Masih terlalu pagi saat Nabila tiba di kantornya. Tapi baru jam tujuh saja kepalanya sudah terasa penuh dijejali dengan berbagai macam masalah pelik. Seharusnya Nabila bisa meletakkan dulu salah satunya karena ia harus profesional dalam bekerja. Pun harus meyakini bahwa Zaki sudah berada di tempat yang tepat, banyak teman, bersama orang-orang baik dan yang pasti juga terjamin makanan dan pendidikannya. Namun bagaimana caranya jika tangisan Zaki terus terngiang-ngiang di kepalanya—lantaran Zaki mengira dialah yang bersalah sehingga harus ditempatkan di sana lagi. Kemudian dengan langkah kecilnya anak itu berlari mengejar agar dirinya bersedia memaafkannya dan berjanji, tidak akan nakal lagi. Terbayang kan, bagaimana dilematis nya Nabila sebagai seorang ibu saat itu? Tapi lagi-lagi Nabila tak punya pilihan. Selalu saja dia ditempatkan di posisi yang sulit. Baik satu dengan yang lainnya sama-sama memiliki efek yang dapat merugikannya. “Kenapa dia harus lahir dari rahim wanita bodoh da
“Nggak mungkin aku hamil lagi,” gumam Nabila meratapi nasib malangnya andai demikian benar-benar terjadi. Ditatapnya alat tes kehamilan yang baru saja dibelinya saat mereka pulang. Nabila ragu, Nabila tak karuan. Butuh mental yang kuat untuk melakukan tes ini, sebab ia harus siap menerima jika kenyataan yang diduganya adalah sebuah kepastian. Nabila merasa tubuhnya gemetaran saat membuka kemasan itu—yang kemudian stiknya ia masukkan ke dalam wadah urinnya. Nabila memejamkan matanya begitu air seni melewati garis pembatas. Dia baru memberanikan diri untuk membuka matanya setelah satu menit kemudian. Dan saat itulah kedua matanya langsung berlinang, mengetahui kenyataan bahwa dia memang benar-benar positif! Tubuh Nabila melemas seketika. Terhuyung-huyung dia keluar dari kamar mandi untuk mencari ke tempat duduk. Dalam kesendiriannya, wanita itu terisak-isak. Mengapa dia harus hamil dalam keadaan seperti ini lagi? Hati Nabila hancur mengingat setiap anak yang ia kandung harus terl
Penangkapan dan pengecekan rumah Nabila sudah selesai ketika Aditya menghampiri wanita itu di depan, dengan membawa tabung bening berisi ular tersebut.“Nih, ularnya. Mau diapain? Dipelihara?”“Haduh, nggak, deh. Makasih. Biar bapak kasih saya 100 juta pun saya nggak akan mau,” jawab Nabila.“Bener, Bu. Dapet 100 juta tapi nyawa melayang buat apa?” sahut seorang satpam yang membantunya.Aditya terkekeh. “Kirain mau pelihara. Kan bisa buat nakut-nakutin orang yang nggak mau bayar utang.”“Coba tawarin ke rentenir, siapa tau laku,” balas Nabila.“Nggak akan mau mereka. Mereka udah punya ular sendiri-sendiri,” sahut yang lain membuat Nabila berdecak dan menggelengkan kepala mendengar jokes gelap bapak-bapak itu. “Warning, ada anak kecil!” sahut satpam kompleks.“Ngeliatnya jangan saya, Pak. Bukan saya yang bilang, tapi Pak Irfan, tuh,” kata Aditya, sebelum kini dia membersamai Nabila dan Zaki duduk. Pria itu menjembil pipi Zaki dan berujar, “Kok, tumben diem aja ini si bocil? Masih sho
Apa itu trauma? Hanya seekor ular yang masuk rumah tidak akan membuat Nabila takut. Karena ular sungguhan secara harfiah, tidak akan lebih menyeramkan—daripada ular berbisa dibalik wajahnya yang suci. Buktinya, mereka bisa selamat kemarin hanya dengan melarikan diri. Lain cerita jika ularnya berbentuk manusia, maka mau kita diam atau lari sejauh manapun, lidahnya yang tajam akan tetap dapat membunuhnya. Namun bukan berarti Nabila jadi abai akan kondisi sekitar—tidak bermaksud seperti itu. Karena dia juga harus bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan anaknya, pun pada dirinya sendiri. Oleh karenanya, Nabila memanggil orang untuk memasangkan pintu tambahan atau pintu expanda yang rangka utamanya terbuat dari besi. Dengan modelnya yang kokoh namun berjaring, pintu tersebut tak hanya diklaim sebagai pengusir nyamuk dan binatang lainnya, tetapi juga bisa difungsikan sebagai media pengaman rumah. Namun tetap bisa mendapatkan sirkulasi udara dan cahaya yang cukup. “Zaki. Zaki
“Ada apalagi sih, Bil? Jangan bilang kamu mau resign,” ujar Aditya begitu Nabila duduk di depannya. Layaknya seorang ayah yang kesal menghadapi anak bandelnya, seperti itulah kira-kira raut wajah Aditya saat ini—pula respons yang sama acap kali Nabila datang menemuinya untuk kepentingan pribadi. Aditya seperti memiliki trauma, mungkin lantaran sudah terlampau sering mendapati situasi semacam ini. Karena banyaknya drama orang-orang yang bekerja di bawah perusahaannya. Tapi tidak apa. Ada untungnya juga Aditya demikian. Sebab ketegangan Nabila seketika sirna melihat ekspresi lucu pria itu. “Enggak, loh. Siapa juga yang mau resign. Nanti bapak bisa kehilangan karyawan yang royal kayak saya.” “Kebalik. Kamu yang bakalan nyesel kalau sampai kehilangan atasan baik seperti saya yang mau bayar kamu tiap bulan.” Nabila nyaris meledakkan tawanya jika saja dia tak ingat rasa malu. “Emangnya ada karyawan yang digaji setiap musim hujan doang ya, Pak?” “Ada, tuh Mbak Rara yang punya remot
“Bu... mau tulun,” ujar Zaki yang sengaja Nabila tempatkan di troli barang. Agar dia tak berlarian ke mana-mana. Ya, mereka sedang berada di sebuah tempat perbelanjaan sekarang. Membeli semua kebutuhan bulanan yang tentunya sudah menjadi kegiatan rutin Nabila setelah mendapatkan gajinya. “Emangnya Zaki mau ke mana?” “Mau liat-liat, Bu.” “Lagi rame, Nak. Zaki nggak takut ilang terus pisah sama ibu?” “Jaki bosen, mau main.” “Iya, nanti mainnya sama ibu di Playground, ya. Atau perut Zaki lapar, mau ngemil atau minum susu dulu?” Zaki menggeleng, dia justru mengangkat kedua tangan kecilnya minta digendong. “Ibu masih repot, sayang.” “Mmm... mau gendong ibu...” “Ibu belum selesai, lho. Masih banyak yang belum ibu masukin ke keranjang. Sebentar lagi, ya?” Namun bukannya tenang, Zaki justru berdrama. Dia menangis kencang agar keinginannya segera dituruti. Kalau sudah begini, sudah dipastikan anak itu mengantuk. Ya, tidak ada lain yang bisa anak kecil lakukan atas sesuatu yang dira
Nabila masih belum kunjung sadar meskipun sudah diusahakan dengan berbagai cara. Namun menurut penjelasan dokter, tidak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan darinya—kecuali membiarkannya saja agar Nabila bisa lebih banyak beristirahat. Sebab diduga, Nabila kelelahan dan kurang tidur. Sehingga dia bisa mengalami dua kondisi sekaligus yakni hipotensi dan anemia. “Makanya, sok-sok'an sih, mau tinggal sendiri tanpa keluarga. Kayak yang udah nggak butuh orang lain aja. Manusia itu hidup saling membutuhkan,” komentar Adawiyyah begitu wanita tersebut datang dan tentunya karena perintah anaknya. Tentu, Dewa tidak tahu harus meminta tolong kepada siapa lagi kalau bukan kepada bundanya. Terutama untuk membantunya mengurus Zaki, hanya beliaulah orang yang paling paham mengurus anak kecil. Kendatipun akhirnya Dewa harus tahan-tahan berisik mendengar semua ocehannya. “Bun!” peringat Dewa agar wanita itu berhenti membeo. “Halah! Belain aja terus istrimu itu. Emang begitu kok, kenyataannya!”
“Kamu udah sadar?” tanya Dewa begitu Nabila membuka mata. Pria itu mengusap kepala Nabila dan tersenyum. Namun bukannya menjawab pertanyaan Dewa, Nabila justru langsung menanyakan belahan jiwanya, “Zaki mana, Mas?” Tapi tidak apa-apa, batin Dewa. Karena yang terpenting sekarang, Nabila sudah bisa mengontrol emosinya, tidak meledak-ledak lagi seperti sebelumnya. “Tenanglah, Zaki dibawa sama Mama ke bawah. Dia ngadu ke beliau belum makan dari siang, aku lupa nanyain.” “Oh ya Allah...” Nabila menghela nafas beratnya, “jadi kacau kan kalau aku sakit?” “Mama tadi pesen, Zaki aman sama beliau, beliau bersedia mengurusnya untuk sementara waktu. Jadi kamu fokus dulu aja ke kesehatanmu sama baby kita. Kasihan, dia juga butuh perhatian lebih...” Dewa mengusap perutnya. Nabila membuang pandangan, kesedihan terlihat jelas dari kilatan di matanya. Dulu dia memang mengidam-idamkan Dewa bisa memperlakukannya seistimewa ini. Tapi sekarang, kenapa dia merasa ini bukan hal yang spesial lagi? Ia
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa