“Ingat, pernikahan ini terjadi hanya karena perjanjian bodoh para leluhur. Jangan berharap terlalu banyak!”
Abigail Collins memutar matanya malas, saat kembali mendengar kalimat yang sama, keluar dari mulut Gamaliel Evans. Pria yang baru beberapa saat lalu berubah status menjadi suaminya.
Kalimat aneh berisi segudang peringatan tentang suatu hal bodoh yang disebut harapan.
Ck, berharap? Berharap apa?! Jika boleh memilih, Abby–begitu ia disapa, juga tidak ingin menikah dengan Gama.
Jika bukan karena terpaksa, dan nama besar Evans yang tersemat di belakang pria ini ... Pria yang memiliki track record buruk dalam hal wanita, Abigail juga tidak sudi berdiri seperti orang bodoh di sini, dan menyalami tamu yang bahkan tidak ia kenali.
Tentang Track record buruk, Gama bukanlah seorang pria yang suka bergonta-ganti wanita. Dia juga bukan pria yang suka menghabiskan waktu di klub malam.
Dalam hal dunia malam, Gamaliel Evans tergolong bersih. Namun, yang membuat namanya begitu buruk di mata para wanita adalah, sikapnya yang sangat kasar.
Sikapnya yang tidak pandang bulu dengan siapa ia berhadapan. Wanita atau pun pria, dia selalu menganggap mereka sama. Sama-sama layak mendapatkan bentakan jika salah.
Karena sikapnya inilah, nama Gamaliel Evans menjadi momok menakutkan bagi wanita kalangan atas negeri ini.
Ya, meskipun masih ada saja yang mengejar pria jangkung berotot dengan paras di atas rata-rata ini, akan tetapi para wanita hanya bisa mengagumi dari jauh tanpa berani mendekat.
Kehebohan terakhir yang diperbuat pria ini hingga membuat para wanita lari terbirit-birit jika keluarga Evans ingin melamar adalah; kejadian baru-baru ini di mana dia mendorong anak petinggi negara hingga terjatuh, hanya karena wanita itu dengan sengaja menyentuhnya.
Dan yang lebih membuat orang bergidik, keesokan harinya setelah kejadian itu, ayah dari wanita itu ditangkap karena kasus penggelapan dana negara. Tidak pasti ini ulah Gama atau bukan, tetapi banyak yang meyakini hal itu.
Seperti yang ia bilang tadi, Abby pun terpaksa menerima pernikahan ini. Awalnya yang seharusnya menikah dengan Gama adalah sepupunya. Namun, karena putri dari paman Keduanya itu menolak, dialah yang harus menjalani pernikahan ini.
Dan ya, alasan Abby tidak menolak pernikahan yang pastinya akan mengorbankan masa mudanya ini, karena dua hal; nama besar Evans dan Ayahnya.
Ya, demi membersihkan nama sang ayah dari tuduhan pembunuhan, Abby bersedia menerima tawaran dari George Evans–Ayah dari Gama yang memintanya untuk menikah dengan sang putra.
Menggunakan alasan perjanjian leluhur antara Evans dan Collins, pria terkaya di seluruh Negeri itu meminta agar Abby bersedia menikah dengan Gama. Kebebasan sang ayah adalah hadiah yang ditawarkan awalnya, tetapi langsung ditolak oleh Abby.
Meskipun sangat menginginkan kebebasan ayahnya, Abby tidak ingin sang ayah dibebaskan karena jaminan dari sang konglomerat.
Abby ingin ayahnya keluar dari bui dengan dagu terangkat tinggi. Dia ingin mereka semua yang pernah merendahkan, menjadikan ayahnya olok-olokan, menunduk karena malu telah menuduh orang yang salah.
Dan hal pertama yang harus ia miliki untuk mewujudkan keinginannya adalah; memiliki seseorang yang kuat di belakangnya.
Abby harus memiliki nama besar, sehingga apa pun yang ia katakan nantinya tidak dibantah. Dia harus menjadi seseorang yang ketika berjalan, akan disapa dengan penuh hormat.
Banyak jalan untuk mencapai itu semua, dia bisa bekerja keras untuk menjadi seseorang yang sukses. Namun, yang menjadi pertanyaan di sini adalah; berapa lama? Berapa lama hingga dia bisa menjadi seseorang yang disegani? Dan juga, berapa lama ayahnya bisa menunggu?
Dengan pertimbangan itulah, dia memutuskan untuk menerima tawaran tuan Evans untuk menjadi menantu sekaligus nyonya muda Evans.
Dengan begini, dia hanya perlu mengukuhkan posisinya. Dia harus bisa membuat semua orang percaya padanya, apa pun yang terjadi.
Namun, tujuannya hanya meminjam nama Evans, bukan tunduk apalagi mau ditindas oleh anak manja seperti Gamaliel Evans. Tidak akan pernah!
Abby mengangkat wajahnya dan menatap Gama tajam–perbedaan tinggi mereka sangat kontras omong-omong. Abby hanya setinggi dada Gama. Saat mengenakan heels pun dia hanya mencapai bahu sang pria.
Wanita cantik itu memperhatikan sekeliling. Begitu melihat mereka menjadi titik fokus orang-orang yang hadir, Abby bergegas mengubah raut wajahnya.
Gadis cantik bermata Almond itu tersenyum cerah, lalu tanpa disadari oleh yang lain, ia mendaratkan telapak tangannya di tubuh bagian belakang Gama.
Mengabaikan ekspresi terkejut suaminya itu, Abby berkata dengan rahang sedikit mengeras. “Dengar anak manja ... Persetan dengan apa yang kau pikirkan. Satu hal yang harus kau ingat, aku bukan wanita lemah yang bisa kau tindas!”
“Sekarang jadi anak baik, Oke? Tersenyumlah yang manis, agar wajahmu tidak terlihat aneh ketika terpampang di halaman utama surat kabar besok,” ucap Abby sembari melepaskan cengkeramannya.
Namun sebelum itu, dia lebih dulu menepuk pelan tubuh bagian belakang sang suami. Hal yang kembali membuat mata Gamaliel terbelalak.
“Kau ....!!” Gamaliel menggertakkan giginya. “Kau ... Kau akan ... Aku pasti akan membalasnya. Kau akan membayar mahal atas pelecehan yang aku terima.”
Abby mengangkat sebelah alisnya. “Jangan bersikap seperti wanita. Lagi pula ....” wanita cantik itu memindai penampilan Gama dari atas ke bawah. “Pelecehan apa? Kau suamiku. Semua yang ada di diriku adalah milikmu, begitu pun sebaliknya. Aku berani jamin, kau akan menjadi lelucon nasional begitu melaporkan tidakkan pelecehan yang aku lakukan.”
Bunyi gemeletuk gigi terdengar. Baru saja Gama ingin kembali memberikan kalimat menyakitkan pada Abby, saat ekor matanya menangkap beberapa orang yang berjalan ke arah pelaminan.
“Kau selamat kali ini.”
Sudut bibir Abby terangkat. “Tidak akan ada lain kali, aku jamin.”
...
Setelahnya, sepasang suami istri baru itu, kembali menormalkan raut wajah mereka dan kembali menyapa para tamu.
Tanpa mereka sadari, interaksi aneh barusan nyatanya disaksikan oleh hampir semua hadirin. Namun, yang tergambar di mata mereka adalah; hubungan romantis pasangan baru, yang tidak sabar menjalankan malam pertama.
Karena interaksi itu juga, orang-orang yang awalnya sedikit skeptis dengan perjodohan tidak biasa ini, dan berpikir Gamaliel hanya terpaksa menikah dengan putri seorang Collins demi mengukuhkan posisi sebagai pewaris utama, menarik kembali kata-kata mereka.
Karena pada kenyataannya, sepasang pengantin baru ini sangat romantis dan menggemaskan.
Abby dan Gama yang masih belum sadar tengah diperhatikan, berkeliling dan bercengkerama dengan para tamu yang kebanyakan merupakan undangan dari Ayah dan Kakek Gama.
Orang-orang dari pihak Collins bahkan hampir tidak terlihat di sana.
Mereka berdua terlihat bak aktor peraih Oskar. Tidak ada kecanggungan dari bahasa tubuh mereka.
Abby yang memang sangat pandai bergaul–karena dipaksa keadaan, ikut berbaur dengan wanita dari kalangan jet set yang hadir malam itu.
Pesta ini memang sangat meriah. Awalnya Gama menginginkan resepsi sederhana, tetapi hal itu langsung ditolak oleh kakeknya.
Menggunakan alasan Gama adalah pewaris utama dan pernikahan antara Evans dan Collins telah ditunggu oleh para leluhur, maka seperti inilah ....
Dengan menjadikan Hotel mewah yang merupakan aset milik Evans sebagai tempat resepsi, pernikahan ini dirayakan dengan sangat meriah, bahkan menjadi berita utama di media cetak dan elektronik.
“Kau sangat cantik, Nyonya Muda Evans.”
“Abby. Anda bisa memanggil saya, Abby.” Abigail berkata dengan lembut pada seorang wanita paruh baya, yang ia tahu merupakan istri Menteri Pertahanan saat ini.
Wanita yang masih terlihat cantik di usia paruh bayanya itu tersenyum cerah. “Selain cantik, kau juga ramah dan lemah lembut. Kamu sangat beruntung, Gama.”
Jika ini beberapa jam lalu, mungkin Gama akan merasa biasa saja saat ada yang memuji istrinya dengan sebutan ramah dan lemah lembut. Namun, kejadian tadi telah mengubah pandangannya.
Lemah lembut apa?! Dia hanya gadis mesum yang kasar. Gadis yang seperti memiliki dua kepribadian, begitu aneh dan jauh dari kesan ramah dan lemah lembut.
Namun, dia tidak boleh menunjukkan hal itu terang-terangan, karenanya pria itu merangkul pinggang Abby, lalu mengangguk. “Terima kasih, Nyonya. Anda terlalu memuji.”
Setelahnya mereka kembali berkeliling.
Tentang keluarga dari kedua mempelai, mereka tengah berkumpul dalam satu meja.
Abby yang melihat Ibu dan Kakak laki-lakinya terlihat mengobrol nyaman dengan kedua orang tua Gama, tersenyum lembut.
Dia harus berterima kasih pada ayah dan ibu mertuanya setelah ini. Terima kasih karena mereka bisa membuat dua orang kesayangannya itu, tidak merasa asing karena berada di tengah-tengah kalangan atas.
Sejak sang ayah mendekam di balik jeruji besi karena tuduhan pembunuhan, kehidupan mereka berubah seratus delapan puluh derajat.
Semua aset mereka yang diperoleh sang ayah dari kerja kerasnya di sita.
Padahal sang ayah bukan mengambil milik orang lain, tapi entah bagaimana ceritanya, sang paman–adik kadung ayahnya membawa surat dari pengadilan yang mengatakan rumah serta segala isinya yang telah ditempati sejak sang Kakak lahir, telah berganti kepemilikan.
Terakhir yang Abby tahu, rumah itu telah dijual untuk membantu perusahaan Collins yang sempat mengalami penurunan drastis sejak ditinggal sang ayah.
Bukan hanya rumah, mobil dan tanah milik ayahnya juga diambil oleh mereka. Untung saja ibunya masih memiliki toko kue kecil, yang merupakan hadiah pernikahan yang diberikan oleh nenek dari pihak Ibunya.
Dengan mengandalkan penghasilan dari toko itulah, mereka masih bisa bertahan sampai saat ini.
Namun, perubahan besar jelas terjadi. Ibunya selalu dipandang sebelah mata. Setiap ada acara keluarga Collins, ibunya tidak diizinkan muncul di depan kecuali sebagai seorang pelayan.
Abby sempat khawatir Ibunya akan dikucilkan juga di sini, apalagi saat melihat bibi kedua serta sepupunya yang berlaku dominan seolah anak mereka yang menikah. Namun, saat melihat pemandangan di depannya, kekhawatiran Abby perlahan memudar.
Abigail terlalu larut dalam pikirannya, hingga tanpa sadar meremas lengan Gama yang sejak tadi ia gandeng dengan keras.
Gamaliel menunduk, untuk melihat cengkeraman di lengannya. “Kau baik-baik saja?”
Abby yang baru menyadari bahwa ia telah terbawa perasaan, menatap Gama dengan raut menyesal. “Maaf, aku tidak sengaja. Dan, aku baik-baik saja.”
Wanita cantik itu, kembali melirik Ibu dan Kakaknya, lalu kembali bergabung dalam obrolan.
Gamaliel mengikuti arah pandang Abby. Wajah pria itu menjadi dingin, saat tahu apa yang membuat wanita yang berani berlaku kurang ajar padanya itu, menjadi seperti ini.
Tidak menunggu lama, Gama lalu berpamitan pada kolega bisnisnya itu, lalu mengeratkan genggaman Abby di lengannya. “Ayo kita temui mereka.”
Abby sedikit terkejut. Wanita cantik itu mengerutkan keningnya. “Mereka? Siapa yang kau ....”
Dia tidak jadi melanjutkan ucapannya, karena Gama telah lebih dulu berjalan dengan sedikit cepat.
Abby yang mengira akan dibawa ke tempat ibu dan Kakaknya terkejut, karena bukannya berhenti Gama justru melewati mereka dan terus berjalan.
“Kau ingin membawaku kema ....” Abby kembali menghentikan ucapannya begitu mereka berdua berhenti pada kumpulan para sosialita kelas atas.
Namun, bukan para sosialita yang menjadi fokus Abby, tetapi keberadaan bibi kedua dan sepupunya Freya Collinslah, yang membuatnya terkejut.
Abby menatap suaminya itu. “Gama, apa yang ....”
Untuk ke sekian kalinya, ucapan Abby terhenti. Kali ini bahkan lebih parah, dia merasakan udara di sekelilingnya menipis dan hampir tersedak ludahnya sendiri, begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut tajam Gama.
“Istriku sedikit haus, bisakah aku meminta segelas air?”
Ruangan yang semula riuh, menjadi hening seketika. Beberapa orang bahkan kesulitan menghela nafas.
Yang lebih dulu bereaksi adalah para sosialita yang perlahan mengambil langkah mundur, hingga menyisakan Freya dan ibunya saja.
Bahkan pihak keluarga Collins yang sejak tadi bercengkerama dengan kolega bisnis Evans hanya bisa terdiam, tanpa bisa membantah.
Ya, bagaimana bisa membantah, raut wajah Gama begitu serius. Pria itu sama sekali tidak terlihat tengah bercanda.
Dengan masih mempertahankan raut datarnya, Gama mengangkat sebelah alis. “Apa yang kau tunggu?”
Freya membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Hal itu ia ulang beberapa kali, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.Lucy Abram–ibu dari Abby yang melihat kejadian ini bergegas mendekat, lalu menyentuh lembut tangan sang menantu. “Sepertinya ada kesalahpahaman di sini, Nak Gama.”Wanita paruh baya yang terlihat cantik itu, menjelaskan dengan suara yang sangat lembut. “Dia Freya. Sepupu Abby dari pihak Ayahnya, bukan pelayan.”Gamaliel mengerutkan keningnya. “Sepupu?” pria itu lalu kembali menatap sepupu dari istrinya itu. “Ibu tidak salah mengenali orang?”Lucy menggeleng pelan. “Tidak. Mereka memang bersaudara.”Dengan masih mengerutkan keningnya, dia memandang Lucy. “Tunggu sebentar, Ibu. Bukannya tidak percaya, tapi ....”Gama beralih pada Abby. “Aku mengikuti kasus ayahmu dulu.”Melihat tubuh sang istri yang tiba-tiba menegang, ia bergegas melanjutkan. “Persidangannya disiarkan Secara langsung. Aku salah satu yang menontonnya. Dan saat itu hanya kau, ibu dan kakak yang hadir. Itula
Abby mengangkat sudut bibirnya. “Sayangnya Kau harus menelan kekecewaan. Aku sedang berhalangan sekarang. Tidak mungkin melakukan itu, dengan keadaanku yang seperti ini.”Gamaliel menyeringai. Pria itu beranjak dari duduknya, lalu berdiri tepat di depan ranjang.Setelah mendapat atensi penuh dari Abigail, pria tampan itu lalu mengangkat agenda cokelat sebesar telapak tangan yang dibacanya sejak tadi. “Ibu mertua yang memberikannya padaku tadi.”Pria itu kemudian membuka agenda tersebut, dan membaca salah satu halaman dengan lantang. “Catatan tamu bulanan Abby; siklus tamu bulanan Abby selalu berlangsung di awal bulan. Dia akan merasa nyeri di area perut. Saat tengah datang bulan, tak jarang dia akan lebih sensitif, emosinya juga sedikit terganggu; marah karena hal tidak jelas adalah salah satunya. Jika mendapati semua itu, Nak Gama tolong maklum. Dia sedikit manja, jika tamu bulanannya datang.”Gamaliel menutup agenda tersebut dan menatap Abby, lalu melirik kalender yang berada di ata
Sepasang suami istri baru itu, turun dari mobil dengan keadaan tangan saling bertaut. Wajah Gama terlihat begitu serius. Dia juga terlihat sangat perhatian; saat akan menaiki tangga batu di dekat tempat parkir, ia dengan lembut menuntun Abby agar tidak tersandung. Abigail tidak tahu ini bagian dari akting atau bukan, tetapi dia cukup nyaman. Jika memiliki partner seperti Gama yang perhatian di depan umum, maka drama panjang ini tidak akan terlalu membosankan. Saat mengangkat wajahnya, Abby sedikit terkejut saat mendapati dua orang pria dan seorang wanita muda tengah menatap mereka dengan wajah berbinar. Tidak tiga-tiganya, karena satu orang pria yang berpenampilan sangat formal terus menampilkan raut datar. Sedangkan dua yang lain, mereka mengikuti langkah Abby dan Gama dengan senyum mengembang dan wajah berbinar. “Hentikan wajah bodoh itu. Kalian membuatnya takut!” Gama si pengacau membuat senyum dua orang yang terlihat mirip itu, menghilang seketika. “Maafkan kami, Nyonya.” Sa
“Anda mengatakan sesuatu, Tuan?” Pria paruh baya berwajah dingin yang sejak tadi berdiri di samping Gerald Evans itu, bertanya pelan. Kakek Gerald mengangguk. “Aku bilang, persilahkan mereka duduk.” Pelayan paruh baya tersebut mengangguk. “Baik, Tuan.” Dia lalu beralih pada Gama dan Abby. “Tuan Muda dan Nyonya bisa mengambil tempat.” Gama tersenyum pada sang kakek. “Terima kasih, Kek.” Pria itu terlihat senang, pasalnya sesuatu hal yang terbilang langka melihat Gerald Evans melunak seperti itu. Biasanya, dia akan berkeras, berpura-pura tidak melihat dan membiarkan mereka yang baru tiba berdiri untuk waktu yang lama. Hal itu juga berlaku pada Gama sang cucu kesayangan. Gerald Evans mengangguk. Pria tua itu mengalihkan pandangan pada Abby. “Seorang Collins? Aku tidak tahu Collins memiliki harta Karun.” Abigail yang baru saja duduk–dengan dibantu oleh Gama tersenyum. “Bukan darah murni. Ibuku seorang Abram, Kakek.” Gerald Evans mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aa, tidak heran. Put
Suasana di ruang makan terbilang sangat kondusif. Terkesan sedikit dingin sebenarnya.Tidak ada obrolan apalagi candaan, karena semua orang yang ada di sana hanya fokus pada piring dan sendok di depan mereka. Bunyi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring keramik, menjadi satu-satunya pertanda bahwa mereka yang ada di sana bukanlah patung, melainkan manusia bernyawa.Sebagai bintang utama hari itu, Abigail dan Gama terus saja menjadi pusat perhatian. Seperti saat ini, tindakan Gama yang memotong daging hingga berukuran lebih kecil sebelum diberikan pada Abby, membuat mereka semua yang ada di sana tersenyum dalam diam.Tidak semua yang tersenyum sebenarnya, karena ada beberapa orang yang justru memandang tindakan Gama sebagai sebuah pemandangan memuakan. “Kontrol ekspresimu agar mereka tidak curiga.” Suara seorang wanita, membuat Alicia yang tengah menatap sengit interaksi Gama dan Abby terkejut. Sadar telah melakukan kesalahan, Alicia bergegas mengubah raut wajahnya. “Maafk
Dan ya, untuk ke sekian kalinya Alicia kembali terdiam. Omong-omong, mereka tengah berada di taman kecil yang hanya berbatasan kaca dengan ruang makan. Sebuah taman beratapkan kaca, dengan deretan bunga Tulip dan mawar putih yang mengelilingi. Pada tengah taman membentang rumput hijau dengan setapak batu alam sebagai tempat mereka berpijak. Di sebelah Utara taman terdapat kolam kecil dengan patung Dewi kesuburan yang tengah memegang tempayan yang terus mengalirkan air ke tengah kolam. Tempat yang sangat indah dan nyaman untuk memenangkan diri. Hal itulah yang dilakukan Abby tadi, sebelum iblis wanita ini tiba. Alicia berdehem beberapa kali. Seperti sebelumnya, dia kembali meremas sisi gaunnya hingga kusut, guna meredam kekesalan atas ucapan Abby tadi. “Bagaimana, Alic? Apakah kau punya saran?” Lagi, Abigail bertanya. Pertanyaan Abby berhasil menarik Alicia dari lamunannya. Wanita cantik bergaun putih itu menatap Abby dalam diam. Beberapa saat kemudian, kedua matanya perlahan men
Keheningan memenuhi seluruh taman, begitu Julia menyelesaikan ucapannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menentang, atau menjawab ucapan Julia tadi. Begitu juga dengan Abby yang tetap pada posisi semula, dia tidak menunduk apalagi bersembunyi di balik punggung Julia, seperti yang dilakukan Alicia tadi. Wanita cantik itu merasa, air mata palsu yang ia keluarkan tadi adalah batasnya. Tidak ada lagi hal lain yang akan ia lakukan untuk mendukung drama murahan Alicia. “Bukankah ucapanmu sangat berlebihan, Kakak Ipar?” Suara Hadley Green, ibu angkat Alicia terdengar. Wanita paruh baya yang sejak tadi memeluk Alicia itu, perlahan mengurai pelukannya lalu menatap Julia dan Abby bergantian. “Meminta para generasi muda untuk tidak mengangkat kepala mereka terlalu tinggi di depan orang baru? Apakah kau tidak merasa malu mengatakan hal bodoh seperti itu?!” Abigail menatap Hadley dalam diam. Hadley Green merupakan salah satu orang yang ada dalam informasi Rea, tentang orang yang har
Hadley terdiam. Wanita paruh baya itu terdiam seribu bahasa setelah mendapat balasan telak dari Julia. Di belakang Julia, Abby yang melihat bagaimana sang ibu mertua mengatasi masalah, tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa bangga. Sepertinya perasaan khawatir merepotkan orang yang membelanya, membuat Abby lupa siapa ibu mertuanya ini dan seperti apa posisinya di keluarga Evans. Ya, selain informasi tambahan dari Rea, Abby juga sempat mencari tahu tentang orang-orang penting keluarga Evans. Dan, kedua orang tua Gama, berada di peringkat kedua, setelah kepala keluarga Evans–Kakek Gerald dan istrinya, sebagai orang paling berpengaruh dan memiliki keputusan mutlak dalam keluarga. Pada posisi ke-tiga sudah jelas Gama, sebagai pewaris utama, sekaligus orang yang menarik perusahaan Evans dari ambang kebangkrutan, menstabilkan lalu membuat perusahaan semakin naik di era krisis hingga bisa kembali pada posisinya; berada di puncak rantai makanan .., sudah barang tentu ia sangat diha