Kedua mata Nabila membanjir usai Dewa melakukan penyatuan mereka. Wanita itu berusaha bangkit di sisa-sisa kesadaran yang masih ia miliki. Noda merah di seprai dan bekas-bekas kemerahan di kedua lengannya sudah jelas menjadi bukti, betapa Dewa telah melakukan kekerasan yang tidak seharusnya. Ya, beberapa waktu yang lalu, Nabila memang berharap Dewa menginginkannya. Tapi setelah ia mendapatkannya sekarang, Nabila justru menyesal dan ingin menarik kembali harapannya. Karena ternyata ini sangat menyakitkan. Dewa tak melakukannya dengan baik, pria itu telah merenggut harga dirinya tanpa sisa. âBil...â ucap Dewa pelan merengkuh kedua bahu Nabila agar dia mau menatap mata ini, âa-aku ....â âLepas!â Nabila menyingkirkan tangan pria itu. âNabila, maafkan aku.â Nabila menemui pandangannya dengan tatapan mendalam, hingga sesaat dia berujar, âI hate you!â âNabila! Nabila!" BRAKK! Pintu kamar Dewa ditutup dengan begitu kerasnya. Nabila keluar dengan sisa pakaian yang masih melekat di t
ADT Media âMasih belum berangkat juga si Bila?â âBelum, Pak. Masih sakit katanya,â Risa menjawab pertanyaan bosnya yang setiap pagi, datang ke sini dengan pertanyaan yang sama. Risa tidak merasa keberatan sebenarnya Aditya mau datang ke sini berapa kali. Toh, dia atasannyaâorang yang berhak dan memberikan bawahannya segala jenis perintah yang repotkan. Hanya saja semenjak kejadian kemarin, Risa jadi parno. Takut dikait-kaitkan dengan pria itu juga seperti Nabila. Lalu timbullah berbagai macam perspektif dan cerita karangan yang menyebar luas hingga menimbulkan kericuhan. Tahu sendiri, bagaimana lemesnya mulut orang-orang yang ada di kantor ini. Lemes bukan artian yang sebenarnya, ya. Tapi lemes dalam bahasa gaul yang artinya ember, lanyap, atau orang yang tidak bisa menjaga rahasia dan cenderung senang berkoar-koar menyebarkan suatu informasi yang belum tentu pasti. Hah, tapi ya, sudah. Habis macam mana lagi? Karena yang Aditya tahu, cuma Risa-lah satu-satunya teman dekat Nabil
Sudah dapat dipastikan, kedatangan kedua orang tua Nabila tentulah untuk sebuah kepentingan. Terlebih jika kedatangannya tepat di tengah-tengah huru-hara seperti ini. Lantas, untuk apalagi kalau bukan untuk menyidang anaknya itu? Dara masih berada di rumah baru Nabila, namun dia memilih untuk menepi bersama Zaki dengan dalih ingin mengajaknya bermain. Sebelum orang-orang tersebut mengusirnya, baik secara halus maupun secara frontal. Sebab anti bagi Dara dianggap tak tahu diri oleh orang lain. Ya, tidak ada yang boleh menilainya seperti itu, karena dia sangat mencintai dirinya, setinggi-tingginya. Beralih ke ruang tamu Pembicaraan ke empat orang di ruang tamu saat ini belum berlangsung, sampai akhirnya Papa Rusdi-lah yang pertama kali bersuaraâyang seketika memecahkan keheningan diantara mereka. âNabila?â Yang dipanggil langsung menegakkan kepalanya untuk menatap lelaki itu, âIya, Pa.â âKata Dewa kamu sakit?â Nabila mengangguk tak lama berselang. âSakit apa?â âTifus
Kenapa masalahnya jadi runyam begini? Nabila pusing memikirkannya. Belum satu masalah selesai, sekarang sudah bertambah lagi masalah yang baru. Ini juga. Kenapa Mama dan Papanya tiba-tiba datang dan ikut-ikutan menyudutkannya? Kalau tidak tahu cerita yang sebenarnya kenapa tidak memastikannya terlebih dahulu? Main langsung menyalahkan saja seolah sebuah rumah tangga hanya dibangun oleh satu orang. Dewa juga ikut andil besar dalam kerusakan pernikahan mereka. Ok, Nabila tidak melupakan masalahnya yang telah lalu. Dia masih ingat betul kok, kalau Dewa bukanlah ayah kandung Zaki. Tapi hukuman yang selama ini Nabila terima juga tidak main-main, Ferguso! Tiga tahun itu bukan waktu yang sebentar untuk menunggu. Hidup bersama mertua seperti Adawiyyah dan Rofiq juga bukan perkara yang mudah. Nabila sudah hampir gila dibuatnya. Iya, iya, sudahlah. Meskipun sakit hatinya Nabila sudah tak terbendung, dia masih bisa menoleransi nya. Memaklumi kalau mereka adalah orang tua. Tapi yang terakhi
ADT Media âAkhirnya masuk kantor juga si Miss Ribet ini,â ujar Risa begitu sang teman tiba di sana. âAre you okay?â Nabila mengangguk dan membalas pelukan gadis itu. Namun menyadari raut wajahnya yang lesu membuat Risa berasumsi, âEh, tapi belum deh, kayaknya.â âSoalnya sakitnya bukan cuma di badan, Ris,â kata Nabila akhirnya bersuara. âBukannya masalahnya udah selesai, ya? Pak bos udah pecat tuh cewek. Ketiga-tiganya sekaligus malah.â âSerius?â Nabila belum sepenuhnya percaya, dia butuh diyakinkan sekali lagi. âIya, serius. Nggak percaya liat aja sendiri, yang duduk di sana udah beda orang.â Nabila mengikuti arah pandang sang teman dan benar saja, sudah tidak ada lagi mereka di sana selain orang baru. âOh, wow....â Risa menyentuh bagian tengah tubuh Nabila dan berusaha menggapai lemak wanita itu. Tapi sayangnya ia tak mendapatkannya hingga ia terkekeh. âKe mana ya, lemaknya? Perasaan kemarin masih banyak.â âAbis badan aku, Ris. Udahlah sakit, stres juga.â âYa udah, tenang
âUdah jam lima, Nak. Udahan dulu mainnya, ya. Nanti kemalaman kita sampainya,â bujuk Nabila pada sang anak yang sore hari ini, tidak mau berpisah dengan broman-nya. âTapi Jaki masih mau main sama Om,â tolak Zaki merasa keberatan. âPlease ya, Pak. Saya minta tolong...banget. Sebaiknya jangan terlalu dekat sama Zaki, soalnya dia tuh kalau udah nempel, susah bujuknya,â mohon Nabila dengan sangat. âNggak papa, Nabila. Dia nggak rewel, kok. Saya nggak merasa keberatan, senang saja ditemani sama dia,â balas Aditya. âBukan masalah rewel dan nggak rewelnya, tapi saya jadi susah balik kalau begini. Lagian masalah yang kemarin juga kan, salah satu faktornya karena dia. Saya nggak mau kabar yang udah sempat meredup ini malah jadi ke-up lagi, karena orang-orang masih ngeliat kedekatan kita dan pada akhirnya malah membenarkan semua kabar itu.â âNgapain dipikirin? Istri saya aja santai,â lagi-lagi Aditya bersikap cuek. Meski demikian dia tetap berusaha membantu Nabila untuk membujuk si bocah b
Masih terlalu pagi saat Nabila tiba di kantornya. Tapi baru jam tujuh saja kepalanya sudah terasa penuh dijejali dengan berbagai macam masalah pelik. Seharusnya Nabila bisa meletakkan dulu salah satunya karena ia harus profesional dalam bekerja. Pun harus meyakini bahwa Zaki sudah berada di tempat yang tepat, banyak teman, bersama orang-orang baik dan yang pasti juga terjamin makanan dan pendidikannya. Namun bagaimana caranya jika tangisan Zaki terus terngiang-ngiang di kepalanyaâlantaran Zaki mengira dialah yang bersalah sehingga harus ditempatkan di sana lagi. Kemudian dengan langkah kecilnya anak itu berlari mengejar agar dirinya bersedia memaafkannya dan berjanji, tidak akan nakal lagi. Terbayang kan, bagaimana dilematis nya Nabila sebagai seorang ibu saat itu? Tapi lagi-lagi Nabila tak punya pilihan. Selalu saja dia ditempatkan di posisi yang sulit. Baik satu dengan yang lainnya sama-sama memiliki efek yang dapat merugikannya. âKenapa dia harus lahir dari rahim wanita bodoh da
âNggak mungkin aku hamil lagi,â gumam Nabila meratapi nasib malangnya andai demikian benar-benar terjadi. Ditatapnya alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya saat mereka pulang. Nabila ragu, Nabila tak karuan. Butuh mental yang kuat untuk melakukan tes ini, sebab ia harus siap menerima jika kenyataan yang diduganya adalah sebuah kepastian. Nabila merasa tubuhnya gemetaran saat membuka kemasan ituâyang kemudian stiknya ia masukkan ke dalam wadah urinnya. Nabila memejamkan matanya begitu air seni melewati garis pembatas. Dia baru memberanikan diri untuk membuka matanya setelah satu menit kemudian. Dan saat itulah kedua matanya langsung berlinang, mengetahui kenyataan bahwa dia memang benar-benar positif! Tubuh Nabila melemas seketika. Terhuyung-huyung dia keluar dari kamar mandi untuk mencari ke tempat duduk. Dalam kesendiriannya, wanita itu terisak-isak. Mengapa dia harus hamil dalam keadaan seperti ini lagi? Hati Nabila hancur mengingat setiap anak yang ia kandung harus terl
âUdah ah, Mas. Capek.âAditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. âBaru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?ââAku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.ââBB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?ââIni anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.â Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. âBukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?ââYa, alhamdulillah...ââBerapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.ââDia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. âKecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.â âKayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.â âKamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.â Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. âKan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.â âKelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.â âBelum tentu," sahut Nabila segera, âudahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.â âBiar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. âLoh, kok, Papa ada di sini juga?â Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. âIya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.â Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. âO-oohh?â dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
âHayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?â Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. âOh my God, Risaaa!â langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. âIyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,â ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. âKamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.ââMales dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.ââ
âKita nanti main, yuk!ââMau main ke mana?ââJaki mau berenang di rumahnya Nainai.ââBoleh ... kapan?â agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. âBesok yah?â kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. âTapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?ââHu'um.â Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, âBoleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.âMungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. âNgga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.ââDikit aja, Om ... eh, Pa?âBerdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. âApa tadi manggilnya? Coba Pa
âDari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,â tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. âIya, ada keperluan bentar,â jawab Nabila, âsi bocil nggak bangun kan?ââNggak kedengaran nangis sih.â Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. âGimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?ââKurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.âMama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. âYa udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.ââMama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.ââNamanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.ââIya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
âKamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?â tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. âKarena Zaki?â jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? âMaaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.â âPapa kecewa sama kamu!â Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. âLagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?ââNggak! Jaki ngga mau ada hantunya!â teriaknya membalas bujukan sang ibunda. âYa udah, makanya besok aja renangnya.ââHuwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. âHeh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa