Tanpa Nabila sadari, dia turun dari mobil Dewa dengan mata yang sembab. Dan tersebut disadari oleh teman satu timnya yang kini memberikan sebotol concealer padanya.
“Nabila kurang tidur atau abis nangis?” tanya wanita itu.“Oh, makasih, Mba.” Nabila terlebih dahulu menerimanya, barulah dia menjawab pertanyaan Risa barusan, “Dua-duanya.”“Ya, ampun. Mengsad banget, sih.”Nabila tersenyum sumbang.“Berat banget ya, masalahnya?”“Lumayan.” Namun bukannya membaik, mata kurang ajar Nabila malah semakin membanjir. Ya, beginilah memang Nabila yang Dewa kenal, dia memang perempuan yang sangat perasa dan sensitif.Bayangkan, dia bahkan sudah memendamnya sendiri selama bertahun-tahun.“Nggak papa, Bil. Puasin aja nggak usah ditahan biar hati kamu lega.”“Nabila, motormu akhirnya nginap di bengkel. Ternyata bukan Cuma akinya yang—” ucapan Aditya terhenti ketika dia mendapati apa yang terjadi di balik meja bawahannya.“M-maaf, Pak. S-saya, nggak profesional,” sahut Nabila buru-buru menghapus air matanya. Perasaannya langsung berubah tidak enak.Sungguh, Nabila tak berniat menjual kesedihan di sini yang dapat membuat teman dan atasannya itu nampak iba padanya.Tak setuju dengan apa yang Nabila katakan, Risa segera menyanggah karena dia yang memerintahkannya. “Nggak, Pak. Nabila udah berusaha profesional tadi, saya yang nyuruh dia supaya keluarin aja biar lega. Wajar kan, namanya orang hidup pasti punya masalah.”“Kalau lagi nggak mood bisa dibawa makan dulu, Bila. Udah sarapan belum?” kata Aditya seolah tak mempermasalah hal tersebut.“Udah kok, Pak. Tadi saya minum roti sama makan susu,” jawab Nabila membuat kedua orang yang ada di dekatnya itu seketika tertawa. “Eh, Ya Allah, aku salah omong, ya?”“Kamu lagi kacau banget kayaknya, Bil. Istirahat aja dulu deh, ngopi-ngopi dulu di pantri, yuk!”“Ikut Risa, Bil. Ngopi dulu aja atau cuci muka di atas. Baru nanti kalau udah baikan kita bahas peluncuran produk baru,” kata aditya membuat Nabila mengangguk setuju.** *Nabila baru selesai melaksanakan rapatnya yang dihadiri oleh Aditya selaku direktur ADT Media, sekretarisnya, manajer pemasaran, manajer produksi beserta para asistennya.Rencananya, ADT Media akan meluncurkan produk terbaru dan tentunya, Nabila-lah yang akan menjadi penulis naskah syuting iklan tersebut.Jadi Nabila diperintahkan terjun langsung ke lokasi untuk mengatur dan memberikan pengarahan pada pemain ataupun pengisi acara. Agar mereka dapat memindahkan secara efektif yang tertulis di dalam naskahnya dalam bentuk visual.Tidak main-main. Meski perusahaan ini masih terbilang kecil, namun pangsa pasarnya adalah perusahaan-perusahaan besar. Jadi semua karyawannya dituntut untuk produktif dan mampu berinovasi sesuai perkembangan zaman.Nabila sangat sungguh-sungguh dalam hal ini. Ia selalu totalitas dalam pekerjaannya. Mengerahkan semua tenaga dan pikirannya demi perusahaan.Hingga tak sampai tiga minggu iklan ini selesai dibuat, Nabila pun mendapatkan apresiasi.Klien sangat puas dengan kinerja ADT Media. Iklan dari skrip naskah yang Nabila buat, sangat menarik dan sangat memaksimalkan iklan brand mereka.Sebagai penulis naskah yang baru, Nabila tergolong karyawan yang sangat cerdas. Sebab dengan cepat, dia mampu menguasai bidangnya walaupun belum pernah memiliki pengalaman.Aditya merasa diuntungkan dengan masuknya Nabila ke dalam ADT Media. Karena dia yakin, Nabila bakal memajukan perusahaannya ke depan.“Apa ya, bonus yang tepat buat kamu?” kata Aditya pada Nabila suatu hari, “kalau saya kasih barang, nanti kalau suamimu tau, bisa mikir yang macem-macem. Traktir makan juga udah biasa.”“Mentahnya aja, Pak,” canda Nabila.“Oh iya, ya. Saya nggak kepikir.”“Eh, Pak. Saya bercanda lho, ini.”“Tapi saya serius. Nggak papa, nanti saya kirim sekalian barengan sama gaji kamu, ya.”“Terima kasih, Pak, terima kasih,” kata Nabila sangat tulus.Aditya mengangguk.Nabila tidak mengambil lembur hari ini meskipun pekerjaannya masih cukup banyak. Dia rindu dengan Zaki yang tadi pagi menangis saat dia tinggal bekerja. Entah apa sebabnya, tidak biasa-biasanya Zaki seperti itu.“Baiklah, Zaki. Kita sekalian pergi aja ya, Nak. Hari ini Ibu dapat gaji sama bonus, jadi Zaki harus dapat hadiah juga.”Nabila tiba tepat waktu azdan berkumandang. Dilihatnya, ibu mertua baru saja memandikan sang anak dan seperti biasa, wanita itu pasti mengeluhkan semua kebandelan Zaki hari ini pada dirinya.Nabila dengan sabar mendengar semua curahan hati Adawiyah. Sebab jika ia sarankan untuk dimasukkan ke daycare saja, Adawiyah malah memarahinya balik.Mengatakan bahwa Nabila tak menyayangi anaknya sendiri dan lebih mementingkan pekerjaannya. Jadi serba salah, bukan?Padahal sudah Nabila jelaskan berulang kali. Mau sampai bibir Adawiyah dower pun, Nabila tetap tidak akan mengubah keputusannya.Nabila akan tetap menggeluti pekerjaan ini sampai semua perencanaan yang sedang disusunnya matang sempurna.Saat ini, Nabila sudah mengantongi uang senilai 35 juta rupiah dari hasil pekerjaannya selama dua bulan.Butuh sekitar kurang lebih tiga bulan lagi agar Nabila bisa pergi dari rumah ini. Setelah dipastikan dia bisa men-DP rumah dan mencicil kisaran empat sampai lima juta per bulannya.Nabila sedang mencari hunian barunya sekarang. Dia berharap, bisa mendapatkannya tak jauh dari kantornya bekerja.** *Nabila dan Zaki pulang dari Mall hampir jam sepuluh malam. Mereka menaiki taksi, saat Zaki sudah terlelap di pangkuannya.“Lihat, Wa. Masa jam segini baru pulang. Anak sampai ngantuk-ngantukan gitu demi nemenin ibunya nyalon sama belanja,” kata Adawiyah setibanya sang menantu di rumah.Nabila meletakkan satu jarinya di bibir, bermaksud meminta mereka untuk tak berbicara dengan suara keras.“Habis dari mana saja kamu, Nabila?” ayah mertuanya ikut menegur. Padahal biasanya lelaki itu selalu diam dan tak pernah ikut campur.“Kami dari Mall, Yah,” jawab Nabila lirih, “maaf semuanya, Bila izin antar Zaki dulu ke atas, ya.”“Istri kamu itu loh, Wa. Makin lama makin keterlaluan sama mertua. Udahlah nggak pernah ngobrol atau basa-basi lagi sama kita, ngomongnya singkat-singkat. Dia Cuma sibuk sama dirinya sendiri,” Adawiyah semakin mendramatisi keadaan. Menyiram bensin di tengah kobaran api yang menyala-nyala. Hingga membuat panas semakin membara.“Nggak gitu padahal, Mas. Tiap Bunda lagi ngomong, aku selalu jawab, kok.” Nabila menatap suaminya yang sedari tadi hanya diam saja. Sebelum kini Nabila beralih menatap kedua mertuanya secara bergantian. “Maaf kalau Bila ada salah Yah, Bun....”“Bun, udah,” sergah Dewa akhirnya bersuara setelah dari tadi hanya menjadi penyimak. “Biarin Nabila tidurin Zaki di kamarnya dulu, kita ngobrol lagi nanti.”Adawiyah sudah hampir mencerca Nabila lagi seandainya Dewa tak kembali menahannya.Namun Nabila yang kala itu lelah dan sedang tak memiliki energi untuk berdebat, memilih untuk tak kembali dan justru tidur bersama Zaki.Sehingga paginya, Bunda semakin murka karena menurut penuturannya, semalam mereka menunggunya cukup lama.Lagi-lagi Nabila meminta maaf, tapi ibunda mertuanya yang sudah terlanjur kesal sudah tak lagi menjawab.Mereka mendiamkannya sampai seminggu berlalu. Meski Nabila sudah berusaha untuk memulai pembicaraan lebih dulu.Pada suatu waktu, Nabila menemui Dewa untuk menanyakan kejanggalan ini, “Kapan Bunda sama Ayah pulang ya, Mas? Apa renovasi rumahnya belum selesai juga?”“Nggak tau,” sahut Dewa acuh.“Kalau boleh jujur, aku udah merasa nggak nyaman. Di diamkan kamu saja aku tertekan, apalagi sampai tiga orang sekaligus. Udah untung aku nggak sampai gila, Mas,” lanjut Nabila dan detik berikutnya, dia menambahkan, “eh, tapi kan ini rumahmu ya, Mas. Mau di sini selamanya juga hak mereka, mereka kan orang tuamu. Yang seharusnya pergi justru aku, aku cuma orang lain yang lagi numpang hidup sama kamu.”Nabila menjeda kalimatnya. Menunggu tanggapan dari Dewa yang tak bisa dia harapkan.“Kalau gitu, biar aku aja yang pergi ya, Mas. Mungkin udah cukup tiga tahunnya. Ternyata aku nggak sekuat itu, aku udah capek....”Ungkapan Nabila barusan membuat Dewa seperti tertusuk duri tak kasat mata.Dewa memang bisa dikatakan pria yang aneh. Dia tidak pernah menganggap Nabila sebagai istrinya selama tiga tahun ini. Namun begitu Nabila mengatakan bahwa dia lelah dan ingin pergi, mengapa pria itu tak kunjung menanggapi? Kenapa? Apa Dewa keberatan? Jika keberatan, kenapa dia tak mengatakannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benak Nabila sekarang. Nabila masih termenung sampai beberapa menit berlalu. Saat batas kesabarannya menunggu telah habis dan dia memilih keluar dari kamar ini tanpa pria itu mencegahnya. Dia akan tidur bersama putranya malam ini. Masa bodoh dengan pandangan mertuanya jika salah satu dari mereka mendapatinya pisah ranjang. Nabila sudah tidak peduli lagi sekarang karena yang terpenting adalah kewarasannya. Berkali-kali Nabila katakan, tidak sampai gila saja dia masih untung. Tidak ada perbincangan keesokan harinya. Semua orang kompak diam tanpa bicara. Bahkan ketika Nabila terpaksa membawa sang anak ke tempat kerjanya. Padahal biasanya, wan
“Eh, anakmu ini, Bil?” tanya Risa begitu sang teman tiba di kantor dengan membawa seorang anak laki-laki sangat lucu dan menggemaskan. Terlebih jika dia tersenyum, !aka hilang kedua bola matanya terhimpit pipinya yang tembam. Dan yang terlucu adalah giginya, lantaran ompong di bagian tengah hingga membuatnya seperti drakula mini. “Iya, Mba. Maaf, aku harus bawa anakku ke sini. Soalnya di rumah nggak ada yang jagain. Mau masukin dia ke daycare juga nggak dibolehin sama neneknya. Bingung kan aku jadinya?” jawab Nabila panjang kali lebar. “Oh, my, God ... lutunaaaa.” Risa menjembil pipi Zaki yang kini langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki sang ibu. “Kenapa, Nak? Malu ya, sama tante cantik?” Kepala Zaki malah dirasa semakin dalam. “Kok malah makin ngumpet? Ayo kenalan dulu sama Tante Risa, Sayang.” Nabila mengambil Zaki dan menuntunnya untuk mengulurkan tangan pada Risa. Tapi dia bersembunyi lagi setelah itu. Risa terkekeh, “Dia pemalu banget, ya?” “Padaha
“Jelaskan, kenapa aku harus menyetujui dia membawa anaknya ke sini?” tanya Aditya pada istrinya selepas Nabila keluar dari ruangan.“Kita nggak tau apa alasan dibaliknya,” Siwi menjawab.“Tapi kita bisa dianggap melanggar aturan.”“Tidak apa-apa daripada kamu kehilangan satu tim kreatif sehebat dia. Kamu bilang dia hebat, kan? Karena dia, klien-klienmu yang berasal dari perusahaan besar, berani membayar dua kali lipat iklannya lebih tinggi.”“Kamu benar, Wi... tapi....”Dengan segera Siwi menyela, “Sudah, jangan terlalu banyak tapi. Apa yang membuatmu jadi keberatan, Dit?”“Gimana cara aku menjelaskannya ke mereka—maksudnya anak-anak kantor?”“Gampang saja sebetulnya kalau kamu punya niat. Kamu berkuasa di sini, Dit. Kamu bosnya.”“Nanti dikira aku pilih kasih.”“Dit...” Siwi menggenggam tangan Aditya, meminta pria itu menatapnya, “percaya deh, nggak ada seorang pemimpin yang sempurna.”“Kamu benar, dan aku sedang mengusahakan itu.”“Nggak akan bisa, Dit. Setiap manusia pasti punya ba
“Nabila?” ujar Dara saat membukakan temannya pintu rumah. Ya, wanita itu datang secara tiba-tiba tanpa kabar, sambil menggendong anaknya dengan membawa tas berukuran sedang.Semacam orang yang hendak bepergian, namun lebih dari satu hari. Begitu feeling nya.“Are you okay?” Dara melayangkan pertanyaan itu karena jika dilihat gelagatnya, Nabila jelas tidak sedang baik-baik saja.“Aku ganggu, nggak? Aku butuh tumpangan,” kata Nabila langsung saja, “cuma hari ini aja, kok.”“Mau sampai taun depan juga aku nggak peduli, yang penting kalian masuk dulu sekarang. Ayo masuk, masuk!” Tanpa keberatan, Dara bahkan membantu menggendong Zaki yang dia berikan kecupan sambutan.“Tante bau acem. Hiiiiiyyy Tante bau acem.” Zaki memberontak saat mendapatkan serangan dari teman ibunya seperti ini.“Zaki ngomong yang baik-baik, Nak. Salim sama Tantenya dulu.”“Ngga mau, Tantenya ciumin telus ihhh...”“Tante kan kangen sama Zaki, masa cium nggak boleh?” kata Dara sangat gemas.“Boleh tapinya jangan banak-
“Habis ngelayab dari mana aja kalian baru pulang jam segini? Telepon nggak diangkat, pesan juga nggak dibalas,” cecar Dewa malam harinya begitu Nabila dan Zaki tiba di rumah. “Kita bisa bicara nanti, tapi tolong jangan marah di depan Zaki, Mas. Dia baru banget tidur, nanti bisa kebangun. Susah lagi nidurinnya,” jawab Nabila langsung saja masuk dan naik ke kamar anaknya. “Begitu tuh kalau dibilangin istrimu, Wa. Ada aja jawabannya,” sahut sang ibu terdengar penuh kedengkian. Mungkin karena insiden pertengkaran mereka tadi pagi yang masih menyisakan rasa dongkol di hatinya. Rofiq menggelengkan kepala. “Bun, jangan jadi minyak tanah di atas bara api yang menyala. Biar mereka menyelesaikan sendiri masalahnya. Nggak usah ikut campur.” “Nggak ikut campur apa maksudmu? Nabila pergi seharian pasti karena perselisihan kita tadi pagi.” “Makanya bunda nggak usah terlalu banyak komentar. Udah biarin aja Nabila mau bangun jam berapa. Toh, Dewa juga nggak mempermasalahkannya. Nggak ada mak
“Akhirnya bisa jalan lagi kamu, Black,” gumam Nabila saat motor butut yang sudah wara-wiri rusak itu usai diperbaiki. Sayangnya, Nabila sudah tidak bisa sering-sering memakainya lagi sekarang. Jika dia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Sebab ada Zaki yang harus selalu dia bawa. Merepotkan rasanya jika dia harus membawa anak itu pulang, namun dalam keadaan terlelap. Karena seringnya, Zaki pulang dalam keadaan demikian. Ya, bagaimana tidak? Zaki sudah kelelahan seharian bermain di kantor dan lebih sering terabaikan keberadaannya. “Maafin ibu ya, Nak. Maafin Ibu...” Nabila selalu cengeng ketika membayangkan apapun yang berhubungan soal anak. Karena begini saja, dia sudah berkaca-kaca. Sampai detik ini dia pun masih sangat penasaran, siapa sebenarnya ayah kandung Zaki? Mengapa sekeji ini dia menghancurkan hidupnya? Menghadirkan Zaki ke dunia tanpa adanya cinta, lalu membiarkannya tumbuh tanpa seorang bapa. Pengecut sekali. “Ibu...” Tiba-tiba panggilan anak itu membuyarkan l
Nabila turun ke lantai bawah setelah perbincangan mereka selesai dan ibu mertua sudah masuk ke dalam kamarnya. Dan seolah tak mengetahui apapun, wanita itu bertanya pada Dewa, “Baru pulang banget ya, Mas? Mau dibikinin apa?” “Nggak usah, aku mau langsung mandi,” jawabnya tanpa memandang Nabila. Karena pria itu masih nampak sibuk membalas pesan di ponselnya. “Oh, oke. Kalau gitu aku ucapin bajunya aja, ya.” Nabila berlalu tanpa menunggu kalimat persetujuan. Di kamar mereka, Nabila cekatan memilih dan mengambil piyama Dewa yang dia letakkan di atas ranjang. Wanita itu menunjukkan senyum terbaiknya saat Dewa menyusul. “Kalau ada perlu sesuatu, nggak usah sungkan ya, Mas. Panggil aja, aku di dapur.” Dewa mengangguk. “Makasih, Bila.” Sebuah momen yang sangat langka ketika Dewa bisa mengatakan satu kata tersebut untuknya, setelah sekian lama. Harusnya momen ini Nabila abadikan di suatu penyimpanan sebagai pengingat, kalau pria sedingin Dewa, juga bisa melakukannya. “Sama
Nabila merasa lebih baik hari ini. Pelukan dari Dewa semalam membuatnya merasa hampir penuh, layaknya baterai kosong yang baru saja terisi. Ya, selemah itu Nabila jika berhubungan soal Dewa. Susah-susah dia berusaha move on, tapi baru dicolek sedikit saja sudah langsung luluh lagi. Bodoh memang! “Aku baru aja masakin nasi goreng seafood kesukaanmu, Mas. Mau ya, sarapan dulu,” ujar Nabila saat Dewa hampir saja pergi. Namun seperti biasa, dia selalu lupa caranya berpamitan meskipun dirinya berada di dekatnya. Ah, bukan lupa. Lebih tepatnya sengaja mengabaikan karena rasa bencinya terhadapnya selama ini. “Aku mau sarapan di kantor saja. Jadi kamu masukkan aja ke kotak bekal.” Nabila nyaris melompat saat mendengar Dewa berkata demikian. Sudah terhitung berapa kali pria itu membuatnya terkejut? “Ya, aku siapin bekalmu, Mas,” sahutnya antusias. Nabila menuju ke dapur dan kembali beberapa saat kemudian dengan membawakan kotak bekal yang Dewa mintakan. Saat Dewa kembali bert
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa