“Mas? Tumben udah pulang.” Nabila terheran ketika ia pulang dan mendapati sang suami sudah berada di rumah. Padahal selama ini pria itu hampir tak pernah pulang secepat ini. Ada apa gerangan? Dan kenapa wajah Dewa terlihat pucat dan lesu? Apa dia sakit? Hampir saja Nabila bertanya untuk menuntaskan rasa penasaran di kepalanya. Adawiyyah sudah lebih dulu membuka mulut untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya, tidak diajukan untuk wanita itu. “Suamimu itu pulang dari siang. Sakit dia. Makanya kamu itu--” “Bun!” peringat Dewa agar ibunya tak melanjutkan kalimatnya. “Kenapa, Wa? Biarin aja ibu mau bilang apa. Bila harus paham kalau seorang istri itu harus selalu ada saat suaminya membutuhkannya.” Bila menghela napas panjang. Rasanya baru kemarin kepalanya bisa dingin karena sang mertua mendiamkannya. Tapi sekarang wanita itu sudah mulai mengoceh lagi. Rajin sekali beliau menjadi sang komentator. Seolah jika sehari saja beliau tak mengomel, bibirnya akan terkena penyakit gat
Tengah malam Nabila turun ke dapur. Wanita itu sibuk berkutat di sana membuatkan sup hangat untuk suaminya. Beruntung ia menyempatkan untuk berbelanja sebelum pulang di rumah, jadi ia tidak terlalu kebingungan saat membutuhkan bahan-bahan masakan tersebut. “Emang udah diatur sama Allah kali ya, supaya aku tergerak buat beli sayur-sayuran sebelum pulang,” pikirnya demikian. Nabila kembali ke kamar Dewa setelah sup buatannya matang. Saat itu ia mendapati Dewa sudah mengganti posisinya menjadi duduk. “Aku buatin sup hangat, Mas. Obatnya di mana biar aku siapin.” “Di laci,” jawab pria itu menggestur ke arah meja nakas. Sedikit canggung Nabila duduk di hadapan Dewa untuk membantunya menelan suapan, namun ia paksakan seolah ia baik-baik saja. “Aku nggak peduli kalau Mas mengira aku sengaja mencari kesempatan mendekati kamu saat kamu sakit. Nggak peduli. Jadi, makanlah, Mas. Kesampingkan dulu semua pikiran pikiran itu, kamu sedang sangat membutuhkan bantuanku.” Seperti biasa,
“Assalamualaikum! Ibu, to tok to tok!” seru Zaki dari luar. Lucunya, bukan pintu yang dibunyikan. Melainkan suaranya sendiri. “Loh, Zaki?” ujar Nabila segera membukakan pintu tersebut, “Pagi sekali bangunnya anak Ibu...” “Kan Jaki mau ikut Ibu ke kantol,” tuturnya. Nabila berjongkok agar bisa berbicara lebih dekat dengan sang anak. “Ibu hari ini nggak bisa berangkat ke kantor, Nak. Ayah sakit.” “Ayah sakit?" kedua mata anak batita itu memancarkan ketulusan saat menanyakannya. "Udah dibawa ke doktel?” Nabila tersenyum dan mengusap kepala sang anak. Gayanya sudah seperti orang dewasa saja pikirnya. “Udah kemarin sama Uti.” Zaki melongok ke dalam. “Mau lihat ayah...” “Liatnya dari sini aja, ya. Ayah lagi sakit jadi nggak boleh diganggu.” Nabila terpaksa berbohong, ia tidak ingin Zaki kecewa andai Dewa menolaknya. Seperti kejadian yang sudah-sudah. Namun tanpa disangka, Nabila mendengar Dewa mengizinkan. “Biarkan dia masuk, Bil.” Barulah setelah mendapat lampu hijau tersebut, Nab
“Dil dicariin tuh sama Pak Aditya,” ujar Risa pada Nabila begitu dia keluar dari ruangan atasannya itu. Nabila yang tengah memberikan susu pada anaknya spontan mendongak, “Iya sebentar, Ris. Oh, iya, kamu udah sembuh?” “Masih mules sebenarnya. Tapi bisa kok, aku bawa kerja. Aman-aman...” “Makanya jangan kebanyakan makan sambel. Langsung kambuh kan, jadinya?” “Susah banget hindari sambel, habisnya enak. Nggak berasa makan kalau nggak pakai itu.” Ponsel Nabila di atas meja berdering. Nama Pak Aditya terpampang jelas di sana yang tentunya tak luput dari penglihatan Risa. Sehingga temannya itu langsung memandanginya dengan tatapan curiga. “Hayooo ... ada urusan apa kamu sama Pak Aditya?” Pertanyaan yang mengandung tuduhan itu membuat Nabila spontan menatap ke sekeliling. Takut kalau-kalau ada orang lain yang mendengar perkataan hoax Risa barusan. Dengan segera, dia menepis, “Ris, yang bener kalau ngomong. Nanti kedengaran sama orang malah jadi fitnah. Trus dibumbuin lagi sama mer
“Alhamdulillah, akhirnya selesai juga prosesnya.” Nabila sudah bisa tersenyum lega sekarang karena akhirnya, bisa menerima tujuh berkas yang seharusnya dia miliki, setelah dia jadi mengambil KPR rumah. Ya, meskipun demikian Nabila dapatkan dengan cara mencicil. Namun tidak apa-apa, setidaknya dia tidak perlu khawatir lagi di bawah atap yang mana dia dan anaknya akan berteduh, seandainya hujan badai menghadangnya di masa depan. “Nggak boleh ada yang tau dulu kalau aku udah punya hunian sendiri.” Bersama Zaki, dia membawa semua berkasnya ke rumah Dara untuk dititipkan. Karena Nabila percaya, di sanalah tempat yang paling aman menyembunyikan harta berharganya. Bukan di mana pun, apalagi di rumah suaminya sendiri yang kini sudah berubah menjadi neraka dunia. “Kamu keren, Bil. Kamu hebat! Aku bangga sama kamu,” ujar Dara begitu keduanya tiba di sana. “Tenang aja, kamu datang ke orang yang tepat. Berkas-berkas ini bakal aku taruh di brangkas ku, kujadikan satu sama perhiasan, jad
Bukan Nabila namanya kalau apa-apa nggak pakai dipikir. Ya, bagaimana tidak? Hanya perkataan Dewa semalam—lebih tepatnya saat pria itu meminta doa yang terbaik untuk mereka—membuatnya jadi banyak melamun sepanjang hari ini. Padahal belum tentu pria itu serius dengan ucapannya, padahal bisa saja dia hanya sedang bersandiwara di depan ibunya seperti biasa. Tahu sendiri bagaimana bencinya pria itu dengannya. Ya, walaupun akhir-akhir ini Nabila rasa perlahan Dewa sudah mulai berubah. Kepada Zaki pun Dewa sudah bisa bersikap lebih hangat, sampai bocah itu terus-terusan menanyakannya karena rindu. ”Kalau benci sama aku, nggak niat hidup sama aku, kenapa nggak langsung ceraikan aja sih, Mas. Kenapa aku ditarik ulur nggak jelas begini? Kadang hari ini baik, kadang besok jahat, besoknya berubah lagi. Bikin repot perasaan orang aja.” Maksud Nabila, jika Dewa yang mengatakan langsung mereka harus bagaimana, pasti semua akan jauh lebih mudah. Nabila masih merasa berat untuk memutuskan
Nabila sedang berada di depan cermin sekarang ini. Wanita itu tersenyum karena hadiah dari Dewa yang berupa kalung tersebut, menambah kesan manis di lehernya. “Bagus juga.” Membuat Dewa di belakangnya yang sedang mengawasi ikut bertanya, “Kamu suka?” “Iya, suka, Mas. Suka banget.” Rasa terima kasihnya membawa Nabila pada sebuah tindakan mengejutkan tanpa sadar. Yakni memeluk pria itu. Beruntungnya Dewa tak menolak dekapan dan lingkaran tangannya kali ini. Bayangkan andai demikian terjadi, maka sedalam apa sakit yang harus Nabila rasakan--setelah dirinya baru saja dilambungkan ke angan-angan. Nabila baru menyadari tindakan keterlaluan nya beberapa saat kemudian. Sontak dia segera melepaskan dirinya dari pria itu. Lalu dengan hati yang tak menentu karena perasaan bersalahnya, dia terbata-bata, “M-maaf, Mas. Aku nggak sengaja. Aku refleks aja tadi. Mas paham kan, orang kalau lagi euforia pasti...” Anggukan kepala Dewa menghentikan kalimat Nabila. Hingga kini dia memberanikan diri un
“Woi!” “Ck!” Nabila berdecak sebal. Bahkan lirikan matanya saja sudah dapat membuktikan bagaimana kesalnya dia dengan si pelaku yang telah berhasil membuatnya terkejut. “Seneng? Seneng udah berhasil bikin aku kaget? Untungnya aku nggak jantungan.” “Lagian bukannya nggarap tugas malah ngelamun. Mana sambil cengar-cengir sendiri lagi. Dah kayak orang gila aja kamu.” Risa menyodorkan kotak makanan yang dibawanya. “Nih, makan! Oleh-oleh cowok gue kemaren dari SBY.” “Susilo Bambang Yudhoyono?” “Nggak, Mukidi.” Nabila tergelak tawa. Namun bukan ia tak tahu SBY yang dimaksud oleh temannya itu. SBY yang Risa maksud adalah salah satu kota terbesar di Jawa Timur yang terkenal dengan makanan khasnya almond crispy-nya—seperti yang tengah Risa berikan padanya saat ini. “Langsung masukin ke laci aja, Bil. Nggak enak sama temen yang lain. Soalnya cuma kamu yang aku kasih. Coz cuma dikit.” “Kenapa cuma aku? Oh, iya aku kan teman spesialmu, ya?” “Jangan kepedean dulu, woi. Aku baik ke kamu kare
“Udah ah, Mas. Capek.”Aditya menghentikan langkahnya ketika mendengar Nabila mengeluh. Ditatap nya sang istri yang kini sudah terdengar ngos-ngosan, sedang satu tangannya mengusap perut besarnya. Sembilan bulan usia kandungannya membuat dia menjadi semakin malas-malasan. Hobinya rebahan dan makan-makan camilan. “Baru juga jalan lima menit, Sayang. Kan kata dokter kamu harus lebih banyak jalan biar peredaran darahmu lancar. Kalau kamu mageran baby nggak akan turun-turun panggul kan?”“Aku nggak males, Mas. Tapi emang udah capek aja. Capek banget. Pengen minum, tapi yang manis-manis.”“BB-nya adek itu udah agak berlebih. Tadi pagi kan Bila sebelum sarapan udah minum teh manis. Masa sekarang mau minum yang manis-manis lagi?”“Ini anak kamu yang pengen loh, Mas. Jahat banget sumpah kalau nggak dibolehin.” Nabila langsung ngambek. Astaga... capek sekali loh, Aditya menjaga istrinya dari makanan-makanan yang manis. Ya, anak mereka berjenis kelamin perempuan. Pantas kalau masih di dalam
Harusnya sih, harusnya. Setiap kali ada karyawan lama yang akan resign, mereka pasti akan mengadakan acara kumpul-kumpul untuk perpisahan. Ya mungkin sekedar untuk makan-makan traktiran, spesial dan terakhir dari orang yang akan resign itu.Tapi karena posisinya berbeda--lebih tepatnya Nabila bukan seorang karyawan yang sederhana nya, disukai oleh banyak orang meskipun dia berprestasi, jadi yang ditraktir makan siang hanya satu orang, yakni Risa.Gadis itu sangat senang setelah mengetahui bahwa ia akan ditraktir sepuasnya. Bahkan diperbolehkan membawa makanannya pulang untuk keluarga di rumah. Nabila bilang, ini spesial untuknya karena hanya dirinya satu-satunya orang yang mendapatkan hadiah tersebut. Dari uang pesangonnya yang masih banyak. “Bukan cuman uang pesangon, Bil. Tapi uang bulananmu dari Pak Bos juga pasti nilainya nggak kecil kan?”“Ya, alhamdulillah...”“Berapa kamu dikasih sama suamimu, Bil? Kasih aku bocoran tipis-tipis lah, aku beneran pengen tahu.”“Dia nggak kasih
Ok, satu persatu persoalan Nabila sudah selesai. Siapa ayah kandung Zaki, bagaimana dulu itu bisa terjadi dan ke mana para pelaku dihukum saat ini, semua sudah dibereskan. “Kecuali satu, Bil. Ya, cuma tinggal satu aja, beresin anggota tim kamu yang rese itu.” “Kayaknya kalau itu nggak usah deh, Mas. Toh, aku juga yang salah karena aku dah wara-wiri nggak masuk kerja. Lagian kalau mereka tau aku udah nikah mereka nggak bakalan ngomong gitu.” “Kamu boleh bilang nggak papa, tapi sebagai suamimu aku nggak suka istri kesayanganku digituin. Tetep aja mereka bakalan kukasih sanksi nanti.” Aditya sama sekali tak goyah dengan ketidak tegaan Nabila. “Kan aku juga udah mau keluar sih, Mas. Besok terakhir.” “Kelakuan mereka pasti nggak akan jauh beda ke anak baru nantinya.” “Belum tentu," sahut Nabila segera, “udahlah, Mas. Aku yakin mereka cuma lagi capek aja kemarin. Sebelumnya nggak pernah, kok. Soalnya aku cuti terus, jadi ya wajarlah kalau mereka marah.” “Biar itu jadi urusanku, Bil.
Karena kabarnya Zaki dan Mama Dina ada di rumah Ami Safira, jadi Nabila dan Aditya langsung menuju ke sana. Namun tepat mereka sampai di sana, bukan hanya Mama Dina dan Zaki yang mereka dapati, tapi juga Papa Rudi. “Loh, kok, Papa ada di sini juga?” Nabila tak bisa menahan diri untuk bertanya. “Iya kebetulan Papa ada urusan sama beliau.” Lelaki itu mengerahkan pandangannya pada Ami Safira. “O-oohh?” dari nada suaranya, Nabila terdengar bingung. Anak itu sebenarnya sangat penasaran, ingin bertanya ada apakah gerangan urusan yang dimaksud oleh Papanya. Sebab sebelumnya mereka tidak saling mengenal, baru kenal pertama kali setelah Ami Safira datang ke rumah. Nabila takut Papanya sedang bertindak jauh tanpa persetujuannya lebih dulu--yang pada akhirnya akan merugikannya sebagai seorang menantu. Tapi kemudian buru-buru Nabila menepis pikirannya yang buruk itu. Tidak mungkin lelaki yang selalu memiliki perencanaan sangat matang tersebut, melakukan tindakan memalukan di bawah ha
“Hayooo, abis ngapain baru dateng langsung cuci tangan?” Sebuah suara dari belakang mengejutkan Nabila yang tengah menyabuni tangannya di depan wastafel.Bukan, bukan karena dia kagetan. Tapi karena pemilik suara itulah yang membuat dia terkejut sekaligus senang setengah mati. Karena salah satu bestie nya sudah kembali ke kantor lagi. Hingga dia bisa berbagi cerita dan bersenda gurau bersamanya. “Oh my God, Risaaa!” langsung saja Nabila memeluknya yang di balas dengan putaran bola mata. “Iyuhh, apaan sih? Lebay amat punya teman. Baru ditinggal sehari aja langsung gila. Awas ah, risih gue dah kaya lesbong aja kita,” ujarnya. Namun bukan teman namanya kalau langsung tersinggung. Perkataan-perkataan nyelekit itu sudah biasa keluar dari mulut Risa. Makanya Nabila sudah tidak pernah kaget lagi jika Risa mencibirnya ratusan kali pun. “Kamu kali yang gila. Lagian dipeluk temen bukannya seneng. Itu artinya kamu dikangenin.”“Males dikangenin sama kamu! Mending dikangenin sugar daddy.”“
“Kita nanti main, yuk!”“Mau main ke mana?”“Jaki mau berenang di rumahnya Nainai.”“Boleh ... kapan?” agar Aditya bisa menanggapi secara penuh permintaan Zaki barusan, ia menjauhkan benda yang sedari tadi menjadi fokusnya ke meja, yakni si setan gepeng. “Besok yah?” kedua bola mata Zaki berbinar penuh pengharapan. “Tapi besok Papa sama Ibu kerja, Nak. Gapapa ya, kalau berenangnya cuma ditemenin sama Nainai?”“Hu'um.” Zaki kemudian naik ke atas pangkuan Aditya untuk berbisik, “Boleh tonton spidermen ga, tapi yang anak gede.”Mungkin yang Zaki maksud adalah Spiderman yang versi orang dewasa, bukan kartun. Tapi yang Aditya tahu, Nabila belum membolehkannya karena Zaki belum cukup umur untuk menyaksikan. “Ngga boleh, Nak. Yang gede buat anak gede, kalau anak kecil bolehnya nonton kartun.”“Dikit aja, Om ... eh, Pa?”Berdebar hati Aditya begitu Zaki memanggilnya dengan sebutan Papa. Ini pertama kalinya meskipun Zaki tampak ragu-ragu saat mengucapkannya. “Apa tadi manggilnya? Coba Pa
“Dari mana, Bil? Papa sama Mas Ditya pergi, kamu juga,” tanya Mama Dina ketika Nabila baru saja tiba di rumah. “Iya, ada keperluan bentar,” jawab Nabila, “si bocil nggak bangun kan?”“Nggak kedengaran nangis sih.” Mama Dina mematikan kompornya dan memberikan kuah sup daging buatannya pada Nabila untuk anak itu cicipi. “Gimana rasanya? Udah pas? Udah enak? Kurang apa?”“Kurang banyak, Ma. Kurang kalau sesendok doang.”Mama Dina terkekeh. Sebab jawaban itu menandakan bahwa masakannya telah berhasil. “Ya udah kalau Bila mau ya ambil aja. Nggak usah nunggu nanti. Nanti bayimu malah kelaperan.”“Mama sama Ami nih, sama aja. Sama-sama ngebet aku buruan punya bayi. Baru juga seminggu kita nikah.”“Namanya juga orang tua. Nggak sabar liat anak-anaknya bahagia.”“Iya, tapi nggak mau diburu-buruin juga, Ma. Aku juga tadinya pengen cepet, tapi belakangan setelah liat postingan temen yang ngeluh berapa repotnya ngurus baby born, aku baru nyadar kalau punya anak bayi tuh capek. Padahal dulu perju
“Kamu tahu kenapa Papa ngajak kamu ke sini?” tanya papa Rudi tegas. Sekarang keduanya sudah berada di bengkel, tepatnya di ruangan khusus biasa Papa Rudi mengurus segala rekapitulasi dan evaluasi bengkelnya. Mereka duduk berhadapan, dengan Aditya yang kini menunduk dalam menanti semua rahasia besarnya akan terungkap. Dalam hati ia tersadar, betapa nikmat hidupnya sehari-hari yang selalu bisa bernapas lega, tapi ia tak pernah mensyukurinya. Giliran sudah diberi pelajaran ini saja, dia baru mengaku membutuhkannya dan meminta agar nikmat itu kembali. “Karena Zaki?” jawab Aditya langsung saja. Hingga tak lama Pak Rudi mengangguk, mengiyakan dugaannya. Sudah tak ada lagi pilihan untuk Aditya selain berterus terang. Memangnya kapan lagi dia bisa mendapatkan momen yang pas? “Maaf, Pa, mungkin ini terdengar sangat mengejutkan. Karena orang yang selama ini papa cari-cari, ternyata malah ada di depan mata dan jadi menantu Papa sendiri.” “Papa kecewa sama kamu!” Namun kendatipun b
Nabila tiba di rumah ketika mendapati Zaki tengah menangis sangat kencang sampai tak bisa terlolong oleh Mama Dina.Ah, kasihan sebenarnya wanita tua itu. Pasti puyeng sekali mengurusi anaknya yang belakangan gampang banget tantruman ini. Bocah itu mengatakan ingin ikut berenang temannya--anak tetangga sebelah. Tapi mamanya tak mengizinkan karena beliau merasa harus meminta izin pada Nabila. “Lagian harus banget sekarang ya, Nak? Kan bisa besok. Ini udah sore, bentar lagi juga magrib. Emangnya nggak takut sama hantu penunggu kolam itu?”“Nggak! Jaki ngga mau ada hantunya!” teriaknya membalas bujukan sang ibunda. “Ya udah, makanya besok aja renangnya.”“Huwaaaaa! Maunya Jaki sekaraaaanggg! Tapi ngga mau yang ada hantunyaaa!" serunya dengan lebih keras. Nabila jadi berang. “Heh, nggak usah teriak-teriak bisa kan?""Biarin?! Ibu jahat?! Jaki ngga suka sama ibuu?!" Brakk!Sebuah mainan terlempar dari tangannya. "Ibu heran ya sama Zaki yang sekarang. Nyebelin kelakuannya yang apa-apa