Share

03. Kastel Evans

Abby mengangkat sudut bibirnya. “Sayangnya Kau harus menelan kekecewaan. Aku sedang berhalangan sekarang. Tidak mungkin melakukan itu, dengan keadaanku yang seperti ini.”

Gamaliel menyeringai. Pria itu beranjak dari duduknya, lalu berdiri tepat di depan ranjang.

Setelah mendapat atensi penuh dari Abigail, pria tampan itu lalu mengangkat agenda cokelat sebesar telapak tangan yang dibacanya sejak tadi. “Ibu mertua yang memberikannya padaku tadi.”

Pria itu kemudian membuka agenda tersebut, dan membaca salah satu halaman dengan lantang. “Catatan tamu bulanan Abby; siklus tamu bulanan Abby selalu berlangsung di awal bulan. Dia akan merasa nyeri di area perut. Saat tengah datang bulan, tak jarang dia akan lebih sensitif, emosinya juga sedikit terganggu; marah karena hal tidak jelas adalah salah satunya. Jika mendapati semua itu, Nak Gama tolong maklum. Dia sedikit manja, jika tamu bulanannya datang.”

Gamaliel menutup agenda tersebut dan menatap Abby, lalu melirik kalender yang berada di atas nakas. “Sekarang sudah memasuki pertengahan bulan.”

Abby tidak mengatakan apa-apa. Dia masih terpaku, suara-suara Gama tadi terus terngiang di telinganya.

Ibunya sampai melakukan sejauh ini .... Tanpa sadar air mata wanita itu mengalir.

Gamaliel yang semula tersenyum penuh kemenangan, seketika menjadi panik. “Kau baik-baik saja?”

Pertanyaan itu membuat tangisan Abby semakin keras. Dia seolah tengah meluapkan segala sesak yang ia tahan sejak tadi. Wanita itu sampai memukul dadanya berkali-kali demi meredakan sesak.

Gamaliel semakin panik. Kakeknya bisa murka jika tahu, istrinya menangis di malam pertama. “H-hey ... Sudah, oke? Aku minta maaf. Jangan menangis lagi ....”

Gama yang selalu menjaga jarak dengan wanita, merasa bingung harus bersikap seperti apa. Ingin membujuk, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

“A-aku hanya bercanda tentang malam pertama. Kalau kau ... Kalau kau berhalangan, kita bisa menundanya.”

Ucapan Gama membuat tangisan Abby, perlahan terhenti. Dengan masih sedikit sesenggukan ia menatap Gama. “Kau tidak berbohong ‘kan?”

Gama menggeleng.

***

Keesokan harinya.

Suara beberapa orang yang tengah berbisik sayup terdengar. Cahaya matahari yang perlahan merambat masuk lewat celah gorden, menjadi penyebab tidur gadis cantik itu terusik.

Kelopak mata yang seolah tengah digantung dengan pemberat, karena terlalu dipaksakan terbuka hingga hampir pagi, membuat Abigail begitu enggan untuk menggunakan sedikit usaha agar matanya dapat terbuka.

Jangankan mata, untuk menggerakkan satu jarinya saja Abby sangat malas sekarang. Bukan hanya malas sebenarnya, tetapi sedikit tidak sanggup.

Wanita cantik itu masih menikmati dunianya, saat mendengar suara seorang wanita. Suara yang sering ia dengar saat tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Gama.

“Sudah jam dua belas siang, dia belum bangun juga?!”

Suara menjengkelkan milik istri dari Paman kedua Gama yang sangat cerewet.

Sepertinya wanita itu hanya bertanya saja tanpa mendapatkan jawaban. Karena setelahnya Abby kembali mendengar bunyi pintu yang ditutup serta dikunci.

Wanita bermata Almond itu perlahan membuka matanya. Keningnya sedikit mengerut saat mendapati sakit yang memenuhi seluruh tubuhnya.

“Kau sudah bangun? Suara mereka sangat mengganggu. Aku kumarahi nanti.”

Abigail yang awalnya sedikit enggan untuk bangun, seketika membuka matanya lebar-lebar. Wanita cantik itu seolah lupa dengan rasa malas dan rasa sakit yang baru saja ia keluhkan.

Suara ini? Suara bajingan mesum yang menipunya!

Abby mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Tatapannya terpaku pada Gamaliel yang berdiri dengan tampang tidak berdosanya. Bathrobe, wajah yang terlihat segar dan beberapa tetes air yang masih menetes, menunjukkan pria ini baru saja membersihkan diri.

Mata Abby melotot, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Dengan sisa kekuatan yang ada, dia meraih salah satu bantal lalu melemparkan ke arah Gama.

Gama yang memiliki tenaga lebih kuat tentu saja bisa menghindar dengan mudah, tetapi tidak ia lakukan. Pria itu memilih tetap berada di tempat semula dan menerima lemparan bantal dari istrinya itu.

Ya, Gama cukup maklum dengan kemarahan wanita ini. Siapa pun akan marah jika ditipu, bukan di tipu sebenarnya, karena Gama tidak mengatakan apa-apa selain menggeleng.

Abby pun hanya bertanya “Kau tidak berbohong ‘kan?” Dan Gama menggeleng. Yang artinya dia memang berbohong. Jika semalam dia mengangguk, berarti dia mengiyakan pertanyaan Abby tentang “tidak berbohong”. Masuk akal bukan?

Jadi di sini, yang salah itu bukan dia, tapi Abby yang tidak paham bahasa tubuh.

“Jangan membuang tenaga, aku tahu kau pasti lelah.”

Abby menatap sengit Gama. Dia benar-benar marah sekarang. Pria ini ... Pria mesum ini benar-benar menipunya. Dia benar-benar tertipu mentah-mentah oleh pria ini.

Setelah menggeleng dan Abby menghentikan tangisannya, bukannya memakai pakaian dia justru menyerangnya brutal setelah sebelumnya menanggalkan handuk putih yang melingkar di pinggang pria itu.

Jangan tanya bagaimana keadaan pakaian Abby, sudah jelas tidak berbentuk. Piama berwarna Lilac kesukaannya, dicabik-cabik bak kain perca.

Pria ini benar-benar monster tidak sabaran yang begitu brutal. Dia berlaku seolah tidak pernah bertemu seorang wanita selama seribu tahun.

Abby dihajar dalam versi dewasa hingga beberapa jam lamanya. Dia bahkan tidak sanggup menggerakkan lehernya untuk sekedar melihat jam.

Pria ini terus bergerak, memaksanya untuk terus membuka mata hingga entah kapan. Sepertinya tidak kurang dari pukul tiga dini hari.

Hal itu Abby yakini karena alarm ponselnya yang selalu ia aktifkan pukul tiga lebih tiga puluh menit dini hari, terdengar. Alarm yang dia gunakan untuk mengingatkannya agar bangun lebih pagi, guna membantu sang ibu menyiapkan bahan untuk membuat roti besok.

“Awalnya memang memaksa, aku mengakui itu.” Gama berbicara setelah mendapati sang istri yang terus saja diam. “Tapi setelah itu, bukankah ... Bukankah kau yang terus meminta? Aku hanya menuruti keinginanmu saja. Lagi pula–

“Diam!!” Abby yang mulai tidak tahan menghardik dengan keras.

Dengan masih menatap tajam Gama, ia berkata dengan rahang mengeras. “Aku ... Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau berani membahas hal itu lagi! Kau bisa mencobanya jika ingin.”

Setelah mengatakan kalimat ancaman yang membuat gendang telinga Gama sedikit gatal, Abby bergegas ingin turun dari ranjang. Namun, seperti saat bangun tadi, dia kembali kesulitan.

Melihat Gama yang berjalan ke arahnya, membuat Abby sedikit panik. Baru saja dia ingin membentak pria itu, tubuhnya telah lebih dulu diangkat dengan masih tertutup selimut tebal.

“Aku hanya ingin membantu.”

Pria itu lalu membawa Abby masuk, setelahnya menyiapkan air hangat untuk istrinya itu, lalu ia bergegas keluar.

Ranjang yang telah kosong membuat Gama dengan jelas melihat bercak darah di tengah ranjang. Hal yang membuat sudut bibir pria itu terangkat.

Tidak ingin kehilangan momen, dia lalu mengeluarkan telepon genggamnya kemudian mengambil gambar ranjang berdarah itu. Setelahnya ia lalu mengambil seprei itu dan menggantinya dengan seprei baru, yang tadi di antarkan oleh para pelayan saat membereskan kekacauan yang mereka buat.

...

Dua hari, dua hari setelah pernikahan mereka, barulah Abby berani keluar dari kamar.

Dia masih malu, karena ternyata bukan hanya Gama yang melihat keadaannya waktu itu, tetapi para pelayan juga.

Selama mengurung diri di kamar; ibu, Kakak, serta ayah dan ibu mertuanya datang berkunjung. Mereka sempat bercengkerama beberapa saat, menghiburnya lalu pergi dengan alasan tidak ingin mengganggu pengantin baru.

Memasuki hari ke-tiga barulah Abby dan Gama keluar dari Hotel. Tapi bukannya pulang ke rumah, mereka berdua justru harus tinggal beberapa hari di Kediaman Utama Evans. Tempat di mana Kakek dan orang tua Gama tinggal.

Abby sempat bertanya kenapa, dan pria itu mengatakan sesuatu tentang tradisi. Abby hanya mengangguk saja dan mengikuti suaminya itu.

“Bukankah kita perlu membeli sesuatu? Ya, maksudku ... Buah tangan?” Abby yang baru selesai memasang sabuk pengaman bertanya.

Semenjak ‘penipuan’ waktu itu, hubungan mereka entah kenapa menjadi semakin dekat. Seolah penghalang yang semula menutupi hubungan mereka telah hilang, mereka berdua bersikap lebih seperti teman.

Tidak ada lagi kecanggungan karena selama kesulitan berjalan, Gamalah yang mengantarnya ke kamar mandi untuk mandi dan beraktivitas yang lain.

Meskipun hanya satu hari, tapi sudah cukup bagi mereka untuk menjadi dekat.

Abby pun sadar tidak ada gunanya memarahi pria itu. Karena ya, dia hanya mengambil haknya. Sesuatu yang cepat atau lambat akan tetap diberikan padanya juga.

Ya, bisa dibilang pria mesum yang arogan ini hanya mempercepat waktunya saja.

Gamaliel yang baru selesai memasang sabuk pengaman menoleh. “Kau.”

Melihat kening Abby yang mengerut, Gama menjelaskan. “Kau adalah oleh-oleh itu. Kakekku hanya ikut dalam pemberkatan, tidak dengan resepsi. Dia pasti sangat senang melihatmu, itulah kenapa aku bilang kau merupakan oleh-oleh yang tepat dibawa.”

Abby memutar matanya malas. “Setidaknya kita harus membawa sesuatu sebagai formalitas.”

Gama menghela nafas. Tidak ingin menjelaskan lebih banyak, dia lalu mengeluarkan telepon genggamnya, kemudian membuka ruang obrolannya dengan sang Kakek.

Abigail menerima ponsel yang disodorkan Gama. Keterkejutan tampak jelas di wajahnya begitu mendapati isi pesan Kakek Evans yang isinya hampir semua makian. Dan pesan ini rutin dikirim selama tiga hari terakhir.

“Ini ....”

Gama mengendikan bahunya. “Sudah mengerti sekarang? Kau oleh-oleh yang diminta. Jika aku membawa sesuatu yang lain lagi, orang tua itu akan semakin memaki karena berpikir aku sengaja mengulur waktu.”

Gamaliel menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah merah. Dengan masih memperhatikan jalan, pria itu melirik Abby sekilas. “Ini Medan perang yang sebenarnya.”

Abigail yang sejak tadi melihat ke luar jendela menoleh cepat. “Medan perang?”

Pria jangkung itu mengangguk. “Ya, medan perang. Mereka yang tidak suka dan ragu akan pernikahan kita tengah berkumpul di sana. Sindiran akan menjadi makananmu setiap saat. Aku tahu kau tidak lemah, tapi jangan meremehkan mereka juga.”

Abby menatap Gama sekilas, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”

Ya, sedikit banyak dia mengerti. Karena sebelum menikah, Kakaknya pernah memberikan beberapa artikel tentang keluarga Evans padanya.

Artikel tentang silsilah keluarga yang bagaikan benang kusut. Tidak tahu bagaimana menguraikannya, tetapi ada salah satu putri Evans yang menikah dengan Sepupunya sendiri. Dan kedua orang itu menjadi pelopor pernikahan antara sepupu jauh.

Itulah kenapa tidak sedikit pihak keluarga yang tidak begitu berpengaruh, menawarkan anak gadis mereka untuk menikah dengan Gama dan saudaranya yang lain.

Menurut info yang Abby dapat juga, Gamaliel merupakan anak tunggal George Evans, tetapi ada desas-desus yang ramai terdengar bahwa; George memiliki lima putra di luar pernikahan dari wanita berbeda.

Karena lim lainnya merupakan putra tidak sah, maka Gama disebut sebagai pewaris tunggal Evans dari ayahnya George. Dan ya, kelima putra lain itulah yang selama ini bersaing dengan Gama untuk memperebutkan posisi pewaris utama.

Gamaliel seseorang yang sangat ambisius, pria ini tidak akan menyerahkan hasil kerja kerasnya pada orang lain. Itulah kenapa dia menerima saja saat sang kakek meminta untuk menikah dengan Abigail–wanita yang wajahnya saja tidak pernah ia lihat.

Mobil yang Gama kendarai perlahan memasuki kawasan hijau. Tempat yang sangat asri, membuat siapa pun akan merasa sangat nyaman jika berada di sini.

Rumah di kawasan ini sangat jarang. Mereka melewati deretan pohon besar yang cukup panjang, hingga tiba di depan sebuah gerbang dengan tulisan “EVANS” besar tersemat di atas Gerbang raksasa tersebut.

Dua orang pengawal yang berjaga di pos penjagaan bergegas membuka gerbang. Dari gerbang besar itu, mata Abby kembali dimanjakan dengan pemandangan indah hamparan rumput hijau dengan beberapa rusa yang tengah berjalan-jalan di sekitar sana.

“Tempat ini ....”

“Kastel Evans. Tempat tinggal Kakek.”

Abby mengangguk, ternyata dia tengah memasuki kawasan yang disebut oleh sebagian orang sebagai negeri dongeng Ibu Kota.

Setelah tadi melihat rusa, kini Abby kembali melihat beberapa ekor kelinci yang berlari ke sana-kemari di hamparan rumput.

“Kakek sangat menyukai hewan.” Gama menjelaskan.

Abby mengangguk paham. Jika begitu maka tidak heran kenapa taman kediaman ini di Design khusus agar ramah bagi satwa.

Perjalanan dari Gerbang cukup memakan waktu lama. Abby bahkan beberapa kali melihat ke depan, tapi belum juga melihat letak rumah kakek yang Gama sebut Kastel Evans itu. Hingga beberapa saat kemudian, perjalanan mereka membuahkan hasil ketika Abby melihat puncak menara.

Dan ya, tidak lama setelah itu, mereka disuguhkan dengan pemandangan memanjakan mata.

Sebuah kastel tua yang didominasi warna putih, berdiri dengan gagah di depan sana. Abby merasa tengah diajak berwisata ke dunia dongeng saat melihat tempat ini.

“Jangan terpesona, tempat itu neraka dua belas pintu.” Suara Gama membuyarkan lamunan Abby.

Wanita cantik itu menoleh tetapi tidak mendapati suaminya, karena pria itu telah lebih dulu keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. “Sudah siap?”

Abigail menerima uluran tangan sang suami, lalu mengangguk. “Lebih dari itu. Aku sangat siap.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status