Meski berat, namun pada akhirnya Nabila bersyukur karena hampir semua pekerjaannya hari ini bisa selesai lebih awal dari waktu yang diperkirakan.
Tinggal menyetrika pakaian. Tapi biasanya, Nabila hanya akan menyetrika pakaian yang penting-penting saja, seperti kemeja Dewa dan baju kantornya sendiri.Untuk baju si kecil—selain baju-baju tertentu pastinya, maka akan cukup Nabila lipat rapi dan dia masukkan ke dalam lemari.Jam sembilan malam setelah Nabila menidurkan Zaki, Nabila menuju ke kamar Dewa. Di saat yang bersamaan Dewa membuka pintunya.“Ke mana saja kamu? Aku panggil-panggil dari tadi,” kata pria itu.“Zaki baru aja tidur. Nggak bisa kutinggal,” jawab Nabila, “ada apa, Mas?”“Di mana motornya? Kok nggak ada di garasi?”“Motorku ditinggal di kantor. Rusak.”“Bisa-bisanya sampai rusak? Itu kan motor satu-satunya, Bila.”“Maaf, Mas. Kemungkinan akinya rusak, jadi nggak bisa nyala. Tapi besok pasti udah diperbaiki lagi, kok.”Dewa berdecak. “Aku mau pakai.”“Untuk sementara, Mas bisa pesan ojol dulu.”“Lama!”“Emangnya Mas mau ke mana?”“Bukan urusanmu!”Pastinya balasan Dewa barusan menyentak perasaan Nabila yang berusaha dia tutupi. “Tapi kalau ada apa-apa bakalan jadi urusanku, Mas. Kamu suamiku.”Dewa mengibaskan tangannya ke udara sambil berdecih. Dia hanya tak mengatakannya secara terang-terangan, bahwa perkataannya barusan terdengar basi di telinganya.“Hati-hati di jalan, Mas,” ujar Nabila saat Dewa berlalu. Suaranya nyaris hilang tertahan isak tangis.Nabila masuk ke dalam kamar Dewa. Di ranjang yang biasa Dewa tempati, dia tersedu sambil menghidu sisa aroma pria itu. “Ke mana Mas Dewaku yang dulu?”** *Entah jam berapa Dewa pulang kembali ke rumah. Karena saat Nabila terbangun, pria itu sudah berada di sampingnya. Terlelap dengan damai.“Selamat pagi, Mas ...” bisik Nabil di telinganya sambil dia pandangi secara intens.Dilihatnya jarum jam di dinding, sudah menunjukkan angka tiga pagi. Tidak ingin kembali tidur dan lantas kesiangan, Nabila pun beranjak duduk.Kebiasaan rutin yang selalu Nabila lakukan sebelum dia beraktivitas adalah minum air putih hangat. Yang sengaja dia sediakan di termos khusus.Saat tiba-tiba, dia mendengar Dewa bertanya, “Jam berapa ini?”“Loh, Mas? Udah bangun? Ini masih jam tiga,” Nabila menjawab.Dewa ikut-ikutan beranjak. “Aku masih punya pekerjaan.”“Emangnya nggak bisa dilanjut nanti siang saja?”Dewa menggeleng. “Nggak. Harus sekarang supaya jam delapan pagi nanti sudah bisa aku setorkan ke klien,” katanya, “klien yang ini kurang puas sama design-ku sebelumnya dan minta segera direvisi.”Oh, jadi itu yang membuat Dewa pergi malam hari tadi?Tidak dipungkiri Nabila merasa tenang. Karena berarti Dewa tak berbuat aneh-aneh seperti dugaan Dara selama ini.Perlu diketahui, Dewa adalah seorang arsitek di salah satu anak perusahaan ternama. Itulah mengapa sebabnya dia harus mampu kerja di bawah tekanan dan harus bisa mencapai target. Bagaimana pun kondisinya.Terkadang, melihat suaminya yang segigih itu membuat Nabila merasa bangga pada Dewa. Sebab kerja keras yang Dewa lakukan, tak lain adalah untuk mencukupi dirinya dan Zaki.Ya, setidaknya Dewa masih lebih baik. Dia masih mau bertanggung jawab padanya dan Zaki meski dia bukanlah anak kandungnya. Kekurangannya hanya satu, pria itu membenci wanita ini.“Aku buatin Mas kopi, ya,” kata Nabila kemudian tanpa penolakan darinya.Tak sampai lima belas menit, kopi pun terhidang di meja nakas Dewa dan dibonusi roti bakar dua tangkap.Sementara pria itu baru saja keluar dari kamar mandi. Wajahnya sudah kembali segar setelah dia mencuci muka.“Terima kasih,” kata Dewa. Membuat Nabila tersenyum haru karena ini kali pertamanya pria itu bisa berbicara lembut padanya. Setelah sekian lama.“Sama-sama, Mas.” Nabila keluar setelah itu. Tentunya setelah mengambil pakaiannya seperti biasa.** *“Bun, berangkat dulu, ya,” pamit Dewa pada ibundanya setelah dia bersiap.“Nabila mana? Kok nggak sekalian kalian berangkatnya?” wanita itu menyambut uluran tangan sang anak.“Nabila pergi sendiri pakai ojol nanti.”“Kok nggak barengan aja? Kan searah.”“Nabila masih lama.”“Masih lama apanya? Dia udah selesai siap-siap dari tadi,” kata wanita itu lagi tak mau kalah, “Zaki, ayo salim sama Ayah, Sayang.”“Ayah mau kelja, ya? Ati-ati ya, Ayah...” Zaki yang tengah bermain kini berhenti dan mengulurkan tangan mungilnya pada Dewa.“Dijawab dong, Wa!”Teguran sang ibunda membuyarkan lamunan.“Ehm, iya. Zaki juga ati-ati di rumah,” kata Dewa singkat.“Sama anak kok, kaku banget. Heran Bunda sama kamu.”Zaki tak menanggapi, dia hampir saja pergi namun lagi-lagi gerakannya tertahan oleh perkataan wanita itu.“Dewa, kamu mau ke mana?”“Ya, berangkatlah, Bun.”“Itu istrinya nggak dipamitin, nggak diajak bareng juga, gimana sih, kamu? Ya Allah. Gedeg banget Bunda sama kamu, Wa!”Nabila yang baru saja keluar dari dapur dibuat salah tingkahnya saat ibu mertuanya berkata demikian.“Kalau mau bareng cepetanlah, Bil. Kelamaan,” kata Dewa, “aku kan udah bilang sama kamu tadi pagi mau ketemu sama klien jam delapan.”“Eh, nggak usah, Mas. Mungkin Mas lagi buru-buru. Lagipula aku mau mampir dulu,” jawab Nabila beralasan lantaran paham, Dewa pasti tak senang dia ikut bersamanya.“Mampir ke mana kamu pagi-pagi begini, Bila?” tanya sang ibu mertua.“Ehm...pembalut, iya pembalut.” Huuufttt, Nabila sedikit lebih lega setelah menemukan jawabannya.“Tuh, Bunda dengar sendiri kan?”“Lah, Cuma mampir beli itu emangnya berapa lama?”Dewa sungguh malas terlalu lama berbasa-basi seperti ini. Itu sebabnya dia kini mendekat dan mencium Nabila agar urusannya lekas selesai.Nabila mematung sesaat ketika dia merasakan sesuatu dingin menyentuh pipinya. Tampak jelas wanita itu terkejut—sangat-sangat terkejut, meski Nabila segera dapat menormalkan wajahnya lagi.“Aku pergi dulu,” kata Dewa sambil mengusap pipinya pelan dan pergi.“Hati-hati, Mas.” Ada setitik air mata yang jatuh di sudut mata Nabila yang dia usap sebelum ibu mertua menyadarinya.Nabila kembali ke belakang. Berpura-pura sibuk sampai mobil Dewa meninggalkan halaman, barulah kemudian dirinya keluar dari dalam rumah.Nabila tidak menyangka sebelumnya, beberapa saat dia menunggu ojol yang dipesan, mobil Dewa justru kembali.Dari dalam mobilnya, Dewa memintanya untuk naik.“Oh, nggak usah, Mas. Ojol aku udah deket, kok.” Nabila menolak dengan sopan.“Nabila, naik ke mobil. Ayo aku antarkan ke kantormu,” kata Dewa lagi terkesan memaksa.“Tapi, Mas—”“Aku paling nggak suka mengulang-ulang perkataan,” tegasnya membuat Nabila akhirnya membuka mobil dan duduk di samping kemudi.Suasana sepi sunyi. Bermenit-menit mereka lalui perjalanan tanpa pembicaraan. Dewa fokus menyetir mobilnya, Nabila fokus dengan lamunannya.Seandainya bisa memilih, Nabila lebih senang naik ojol daripada berangkat dengan Dewa seperti sekarang ini.Yang di mana, orang asing saja bisa memperlakukan baik dirinya, tapi kenapa suaminya sendiri tidak?“Jadi mampir?” tanya Dewa setelah beberapa saat.“Nggak, Mas,” jawab Nabila tanpa menatap pria itu, “maaf, aku Cuma alasan karena aku pikir, kamu nggak suka aku bersamamu,” katanya berterus terang.“Sorry yang tadi,” kata Dewa lagi tak lama berselang.Dalam sekejap, Nabila dapat mengerti apa yang Dewa maksud. Yakni soal ciuman Dewa.“Anggap aja itu nggak pernah terjadi di antara kita.”Nabila mengangguk, bersamaan dengan air mata yang luruh ke pangkuannya tanpa diperintah. Sesakit inikah rasanya mencintai?Tanpa Nabila sadari, dia turun dari mobil Dewa dengan mata yang sembab. Dan tersebut disadari oleh teman satu timnya yang kini memberikan sebotol concealer padanya.“Nabila kurang tidur atau abis nangis?” tanya wanita itu.“Oh, makasih, Mba.” Nabila terlebih dahulu menerimanya, barulah dia menjawab pertanyaan Risa barusan, “Dua-duanya.”“Ya, ampun. Mengsad banget, sih.”Nabila tersenyum sumbang.“Berat banget ya, masalahnya?”“Lumayan.” Namun bukannya membaik, mata kurang ajar Nabila malah semakin membanjir. Ya, beginilah memang Nabila yang Dewa kenal, dia memang perempuan yang sangat perasa dan sensitif. Bayangkan, dia bahkan sudah memendamnya sendiri selama bertahun-tahun.“Nggak papa, Bil. Puasin aja nggak usah ditahan biar hati kamu lega.”“Nabila, motormu akhirnya nginap di bengkel. Ternyata bukan Cuma akinya yang—” ucapan Aditya terhenti ketika dia mendapati apa yang terjadi di balik meja bawahannya. “M-maaf, Pak. S-saya, nggak profesional,” sahut Nabila buru-buru menghapus ai
Dewa memang bisa dikatakan pria yang aneh. Dia tidak pernah menganggap Nabila sebagai istrinya selama tiga tahun ini. Namun begitu Nabila mengatakan bahwa dia lelah dan ingin pergi, mengapa pria itu tak kunjung menanggapi? Kenapa? Apa Dewa keberatan? Jika keberatan, kenapa dia tak mengatakannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benak Nabila sekarang. Nabila masih termenung sampai beberapa menit berlalu. Saat batas kesabarannya menunggu telah habis dan dia memilih keluar dari kamar ini tanpa pria itu mencegahnya. Dia akan tidur bersama putranya malam ini. Masa bodoh dengan pandangan mertuanya jika salah satu dari mereka mendapatinya pisah ranjang. Nabila sudah tidak peduli lagi sekarang karena yang terpenting adalah kewarasannya. Berkali-kali Nabila katakan, tidak sampai gila saja dia masih untung. Tidak ada perbincangan keesokan harinya. Semua orang kompak diam tanpa bicara. Bahkan ketika Nabila terpaksa membawa sang anak ke tempat kerjanya. Padahal biasanya, wan
“Eh, anakmu ini, Bil?” tanya Risa begitu sang teman tiba di kantor dengan membawa seorang anak laki-laki sangat lucu dan menggemaskan. Terlebih jika dia tersenyum, !aka hilang kedua bola matanya terhimpit pipinya yang tembam. Dan yang terlucu adalah giginya, lantaran ompong di bagian tengah hingga membuatnya seperti drakula mini. “Iya, Mba. Maaf, aku harus bawa anakku ke sini. Soalnya di rumah nggak ada yang jagain. Mau masukin dia ke daycare juga nggak dibolehin sama neneknya. Bingung kan aku jadinya?” jawab Nabila panjang kali lebar. “Oh, my, God ... lutunaaaa.” Risa menjembil pipi Zaki yang kini langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki sang ibu. “Kenapa, Nak? Malu ya, sama tante cantik?” Kepala Zaki malah dirasa semakin dalam. “Kok malah makin ngumpet? Ayo kenalan dulu sama Tante Risa, Sayang.” Nabila mengambil Zaki dan menuntunnya untuk mengulurkan tangan pada Risa. Tapi dia bersembunyi lagi setelah itu. Risa terkekeh, “Dia pemalu banget, ya?” “Padaha
“Jelaskan, kenapa aku harus menyetujui dia membawa anaknya ke sini?” tanya Aditya pada istrinya selepas Nabila keluar dari ruangan.“Kita nggak tau apa alasan dibaliknya,” Siwi menjawab.“Tapi kita bisa dianggap melanggar aturan.”“Tidak apa-apa daripada kamu kehilangan satu tim kreatif sehebat dia. Kamu bilang dia hebat, kan? Karena dia, klien-klienmu yang berasal dari perusahaan besar, berani membayar dua kali lipat iklannya lebih tinggi.”“Kamu benar, Wi... tapi....”Dengan segera Siwi menyela, “Sudah, jangan terlalu banyak tapi. Apa yang membuatmu jadi keberatan, Dit?”“Gimana cara aku menjelaskannya ke mereka—maksudnya anak-anak kantor?”“Gampang saja sebetulnya kalau kamu punya niat. Kamu berkuasa di sini, Dit. Kamu bosnya.”“Nanti dikira aku pilih kasih.”“Dit...” Siwi menggenggam tangan Aditya, meminta pria itu menatapnya, “percaya deh, nggak ada seorang pemimpin yang sempurna.”“Kamu benar, dan aku sedang mengusahakan itu.”“Nggak akan bisa, Dit. Setiap manusia pasti punya ba
“Nabila?” ujar Dara saat membukakan temannya pintu rumah. Ya, wanita itu datang secara tiba-tiba tanpa kabar, sambil menggendong anaknya dengan membawa tas berukuran sedang.Semacam orang yang hendak bepergian, namun lebih dari satu hari. Begitu feeling nya.“Are you okay?” Dara melayangkan pertanyaan itu karena jika dilihat gelagatnya, Nabila jelas tidak sedang baik-baik saja.“Aku ganggu, nggak? Aku butuh tumpangan,” kata Nabila langsung saja, “cuma hari ini aja, kok.”“Mau sampai taun depan juga aku nggak peduli, yang penting kalian masuk dulu sekarang. Ayo masuk, masuk!” Tanpa keberatan, Dara bahkan membantu menggendong Zaki yang dia berikan kecupan sambutan.“Tante bau acem. Hiiiiiyyy Tante bau acem.” Zaki memberontak saat mendapatkan serangan dari teman ibunya seperti ini.“Zaki ngomong yang baik-baik, Nak. Salim sama Tantenya dulu.”“Ngga mau, Tantenya ciumin telus ihhh...”“Tante kan kangen sama Zaki, masa cium nggak boleh?” kata Dara sangat gemas.“Boleh tapinya jangan banak-
“Habis ngelayab dari mana aja kalian baru pulang jam segini? Telepon nggak diangkat, pesan juga nggak dibalas,” cecar Dewa malam harinya begitu Nabila dan Zaki tiba di rumah. “Kita bisa bicara nanti, tapi tolong jangan marah di depan Zaki, Mas. Dia baru banget tidur, nanti bisa kebangun. Susah lagi nidurinnya,” jawab Nabila langsung saja masuk dan naik ke kamar anaknya. “Begitu tuh kalau dibilangin istrimu, Wa. Ada aja jawabannya,” sahut sang ibu terdengar penuh kedengkian. Mungkin karena insiden pertengkaran mereka tadi pagi yang masih menyisakan rasa dongkol di hatinya. Rofiq menggelengkan kepala. “Bun, jangan jadi minyak tanah di atas bara api yang menyala. Biar mereka menyelesaikan sendiri masalahnya. Nggak usah ikut campur.” “Nggak ikut campur apa maksudmu? Nabila pergi seharian pasti karena perselisihan kita tadi pagi.” “Makanya bunda nggak usah terlalu banyak komentar. Udah biarin aja Nabila mau bangun jam berapa. Toh, Dewa juga nggak mempermasalahkannya. Nggak ada mak
“Akhirnya bisa jalan lagi kamu, Black,” gumam Nabila saat motor butut yang sudah wara-wiri rusak itu usai diperbaiki. Sayangnya, Nabila sudah tidak bisa sering-sering memakainya lagi sekarang. Jika dia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Sebab ada Zaki yang harus selalu dia bawa. Merepotkan rasanya jika dia harus membawa anak itu pulang, namun dalam keadaan terlelap. Karena seringnya, Zaki pulang dalam keadaan demikian. Ya, bagaimana tidak? Zaki sudah kelelahan seharian bermain di kantor dan lebih sering terabaikan keberadaannya. “Maafin ibu ya, Nak. Maafin Ibu...” Nabila selalu cengeng ketika membayangkan apapun yang berhubungan soal anak. Karena begini saja, dia sudah berkaca-kaca. Sampai detik ini dia pun masih sangat penasaran, siapa sebenarnya ayah kandung Zaki? Mengapa sekeji ini dia menghancurkan hidupnya? Menghadirkan Zaki ke dunia tanpa adanya cinta, lalu membiarkannya tumbuh tanpa seorang bapa. Pengecut sekali. “Ibu...” Tiba-tiba panggilan anak itu membuyarkan l
Nabila turun ke lantai bawah setelah perbincangan mereka selesai dan ibu mertua sudah masuk ke dalam kamarnya. Dan seolah tak mengetahui apapun, wanita itu bertanya pada Dewa, “Baru pulang banget ya, Mas? Mau dibikinin apa?” “Nggak usah, aku mau langsung mandi,” jawabnya tanpa memandang Nabila. Karena pria itu masih nampak sibuk membalas pesan di ponselnya. “Oh, oke. Kalau gitu aku ucapin bajunya aja, ya.” Nabila berlalu tanpa menunggu kalimat persetujuan. Di kamar mereka, Nabila cekatan memilih dan mengambil piyama Dewa yang dia letakkan di atas ranjang. Wanita itu menunjukkan senyum terbaiknya saat Dewa menyusul. “Kalau ada perlu sesuatu, nggak usah sungkan ya, Mas. Panggil aja, aku di dapur.” Dewa mengangguk. “Makasih, Bila.” Sebuah momen yang sangat langka ketika Dewa bisa mengatakan satu kata tersebut untuknya, setelah sekian lama. Harusnya momen ini Nabila abadikan di suatu penyimpanan sebagai pengingat, kalau pria sedingin Dewa, juga bisa melakukannya. “Sama
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa