“Mana Nabila?” tanya Aditya pada resepsionisnya lantaran wanita itu tak ia temukan di meja kerjanya. Ya, ada problem. Zaki tak sengaja menjatuhkan kopinya ke lantai dan membuat ruangannya menjadi kotor. Jadi sudah seharusnya ibunya Zaki-lah yang bertanggung jawab untuk membersihkan. Meski awalnya, dialah yang mengajak Zaki untuk masuk. Bermain bersamanya di sana agar ia tak merasa kesepian. OG atau OB memang ditugaskan untuk menjaga kebersihan dan kerapian seluruh isi kantor, tapi kesalahan yang dibuat oleh anak Nabila, jelas bukan termasuk pekerjaannya. "Wah, kalau itu saya kurang tau, Pak. Tapi selama saya duduk di sini, saya nggak liat beliau keluar sih, Pak. Jadi mungkin hanya sedang izin pergi sebentar ke toilet atau ke ruangan lain," jawab Sisil, "apa perlu saya carikan, Pak? Barang kali urgent." "Nggak perlu. Cukup kamu kabarkan saja temanmu yang lain kalau saya mencarinya." Zaki yang kini ada di gendongannya bertanya, "Kok Ibu bisa hilang? Diculik ya, Om?" "Nggaak. Meman
“Bapak keberatan?” tanya Nabila karena lelaki itu terdiam cukup lama . Dan Nabila pikir, dia harus segera menjelaskan tujuannya sebelum pria itu salah sangka, “Saya sungguh-sungguh, Pak. Nggak ada niat apapun selain membahas soal ini.”“Nggak. Mau ketemuan di mana?”“Di ...” Nabila menggeleng, “bapak saja yang nentuin tempatnya. Saya tinggal ngikut.”“Ok. Nanti saya hubungi kamu.”Nabila mengangguk. “Baik, Pak.”Nabila pun merampungkan pekerjaannya lebih cepat demi pertemuan mereka sore hari ini. Namun tidak langsung pulang ke rumah, ya tentu saja. Melainkan ke rumah Dara untuk menitipkan Zaki sebentar di sana.Selain berbahaya membawa anak itu bersamanya—yang berisiko membocorkan—tidak mungkin dia titipkan pada ibu mertuanya karena dapat menimbulkan banyak pertanyaan. Ke mana kamu pergi, untuk apa kamu ke sana, kenapa harus ke tempat itu, berapa lama lama kamu di sana dan lain sebagainya. Terlalu banyak wawancara!“Titip Zaki bentar ya, Dar.”“Iyaa aman tenang aja. Kamu hati-hati, y
Nabila langsung menuju ke minimarket terdekat. Membeli beberapa barang kebutuhan yang sebenarnya, tidak terlalu mendesak untuk dibeli. Kecuali hanya untuk memenuhi sandiwara kebohongannya semata.Tak lupa Nabila juga membeli beberapa mainan untuk menepati janjinya pada Zaki. Harapannya dengan begini, kepergiannya tak dicurigai. Terlalu malas untuk menjelaskan jika dirinya baru saja pergi untuk melakukan pertemuan dengan Aditya, namun untuk membahas masalah yang ada di luar pekerjaan. Yang ada ... dirinya-lah yang nantinya justru disalahkan. Masalah menjadi semakin panjang dan terburuknya, tak diizinkan bekerja di sana lagi. Lantas jika sudah demikian, bagaimana dengan nasib cicilannya yang masih berjalan? Siapa yang akan bertanggungjawab? Ia yakini Dewa tidak akan bersedia meneruskannya.Nabila segera kembali ke rumah Dara. Mengesampingkan pikiran lelah dan tubuh remuk redamnya, dia berakting ceria ketika dirinya tiba di depan pintu. “Assalamualaikuuuum!”“Ikumcalam ibu...” Zaki de
“Haaaatcciii!”“Haaatciiii!”Sudah tak terhitung berapa kali Nabila bersin sepulang dia dari rumah Dara. Sepertinya benar, tubuh yang sedari siang tadi terasa sangat payah, remuk redam dan tak karuan, memang ada hubungannya dengan flu yang sedang dialaminya saat ini.“Kayaknya harus cepet-cepet dihajar sama vitamin. Bisa tumbang kalau enggak.”Ya, vitamin memang perlu, tapi sepertinya Nabila lupa. Yang paling tubuhnya butuhkan saat ini adalah istirahat yang cukup. Alhasil, vitamin dan makanan sehat yang dia makan, tak bisa membantu membuatnya menjadi lebih baik pada keesokan harinya alias, sama saja.Habis, macam mana lagi? Tidak ada kata libur bagi seorang ibu—seorang wanita mulia di dalam sebuah pernikahan. Mereka dituntut untuk tetap prima dalam kondisi apapun. Kalau tidak ingin, semua isi rumahnya kalang kabut.Sebenarnya dalam kalimat tersebut, tergantung dari siapa keluarganya. Tapi di dalam kasus yang Nabila alami sekarang ini, keluarga dia memang berbeda dari nasib wanita keba
Di Kantor ADT “Masih belum sadar juga?” Risa menoleh pada seseorang yang barusan bertanya. Ya, dia adalah pria yang membawa Nabila kembali ke kantor. “Belum, Pak.” “Dia cuma pingsan kan, nggak koma?” kata pria itu lagi membuat Risa terheran, kendati jawaban yang terdengar juga sama-sama meresahkan. Keduanya ternyata sama errornya, nyelenehnya. “Masa iya sampai koma. Nabila nggak kena benturan apapun, kepalanya juga masih normal, nggak peang.” “Apa mau dibawa ke rumah sakit saja? Ada keluarga yang bisa dihubungi, nggak?” “Haduh, ya kali hapenya nggak dikunci, Pak. Kalau bisa mah udah dari tadi saya colong kontak nomer suaminya.” “Yaudahlah, biarin aja nanti juga bangun sendiri. Siapa suruh pingsan kelamaan.” Bukan tanpa sebab Aditya berkata demikian, dia dan Risa sudah mencoba menyadarkan Nabila dengan berbagai cara. Tapi dari semua usaha mereka tak ada satupun yang berhasil membangunkannya. “Minimal napas buatanlah, Pak, yang belum,” seloroh Risa. Namun yang membuatnya tak
Dewa masih mengintimidasinya dengan tatapan yang menajam. Namun apakah pria itu pikir demikian akan membuat Nabila takut? Menciut? Tidak punya keberanian?Sama sekali tidak. Nabila tidak akan takut selama dirinya berada di jalan yang benar. Seseorang hanya boleh takut kepada Tuhan atau jika dia merasa memiliki kesalahan. Sedangkan dirinya? Dia tidak membuat kesalahan apapun!Nabila tekankan sekali lagi, dia tidak pernah membuat kesalahan apapun!“Lalu apa? Di mana masalahnya? Jelaskan kalau memang itu ada,” jawab Nabila tetap merasa tenang.“Jangan pura-pura nggak tau?!” serunya. Untungnya kamar mereka kedap suara, jadi suara keras Dewa bisa dipastikan tak akan terdengar sampai keluar.“Kalau aku tahu, nggak mungkin aku tanya kamu balik,” balas Nabila.“Dasar perempuan munafik! Memuakkan!”“Ayo, jelasin secara gamblang apa yang menjadi sebab kemarahanmu, Mas. Jangan bikin aku makin nggak ngerti.”Dewa tidak bisa lurus dengan pertanyaan Nabila saat itu, dia hanya sedang ingin memuaskan
Kedua mata Nabila membanjir usai Dewa melakukan penyatuan mereka. Wanita itu berusaha bangkit di sisa-sisa kesadaran yang masih ia miliki. Noda merah di seprai dan bekas-bekas kemerahan di kedua lengannya sudah jelas menjadi bukti, betapa Dewa telah melakukan kekerasan yang tidak seharusnya. Ya, beberapa waktu yang lalu, Nabila memang berharap Dewa menginginkannya. Tapi setelah ia mendapatkannya sekarang, Nabila justru menyesal dan ingin menarik kembali harapannya. Karena ternyata ini sangat menyakitkan. Dewa tak melakukannya dengan baik, pria itu telah merenggut harga dirinya tanpa sisa. “Bil...” ucap Dewa pelan merengkuh kedua bahu Nabila agar dia mau menatap mata ini, “a-aku ....” “Lepas!” Nabila menyingkirkan tangan pria itu. “Nabila, maafkan aku.” Nabila menemui pandangannya dengan tatapan mendalam, hingga sesaat dia berujar, “I hate you!” “Nabila! Nabila!" BRAKK! Pintu kamar Dewa ditutup dengan begitu kerasnya. Nabila keluar dengan sisa pakaian yang masih melekat di t
ADT Media “Masih belum berangkat juga si Bila?” “Belum, Pak. Masih sakit katanya,” Risa menjawab pertanyaan bosnya yang setiap pagi, datang ke sini dengan pertanyaan yang sama. Risa tidak merasa keberatan sebenarnya Aditya mau datang ke sini berapa kali. Toh, dia atasannya—orang yang berhak dan memberikan bawahannya segala jenis perintah yang repotkan. Hanya saja semenjak kejadian kemarin, Risa jadi parno. Takut dikait-kaitkan dengan pria itu juga seperti Nabila. Lalu timbullah berbagai macam perspektif dan cerita karangan yang menyebar luas hingga menimbulkan kericuhan. Tahu sendiri, bagaimana lemesnya mulut orang-orang yang ada di kantor ini. Lemes bukan artian yang sebenarnya, ya. Tapi lemes dalam bahasa gaul yang artinya ember, lanyap, atau orang yang tidak bisa menjaga rahasia dan cenderung senang berkoar-koar menyebarkan suatu informasi yang belum tentu pasti. Hah, tapi ya, sudah. Habis macam mana lagi? Karena yang Aditya tahu, cuma Risa-lah satu-satunya teman dekat Nabil
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa