Sepasang suami istri baru itu, turun dari mobil dengan keadaan tangan saling bertaut. Wajah Gama terlihat begitu serius. Dia juga terlihat sangat perhatian; saat akan menaiki tangga batu di dekat tempat parkir, ia dengan lembut menuntun Abby agar tidak tersandung.
Abigail tidak tahu ini bagian dari akting atau bukan, tetapi dia cukup nyaman. Jika memiliki partner seperti Gama yang perhatian di depan umum, maka drama panjang ini tidak akan terlalu membosankan. Saat mengangkat wajahnya, Abby sedikit terkejut saat mendapati dua orang pria dan seorang wanita muda tengah menatap mereka dengan wajah berbinar. Tidak tiga-tiganya, karena satu orang pria yang berpenampilan sangat formal terus menampilkan raut datar. Sedangkan dua yang lain, mereka mengikuti langkah Abby dan Gama dengan senyum mengembang dan wajah berbinar. “Hentikan wajah bodoh itu. Kalian membuatnya takut!” Gama si pengacau membuat senyum dua orang yang terlihat mirip itu, menghilang seketika. “Maafkan kami, Nyonya.” Sang pria membungkuk. “Maafkan sikap tidak sopan kami, Nyonya.” Gadis muda itu juga melakukan hal yang sama.Hal yang membuat Abby menatap sengit pada Gama. Suami tidak pekanya ini telah menghilangkan senyum manis dari bibir dua entitas lucu ini. Namun, Abby juga tidak bisa marah pada Gama. Karena seperti yang pria itu katakan tadi, tempat kaki mereka menapak saat ini merupakan neraka dua belas pintu. Setiap gerak gerik mereka pasti selalu diamati. Karenanya, Abby bergegas mengubah raut wajahnya, lalu menatap dua anak muda tadi. “Aku tidak apa-apa. Dia sedikit berlebihan.” Helaan nafas lega seketika terdengar setelah Abby mengayakan hal itu. “Berhenti bermain-main.” Gama meremas tangan Abby guna meminta atensi. Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Gama lalu menggunakan dagunya untuk menunjuk tiga orang di depan mereka. “Kau harus berkenalan dengan mereka. Yang paling kanan itu, Carlos. Dia akan mengurus hal eksternal dan internal. Kau bisa meminta bantuan apa pun padanya. Termasuk masalah hukum ayahmu.”Pria berpakaian formal yang sejak tadi menampilkan raut dingin itu menunduk, sembari meletakkan tangan kanannya di perut. “Senang berkenalan dengan Anda, Nyonya.” Abby menganggukkan kepalanya. Dia ingin mengulurkan tangan untuk bersalaman, tetapi langsung diurungkan saat melihat posisi tangan Carlos. Karenanya, Abby hanya tersenyum. “Mohon bantuannya, Carlos.” Gamaliel lalu melanjutkan. “Yang di tengah itu, Jase. Dia dan Carlos akan mengikutiku ke mana pun. Tapi kau juga bisa meminta bantuan apa pun padanya.” Pria muda yang tadi tersenyum cerah itu, melakukan hal yang sama seperti Carlos. “Saya, Jase. Senang bertemu dengan Anda, Nyonya.” Abby kembali tersenyum cerah. Entah kenapa, senyum polos Jase membuatnya sangat nyaman. Seolah telah menemukan seorang adik laki-laki. “Senang berkenalan denganmu, Jase.” Gama dan Carlos saling melirik saat melihat perubahan sikap Abby. Padahal tadi pada Carlos dia tidak seantusias itu. Tapi kenapa ....Gamaliel memegang tangan Abby lagi, kemudian melanjutkan sesi perkenalan. “Satu-satunya wanita di antara mereka. Dia Rea. Orang yang akan mengikutimu ke mana pun. Dia akan membantu apa pun yang kau butuh kan.” Seperti dua yang lain, Rea juga melakukan hal yang sama. Dan ya, dengan reaksi yang hampir mirip dengan yang ia tunjukkan pada Jase tadi, Abby tersenyum cerah. “Semoga kita bisa menjadi teman, Rea.” Ucapan Abby membuat empat orang itu terkejut. Khususnya Gama. Teman? Seorang yang baru saja menjadi istrinya ingin berteman dengan pelayan? Abby yang tidak menyadari tatapan aneh mereka, terus saja tersenyum. Karena menurutnya tidak ada yang aneh. Bukankah sangat wajar jika dia membutuhkan teman di tempat asing ini? “Sebaiknya kita masuk sekarang.” Setelah terdiam sesaat, Gamaliel lalu berkata pelan.Mereka semua lalu berjalan dengan formasi berbeda. Gama yang terus menggandeng Abby berada di depan. Carlos dan Jase berdiri tepat di belakang Gama. Sedangkan Rea, mengambil tempat tepat di belakang Abby. Pintu kayu besar itu terbuka saat Gama dan istrinya menginjak tangga pertama. Tangga yang berada tepat di depan pintu Kastel. Dari arah dalam, seorang pria paruh baya dengan beberapa helai uban di kepalanya keluar. Wajah pria itu terlihat dingin sesaat, senyum tipis seketika tersemat di bibirnya saat bayangan Gama tertangkap oleh netra tuanya. “Selamat datang Tuan Muda dan Nyonya.” Pria itu lalu sedikit menyingkir untuk memberi jalan. “Silakan, Tuan. Tuan besar dan yang lainnya telah menunggu sejak tadi.” Gamaliel mengangguk. “Terima kasih, Paman.” Seperti tadi, Gama kembali menuntun istrinya masuk diikuti oleh tiga pengawal setianya. Abigail yang awalnya berencana menjaga sikap, seketika mengurungkan niatnya begitu melihat interior Kastel Evans. Berbeda dengan bangunan luar yang mengadaptasi tampilan Kastel negeri dongeng, bagian dalam bangunan megah tersebut terlihat lebih modern dengan Interior Eropa yang didominasi oleh warna merah dan emas. Setelah melewati pintu, mereka langsung disuguhkan dengan Aula besar, dengan beberapa pilar kokoh berjejer rapi, serta lampu kristal yang menghiasi langit-langit kastel. Tidak banyak furnitur di sana, tetapi kesan mewah dan sedikit magis begitu terasa dalam setiap langkah kaki mereka. Di depan sana, sebuah tangga besar, dengan bagian tengah yang terbagi menjadi dua tangga; kanan dan kiri, menyambut kedatangan mereka. Namun, bukannya menaiki tangga, Abby kembali dituntun melewati tangga tersebut, hingga memasuki sebuah aula lain, dengan deretan sofa mewah yang tertata rapi. Di ruangan inilah, pertama kali Abby melihat orang lain selain mereka berlima dan pelayan di depan pintu tadi. Ada puluhan orang yang duduk memenuhi hampir semua kursi, dan di belakang masing-masing kursi, berdiri beberapa orang dengan gaya pakaian beragam. Ada yang pakaiannya berwarna-warni, ada juga yang gelap. Sedangkan yang duduk di kursi, orang-orang dengan pakaian mewah. Semua kursi di susun saling berhadap-hadapan, dengan tiga meja kayu kecil sebagai pemisah. Di kepala meja, duduk seorang pria yang cukup mirip dengan Gama tapi dalam versi lebih tua. Abby tidak kenal dengan mereka semua. Orang-orang ini memang hadir dalam pernikahan mereka, tapi dia hanya sekedar basa-basi menyapa, tanpa berkenalan. Dia hanya mengenali ayah dan ibu mertuanya saja, yang saat itu duduk di dekat kepala meja. “Mereka semua harus diwaspadai.” Abby terkejut saat mendengar suara Rea yang berupa bisikan.Tidak menjawab, Abby hanya menoleh sekilas pada Rea, memberi tanda bahwa ia menyimak apa yang ingin gadis itu sampaikan.Setelah menjeda ucapannya, Rea kembali berbisik. “Mereka semua merupakan inti keluarga Evans. Dan mereka sangat berbahaya. Saling menggigit dalam diam adalah kebiasaan mereka.” Rea kembali menjeda ucapannya, lalu melanjutkan. “Tapi, dari semuanya, yang benar-benar harus Anda waspadai saat ini adalah, Nona Alicia. Dia yang duduk dengan orang tuanya, di sofa ketiga dari kanan. Gadis bergaun putih itu.” Abby mengikuti arah yang ditunjukkan Rea. Benar saja, di sana memang duduk seorang gadis cantik bergaun putih, dengan rambut cokelat panjang yang dikepang gantung. Wajah gadis itu terlihat sangat polos. Namun, saat tatapan mereka beradu, Abby yang awalnya skeptis dengan apa yang dikatakan Rea tadi, menjadi yakin. Gadis ini, gadis bernama Alicia yang sempat ia kira polos ini, tidak sesederhana penampilannya. Abby dengan jelas dapat menangkap kemarahan dalam tatapannya itu. Sudut bibir Abigail terangkat. “Menarik.” “Kau mengatakan sesuatu?” Gama yang seperti mendengar suara Abby menundukkan kepalanya. Saat ini mereka belum boleh duduk. Menurut aturan Kastel, mereka harus menunggu hingga sang kepala keluarga Evans itu mempersilahkan, barulah mereka boleh ikut duduk dengan yang lain. Itu yang dikatakan Rea saat mereka berjalan kemari tadi. Dan saat ini, pria tua yang tidak lain adalah Kakek Evans itu, tengah sibuk berbincang dengan anggota keluarga yang lain sehingga mereka belum diizinkan untuk duduk. Melihat kepala Gama yang tertunduk, membuat keinginan Abby untuk menguji Alicia tiba-tiba muncul. Di depan mata semua orang, Abby mengangkat wajahnya sehingga bisa lebih dekat dengan wajah Gama, lalu ia tersenyum cerah sembari menggeleng. “Aku tidak mengatakan apa-apa.” Reaksi yang ditunjukkan Abby membuat Gama dan ketiga pengawalnya terkejut. Apa ini ...? Kenapa tiba-tiba berubah?! Sedangkan sang pelaku, seolah tidak menyadari keterkejutan di wajah Gama dan yang lainnya, dia justru kembali memandang ke depan, sembari menggandeng lengan Gama semakin erat. Dan ya, seringai tipis terbit di bibir Abby, saat melihat kedua tangan Alicia terkepal. Tidak ada yang menyadari seringai tipis di bibir Abby, tidak ada selain Pria tua yang duduk sebagai kepala meja tersebut. “Kali ini putraku melakukan pekerjaannya dengan baik. Menantu perempuan ini ... dia sangat cocok mendampingi berandal itu.”“Anda mengatakan sesuatu, Tuan?” Pria paruh baya berwajah dingin yang sejak tadi berdiri di samping Gerald Evans itu, bertanya pelan. Kakek Gerald mengangguk. “Aku bilang, persilahkan mereka duduk.” Pelayan paruh baya tersebut mengangguk. “Baik, Tuan.” Dia lalu beralih pada Gama dan Abby. “Tuan Muda dan Nyonya bisa mengambil tempat.” Gama tersenyum pada sang kakek. “Terima kasih, Kek.” Pria itu terlihat senang, pasalnya sesuatu hal yang terbilang langka melihat Gerald Evans melunak seperti itu. Biasanya, dia akan berkeras, berpura-pura tidak melihat dan membiarkan mereka yang baru tiba berdiri untuk waktu yang lama. Hal itu juga berlaku pada Gama sang cucu kesayangan. Gerald Evans mengangguk. Pria tua itu mengalihkan pandangan pada Abby. “Seorang Collins? Aku tidak tahu Collins memiliki harta Karun.” Abigail yang baru saja duduk–dengan dibantu oleh Gama tersenyum. “Bukan darah murni. Ibuku seorang Abram, Kakek.” Gerald Evans mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aa, tidak heran. Put
Suasana di ruang makan terbilang sangat kondusif. Terkesan sedikit dingin sebenarnya.Tidak ada obrolan apalagi candaan, karena semua orang yang ada di sana hanya fokus pada piring dan sendok di depan mereka. Bunyi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring keramik, menjadi satu-satunya pertanda bahwa mereka yang ada di sana bukanlah patung, melainkan manusia bernyawa.Sebagai bintang utama hari itu, Abigail dan Gama terus saja menjadi pusat perhatian. Seperti saat ini, tindakan Gama yang memotong daging hingga berukuran lebih kecil sebelum diberikan pada Abby, membuat mereka semua yang ada di sana tersenyum dalam diam.Tidak semua yang tersenyum sebenarnya, karena ada beberapa orang yang justru memandang tindakan Gama sebagai sebuah pemandangan memuakan. “Kontrol ekspresimu agar mereka tidak curiga.” Suara seorang wanita, membuat Alicia yang tengah menatap sengit interaksi Gama dan Abby terkejut. Sadar telah melakukan kesalahan, Alicia bergegas mengubah raut wajahnya. “Maafk
Dan ya, untuk ke sekian kalinya Alicia kembali terdiam. Omong-omong, mereka tengah berada di taman kecil yang hanya berbatasan kaca dengan ruang makan. Sebuah taman beratapkan kaca, dengan deretan bunga Tulip dan mawar putih yang mengelilingi. Pada tengah taman membentang rumput hijau dengan setapak batu alam sebagai tempat mereka berpijak. Di sebelah Utara taman terdapat kolam kecil dengan patung Dewi kesuburan yang tengah memegang tempayan yang terus mengalirkan air ke tengah kolam. Tempat yang sangat indah dan nyaman untuk memenangkan diri. Hal itulah yang dilakukan Abby tadi, sebelum iblis wanita ini tiba. Alicia berdehem beberapa kali. Seperti sebelumnya, dia kembali meremas sisi gaunnya hingga kusut, guna meredam kekesalan atas ucapan Abby tadi. “Bagaimana, Alic? Apakah kau punya saran?” Lagi, Abigail bertanya. Pertanyaan Abby berhasil menarik Alicia dari lamunannya. Wanita cantik bergaun putih itu menatap Abby dalam diam. Beberapa saat kemudian, kedua matanya perlahan men
Keheningan memenuhi seluruh taman, begitu Julia menyelesaikan ucapannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menentang, atau menjawab ucapan Julia tadi. Begitu juga dengan Abby yang tetap pada posisi semula, dia tidak menunduk apalagi bersembunyi di balik punggung Julia, seperti yang dilakukan Alicia tadi. Wanita cantik itu merasa, air mata palsu yang ia keluarkan tadi adalah batasnya. Tidak ada lagi hal lain yang akan ia lakukan untuk mendukung drama murahan Alicia. “Bukankah ucapanmu sangat berlebihan, Kakak Ipar?” Suara Hadley Green, ibu angkat Alicia terdengar. Wanita paruh baya yang sejak tadi memeluk Alicia itu, perlahan mengurai pelukannya lalu menatap Julia dan Abby bergantian. “Meminta para generasi muda untuk tidak mengangkat kepala mereka terlalu tinggi di depan orang baru? Apakah kau tidak merasa malu mengatakan hal bodoh seperti itu?!” Abigail menatap Hadley dalam diam. Hadley Green merupakan salah satu orang yang ada dalam informasi Rea, tentang orang yang har
Hadley terdiam. Wanita paruh baya itu terdiam seribu bahasa setelah mendapat balasan telak dari Julia. Di belakang Julia, Abby yang melihat bagaimana sang ibu mertua mengatasi masalah, tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa bangga. Sepertinya perasaan khawatir merepotkan orang yang membelanya, membuat Abby lupa siapa ibu mertuanya ini dan seperti apa posisinya di keluarga Evans. Ya, selain informasi tambahan dari Rea, Abby juga sempat mencari tahu tentang orang-orang penting keluarga Evans. Dan, kedua orang tua Gama, berada di peringkat kedua, setelah kepala keluarga Evans–Kakek Gerald dan istrinya, sebagai orang paling berpengaruh dan memiliki keputusan mutlak dalam keluarga. Pada posisi ke-tiga sudah jelas Gama, sebagai pewaris utama, sekaligus orang yang menarik perusahaan Evans dari ambang kebangkrutan, menstabilkan lalu membuat perusahaan semakin naik di era krisis hingga bisa kembali pada posisinya; berada di puncak rantai makanan .., sudah barang tentu ia sangat diha
Dengan masih mempertahankan tatapan sengitnya, Gerald kembali berbicara. “Persetan dengan apa kata orang.” ...Sementara di depan sana, setelah meninggalkan Kakek dan ayahnya, Gama bergegas menghampiri Abby. “Kita pulang sekarang?” Abigail cukup terkejut dengan tindakan Gama. Mata wanita itu juga sempat terbelalak. Namun, sebisa mungkin ia menormalkan raut wajahnya, lalu mengangguk. “Ya, aku juga sedikit lelah sekarang.”Bukan omong kosong, Abby memang sangat lelah sekarang dan entah kenapa, kehadiran Gama adalah hal yang paling ia syukuri saat ini. Abby bukannya tidak pernah menghadapi perseteruan keluarga seperti ini. Pernah, bahkan sering. Dulu, sebelum sang ayah yang notabene CEO perusahaan Collins difitnah membunuh’, menggelapkan uang perusahaan hingga harus mendekam di balik jeruji besi, keluarga mereka selalu menjadi sasaran sindiran saat acara keluarga berlangsung. Banyak dari para Collins yang sangat membenci keluarga mereka. Terkhususnya sang ayah, yang telah sukses di
Ucapan Gama yang terkesan–bukan terkesan tapi sangat tidak berperasaan tersebut, membuat mereka semua yang ada di dalam mobil terkejut. Carlos yang tengah menyetir, secara perlahan menaikkan pembatas antara kursi depan dan belakang, sedangkan Rea tanpa sadar mengambil sebotol air mineral yang sering Carlos selipkan di saku dasbor, kemudian menenggaknya hingga tandas. Beberapa saat saja bersama Abby, membuat mereka tahu bahwa sang nyonya muda bukan lawan yang mudah untuk tuan mereka. Melihat bagaimana Abby membalikkan keadaan di kastil Evans tadi, sudah lebih dari cukup untuk memberi peringatan keras pada Carlos dan Rea–pada sang tuan juga sebenarnya, untuk tidak menganggap remeh nyonya muda mereka ini. Dan ya, Sepertinya kekhawatiran Carlos dan Rea benar-benar terbukti. Sedikit meragukan sebenarnya, karena yang terdengar pertama kali setelah hening yang cukup panjang, bukanlah suara keras Abby, melainkan suara tawa yang sedikit dipaksakan. “Perang dimulai,” gumam Rea. Di bangku b
Abigail masih terpaku di tempatnya. Beberapa saat setelah Gama keluar dari mobil, barulah wanita cantik itu sadar dan melontarkan tatapan tajam pada sang suami. “Apa dia kira aku cacat?!” Abigail menatap pintu mobil yang dibuka Gama dengan sedikit kesal. “Hanya membuka pintu mobil, bukan? Berlebihan!” Rea yang tahu sang nyonya tengah kesal, bergegas membantu membukakan pintu mobil untuk Abby. “Mari, Nyonya.” Abigail menarik nafas dalam, lalu turun dengan senyum cerah. “Terima kasih, Rea.” Udara segar yang dirasakan saat turun dari mobil, membuat Abby merasa sangat nyaman. Awalnya dia berpikir, Gama adalah seseorang yang glamor dalam segala hal; baik penampilan maupun tempat tinggal, tapi ternyata pemikirannya itu salah besar. Melihat dari lingkungan tempat tinggal juga eksterior rumah yang lebih didominasi warna cokelat kayu, pepohonan rindang dan taman yang luas, sangat jelas terlihat bahwa hampir mirip dengannya, Gamaliel Evans juga sangat menyukai tempat tinggal berbau alam. “
Setelah kejadian sore tadi—yang berujung Abby harus memuaskan suaminya dengan cara lain hingga membuat rahangnya sedikit keram, akhirnya mereka tiba di lokasi diadakannya pesta ulang tahun Paman Gama. “Apakah masih sakit?” Tanya Gama saat melihat beberapa kali Abby menyentuh pipinya. Abigail menatap suaminya sengit. “Menurutmu? Bukan sakit secara harafiah, tetapi aku hanya merasa seperti baru saja meniup beberapa balon. Benar-benar tidak nyaman.” Gama menghela nafas. “Maafkan aku. Jika kamu tidak menolak, mulutmu pasti tidak akan sakit.” Sudut bibir Abby bergerak-gerak. Ingin sekali dia menyemburkan racun mematikan, tetapi sekuat tenaga ia tahan. ‘Jika tidak menolak?’ Jika dia tidak menolak maka saat ini pastilah mereka masih bergelut di atas ranjang! Ck, benar-benar menyebalkan!Dengan diawali oleh helaan nafas, Abby memejamkan matanya. “Sudahlah jangan dibahas lagi. Anggap saja ini memang salahku.” Ballroom hotel yang telah disulap menjadi area pesta mewah dengan dominasi
Abby mengiyakan ucapan Rea dengan anggukkan. "Tentu saja! Aku sudah cukup menahan diri sejak tadi. Dia benar-benar harus diberi pelajaran."Wanita cantik itu mengambil langkah pasti menemui Alicia.b yyttgDan ya, seperti halnya Abby, Alicia juga juga telah menunggu Abby sejak tadi sehingga begitu melihat wanita itu, Alicia bergegas menghampiri Abby. "Akhirnya kamu datang juga."Abby melipat kedua tangannya. "Apakah aku harus tersanjung sekarang? Tidak kusangka akan dirindukan oleh seorang wanita." Dia memicingkan mata. "Kamu tidak mungkin berubah pikiran dengan begitu cepat bukan, nona Alicia? Suamiku akan sedih jika tahu penggemarnya telah menemukan idola yang baru dan itu adalah istrinya sendiri."Alicia mendengus. "Menjadikanmu idola? Mataku masih begitu bagus, Non—""Nyonya!" Potong Abby cepat. "Aku telah menikah. Aku adalah nyonya muda Evans yang agung. Kamu harus mulai membiasakan diri memanggilku Nyonya! Mengerti, Nona Alic?"Alicia menggertakkan giginya. kembali seperti tadi,
Alicia terlihat akan meledak sebentar lagi. Hal itu terlihat dari sudut gaunnya yang kusut karena diremas dengan kuat. Buku-buku jarinya bahkan memutih yang menunjukkan betapa kerasnya ia mengepalkan tangan. Dan tentu saja hal itu sangat menghibur bagi Abby. Namun, dia tidak ingin menunjukkan kepuasannya karena saat ini dia tidak tahu siapa di antara; Nolan, Regan dan Ace yang telah terjebak pesona wanita cantik nan lemah yang dipancarkan Aliccia. Dan ya, pilihan Abby untuk tetap mempertahankan sikap nyatanya membuahkan hasil, karena tak berselang lama Regan tiba-tiba menggeser duduknya hingga mendekati Alicia. "Kamu benar, Abby. Alicia bukan seorang wanita perebut suami orang, dia dan Gama murni berteman," ucap Regan sembari membuka bekal makan siang yang dibawa Alicia. "Ini sangat lezat, kalian harus mencobanya." "Aku tidak berselera." Nolan, pria dengan tatapan dingin itu, tanpa ampun mengemukakakan pendapatnya. Ace ikut mengangguk. "Ya, benar. Sudah sangat sering aku memakan
Abigail menoleh pada suaminya, lalu mengangguk. “Em, aku hanya sedikit terkejut tadi.”Masuknya Abby dan Gama membuat beberapa orang yang tengah serius membahas beberapa hal, serempak menoleh. Sama halnya seperti Abby, Alicia juga terkejut mendapati kehadiran istri Gama tersebut. Bayangan tentang apa yang terjadi pagi tadi, membuat emosi Alicia yang sempat mereda kembali bangkit. Dengan senyum cerah yang dibuat-buat, wanita cantik itu beranjak bangun dari duduknya. “Kamu datang?” Alicia menatap paper bag di tangan Gama, lalu kembali menatap Abby. “Kamu membawa makan siang? Em, sebenarnya kami, ah maksudku, aku sudah membawa makan siang. Kamu bisa makan bersama kami, aku rasa makanan yang kubawa cukup banyak ....” Tanpa menunggu tanggapan Abby, Alicia lalu mengalihkan pandangannya pada mereka yang tengah duduk di sofa. “Aku rasa kalian tidak keberatan, bukan? Em, sebelumnya perkenalkan dia istri Gama Abigail Colli—“Evans.” Abby dengan cepat memotong ucapan Alice. “Untuk Sekarang
Setelah selesai bersiap, Abby bergegas pergi ke kantor Gama dengan diantar oleh Rea. Senyum cerah terus menghias wajah wanita cantik itu. Entah karena apa tapi Abby benar-benar antusias saat ini. "Anda terlihat begitu bahagia, Nyonya." Rea dengan senyum tipis menatap Abby.Membalas senyum Rea, Abby mengangguk kecil. "Ya, ini pertama kalinya aku berkunjung ke sana. Aku merasa sedikit gugup tapi juga senang."Masih dengan senyum yang sama Rea mengangguk. "Sebentar lagi kita akan tiba."Benar saja tidak sampai dua puluh menit dari ucapan Rea, mobil yang dikendarai Rea perlahan memasuki pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit.Abby tidak punya waktu untuk bertanya terlalu banyak karena segera setelah mereka turun, Rea langsung membawanya memasuki sebuah lift yang langsung mereka temukan begitu keluar dari area parkir bawah tanah.Denting lift terdengar begitu mereka tiba di tempat tujuan. Masih dengan senyum yang sama, Abby bergegas keluar dari lift begitu Rea mempersilahkan.Hal
Setelah mobil Gama menghilang, Abby menatap Rea. "Apa yang sebenarnya terjadi? Dia terlihat begitu khawatir."Rea menatap sang Nyoya. "Saya juga tidak tahu jelas apa yang terjadi. Tapi sepertinya memang serius. Hal itu saya simpulkan setelah melihat wajah Carlos yang terlihat tidak tenang.""Tidak bisakah kita mencari tahu? Siapa yang bisa kita tanyai untuk masalah ini?" Lagi Abby kembali bertanya.Rea menggelengkan kepalanya. "Satu-satunya harapan kita hanya Jase, Nyonya. Namun, seperti yang Anda lihat, situasinya sangat tidak memungkinkan untuk bertanya. Karenanya, Saya dan Anda hanya perlu menunggu informasi dari Jase."Abigail menghela nafas. Beberapa saat kemudian dia lalu mengangguk. "Sepertinya memang hanya bisa menunggu Jase."Rea tersenyum menanggapi ucapan Abby.....Hingga hari menjelang siang, Abigail semakin dibuat khawatir saat tidak juga mendapatkan kabar dari Jase. Wanita cantik itu terus melihat ke arah jam dinding dengan harap-harap cemas."Apakah tidak sebaiknya and
"Kenapa terdengar begitu menggelikan?" Jase yang mendengar ucapan sang tuan, bergidik. "Istri? Ya, Tuhan ... Aku belum pernah mendengar tuan menggunakan nada seperti itu saat berbicara dengan wanita. Bahkan pada nyonya besar pun Tuan selalu menggunakan nada dingin dan tegas. Tapi tadi, benar-benar terdengar begitu lembut dan manusiawi."Rea yang ikut menguping menepuk pundak Jase. "Kenapa begitu terkejut? Tuan tahu bagaimana membedakan prioritas dan bukan. Nyonya Abby merupakan istrinya, sudah sepatutnya Tuan memperlakukan Nyonya berbeda dengan wanita lain."Jase mengusap belakang kepalanya."Ya, aku paham ... tapi tetap saja, aku belum terbiasa dengan sikap aneh seperti itu.""Kalau begitu biasakan mulai sekarang," tukas Rea....Sementara di pihak Abby dan Gama, setelah selesai sarapan sepasang pengantin baru tersebut menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di taman depan--tempat yang membuat Abby kagum saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini."Kudengar Kau akan kembali b
Abigail tersenyum. "Apapun itu, aku tetap berterima kasih." Rea tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengangguk dengan senyum. "Ingatlah untuk berhati-hati, Nyonya. Keluarga Evans tidak sesederhana yang terlihat. Aku harap Nyonya selalu ingat untuk mawas diri. Nyonya besar yang adalah nenek Tuan Gama, juga orang yang melindungi Mia ... Aku dengan berani mengatakan bahwa beliau sangat berbahaya. Tidak seperti tuan besar Evans yang ramah pada Anda, Nyonya besar sedikit lebih keras." Abigail mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mengangguk. "Aku mengerti." Seolah baru teringat sesuatu, Rea menatap Abby. "Aa, benar. Tuan besar menyuruhku ke sini. Tuan ingin sarapan pagi bersama." Rea melirik CCTV yang menyorot langsung mereka berdua. "Tuan menunggu Anda di ruang kerjanya." "Kenapa Ruang Kerja?" Abigail mengerutkan keningnya. "Aku ingin sarapan di meja makan. Katakan padanya untuk datang. Jika tidak, aku akan makan sendirian." Rea mengusap belakang kepalanya. "Akan saya sampaikan, Ny
Mia masih terus menunduk. Ucapan Abigail benar-benar membuatnya kehilangan kata-kata. Jika ini beberapa saat lalu, dia pasti akan beradu argumen dengan sang Nyonya. Tapi, melihat bagaimana Nyonya mudanya ini bermain kata, tidak ada pilihan lain bagi Mia selain menunduk tanpa niat membalas. Beberapa saat berlalu dalam diam. Setelah dirasa cukup, Mia lalu berdehem kecil. "Terima kasih atas perhatian Anda, Nyonya. Saya akan lebih berhati-hati ke depannya agar tidak tenggelam." Mia menarik nafas dalam. "Jika tidak ada yang ingin Anda bicarakan, Saya permisi." Abigail hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah Mia pergi, Rea yang sejak tadi berdiri di dekat pilar ruang makan berjalan mendekat. "Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" Rea melihat ke belakang, memastikan tidak ada yang mendengar,. "Mia memang seperti itu, Aku harap Nyonya tidak mengambil hati setiap ucapan dan tindakannya." Suara Rea membuat Abby yang semula memunggungi pintu, berbalik. Wanita cantik itu melemparkan tat