“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga prosesnya.” Nabila sudah bisa tersenyum lega sekarang karena akhirnya, bisa menerima tujuh berkas yang seharusnya dia miliki, setelah dia jadi mengambil KPR rumah. Ya, meskipun demikian Nabila dapatkan dengan cara mencicil. Namun tidak apa-apa, setidaknya dia tidak perlu khawatir lagi di bawah atap yang mana dia dan anaknya akan berteduh, seandainya hujan badai menghadangnya di masa depan. “Nggak boleh ada yang tau dulu kalau aku udah punya hunian sendiri.” Bersama Zaki, dia membawa semua berkasnya ke rumah Dara untuk dititipkan. Karena Nabila percaya, di sanalah tempat yang paling aman menyembunyikan harta berharganya. Bukan di mana pun, apalagi di rumah suaminya sendiri yang kini sudah berubah menjadi neraka dunia. “Kamu keren, Bil. Kamu hebat! Aku bangga sama kamu,” ujar Dara begitu keduanya tiba di sana. “Tenang aja, kamu datang ke orang yang tepat. Berkas-berkas ini bakal aku taruh di brangkas ku, kujadikan satu sama perhiasan, jad
Bukan Nabila namanya kalau apa-apa nggak pakai dipikir. Ya, bagaimana tidak? Hanya perkataan Dewa semalam—lebih tepatnya saat pria itu meminta doa yang terbaik untuk mereka—membuatnya jadi banyak melamun sepanjang hari ini. Padahal belum tentu pria itu serius dengan ucapannya, padahal bisa saja dia hanya sedang bersandiwara di depan ibunya seperti biasa. Tahu sendiri bagaimana bencinya pria itu dengannya. Ya, walaupun akhir-akhir ini Nabila rasa perlahan Dewa sudah mulai berubah. Kepada Zaki pun Dewa sudah bisa bersikap lebih hangat, sampai bocah itu terus-terusan menanyakannya karena rindu. ”Kalau benci sama aku, nggak niat hidup sama aku, kenapa nggak langsung ceraikan aja sih, Mas. Kenapa aku ditarik ulur nggak jelas begini? Kadang hari ini baik, kadang besok jahat, besoknya berubah lagi. Bikin repot perasaan orang aja.” Maksud Nabila, jika Dewa yang mengatakan langsung mereka harus bagaimana, pasti semua akan jauh lebih mudah. Nabila masih merasa berat untuk memutuskan
Nabila sedang berada di depan cermin sekarang ini. Wanita itu tersenyum karena hadiah dari Dewa yang berupa kalung tersebut, menambah kesan manis di lehernya. “Bagus juga.” Membuat Dewa di belakangnya yang sedang mengawasi ikut bertanya, “Kamu suka?” “Iya, suka, Mas. Suka banget.” Rasa terima kasihnya membawa Nabila pada sebuah tindakan mengejutkan tanpa sadar. Yakni memeluk pria itu. Beruntungnya Dewa tak menolak dekapan dan lingkaran tangannya kali ini. Bayangkan andai demikian terjadi, maka sedalam apa sakit yang harus Nabila rasakan--setelah dirinya baru saja dilambungkan ke angan-angan. Nabila baru menyadari tindakan keterlaluan nya beberapa saat kemudian. Sontak dia segera melepaskan dirinya dari pria itu. Lalu dengan hati yang tak menentu karena perasaan bersalahnya, dia terbata-bata, “M-maaf, Mas. Aku nggak sengaja. Aku refleks aja tadi. Mas paham kan, orang kalau lagi euforia pasti...” Anggukan kepala Dewa menghentikan kalimat Nabila. Hingga kini dia memberanikan diri un
“Woi!” “Ck!” Nabila berdecak sebal. Bahkan lirikan matanya saja sudah dapat membuktikan bagaimana kesalnya dia dengan si pelaku yang telah berhasil membuatnya terkejut. “Seneng? Seneng udah berhasil bikin aku kaget? Untungnya aku nggak jantungan.” “Lagian bukannya nggarap tugas malah ngelamun. Mana sambil cengar-cengir sendiri lagi. Dah kayak orang gila aja kamu.” Risa menyodorkan kotak makanan yang dibawanya. “Nih, makan! Oleh-oleh cowok gue kemaren dari SBY.” “Susilo Bambang Yudhoyono?” “Nggak, Mukidi.” Nabila tergelak tawa. Namun bukan ia tak tahu SBY yang dimaksud oleh temannya itu. SBY yang Risa maksud adalah salah satu kota terbesar di Jawa Timur yang terkenal dengan makanan khasnya almond crispy-nya—seperti yang tengah Risa berikan padanya saat ini. “Langsung masukin ke laci aja, Bil. Nggak enak sama temen yang lain. Soalnya cuma kamu yang aku kasih. Coz cuma dikit.” “Kenapa cuma aku? Oh, iya aku kan teman spesialmu, ya?” “Jangan kepedean dulu, woi. Aku baik ke kamu kare
“Mana Nabila?” tanya Aditya pada resepsionisnya lantaran wanita itu tak ia temukan di meja kerjanya. Ya, ada problem. Zaki tak sengaja menjatuhkan kopinya ke lantai dan membuat ruangannya menjadi kotor. Jadi sudah seharusnya ibunya Zaki-lah yang bertanggung jawab untuk membersihkan. Meski awalnya, dialah yang mengajak Zaki untuk masuk. Bermain bersamanya di sana agar ia tak merasa kesepian. OG atau OB memang ditugaskan untuk menjaga kebersihan dan kerapian seluruh isi kantor, tapi kesalahan yang dibuat oleh anak Nabila, jelas bukan termasuk pekerjaannya. "Wah, kalau itu saya kurang tau, Pak. Tapi selama saya duduk di sini, saya nggak liat beliau keluar sih, Pak. Jadi mungkin hanya sedang izin pergi sebentar ke toilet atau ke ruangan lain," jawab Sisil, "apa perlu saya carikan, Pak? Barang kali urgent." "Nggak perlu. Cukup kamu kabarkan saja temanmu yang lain kalau saya mencarinya." Zaki yang kini ada di gendongannya bertanya, "Kok Ibu bisa hilang? Diculik ya, Om?" "Nggaak. Meman
“Bapak keberatan?” tanya Nabila karena lelaki itu terdiam cukup lama . Dan Nabila pikir, dia harus segera menjelaskan tujuannya sebelum pria itu salah sangka, “Saya sungguh-sungguh, Pak. Nggak ada niat apapun selain membahas soal ini.”“Nggak. Mau ketemuan di mana?”“Di ...” Nabila menggeleng, “bapak saja yang nentuin tempatnya. Saya tinggal ngikut.”“Ok. Nanti saya hubungi kamu.”Nabila mengangguk. “Baik, Pak.”Nabila pun merampungkan pekerjaannya lebih cepat demi pertemuan mereka sore hari ini. Namun tidak langsung pulang ke rumah, ya tentu saja. Melainkan ke rumah Dara untuk menitipkan Zaki sebentar di sana.Selain berbahaya membawa anak itu bersamanya—yang berisiko membocorkan—tidak mungkin dia titipkan pada ibu mertuanya karena dapat menimbulkan banyak pertanyaan. Ke mana kamu pergi, untuk apa kamu ke sana, kenapa harus ke tempat itu, berapa lama lama kamu di sana dan lain sebagainya. Terlalu banyak wawancara!“Titip Zaki bentar ya, Dar.”“Iyaa aman tenang aja. Kamu hati-hati, y
Nabila langsung menuju ke minimarket terdekat. Membeli beberapa barang kebutuhan yang sebenarnya, tidak terlalu mendesak untuk dibeli. Kecuali hanya untuk memenuhi sandiwara kebohongannya semata.Tak lupa Nabila juga membeli beberapa mainan untuk menepati janjinya pada Zaki. Harapannya dengan begini, kepergiannya tak dicurigai. Terlalu malas untuk menjelaskan jika dirinya baru saja pergi untuk melakukan pertemuan dengan Aditya, namun untuk membahas masalah yang ada di luar pekerjaan. Yang ada ... dirinya-lah yang nantinya justru disalahkan. Masalah menjadi semakin panjang dan terburuknya, tak diizinkan bekerja di sana lagi. Lantas jika sudah demikian, bagaimana dengan nasib cicilannya yang masih berjalan? Siapa yang akan bertanggungjawab? Ia yakini Dewa tidak akan bersedia meneruskannya.Nabila segera kembali ke rumah Dara. Mengesampingkan pikiran lelah dan tubuh remuk redamnya, dia berakting ceria ketika dirinya tiba di depan pintu. “Assalamualaikuuuum!”“Ikumcalam ibu...” Zaki de
“Haaaatcciii!”“Haaatciiii!”Sudah tak terhitung berapa kali Nabila bersin sepulang dia dari rumah Dara. Sepertinya benar, tubuh yang sedari siang tadi terasa sangat payah, remuk redam dan tak karuan, memang ada hubungannya dengan flu yang sedang dialaminya saat ini.“Kayaknya harus cepet-cepet dihajar sama vitamin. Bisa tumbang kalau enggak.”Ya, vitamin memang perlu, tapi sepertinya Nabila lupa. Yang paling tubuhnya butuhkan saat ini adalah istirahat yang cukup. Alhasil, vitamin dan makanan sehat yang dia makan, tak bisa membantu membuatnya menjadi lebih baik pada keesokan harinya alias, sama saja.Habis, macam mana lagi? Tidak ada kata libur bagi seorang ibu—seorang wanita mulia di dalam sebuah pernikahan. Mereka dituntut untuk tetap prima dalam kondisi apapun. Kalau tidak ingin, semua isi rumahnya kalang kabut.Sebenarnya dalam kalimat tersebut, tergantung dari siapa keluarganya. Tapi di dalam kasus yang Nabila alami sekarang ini, keluarga dia memang berbeda dari nasib wanita keba
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa