Bab 4: Ketemu Bos Ganteng

Hati siapa yang tidak babak belur mendapat penolakan dari suaminya sendiri?

Seperti itu yang selalu Nabila rasakan setiap hari, tapi berusaha ditahannya sampai dia siap melepas semuanya nanti. Ketika dia sudah bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada suaminya lagi.

Saat ini, Nabila sedang pelan-pelan mengumpulkan penghasilan. Sebab tak mungkin dirinya menyisihkan uang Dewa demi kepentingannya sendiri. Sementara dia tak pernah berbuat apa-apa untuknya.

Tidak dipungkiri, selama ini, Nabila memakai uang nafkah dari Dewa untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Tapi hanya sebatas itu. Nabila sadar diri atas statusnya yang hanya seorang istri pajangan.

Masih diterima dan sudah diberi tempat tinggal saja, Nabila sudah sangat bersyukur.

Nabila tidak bisa bayangkan jika Dewa mengusirnya atau mengembalikannya ke rumah dan mengatakan semua yang sejujurnya kepada kedua orang tuanya. Terutama sang ayah yang memiliki riwayat sakit jantung.

Nabila berbalik badan. Ditatapnya sang suami yang kini terbaring menghadapnya. Dia tidak tahu pria itu mengganti posisi setelah semalam memunggunginya.

Namun Nabila pikir, hal ini menguntungkan baginya karena dengan demikian, dia bisa memandangi wajah Dewa dengan leluasa. Tanpa rasa takut.

“Apa masih ada cinta untukku di hatimu, Mas?” bisiknya pelan.

Ah, padahal hari masih pagi begini. Tapi hati Nabila sudah basah dengan linangan air mata.

Kalau masih ada cinta, tentulah Dewa akan memaafkannya. Bukan malah memberinya jarak seluas samudra.

“Dia udah ada perempun lain kali, Bil,” kata temannya, Dara. Saat mereka sedang berbicara hanya berdua saja.

“Kalau ada, pasti Dewa sudah menceraikan aku dari dulu,” balas Nabila.

“Ya, bisa aja dia menjalin hubungan di belakang kamu.”

“Selingkuh? Dewa bukan orang yang seperti itu, Dar.”

“Tau dari mana kalau dia bukan orang yang seperti itu? Nggak ada laki-laki yang bisa menahan kebutuhan biologisnya selama bertahun-tahun, Bil. Kecuali kalau dia nggak normal.”

“Dia bisa. Buktinya, dia nggak pernah melakukannya saat kami pacaran. Dia sangat menjaga kehormatanku.” Nabila tetap beranggapan demikian karena dia sangat mengenal Dewa-nya. Dia bukan sembarang pria yang gampang celap-celup ke sembarang perempuan.

“Ya, semoga aja begitu, Bil. Meskipun, maaf ... aku agak kurang percaya,” kata Dara lagi.

Nabila bukan tidak pernah berusaha merayu Dewa. Sudah berpuluh-puluh kali Nabila mencoba untuk memulainya lebih dulu—salah satunya adalah ketika dia menerima saran dari Dara agar dia memakai baju setengah terbuka di depan Dewa.

Dengan tujuan agar pria itu mau melihatnya. Tertarik, sebagaimana seorang suami pada umumnya yang senang, apabila melihat istrinya memakai baju seksi di depannya.

Tapi justru yang Nabila dapatkan adalah sebuah lontaran kata pedas. Bahkan tak segan berekspresi jijik. Lantaran terbayang bagaimana cara Nabila berpenampilan demikian di depan pria lain. Bahkan mungkin, lebih dari ini.

Oleh karena itulah, Nabila kini berpasrah. Dia tidak akan datang lagi, kecuali menunggu harapan yang tersisa.

“Sehat selalu, Mas,” gumam Nabila lagi yang kini memberanikan diri untuk mengusap rambut tebalnya. Ya, tapi hanya sebatas itu saja dia bertindak. Sebelum Dewa mendapatinya berbuat lebih.

Nabila bangkit sebelum Dewa terbangun dari tidurnya. Wanita itu mengambil pakaiannya di lemari dan seluruh peralatan make up dan kerjanya—agar dia tak perlu menggedor pintu kamar Dewa lagi seperti kemarin.

Nabila membersihkan tubuhnya di kamar sang anak. Dewa jijik padanya dan dia tak ingin Dewa marah karena telah mengotori fasilitas dia di kamarnya.

Nabila baru turun setengah jam kemudian. Seperti biasa, dia akan memasak dan berbenah.

Pekerjaan Nabila lebih banyak. Tentu saja. Itu sebabnya dia sudah merasa lelah saat mengawali pekerjaannya pagi ini.

Dan itu nampak jelas di wajah sang atasan yang tak sengaja mendapatinya demikian.

“Lemes banget, Bil. Belum sarapan?” tanya pria itu yang bernama Aditya.

“Eh, udah padahal, Pak.”

“Lalu? Sakit? Apa lagi kurang darah?”

“Lebih tepatnya kurang dana, Pak,” kekeh Nabila berusaha untuk tetap ceria di depan setiap orang. Meski hatinya berdarah-darah.

“Kalau itu sih, kayaknya emang penyakit semua orang, Bil,” sahut yang lain. Sementara Aditya hanya terkekeh sambil berlalu ke meja kerjanya.

Sudah satu bulan Nabila bekerja di sini dan dia pun sudah mendapatkan gaji pertamanya.

Nabila betah. Dia berteman akrab dengan semua teman-temannya. Jauh dengan cerita orang yang katanya, pekerja kantor rata-rata itu dipenuhi orang-orang toxic.

Karena nyatanya, mereka memperlakukan Nabila dengan sangat manusiawi. Kerja sama mereka sangat adil dan lagi, bayarannya pun sepadan.

Matahari sudah hampir tenggelam saat Nabila menyalakan kendaraan roda duanya. Namun beberapa menit berlalu, motor bebek keluaran lama itu tak juga menyala.

Kendaraannya berulah sehingga Nabila harus meminta bantuan pada orang lain untuk mengubahnya menjadi standar dua, agar dia bisa lebih mudah saat menyelah.

Meski tetap saja, demikian tidak bisa membuatnya menyala. Sehingga Nabila putuskan untuk mendorongnya ke bengkel terdekat.

“Nabila?”

Nabila berhenti dan menoleh saat suara seseorang memanggilnya. “Eh, Pak Aditya?”

Pria itu turun dari mobil dan menghampirinya. “Kenapa motormu?”

“Nggak tau, Pak. Tiba-tiba aja nggak nyala,” Nabila menjawab,

“Rusak akinya?”

“Nggg... mungkin. Saya nggak tau jenis-jenis kerusakan motor.”

“Jangan-jangan nggak tau juga kalau motor itu harus ganti oli,” kata pria berusia 34 tahun itu membuat Nabila langsung menyanggah.

“Enggak dong, Pak. Saya selalu ganti sebulan sekali.”

Si bos terkekeh. “Coba saya bantu cek.”

“Makasih banyak, Pak.”

Lima menit setelah dicoba, barulah Aditya mengetahu di mana kerusakannya. Benar dugaannya, ada kerusakan di aki yang menyebabkan motor ini mati total.

“Begini saja. Supaya Nabila nggak repot dorong motor, kebetulan bengkel cukup jauh dari sini. Sebaiknya motor ini Nabila kembalikan saja ke kantor, tinggalkan di sana. Nanti biar saya hubungi montir untuk diperbaiki dan bisa kamu ambil besok,” kata Aditya memberikan masukan.

“Oh, begitu, Pak? Saya takut merepotkan.”

“Tidak.”

“Baik, terima kasih bantuannya, Pak Aditya.”

Pria itu mengangguk dan melangkah pergi.

Padahal Nabila berharap pria itu menawarkan tumpangan padanya. Kalau sudah begini, Nabila tidak yakin bisa pulang tepat waktu.

“Loh, kan ada ojek online. Kenapa musti bingung?”

Nabila menitipkan kuncinya pada seorang OG, sebelum kemudian menaiki ojek online yang dia pesan.

Tiba di rumah, Nabila langsung disuguhi berbagai pekerjaan. Belum lagi mendengar keluhan ibu mertuanya yang katanya, kuwalahan menjaga Zaki. Karena anak itu sangat aktif dan sangat susah disuapi makan.

“Maaf ya, Bun. Zaki emang gitu, agak bandel anaknya. Apa nggak sebaiknya besok Zaki aku titipin aja ke daycare. Biar ibu nggak repot.”

“Agak lain ya, kamu ini. Kan mendingan kamu aja yang berhenti kerja. Urus rumah daripada anaknya dititipin.”

“Bun, kita kan udah bahas ini kemarin dan Bunda udah setuju.”

“Ah, sudahlah. Pusing Bunda hadapin mantu yang ngeyelan seperti kamu. Nggak kasihan kamu sama anak sendiri?”

Bila hanya bisa terdiam sambil mengelusi kepala sang anak yang kini menyandar di pundaknya.

Lebih kasihan lagi nasibku, Bun....