Home / Romansa / Istri Tanpa Nafkah (Batin) / Bab 10: Memulai Perencanaan

Share

Bab 10: Memulai Perencanaan

Author: Ana_miauw
last update Last Updated: 2024-05-17 07:35:12

“Nabila?” ujar Dara saat membukakan temannya pintu rumah. Ya, wanita itu datang secara tiba-tiba tanpa kabar, sambil menggendong anaknya dengan membawa tas berukuran sedang.

Semacam orang yang hendak bepergian, namun lebih dari satu hari. Begitu feeling nya.

“Are you okay?” Dara melayangkan pertanyaan itu karena jika dilihat gelagatnya, Nabila jelas tidak sedang baik-baik saja.

“Aku ganggu, nggak? Aku butuh tumpangan,” kata Nabila langsung saja, “cuma hari ini aja, kok.”

“Mau sampai taun depan juga aku nggak peduli, yang penting kalian masuk dulu sekarang. Ayo masuk, masuk!” Tanpa keberatan, Dara bahkan membantu menggendong Zaki yang dia berikan kecupan sambutan.

“Tante bau acem. Hiiiiiyyy Tante bau acem.” Zaki memberontak saat mendapatkan serangan dari teman ibunya seperti ini.

“Zaki ngomong yang baik-baik, Nak. Salim sama Tantenya dulu.”

“Ngga mau, Tantenya ciumin telus ihhh...”

“Tante kan kangen sama Zaki, masa cium nggak boleh?” kata Dara sangat gemas.

“Boleh tapinya jangan banak-
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 11: Air Mata Di Jalan Pulang

    “Habis ngelayab dari mana aja kalian baru pulang jam segini? Telepon nggak diangkat, pesan juga nggak dibalas,” cecar Dewa malam harinya begitu Nabila dan Zaki tiba di rumah. “Kita bisa bicara nanti, tapi tolong jangan marah di depan Zaki, Mas. Dia baru banget tidur, nanti bisa kebangun. Susah lagi nidurinnya,” jawab Nabila langsung saja masuk dan naik ke kamar anaknya. “Begitu tuh kalau dibilangin istrimu, Wa. Ada aja jawabannya,” sahut sang ibu terdengar penuh kedengkian. Mungkin karena insiden pertengkaran mereka tadi pagi yang masih menyisakan rasa dongkol di hatinya. Rofiq menggelengkan kepala. “Bun, jangan jadi minyak tanah di atas bara api yang menyala. Biar mereka menyelesaikan sendiri masalahnya. Nggak usah ikut campur.” “Nggak ikut campur apa maksudmu? Nabila pergi seharian pasti karena perselisihan kita tadi pagi.” “Makanya bunda nggak usah terlalu banyak komentar. Udah biarin aja Nabila mau bangun jam berapa. Toh, Dewa juga nggak mempermasalahkannya. Nggak ada mak

    Last Updated : 2024-05-17
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 12: Lika-liku Kehidupan

    “Akhirnya bisa jalan lagi kamu, Black,” gumam Nabila saat motor butut yang sudah wara-wiri rusak itu usai diperbaiki. Sayangnya, Nabila sudah tidak bisa sering-sering memakainya lagi sekarang. Jika dia tidak sedang dalam keadaan terdesak. Sebab ada Zaki yang harus selalu dia bawa. Merepotkan rasanya jika dia harus membawa anak itu pulang, namun dalam keadaan terlelap. Karena seringnya, Zaki pulang dalam keadaan demikian. Ya, bagaimana tidak? Zaki sudah kelelahan seharian bermain di kantor dan lebih sering terabaikan keberadaannya. “Maafin ibu ya, Nak. Maafin Ibu...” Nabila selalu cengeng ketika membayangkan apapun yang berhubungan soal anak. Karena begini saja, dia sudah berkaca-kaca. Sampai detik ini dia pun masih sangat penasaran, siapa sebenarnya ayah kandung Zaki? Mengapa sekeji ini dia menghancurkan hidupnya? Menghadirkan Zaki ke dunia tanpa adanya cinta, lalu membiarkannya tumbuh tanpa seorang bapa. Pengecut sekali. “Ibu...” Tiba-tiba panggilan anak itu membuyarkan l

    Last Updated : 2024-05-18
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 13: Pelukan Hangat

    Nabila turun ke lantai bawah setelah perbincangan mereka selesai dan ibu mertua sudah masuk ke dalam kamarnya. Dan seolah tak mengetahui apapun, wanita itu bertanya pada Dewa, “Baru pulang banget ya, Mas? Mau dibikinin apa?” “Nggak usah, aku mau langsung mandi,” jawabnya tanpa memandang Nabila. Karena pria itu masih nampak sibuk membalas pesan di ponselnya. “Oh, oke. Kalau gitu aku ucapin bajunya aja, ya.” Nabila berlalu tanpa menunggu kalimat persetujuan. Di kamar mereka, Nabila cekatan memilih dan mengambil piyama Dewa yang dia letakkan di atas ranjang. Wanita itu menunjukkan senyum terbaiknya saat Dewa menyusul. “Kalau ada perlu sesuatu, nggak usah sungkan ya, Mas. Panggil aja, aku di dapur.” Dewa mengangguk. “Makasih, Bila.” Sebuah momen yang sangat langka ketika Dewa bisa mengatakan satu kata tersebut untuknya, setelah sekian lama. Harusnya momen ini Nabila abadikan di suatu penyimpanan sebagai pengingat, kalau pria sedingin Dewa, juga bisa melakukannya. “Sama

    Last Updated : 2024-05-18
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 14: Kejutan Yang ke Berapa Kali?

    Nabila merasa lebih baik hari ini. Pelukan dari Dewa semalam membuatnya merasa hampir penuh, layaknya baterai kosong yang baru saja terisi. Ya, selemah itu Nabila jika berhubungan soal Dewa. Susah-susah dia berusaha move on, tapi baru dicolek sedikit saja sudah langsung luluh lagi. Bodoh memang! “Aku baru aja masakin nasi goreng seafood kesukaanmu, Mas. Mau ya, sarapan dulu,” ujar Nabila saat Dewa hampir saja pergi. Namun seperti biasa, dia selalu lupa caranya berpamitan meskipun dirinya berada di dekatnya. Ah, bukan lupa. Lebih tepatnya sengaja mengabaikan karena rasa bencinya terhadapnya selama ini. “Aku mau sarapan di kantor saja. Jadi kamu masukkan aja ke kotak bekal.” Nabila nyaris melompat saat mendengar Dewa berkata demikian. Sudah terhitung berapa kali pria itu membuatnya terkejut? “Ya, aku siapin bekalmu, Mas,” sahutnya antusias. Nabila menuju ke dapur dan kembali beberapa saat kemudian dengan membawakan kotak bekal yang Dewa mintakan. Saat Dewa kembali bert

    Last Updated : 2024-05-19
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 15: Sadarlah!

    “Mas? Tumben udah pulang.” Nabila terheran ketika ia pulang dan mendapati sang suami sudah berada di rumah. Padahal selama ini pria itu hampir tak pernah pulang secepat ini. Ada apa gerangan? Dan kenapa wajah Dewa terlihat pucat dan lesu? Apa dia sakit? Hampir saja Nabila bertanya untuk menuntaskan rasa penasaran di kepalanya. Adawiyyah sudah lebih dulu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya, tidak diajukan untuk wanita itu. “Suamimu itu pulang dari siang. Sakit dia. Makanya kamu itu--” “Bun!” peringat Dewa agar ibunya tak melanjutkan kalimatnya. “Kenapa, Wa? Biarin aja ibu mau bilang apa. Bila harus paham kalau seorang istri itu harus selalu ada saat suaminya membutuhkannya.” Bila menghela napas panjang. Rasanya baru kemarin kepalanya bisa dingin karena sang mertua mendiamkannya. Tapi sekarang wanita itu sudah mulai mengoceh lagi. Rajin sekali beliau menjadi sang komentator. Seolah jika sehari saja beliau tak mengomel, bibirnya akan terkena penyakit gat

    Last Updated : 2024-05-19
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 16: Halah, Terserah!

    Tengah malam Nabila turun ke dapur. Wanita itu sibuk berkutat di sana membuatkan sup hangat untuk suaminya. Beruntung ia menyempatkan untuk berbelanja sebelum pulang di rumah, jadi ia tidak terlalu kebingungan saat membutuhkan bahan-bahan masakan tersebut. “Emang udah diatur sama Allah kali ya, supaya aku tergerak buat beli sayur-sayuran sebelum pulang,” pikirnya demikian. Nabila kembali ke kamar Dewa setelah sup buatannya matang. Saat itu ia mendapati Dewa sudah mengganti posisinya menjadi duduk. “Aku buatin sup hangat, Mas. Obatnya di mana biar aku siapin.” “Di laci,” jawab pria itu menggestur ke arah meja nakas. Sedikit canggung Nabila duduk di hadapan Dewa untuk membantunya menelan suapan, namun ia paksakan seolah ia baik-baik saja. “Aku nggak peduli kalau Mas mengira aku sengaja mencari kesempatan mendekati kamu saat kamu sakit. Nggak peduli. Jadi, makanlah, Mas. Kesampingkan dulu semua pikiran pikiran itu, kamu sedang sangat membutuhkan bantuanku.” Seperti biasa,

    Last Updated : 2024-05-20
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 17: Sama-Sama Terluka

    “Assalamualaikum! Ibu, to tok to tok!” seru Zaki dari luar. Lucunya, bukan pintu yang dibunyikan. Melainkan suaranya sendiri. “Loh, Zaki?” ujar Nabila segera membukakan pintu tersebut, “Pagi sekali bangunnya anak Ibu...” “Kan Jaki mau ikut Ibu ke kantol,” tuturnya. Nabila berjongkok agar bisa berbicara lebih dekat dengan sang anak. “Ibu hari ini nggak bisa berangkat ke kantor, Nak. Ayah sakit.” “Ayah sakit?" kedua mata anak batita itu memancarkan ketulusan saat menanyakannya. "Udah dibawa ke doktel?” Nabila tersenyum dan mengusap kepala sang anak. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja pikirnya. “Udah kemarin sama Uti.” Zaki melongok ke dalam. “Mau lihat ayah...” “Liatnya dari sini aja, ya. Ayah lagi sakit jadi nggak boleh diganggu.” Nabila terpaksa berbohong, ia tidak ingin Zaki kecewa andai Dewa menolaknya. Seperti kejadian yang sudah-sudah. Namun tanpa disangka, Nabila mendengar Dewa mengizinkan. “Biarkan dia masuk, Bil.” Barulah setelah mendapat lampu hijau tersebut, Nab

    Last Updated : 2024-05-20
  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 18: Lah, Lah! Kok, Ngamuk?

    “Dil dicariin tuh sama Pak Aditya,” ujar Risa pada Nabila begitu dia keluar dari ruangan atasannya itu. Nabila yang tengah memberikan susu pada anaknya spontan mendongak, “Iya sebentar, Ris. Oh, iya, kamu udah sembuh?” “Masih mules sebenarnya. Tapi bisa kok, aku bawa kerja. Aman-aman...” “Makanya jangan kebanyakan makan sambel. Langsung kambuh kan, jadinya?” “Susah banget hindari sambel, habisnya enak. Nggak berasa makan kalau nggak pakai itu.” Ponsel Nabila di atas meja berdering. Nama Pak Aditya terpampang jelas di sana yang tentunya tak luput dari penglihatan Risa. Sehingga temannya itu langsung memandanginya dengan tatapan curiga. “Hayooo ... ada urusan apa kamu sama Pak Aditya?” Pertanyaan yang mengandung tuduhan itu membuat Nabila spontan menatap ke sekeliling. Takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar perkataan hoax Risa barusan. Dengan segera, dia menepis, “Ris, yang bener kalau ngomong. Nanti kedengaran sama orang malah jadi fitnah. Trus dibumbuin lagi sama mer

    Last Updated : 2024-05-21

Latest chapter

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 125: Tamat

    “Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 124: Go Public

    Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 123: Baperan Banget

    Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 122: Kondusif

    Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 121: Aku Sebenernya...

    “Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 120: Say Papa

    “Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 119: Sudah Mengetahui Semuanya

    “Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 118: Sidang

    “Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b

  • Istri Tanpa Nafkah (Batin)   Bab 117: Mencurigainya

    Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa

DMCA.com Protection Status