang kedua bola matanya terhimpit pipinya yang tembam. Dan yang terlucu adalah giginya, lantaran ompong di bagian tengah hingga membuatnya seperti drakula mini. “Iya, Mba. Maaf, aku harus bawa anakku ke sini. Soalnya di rumah nggak ada yang jagain. Mau masukin dia ke daycare juga nggak dibolehin sama neneknya. Bingung kan aku jadinya?” jawab Nabila panjang kali lebar. “Oh, my, God ... lutunaaaa.” Risa menjembil pipi Zaki yang kini langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki sang ibu. “Kenapa, Nak? Malu ya, sama tante cantik?” Kepala Zaki malah dirasa semakin dalam. “Kok malah makin ngumpet? Ayo kenalan dulu sama Tante Risa, Sayang.” Nabila mengambil Zaki dan menuntunnya untuk mengulurkan tangan pada Risa. Tapi dia bersembunyi lagi setelah itu. Risa terkekeh, “Dia pemalu banget, ya?” “Padaha

    Last Updated : 2024-02-10
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 9: Budaya Patriarki

    “Jelaskan, kenapa aku harus menyetujui dia membawa anaknya ke sini?” tanya Aditya pada istrinya selepas Nabila keluar dari ruangan.“Kita nggak tau apa alasan dibaliknya,” Siwi menjawab.“Tapi kita bisa dianggap melanggar aturan.”“Tidak apa-apa daripada kamu kehilangan satu tim kreatif sehebat dia. Kamu bilang dia hebat, kan? Karena dia, klien-klienmu yang berasal dari perusahaan besar, berani membayar dua kali lipat iklannya lebih tinggi.”“Kamu benar, Wi... tapi....”Dengan segera Siwi menyela, “Sudah, jangan terlalu banyak tapi. Apa yang membuatmu jadi keberatan, Dit?”“Gimana cara aku menjelaskannya ke mereka—maksudnya anak-anak kantor?”“Gampang saja sebetulnya kalau kamu punya niat. Kamu berkuasa di sini, Dit. Kamu bosnya.”“Nanti dikira aku pilih kasih.”“Dit...” Siwi menggenggam tangan Aditya, meminta pria itu menatapnya, “percaya deh, nggak ada seorang pemimpin yang sempurna.”“Kamu benar, dan aku sedang mengusahakan itu.”“Nggak akan bisa, Dit. Setiap manusia pasti punya ba

    Last Updated : 2024-02-12
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 10: Memulai Perencanaan

    “Nabila?” ujar Dara saat membukakan temannya pintu rumah. Ya, wanita itu datang secara tiba-tiba tanpa kabar, sambil menggendong anaknya dengan membawa tas berukuran sedang.Semacam orang yang hendak bepergian, namun lebih dari satu hari. Begitu feeling nya.“Are you okay?” Dara melayangkan pertanyaan itu karena jika dilihat gelagatnya, Nabila jelas tidak sedang baik-baik saja.“Aku ganggu, nggak? Aku butuh tumpangan,” kata Nabila langsung saja, “cuma hari ini aja, kok.”“Mau sampai taun depan juga aku nggak peduli, yang penting kalian masuk dulu sekarang. Ayo masuk, masuk!” Tanpa keberatan, Dara bahkan membantu menggendong Zaki yang dia berikan kecupan sambutan.“Tante bau acem. Hiiiiiyyy Tante bau acem.” Zaki memberontak saat mendapatkan serangan dari teman ibunya seperti ini.“Zaki ngomong yang baik-baik, Nak. Salim sama Tantenya dulu.”“Ngga mau, Tantenya ciumin telus ihhh...”“Tante kan kangen sama Zaki, masa cium nggak boleh?” kata Dara sangat gemas.“Boleh tapinya jangan banak-

    Last Updated : 2024-05-17
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 11: Air Mata Di Jalan Pulang

    “Habis ngelayab dari mana aja kalian baru pulang jam segini? Telepon nggak diangkat, pesan juga nggak dibalas,” cecar Dewa malam harinya begitu Nabila dan Zaki tiba di rumah. “Kita bisa bicara nanti, tapi tolong jangan marah di depan Zaki, Mas. Dia baru banget tidur, nanti bisa kebangun. Susah lagi nidurinnya,” jawab Nabila langsung saja masuk dan naik ke kamar anaknya. “Begitu tuh kalau dibilangin istrimu, Wa. Ada aja jawabannya,” sahut sang ibu terdengar penuh kedengkian. Mungkin karena insiden pertengkaran mereka tadi pagi yang masih menyisakan rasa dongkol di hatinya. Rofiq menggelengkan kepala. “Bun, jangan jadi minyak tanah di atas bara api yang menyala. Biar mereka menyelesaikan sendiri masalahnya. Nggak usah ikut campur.” “Nggak ikut campur apa maksudmu? Nabila pergi seharian pasti karena perselisihan kita tadi pagi.” “Makanya bunda nggak usah terlalu banyak komentar. Udah biarin aja Nabila mau bangun jam berapa. Toh, Dewa juga nggak mempermasalahkannya. Nggak ada mak

    Last Updated : 2024-05-17
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 12: Lika-liku Kehidupan

    “Akhirnya bisa jalan lagi kamu, Black,” gumam Nabila saat motor butut yang sudah wara-wiri rusak itu usai diperbaiki. Sayangnya, Nabila sudah tidak bisa sering-sering memakainya lagi sekarang. Jika dia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Sebab ada Zaki yang harus selalu dia bawa. Merepotkan rasanya jika dia harus membawa anak itu pulang, namun dalam keadaan terlelap. Karena seringnya, Zaki pulang dalam keadaan demikian. Ya, bagaimana tidak? Zaki sudah kelelahan seharian bermain di kantor dan lebih sering terabaikan keberadaannya. “Maafin ibu ya, Nak. Maafin Ibu...” Nabila selalu cengeng ketika membayangkan apapun yang berhubungan soal anak. Karena begini saja, dia sudah berkaca-kaca. Sampai detik ini dia pun masih sangat penasaran, siapa sebenarnya ayah kandung Zaki? Mengapa sekeji ini dia menghancurkan hidupnya? Menghadirkan Zaki ke dunia tanpa adanya cinta, lalu membiarkannya tumbuh tanpa seorang bapa. Pengecut sekali. “Ibu...” Tiba-tiba panggilan anak itu membuyarkan l

    Last Updated : 2024-05-18
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 13: Pelukan Hangat

    Nabila turun ke lantai bawah setelah perbincangan mereka selesai dan ibu mertua sudah masuk ke dalam kamarnya. Dan seolah tak mengetahui apapun, wanita itu bertanya pada Dewa, “Baru pulang banget ya, Mas? Mau dibikinin apa?” “Nggak usah, aku mau langsung mandi,” jawabnya tanpa memandang Nabila. Karena pria itu masih nampak sibuk membalas pesan di ponselnya. “Oh, oke. Kalau gitu aku ucapin bajunya aja, ya.” Nabila berlalu tanpa menunggu kalimat persetujuan. Di kamar mereka, Nabila cekatan memilih dan mengambil piyama Dewa yang dia letakkan di atas ranjang. Wanita itu menunjukkan senyum terbaiknya saat Dewa menyusul. “Kalau ada perlu sesuatu, nggak usah sungkan ya, Mas. Panggil aja, aku di dapur.” Dewa mengangguk. “Makasih, Bila.” Sebuah momen yang sangat langka ketika Dewa bisa mengatakan satu kata tersebut untuknya, setelah sekian lama. Harusnya momen ini Nabila abadikan di suatu penyimpanan sebagai pengingat, kalau pria sedingin Dewa, juga bisa melakukannya. “Sama

    Last Updated : 2024-05-18
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 14: Kejutan Yang ke Berapa Kali?

    Nabila merasa lebih baik hari ini. Pelukan dari Dewa semalam membuatnya merasa hampir penuh, layaknya baterai kosong yang baru saja terisi. Ya, selemah itu Nabila jika berhubungan soal Dewa. Susah-susah dia berusaha move on, tapi baru dicolek sedikit saja sudah langsung luluh lagi. Bodoh memang! “Aku baru aja masakin nasi goreng seafood kesukaanmu, Mas. Mau ya, sarapan dulu,” ujar Nabila saat Dewa hampir saja pergi. Namun seperti biasa, dia selalu lupa caranya berpamitan meskipun dirinya berada di dekatnya. Ah, bukan lupa. Lebih tepatnya sengaja mengabaikan karena rasa bencinya terhadapnya selama ini. “Aku mau sarapan di kantor saja. Jadi kamu masukkan aja ke kotak bekal.” Nabila nyaris melompat saat mendengar Dewa berkata demikian. Sudah terhitung berapa kali pria itu membuatnya terkejut? “Ya, aku siapin bekalmu, Mas,” sahutnya antusias. Nabila menuju ke dapur dan kembali beberapa saat kemudian dengan membawakan kotak bekal yang Dewa mintakan. Saat Dewa kembali bert

    Last Updated : 2024-05-19
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 15: Sadarlah!

    “Mas? Tumben udah pulang.” Nabila terheran ketika ia pulang dan mendapati sang suami sudah berada di rumah. Padahal selama ini pria itu hampir tak pernah pulang secepat ini. Ada apa gerangan? Dan kenapa wajah Dewa terlihat pucat dan lesu? Apa dia sakit? Hampir saja Nabila bertanya untuk menuntaskan rasa penasaran di kepalanya. Adawiyyah sudah lebih dulu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya, tidak diajukan untuk wanita itu. “Suamimu itu pulang dari siang. Sakit dia. Makanya kamu itu--” “Bun!” peringat Dewa agar ibunya tak melanjutkan kalimatnya. “Kenapa, Wa? Biarin aja ibu mau bilang apa. Bila harus paham kalau seorang istri itu harus selalu ada saat suaminya membutuhkannya.” Bila menghela napas panjang. Rasanya baru kemarin kepalanya bisa dingin karena sang mertua mendiamkannya. Tapi sekarang wanita itu sudah mulai mengoceh lagi. Rajin sekali beliau menjadi sang komentator. Seolah jika sehari saja beliau tak mengomel, bibirnya akan terkena penyakit gat

    Last Updated : 2024-05-19

Latest chapter

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 125: Tamat

    “Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 124: Go Public

    Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 123: Baperan Banget

    Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 122: Kondusif

    Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 121: Aku Sebenernya...

    “Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 120: Say Papa

    “Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 119: Sudah Mengetahui Semuanya

    “Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 118: Sidang

    “Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 117: Mencurigainya

    Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa

DMCA.com Protection Status