“Pindahkan semua barang-barangmu ke kamarku!” kata Dewa usai kedua orang tuanya pergi dan di terpaksa menyetujui mereka untuk tinggal.
Sehingga keduanya terlebih dahulu pulang untuk mengambil semua barang keperluan mereka.“Nggak usah, ngapain? Aku bisa tidur di kamar Zaki,” balas Nabila enggan karena Dewa tak memintanya dengan baik, alias terpaksa.“Mereka bisa memergokimu jika malam atau siang namun tak mendapati barang-barangmu di sana.”“Apa yang kamu takutkan, Mas? Memang kenyataannya kita tidak pernah tidur bersama.”“Nabila, menurutlah! Jangan berlagak sok paling tersakiti. Kamulah yang menghancurkan semua mimpi-mimpiku yang kubangun susah payah!” teriak Dewa dengan sorot mata menajam. “Cepat masuklah ke kamarmu dan ambil semua barang-barangmu!”“Kamu nggak perlu melakukannya kalau kamu terpaksa,” Nabila memberanikan diri untuk melawan.“Dan apa kamu siap kalau mereka dan orang tuamu tahu hubungan kita yang sebenarnya? Tentang kita, juga tentang Zaki, dari mana anak harammu itu berasal? Orang tuamu akan sangat kecewa padamu, Nabila!”Bibir Nabila mengatup. Hatinya tersentak. Dia tidak menyangka sekejam itu Dewa mengancam dirinya.Tentu saja dia tidak akan siap bila orang tuanya mengetahui hal tersebut. Yang ada, papanya bisa mengalami serangan jantung.Dengan langkah berat, Nabila menuju ke kamarnya. Memindahkan dengan cepat barang-barangnya ke kamar Dewa sebelum kedua mertuanya tiba.Beruntung Zaki ikut mereka, jadi tidak ada yang merusuhi Nabila saat ia sedang berbenah. Sehingga Nabila bisa menyelesaikannya tepat waktu.“Bunda sama Ayah tidur di kamar mana, Nabila?” tanya Adawiyah begitu mereka tiba di sini lagi.Dewa yang baru saja membantu ibundanya menurunkan barang-barang menjawab, “Di kamar bawah, Bun. Sudah dibersihkan Nabila barusan.”“Terima kasih, Nabila.”“Sama-sama, Bun.” Nabila tersenyum.Beruntung, Nabila sudah membeli bahan makanan saat pulang. Jadi sore ini dia bisa langsung mengeksekusinya untuk makan malam.Nabila sangat lelah. Baru pulang kerja, langsung menjemput Zaki di daycare, berbelanja, berbenah, memasak dan menyiapkan segalanya sampai ia tak sempat mengganti pakaian.Itu sebabnya, Nabila mengetuk pintu kamar Dewa, berniat hendak mengambil pakaian.Sayang, Dewa tak kunjung membuka pintunya dan membuat dia berdiri selama beberapa lama. Jadi Nabila terpaksa bertahan dengan kondisinya yang demikian.Wajah kusam dan badan bau masakan.Tuhan, kuatkan aku Tuhan.“Kok, masih pakai baju kerja, Nabila? Belum mandi juga, kamu?” Adawiyah menegur ketika makan malam dimulai.“Nanti aja sekalian kotor, Bun,” Nabila menjawab.“Dewa, bantuin istrimu melakukan pekerjaan rumahnya, dong. Kan kamu yang menyetujui Bila kerja, jadi harus mendukungnya. Minimal bantu Bila pegang Zaki dulu kalau dia sedang mengurus rumah. Kasihan loh, Bila belum sempat mikirin diri sendiri sedangkan kamu udah segar begitu,” kata Adawiyah pada anaknya sendiri.“Baik, Bun,” jawab Dewa tak lama berselang.“Iya, Jaki kan mau main sama Ayah. Mau main bola sama peshawat,” celetukan anak itu membuat Dewa seketika panik.Anak itu! Gawat sekali mulutnya.“Nah, tuh. Dengar nggak, apa kata anakmu? Anak kecil itu biasanya jujur loh. Pasti dia bilang begitu karena kamu jarang memperhatikannya,” kata Adawiyah lagi membuat Dewa mati kutu.Tapi juga tak mau melakukannya dan tetap duduk di tempat. Bahkan setelah makan malam selesai dan Nabila kembali direpotkan lagi dengan cucian piring. Sambil menggendong Zaki di punggungnya.Anak itu sudah sangat mengantuk. Namun ia belum sempat menidurkannya.“Mas, bisa minta tolong bawa Zaki ke atas?” pinta Nabila memelas. "Zaki udah harus tidur tapi aku belum sele--"Ucapan Nabila terhenti saat Dewa beranjak dengan gerakan kasar. "Beraninya kamu menyuruhku untuk membawa anak harammu itu!"Air mata Nabila langsung mengucur bebas mendengar perkataan Dewa barusan. Hatinya seperti dipelintir acap kali pria itu menyebut Zaki anak haram."Kamu boleh membenciku sepuas hatimu, Mas. Tapi jangan Zaki. Dia nggak tau apa-apa atas kesalahan orang tuanya. Jadi biarlah aku yang menanggungnya," isak Nabila.** *Akhirnya pekerjaan Nabila selesai juga. Dia pun menuju ke atas, pastinya setelah dia mengunci pintu dan memastikan semua makanan yang berpotensi basi, masuk ke dalam kulkas.Di punggungnya, Zaki sudah tertidur lelap. Diletakkannya anak itu di ranjangnya dan dia selimuti sampai batas leher."Tidur yang nyenyak ya, kesayangan Ibu, penyemangat Ibu ..." ujar Nabila mengecup ujung kepala sang anak.Sebelum membersihkan diri, Nabila menuju ke tempat jemuran untuk mencari-cari baju yang bisa dia pakai malam ini.Dia tidak mau lagi mengetuk pintu kamar Dewa lantaran takut, pria itu tak mau membukakan pintunya lagi seperti tadi.Namun tanpa diduga, Dewa justru menariknya saat dia tak sengaja melintas di depan kamarnya.Nabila memekik kecil, ia sangat terkejut dengan gerakan Dewa yang terlalu tiba-tiba. "Akhp!""Heh, apa kamu tuli? Aku menyuruhmu tidur di sini malam ini?! Aku paling benci kalau harus mengulang-ulang perkataan!" bentaknya pada Nabila yang hanya bisa mengusap dada, sebab tersentak akan tindakannya.Barulah beberapa saat, Nabila menjawab, "Aku udah ketuk kamarmu sebelum ini, tapi kamu nggak membukanya, jadi ....""Cepat mandi dan ganti pakaianmu!" sela Dewa tidak mau tahu.Nabila masuk ke dalam kamar mandi dan keluar setelah beberapa saat kemudian dengan keadaan yang sudah berganti pakaian.Dewa sendiri sudah bebaring di ranjangnya sekarang. Hanya dengan mengenakan kaus putih dan celana pendeknya seperti biasa."Apa kamu sudi seranjang denganku, Mas?" tanya Nabila membuat pria itu menemui pandangan matanya. "Maksudku, aku bisa tidur di bawah kalau kamu nggak mau."Lagi-lagi Nabila tak kunjung mendapat jawaban, sehingga di menyimpulkan sendiri bahwa pria itu memang tak bersedia seranjang bersamanya.Itu sebabnya, Nabila membuka lemari dan menurunkan bed cover nya untuk alas tidur.Tapi sebelum itu terjadi, Dewa menghentikannya dengan mengatakan, "Kamu boleh tidur di sini."Mata Nabila kembali membanjir dalam keremangan lampu kamar. Dia terharu luar biasa. Karena akhirnya, dia bisa tidur satu ranjang dengan Dewa. Suami yang sangat dia cintai dan dia benci sekaligus.Bukan hanya itu saja, dia bahkan mendapa perhatian kecil dari pria itu."Cepat istirahatlah, Nabila. Ini sudah jam 11. Kamu bisa sakit kalau nggak segera beristirahat. Besok kamu harus bangun pagi.""I-iya, Mas." Nabila ikut bergabung dengan Dewa. Ia memosisikan tubuhnya miring menghadap punggung pria itu dan membayangkan, andai dia dapat memeluknya."Aku kangen banget sama kamu, Mas...."Tangan Nabila terulur untuk menyentuh lengan Dewa, saat bersamaan pria itu menoleh."Mau apa kamu?" tanya Dewa dengan nada dingin dan mata menajam seperti biasanya.Nabila mengurungkan gerakannya, bibirnya bergetar menahan isak tangis yang membebaninya. "Mas apa boleh, sekali aja aku memelukmu?"Nabila menghitung sampai sepuluh dalam hatinya. Sebelum akhirnya dia menggelengkan kepala dan membalikkan tubuh dengan bahu berguncang.Hati siapa yang tidak babak belur mendapat penolakan dari suaminya sendiri?Seperti itu yang selalu Nabila rasakan setiap hari, tapi berusaha ditahannya sampai dia siap melepas semuanya nanti. Ketika dia sudah bisa hidup mandiri, tidak bergantung pada suaminya lagi.Saat ini, Nabila sedang pelan-pelan mengumpulkan penghasilan. Sebab tak mungkin dirinya menyisihkan uang Dewa demi kepentingannya sendiri. Sementara dia tak pernah berbuat apa-apa untuknya.Tidak dipungkiri, selama ini, Nabila memakai uang nafkah dari Dewa untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Tapi hanya sebatas itu. Nabila sadar diri atas statusnya yang hanya seorang istri pajangan. Masih diterima dan sudah diberi tempat tinggal saja, Nabila sudah sangat bersyukur. Nabila tidak bisa bayangkan jika Dewa mengusirnya atau mengembalikannya ke rumah dan mengatakan semua yang sejujurnya kepada kedua orang tuanya. Terutama sang ayah yang memiliki riwayat sakit jantung.Nabila berbalik badan. Ditatapnya sang suami yang kini terba
Meski berat, namun pada akhirnya Nabila bersyukur karena hampir semua pekerjaannya hari ini bisa selesai lebih awal dari waktu yang diperkirakan. Tinggal menyetrika pakaian. Tapi biasanya, Nabila hanya akan menyetrika pakaian yang penting-penting saja, seperti kemeja Dewa dan baju kantornya sendiri.Untuk baju si kecil—selain baju-baju tertentu pastinya, maka akan cukup Nabila lipat rapi dan dia masukkan ke dalam lemari. Jam sembilan malam setelah Nabila menidurkan Zaki, Nabila menuju ke kamar Dewa. Di saat yang bersamaan Dewa membuka pintunya.“Ke mana saja kamu? Aku panggil-panggil dari tadi,” kata pria itu.“Zaki baru aja tidur. Nggak bisa kutinggal,” jawab Nabila, “ada apa, Mas?”“Di mana motornya? Kok nggak ada di garasi?”“Motorku ditinggal di kantor. Rusak.”“Bisa-bisanya sampai rusak? Itu kan motor satu-satunya, Bila.”“Maaf, Mas. Kemungkinan akinya rusak, jadi nggak bisa nyala. Tapi besok pasti udah diperbaiki lagi, kok.”Dewa berdecak. “Aku mau pakai.”“Untuk sementara, Ma
Tanpa Nabila sadari, dia turun dari mobil Dewa dengan mata yang sembab. Dan tersebut disadari oleh teman satu timnya yang kini memberikan sebotol concealer padanya.“Nabila kurang tidur atau abis nangis?” tanya wanita itu.“Oh, makasih, Mba.” Nabila terlebih dahulu menerimanya, barulah dia menjawab pertanyaan Risa barusan, “Dua-duanya.”“Ya, ampun. Mengsad banget, sih.”Nabila tersenyum sumbang.“Berat banget ya, masalahnya?”“Lumayan.” Namun bukannya membaik, mata kurang ajar Nabila malah semakin membanjir. Ya, beginilah memang Nabila yang Dewa kenal, dia memang perempuan yang sangat perasa dan sensitif. Bayangkan, dia bahkan sudah memendamnya sendiri selama bertahun-tahun.“Nggak papa, Bil. Puasin aja nggak usah ditahan biar hati kamu lega.”“Nabila, motormu akhirnya nginap di bengkel. Ternyata bukan Cuma akinya yang—” ucapan Aditya terhenti ketika dia mendapati apa yang terjadi di balik meja bawahannya. “M-maaf, Pak. S-saya, nggak profesional,” sahut Nabila buru-buru menghapus ai
Dewa memang bisa dikatakan pria yang aneh. Dia tidak pernah menganggap Nabila sebagai istrinya selama tiga tahun ini. Namun begitu Nabila mengatakan bahwa dia lelah dan ingin pergi, mengapa pria itu tak kunjung menanggapi? Kenapa? Apa Dewa keberatan? Jika keberatan, kenapa dia tak mengatakannya? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam benak Nabila sekarang. Nabila masih termenung sampai beberapa menit berlalu. Saat batas kesabarannya menunggu telah habis dan dia memilih keluar dari kamar ini tanpa pria itu mencegahnya. Dia akan tidur bersama putranya malam ini. Masa bodoh dengan pandangan mertuanya jika salah satu dari mereka mendapatinya pisah ranjang. Nabila sudah tidak peduli lagi sekarang karena yang terpenting adalah kewarasannya. Berkali-kali Nabila katakan, tidak sampai gila saja dia masih untung. Tidak ada perbincangan keesokan harinya. Semua orang kompak diam tanpa bicara. Bahkan ketika Nabila terpaksa membawa sang anak ke tempat kerjanya. Padahal biasanya, wan
“Eh, anakmu ini, Bil?” tanya Risa begitu sang teman tiba di kantor dengan membawa seorang anak laki-laki sangat lucu dan menggemaskan. Terlebih jika dia tersenyum, !aka hilang kedua bola matanya terhimpit pipinya yang tembam. Dan yang terlucu adalah giginya, lantaran ompong di bagian tengah hingga membuatnya seperti drakula mini. “Iya, Mba. Maaf, aku harus bawa anakku ke sini. Soalnya di rumah nggak ada yang jagain. Mau masukin dia ke daycare juga nggak dibolehin sama neneknya. Bingung kan aku jadinya?” jawab Nabila panjang kali lebar. “Oh, my, God ... lutunaaaa.” Risa menjembil pipi Zaki yang kini langsung menyembunyikan kepalanya di antara kedua kaki sang ibu. “Kenapa, Nak? Malu ya, sama tante cantik?” Kepala Zaki malah dirasa semakin dalam. “Kok malah makin ngumpet? Ayo kenalan dulu sama Tante Risa, Sayang.” Nabila mengambil Zaki dan menuntunnya untuk mengulurkan tangan pada Risa. Tapi dia bersembunyi lagi setelah itu. Risa terkekeh, “Dia pemalu banget, ya?” “Padaha
“Jelaskan, kenapa aku harus menyetujui dia membawa anaknya ke sini?” tanya Aditya pada istrinya selepas Nabila keluar dari ruangan.“Kita nggak tau apa alasan dibaliknya,” Siwi menjawab.“Tapi kita bisa dianggap melanggar aturan.”“Tidak apa-apa daripada kamu kehilangan satu tim kreatif sehebat dia. Kamu bilang dia hebat, kan? Karena dia, klien-klienmu yang berasal dari perusahaan besar, berani membayar dua kali lipat iklannya lebih tinggi.”“Kamu benar, Wi... tapi....”Dengan segera Siwi menyela, “Sudah, jangan terlalu banyak tapi. Apa yang membuatmu jadi keberatan, Dit?”“Gimana cara aku menjelaskannya ke mereka—maksudnya anak-anak kantor?”“Gampang saja sebetulnya kalau kamu punya niat. Kamu berkuasa di sini, Dit. Kamu bosnya.”“Nanti dikira aku pilih kasih.”“Dit...” Siwi menggenggam tangan Aditya, meminta pria itu menatapnya, “percaya deh, nggak ada seorang pemimpin yang sempurna.”“Kamu benar, dan aku sedang mengusahakan itu.”“Nggak akan bisa, Dit. Setiap manusia pasti punya ba
“Nabila?” ujar Dara saat membukakan temannya pintu rumah. Ya, wanita itu datang secara tiba-tiba tanpa kabar, sambil menggendong anaknya dengan membawa tas berukuran sedang.Semacam orang yang hendak bepergian, namun lebih dari satu hari. Begitu feeling nya.“Are you okay?” Dara melayangkan pertanyaan itu karena jika dilihat gelagatnya, Nabila jelas tidak sedang baik-baik saja.“Aku ganggu, nggak? Aku butuh tumpangan,” kata Nabila langsung saja, “cuma hari ini aja, kok.”“Mau sampai taun depan juga aku nggak peduli, yang penting kalian masuk dulu sekarang. Ayo masuk, masuk!” Tanpa keberatan, Dara bahkan membantu menggendong Zaki yang dia berikan kecupan sambutan.“Tante bau acem. Hiiiiiyyy Tante bau acem.” Zaki memberontak saat mendapatkan serangan dari teman ibunya seperti ini.“Zaki ngomong yang baik-baik, Nak. Salim sama Tantenya dulu.”“Ngga mau, Tantenya ciumin telus ihhh...”“Tante kan kangen sama Zaki, masa cium nggak boleh?” kata Dara sangat gemas.“Boleh tapinya jangan banak-
“Habis ngelayab dari mana aja kalian baru pulang jam segini? Telepon nggak diangkat, pesan juga nggak dibalas,” cecar Dewa malam harinya begitu Nabila dan Zaki tiba di rumah. “Kita bisa bicara nanti, tapi tolong jangan marah di depan Zaki, Mas. Dia baru banget tidur, nanti bisa kebangun. Susah lagi nidurinnya,” jawab Nabila langsung saja masuk dan naik ke kamar anaknya. “Begitu tuh kalau dibilangin istrimu, Wa. Ada aja jawabannya,” sahut sang ibu terdengar penuh kedengkian. Mungkin karena insiden pertengkaran mereka tadi pagi yang masih menyisakan rasa dongkol di hatinya. Rofiq menggelengkan kepala. “Bun, jangan jadi minyak tanah di atas bara api yang menyala. Biar mereka menyelesaikan sendiri masalahnya. Nggak usah ikut campur.” “Nggak ikut campur apa maksudmu? Nabila pergi seharian pasti karena perselisihan kita tadi pagi.” “Makanya bunda nggak usah terlalu banyak komentar. Udah biarin aja Nabila mau bangun jam berapa. Toh, Dewa juga nggak mempermasalahkannya. Nggak ada mak
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa