Abby mengangkat sudut bibirnya. “Sayangnya Kau harus menelan kekecewaan. Aku sedang berhalangan sekarang. Tidak mungkin melakukan itu, dengan keadaanku yang seperti ini.”
Gamaliel menyeringai. Pria itu beranjak dari duduknya, lalu berdiri tepat di depan ranjang.
Setelah mendapat atensi penuh dari Abigail, pria tampan itu lalu mengangkat agenda cokelat sebesar telapak tangan yang dibacanya sejak tadi. “Ibu mertua yang memberikannya padaku tadi.”
Pria itu kemudian membuka agenda tersebut, dan membaca salah satu halaman dengan lantang. “Catatan tamu bulanan Abby; siklus tamu bulanan Abby selalu berlangsung di awal bulan. Dia akan merasa nyeri di area perut. Saat tengah datang bulan, tak jarang dia akan lebih sensitif, emosinya juga sedikit terganggu; marah karena hal tidak jelas adalah salah satunya. Jika mendapati semua itu, Nak Gama tolong maklum. Dia sedikit manja, jika tamu bulanannya datang.”
Gamaliel menutup agenda tersebut dan menatap Abby, lalu melirik kalender yang berada di atas nakas. “Sekarang sudah memasuki pertengahan bulan.”
Abby tidak mengatakan apa-apa. Dia masih terpaku, suara-suara Gama tadi terus terngiang di telinganya.
Ibunya sampai melakukan sejauh ini .... Tanpa sadar air mata wanita itu mengalir.
Gamaliel yang semula tersenyum penuh kemenangan, seketika menjadi panik. “Kau baik-baik saja?”
Pertanyaan itu membuat tangisan Abby semakin keras. Dia seolah tengah meluapkan segala sesak yang ia tahan sejak tadi. Wanita itu sampai memukul dadanya berkali-kali demi meredakan sesak.
Gamaliel semakin panik. Kakeknya bisa murka jika tahu, istrinya menangis di malam pertama. “H-hey ... Sudah, oke? Aku minta maaf. Jangan menangis lagi ....”
Gama yang selalu menjaga jarak dengan wanita, merasa bingung harus bersikap seperti apa. Ingin membujuk, tapi tidak tahu bagaimana caranya.
“A-aku hanya bercanda tentang malam pertama. Kalau kau ... Kalau kau berhalangan, kita bisa menundanya.”
Ucapan Gama membuat tangisan Abby, perlahan terhenti. Dengan masih sedikit sesenggukan ia menatap Gama. “Kau tidak berbohong ‘kan?”
Gama menggeleng.
***
Keesokan harinya.
Suara beberapa orang yang tengah berbisik sayup terdengar. Cahaya matahari yang perlahan merambat masuk lewat celah gorden, menjadi penyebab tidur gadis cantik itu terusik.
Kelopak mata yang seolah tengah digantung dengan pemberat, karena terlalu dipaksakan terbuka hingga hampir pagi, membuat Abigail begitu enggan untuk menggunakan sedikit usaha agar matanya dapat terbuka.
Jangankan mata, untuk menggerakkan satu jarinya saja Abby sangat malas sekarang. Bukan hanya malas sebenarnya, tetapi sedikit tidak sanggup.
Wanita cantik itu masih menikmati dunianya, saat mendengar suara seorang wanita. Suara yang sering ia dengar saat tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Gama.
“Sudah jam dua belas siang, dia belum bangun juga?!”
Suara menjengkelkan milik istri dari Paman kedua Gama yang sangat cerewet.
Sepertinya wanita itu hanya bertanya saja tanpa mendapatkan jawaban. Karena setelahnya Abby kembali mendengar bunyi pintu yang ditutup serta dikunci.
Wanita bermata Almond itu perlahan membuka matanya. Keningnya sedikit mengerut saat mendapati sakit yang memenuhi seluruh tubuhnya.
“Kau sudah bangun? Suara mereka sangat mengganggu. Aku kumarahi nanti.”
Abigail yang awalnya sedikit enggan untuk bangun, seketika membuka matanya lebar-lebar. Wanita cantik itu seolah lupa dengan rasa malas dan rasa sakit yang baru saja ia keluhkan.
Suara ini? Suara bajingan mesum yang menipunya!
Abby mengalihkan pandangannya ke sumber suara. Tatapannya terpaku pada Gamaliel yang berdiri dengan tampang tidak berdosanya. Bathrobe, wajah yang terlihat segar dan beberapa tetes air yang masih menetes, menunjukkan pria ini baru saja membersihkan diri.
Mata Abby melotot, wajahnya terlihat memerah menahan marah. Dengan sisa kekuatan yang ada, dia meraih salah satu bantal lalu melemparkan ke arah Gama.
Gama yang memiliki tenaga lebih kuat tentu saja bisa menghindar dengan mudah, tetapi tidak ia lakukan. Pria itu memilih tetap berada di tempat semula dan menerima lemparan bantal dari istrinya itu.
Ya, Gama cukup maklum dengan kemarahan wanita ini. Siapa pun akan marah jika ditipu, bukan di tipu sebenarnya, karena Gama tidak mengatakan apa-apa selain menggeleng.
Abby pun hanya bertanya “Kau tidak berbohong ‘kan?” Dan Gama menggeleng. Yang artinya dia memang berbohong. Jika semalam dia mengangguk, berarti dia mengiyakan pertanyaan Abby tentang “tidak berbohong”. Masuk akal bukan?
Jadi di sini, yang salah itu bukan dia, tapi Abby yang tidak paham bahasa tubuh.
“Jangan membuang tenaga, aku tahu kau pasti lelah.”
Abby menatap sengit Gama. Dia benar-benar marah sekarang. Pria ini ... Pria mesum ini benar-benar menipunya. Dia benar-benar tertipu mentah-mentah oleh pria ini.
Setelah menggeleng dan Abby menghentikan tangisannya, bukannya memakai pakaian dia justru menyerangnya brutal setelah sebelumnya menanggalkan handuk putih yang melingkar di pinggang pria itu.
Jangan tanya bagaimana keadaan pakaian Abby, sudah jelas tidak berbentuk. Piama berwarna Lilac kesukaannya, dicabik-cabik bak kain perca.
Pria ini benar-benar monster tidak sabaran yang begitu brutal. Dia berlaku seolah tidak pernah bertemu seorang wanita selama seribu tahun.
Abby dihajar dalam versi dewasa hingga beberapa jam lamanya. Dia bahkan tidak sanggup menggerakkan lehernya untuk sekedar melihat jam.
Pria ini terus bergerak, memaksanya untuk terus membuka mata hingga entah kapan. Sepertinya tidak kurang dari pukul tiga dini hari.
Hal itu Abby yakini karena alarm ponselnya yang selalu ia aktifkan pukul tiga lebih tiga puluh menit dini hari, terdengar. Alarm yang dia gunakan untuk mengingatkannya agar bangun lebih pagi, guna membantu sang ibu menyiapkan bahan untuk membuat roti besok.
“Awalnya memang memaksa, aku mengakui itu.” Gama berbicara setelah mendapati sang istri yang terus saja diam. “Tapi setelah itu, bukankah ... Bukankah kau yang terus meminta? Aku hanya menuruti keinginanmu saja. Lagi pula–
“Diam!!” Abby yang mulai tidak tahan menghardik dengan keras.
Dengan masih menatap tajam Gama, ia berkata dengan rahang mengeras. “Aku ... Aku bersumpah akan membunuhmu jika kau berani membahas hal itu lagi! Kau bisa mencobanya jika ingin.”
Setelah mengatakan kalimat ancaman yang membuat gendang telinga Gama sedikit gatal, Abby bergegas ingin turun dari ranjang. Namun, seperti saat bangun tadi, dia kembali kesulitan.
Melihat Gama yang berjalan ke arahnya, membuat Abby sedikit panik. Baru saja dia ingin membentak pria itu, tubuhnya telah lebih dulu diangkat dengan masih tertutup selimut tebal.
“Aku hanya ingin membantu.”
Pria itu lalu membawa Abby masuk, setelahnya menyiapkan air hangat untuk istrinya itu, lalu ia bergegas keluar.
Ranjang yang telah kosong membuat Gama dengan jelas melihat bercak darah di tengah ranjang. Hal yang membuat sudut bibir pria itu terangkat.
Tidak ingin kehilangan momen, dia lalu mengeluarkan telepon genggamnya kemudian mengambil gambar ranjang berdarah itu. Setelahnya ia lalu mengambil seprei itu dan menggantinya dengan seprei baru, yang tadi di antarkan oleh para pelayan saat membereskan kekacauan yang mereka buat.
...
Dua hari, dua hari setelah pernikahan mereka, barulah Abby berani keluar dari kamar.
Dia masih malu, karena ternyata bukan hanya Gama yang melihat keadaannya waktu itu, tetapi para pelayan juga.
Selama mengurung diri di kamar; ibu, Kakak, serta ayah dan ibu mertuanya datang berkunjung. Mereka sempat bercengkerama beberapa saat, menghiburnya lalu pergi dengan alasan tidak ingin mengganggu pengantin baru.
Memasuki hari ke-tiga barulah Abby dan Gama keluar dari Hotel. Tapi bukannya pulang ke rumah, mereka berdua justru harus tinggal beberapa hari di Kediaman Utama Evans. Tempat di mana Kakek dan orang tua Gama tinggal.
Abby sempat bertanya kenapa, dan pria itu mengatakan sesuatu tentang tradisi. Abby hanya mengangguk saja dan mengikuti suaminya itu.
“Bukankah kita perlu membeli sesuatu? Ya, maksudku ... Buah tangan?” Abby yang baru selesai memasang sabuk pengaman bertanya.
Semenjak ‘penipuan’ waktu itu, hubungan mereka entah kenapa menjadi semakin dekat. Seolah penghalang yang semula menutupi hubungan mereka telah hilang, mereka berdua bersikap lebih seperti teman.
Tidak ada lagi kecanggungan karena selama kesulitan berjalan, Gamalah yang mengantarnya ke kamar mandi untuk mandi dan beraktivitas yang lain.
Meskipun hanya satu hari, tapi sudah cukup bagi mereka untuk menjadi dekat.
Abby pun sadar tidak ada gunanya memarahi pria itu. Karena ya, dia hanya mengambil haknya. Sesuatu yang cepat atau lambat akan tetap diberikan padanya juga.
Ya, bisa dibilang pria mesum yang arogan ini hanya mempercepat waktunya saja.
Gamaliel yang baru selesai memasang sabuk pengaman menoleh. “Kau.”
Melihat kening Abby yang mengerut, Gama menjelaskan. “Kau adalah oleh-oleh itu. Kakekku hanya ikut dalam pemberkatan, tidak dengan resepsi. Dia pasti sangat senang melihatmu, itulah kenapa aku bilang kau merupakan oleh-oleh yang tepat dibawa.”
Abby memutar matanya malas. “Setidaknya kita harus membawa sesuatu sebagai formalitas.”
Gama menghela nafas. Tidak ingin menjelaskan lebih banyak, dia lalu mengeluarkan telepon genggamnya, kemudian membuka ruang obrolannya dengan sang Kakek.
Abigail menerima ponsel yang disodorkan Gama. Keterkejutan tampak jelas di wajahnya begitu mendapati isi pesan Kakek Evans yang isinya hampir semua makian. Dan pesan ini rutin dikirim selama tiga hari terakhir.
“Ini ....”
Gama mengendikan bahunya. “Sudah mengerti sekarang? Kau oleh-oleh yang diminta. Jika aku membawa sesuatu yang lain lagi, orang tua itu akan semakin memaki karena berpikir aku sengaja mengulur waktu.”
Gamaliel menghentikan mobilnya saat lampu lalu lintas berubah merah. Dengan masih memperhatikan jalan, pria itu melirik Abby sekilas. “Ini Medan perang yang sebenarnya.”
Abigail yang sejak tadi melihat ke luar jendela menoleh cepat. “Medan perang?”
Pria jangkung itu mengangguk. “Ya, medan perang. Mereka yang tidak suka dan ragu akan pernikahan kita tengah berkumpul di sana. Sindiran akan menjadi makananmu setiap saat. Aku tahu kau tidak lemah, tapi jangan meremehkan mereka juga.”
Abby menatap Gama sekilas, lalu mengangguk. “Aku mengerti.”
Ya, sedikit banyak dia mengerti. Karena sebelum menikah, Kakaknya pernah memberikan beberapa artikel tentang keluarga Evans padanya.
Artikel tentang silsilah keluarga yang bagaikan benang kusut. Tidak tahu bagaimana menguraikannya, tetapi ada salah satu putri Evans yang menikah dengan Sepupunya sendiri. Dan kedua orang itu menjadi pelopor pernikahan antara sepupu jauh.
Itulah kenapa tidak sedikit pihak keluarga yang tidak begitu berpengaruh, menawarkan anak gadis mereka untuk menikah dengan Gama dan saudaranya yang lain.
Menurut info yang Abby dapat juga, Gamaliel merupakan anak tunggal George Evans, tetapi ada desas-desus yang ramai terdengar bahwa; George memiliki lima putra di luar pernikahan dari wanita berbeda.
Karena lim lainnya merupakan putra tidak sah, maka Gama disebut sebagai pewaris tunggal Evans dari ayahnya George. Dan ya, kelima putra lain itulah yang selama ini bersaing dengan Gama untuk memperebutkan posisi pewaris utama.
Gamaliel seseorang yang sangat ambisius, pria ini tidak akan menyerahkan hasil kerja kerasnya pada orang lain. Itulah kenapa dia menerima saja saat sang kakek meminta untuk menikah dengan Abigail–wanita yang wajahnya saja tidak pernah ia lihat.
Mobil yang Gama kendarai perlahan memasuki kawasan hijau. Tempat yang sangat asri, membuat siapa pun akan merasa sangat nyaman jika berada di sini.
Rumah di kawasan ini sangat jarang. Mereka melewati deretan pohon besar yang cukup panjang, hingga tiba di depan sebuah gerbang dengan tulisan “EVANS” besar tersemat di atas Gerbang raksasa tersebut.
Dua orang pengawal yang berjaga di pos penjagaan bergegas membuka gerbang. Dari gerbang besar itu, mata Abby kembali dimanjakan dengan pemandangan indah hamparan rumput hijau dengan beberapa rusa yang tengah berjalan-jalan di sekitar sana.
“Tempat ini ....”
“Kastel Evans. Tempat tinggal Kakek.”
Abby mengangguk, ternyata dia tengah memasuki kawasan yang disebut oleh sebagian orang sebagai negeri dongeng Ibu Kota.
Setelah tadi melihat rusa, kini Abby kembali melihat beberapa ekor kelinci yang berlari ke sana-kemari di hamparan rumput.
“Kakek sangat menyukai hewan.” Gama menjelaskan.
Abby mengangguk paham. Jika begitu maka tidak heran kenapa taman kediaman ini di Design khusus agar ramah bagi satwa.
Perjalanan dari Gerbang cukup memakan waktu lama. Abby bahkan beberapa kali melihat ke depan, tapi belum juga melihat letak rumah kakek yang Gama sebut Kastel Evans itu. Hingga beberapa saat kemudian, perjalanan mereka membuahkan hasil ketika Abby melihat puncak menara.
Dan ya, tidak lama setelah itu, mereka disuguhkan dengan pemandangan memanjakan mata.
Sebuah kastel tua yang didominasi warna putih, berdiri dengan gagah di depan sana. Abby merasa tengah diajak berwisata ke dunia dongeng saat melihat tempat ini.
“Jangan terpesona, tempat itu neraka dua belas pintu.” Suara Gama membuyarkan lamunan Abby.
Wanita cantik itu menoleh tetapi tidak mendapati suaminya, karena pria itu telah lebih dulu keluar dari mobil dan membukakan pintu untuknya. “Sudah siap?”
Abigail menerima uluran tangan sang suami, lalu mengangguk. “Lebih dari itu. Aku sangat siap.”
Sepasang suami istri baru itu, turun dari mobil dengan keadaan tangan saling bertaut. Wajah Gama terlihat begitu serius. Dia juga terlihat sangat perhatian; saat akan menaiki tangga batu di dekat tempat parkir, ia dengan lembut menuntun Abby agar tidak tersandung. Abigail tidak tahu ini bagian dari akting atau bukan, tetapi dia cukup nyaman. Jika memiliki partner seperti Gama yang perhatian di depan umum, maka drama panjang ini tidak akan terlalu membosankan. Saat mengangkat wajahnya, Abby sedikit terkejut saat mendapati dua orang pria dan seorang wanita muda tengah menatap mereka dengan wajah berbinar. Tidak tiga-tiganya, karena satu orang pria yang berpenampilan sangat formal terus menampilkan raut datar. Sedangkan dua yang lain, mereka mengikuti langkah Abby dan Gama dengan senyum mengembang dan wajah berbinar. “Hentikan wajah bodoh itu. Kalian membuatnya takut!” Gama si pengacau membuat senyum dua orang yang terlihat mirip itu, menghilang seketika. “Maafkan kami, Nyonya.” Sa
“Anda mengatakan sesuatu, Tuan?” Pria paruh baya berwajah dingin yang sejak tadi berdiri di samping Gerald Evans itu, bertanya pelan. Kakek Gerald mengangguk. “Aku bilang, persilahkan mereka duduk.” Pelayan paruh baya tersebut mengangguk. “Baik, Tuan.” Dia lalu beralih pada Gama dan Abby. “Tuan Muda dan Nyonya bisa mengambil tempat.” Gama tersenyum pada sang kakek. “Terima kasih, Kek.” Pria itu terlihat senang, pasalnya sesuatu hal yang terbilang langka melihat Gerald Evans melunak seperti itu. Biasanya, dia akan berkeras, berpura-pura tidak melihat dan membiarkan mereka yang baru tiba berdiri untuk waktu yang lama. Hal itu juga berlaku pada Gama sang cucu kesayangan. Gerald Evans mengangguk. Pria tua itu mengalihkan pandangan pada Abby. “Seorang Collins? Aku tidak tahu Collins memiliki harta Karun.” Abigail yang baru saja duduk–dengan dibantu oleh Gama tersenyum. “Bukan darah murni. Ibuku seorang Abram, Kakek.” Gerald Evans mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aa, tidak heran. Put
Suasana di ruang makan terbilang sangat kondusif. Terkesan sedikit dingin sebenarnya.Tidak ada obrolan apalagi candaan, karena semua orang yang ada di sana hanya fokus pada piring dan sendok di depan mereka. Bunyi dentingan sendok garpu yang beradu dengan piring keramik, menjadi satu-satunya pertanda bahwa mereka yang ada di sana bukanlah patung, melainkan manusia bernyawa.Sebagai bintang utama hari itu, Abigail dan Gama terus saja menjadi pusat perhatian. Seperti saat ini, tindakan Gama yang memotong daging hingga berukuran lebih kecil sebelum diberikan pada Abby, membuat mereka semua yang ada di sana tersenyum dalam diam.Tidak semua yang tersenyum sebenarnya, karena ada beberapa orang yang justru memandang tindakan Gama sebagai sebuah pemandangan memuakan. “Kontrol ekspresimu agar mereka tidak curiga.” Suara seorang wanita, membuat Alicia yang tengah menatap sengit interaksi Gama dan Abby terkejut. Sadar telah melakukan kesalahan, Alicia bergegas mengubah raut wajahnya. “Maafk
Dan ya, untuk ke sekian kalinya Alicia kembali terdiam. Omong-omong, mereka tengah berada di taman kecil yang hanya berbatasan kaca dengan ruang makan. Sebuah taman beratapkan kaca, dengan deretan bunga Tulip dan mawar putih yang mengelilingi. Pada tengah taman membentang rumput hijau dengan setapak batu alam sebagai tempat mereka berpijak. Di sebelah Utara taman terdapat kolam kecil dengan patung Dewi kesuburan yang tengah memegang tempayan yang terus mengalirkan air ke tengah kolam. Tempat yang sangat indah dan nyaman untuk memenangkan diri. Hal itulah yang dilakukan Abby tadi, sebelum iblis wanita ini tiba. Alicia berdehem beberapa kali. Seperti sebelumnya, dia kembali meremas sisi gaunnya hingga kusut, guna meredam kekesalan atas ucapan Abby tadi. “Bagaimana, Alic? Apakah kau punya saran?” Lagi, Abigail bertanya. Pertanyaan Abby berhasil menarik Alicia dari lamunannya. Wanita cantik bergaun putih itu menatap Abby dalam diam. Beberapa saat kemudian, kedua matanya perlahan men
Keheningan memenuhi seluruh taman, begitu Julia menyelesaikan ucapannya. Tidak ada satu pun dari mereka yang berani menentang, atau menjawab ucapan Julia tadi. Begitu juga dengan Abby yang tetap pada posisi semula, dia tidak menunduk apalagi bersembunyi di balik punggung Julia, seperti yang dilakukan Alicia tadi. Wanita cantik itu merasa, air mata palsu yang ia keluarkan tadi adalah batasnya. Tidak ada lagi hal lain yang akan ia lakukan untuk mendukung drama murahan Alicia. “Bukankah ucapanmu sangat berlebihan, Kakak Ipar?” Suara Hadley Green, ibu angkat Alicia terdengar. Wanita paruh baya yang sejak tadi memeluk Alicia itu, perlahan mengurai pelukannya lalu menatap Julia dan Abby bergantian. “Meminta para generasi muda untuk tidak mengangkat kepala mereka terlalu tinggi di depan orang baru? Apakah kau tidak merasa malu mengatakan hal bodoh seperti itu?!” Abigail menatap Hadley dalam diam. Hadley Green merupakan salah satu orang yang ada dalam informasi Rea, tentang orang yang har
Hadley terdiam. Wanita paruh baya itu terdiam seribu bahasa setelah mendapat balasan telak dari Julia. Di belakang Julia, Abby yang melihat bagaimana sang ibu mertua mengatasi masalah, tidak bisa menahan dirinya untuk tidak merasa bangga. Sepertinya perasaan khawatir merepotkan orang yang membelanya, membuat Abby lupa siapa ibu mertuanya ini dan seperti apa posisinya di keluarga Evans. Ya, selain informasi tambahan dari Rea, Abby juga sempat mencari tahu tentang orang-orang penting keluarga Evans. Dan, kedua orang tua Gama, berada di peringkat kedua, setelah kepala keluarga Evans–Kakek Gerald dan istrinya, sebagai orang paling berpengaruh dan memiliki keputusan mutlak dalam keluarga. Pada posisi ke-tiga sudah jelas Gama, sebagai pewaris utama, sekaligus orang yang menarik perusahaan Evans dari ambang kebangkrutan, menstabilkan lalu membuat perusahaan semakin naik di era krisis hingga bisa kembali pada posisinya; berada di puncak rantai makanan .., sudah barang tentu ia sangat diha
Dengan masih mempertahankan tatapan sengitnya, Gerald kembali berbicara. “Persetan dengan apa kata orang.” ...Sementara di depan sana, setelah meninggalkan Kakek dan ayahnya, Gama bergegas menghampiri Abby. “Kita pulang sekarang?” Abigail cukup terkejut dengan tindakan Gama. Mata wanita itu juga sempat terbelalak. Namun, sebisa mungkin ia menormalkan raut wajahnya, lalu mengangguk. “Ya, aku juga sedikit lelah sekarang.”Bukan omong kosong, Abby memang sangat lelah sekarang dan entah kenapa, kehadiran Gama adalah hal yang paling ia syukuri saat ini. Abby bukannya tidak pernah menghadapi perseteruan keluarga seperti ini. Pernah, bahkan sering. Dulu, sebelum sang ayah yang notabene CEO perusahaan Collins difitnah membunuh’, menggelapkan uang perusahaan hingga harus mendekam di balik jeruji besi, keluarga mereka selalu menjadi sasaran sindiran saat acara keluarga berlangsung. Banyak dari para Collins yang sangat membenci keluarga mereka. Terkhususnya sang ayah, yang telah sukses di
Ucapan Gama yang terkesan–bukan terkesan tapi sangat tidak berperasaan tersebut, membuat mereka semua yang ada di dalam mobil terkejut. Carlos yang tengah menyetir, secara perlahan menaikkan pembatas antara kursi depan dan belakang, sedangkan Rea tanpa sadar mengambil sebotol air mineral yang sering Carlos selipkan di saku dasbor, kemudian menenggaknya hingga tandas. Beberapa saat saja bersama Abby, membuat mereka tahu bahwa sang nyonya muda bukan lawan yang mudah untuk tuan mereka. Melihat bagaimana Abby membalikkan keadaan di kastil Evans tadi, sudah lebih dari cukup untuk memberi peringatan keras pada Carlos dan Rea–pada sang tuan juga sebenarnya, untuk tidak menganggap remeh nyonya muda mereka ini. Dan ya, Sepertinya kekhawatiran Carlos dan Rea benar-benar terbukti. Sedikit meragukan sebenarnya, karena yang terdengar pertama kali setelah hening yang cukup panjang, bukanlah suara keras Abby, melainkan suara tawa yang sedikit dipaksakan. “Perang dimulai,” gumam Rea. Di bangku b
Setelah kejadian sore tadi—yang berujung Abby harus memuaskan suaminya dengan cara lain hingga membuat rahangnya sedikit keram, akhirnya mereka tiba di lokasi diadakannya pesta ulang tahun Paman Gama. “Apakah masih sakit?” Tanya Gama saat melihat beberapa kali Abby menyentuh pipinya. Abigail menatap suaminya sengit. “Menurutmu? Bukan sakit secara harafiah, tetapi aku hanya merasa seperti baru saja meniup beberapa balon. Benar-benar tidak nyaman.” Gama menghela nafas. “Maafkan aku. Jika kamu tidak menolak, mulutmu pasti tidak akan sakit.” Sudut bibir Abby bergerak-gerak. Ingin sekali dia menyemburkan racun mematikan, tetapi sekuat tenaga ia tahan. ‘Jika tidak menolak?’ Jika dia tidak menolak maka saat ini pastilah mereka masih bergelut di atas ranjang! Ck, benar-benar menyebalkan!Dengan diawali oleh helaan nafas, Abby memejamkan matanya. “Sudahlah jangan dibahas lagi. Anggap saja ini memang salahku.” Ballroom hotel yang telah disulap menjadi area pesta mewah dengan dominasi
Abby mengiyakan ucapan Rea dengan anggukkan. "Tentu saja! Aku sudah cukup menahan diri sejak tadi. Dia benar-benar harus diberi pelajaran."Wanita cantik itu mengambil langkah pasti menemui Alicia.b yyttgDan ya, seperti halnya Abby, Alicia juga juga telah menunggu Abby sejak tadi sehingga begitu melihat wanita itu, Alicia bergegas menghampiri Abby. "Akhirnya kamu datang juga."Abby melipat kedua tangannya. "Apakah aku harus tersanjung sekarang? Tidak kusangka akan dirindukan oleh seorang wanita." Dia memicingkan mata. "Kamu tidak mungkin berubah pikiran dengan begitu cepat bukan, nona Alicia? Suamiku akan sedih jika tahu penggemarnya telah menemukan idola yang baru dan itu adalah istrinya sendiri."Alicia mendengus. "Menjadikanmu idola? Mataku masih begitu bagus, Non—""Nyonya!" Potong Abby cepat. "Aku telah menikah. Aku adalah nyonya muda Evans yang agung. Kamu harus mulai membiasakan diri memanggilku Nyonya! Mengerti, Nona Alic?"Alicia menggertakkan giginya. kembali seperti tadi,
Alicia terlihat akan meledak sebentar lagi. Hal itu terlihat dari sudut gaunnya yang kusut karena diremas dengan kuat. Buku-buku jarinya bahkan memutih yang menunjukkan betapa kerasnya ia mengepalkan tangan. Dan tentu saja hal itu sangat menghibur bagi Abby. Namun, dia tidak ingin menunjukkan kepuasannya karena saat ini dia tidak tahu siapa di antara; Nolan, Regan dan Ace yang telah terjebak pesona wanita cantik nan lemah yang dipancarkan Aliccia. Dan ya, pilihan Abby untuk tetap mempertahankan sikap nyatanya membuahkan hasil, karena tak berselang lama Regan tiba-tiba menggeser duduknya hingga mendekati Alicia. "Kamu benar, Abby. Alicia bukan seorang wanita perebut suami orang, dia dan Gama murni berteman," ucap Regan sembari membuka bekal makan siang yang dibawa Alicia. "Ini sangat lezat, kalian harus mencobanya." "Aku tidak berselera." Nolan, pria dengan tatapan dingin itu, tanpa ampun mengemukakakan pendapatnya. Ace ikut mengangguk. "Ya, benar. Sudah sangat sering aku memakan
Abigail menoleh pada suaminya, lalu mengangguk. “Em, aku hanya sedikit terkejut tadi.”Masuknya Abby dan Gama membuat beberapa orang yang tengah serius membahas beberapa hal, serempak menoleh. Sama halnya seperti Abby, Alicia juga terkejut mendapati kehadiran istri Gama tersebut. Bayangan tentang apa yang terjadi pagi tadi, membuat emosi Alicia yang sempat mereda kembali bangkit. Dengan senyum cerah yang dibuat-buat, wanita cantik itu beranjak bangun dari duduknya. “Kamu datang?” Alicia menatap paper bag di tangan Gama, lalu kembali menatap Abby. “Kamu membawa makan siang? Em, sebenarnya kami, ah maksudku, aku sudah membawa makan siang. Kamu bisa makan bersama kami, aku rasa makanan yang kubawa cukup banyak ....” Tanpa menunggu tanggapan Abby, Alicia lalu mengalihkan pandangannya pada mereka yang tengah duduk di sofa. “Aku rasa kalian tidak keberatan, bukan? Em, sebelumnya perkenalkan dia istri Gama Abigail Colli—“Evans.” Abby dengan cepat memotong ucapan Alice. “Untuk Sekarang
Setelah selesai bersiap, Abby bergegas pergi ke kantor Gama dengan diantar oleh Rea. Senyum cerah terus menghias wajah wanita cantik itu. Entah karena apa tapi Abby benar-benar antusias saat ini. "Anda terlihat begitu bahagia, Nyonya." Rea dengan senyum tipis menatap Abby.Membalas senyum Rea, Abby mengangguk kecil. "Ya, ini pertama kalinya aku berkunjung ke sana. Aku merasa sedikit gugup tapi juga senang."Masih dengan senyum yang sama Rea mengangguk. "Sebentar lagi kita akan tiba."Benar saja tidak sampai dua puluh menit dari ucapan Rea, mobil yang dikendarai Rea perlahan memasuki pelataran parkir sebuah gedung pencakar langit.Abby tidak punya waktu untuk bertanya terlalu banyak karena segera setelah mereka turun, Rea langsung membawanya memasuki sebuah lift yang langsung mereka temukan begitu keluar dari area parkir bawah tanah.Denting lift terdengar begitu mereka tiba di tempat tujuan. Masih dengan senyum yang sama, Abby bergegas keluar dari lift begitu Rea mempersilahkan.Hal
Setelah mobil Gama menghilang, Abby menatap Rea. "Apa yang sebenarnya terjadi? Dia terlihat begitu khawatir."Rea menatap sang Nyoya. "Saya juga tidak tahu jelas apa yang terjadi. Tapi sepertinya memang serius. Hal itu saya simpulkan setelah melihat wajah Carlos yang terlihat tidak tenang.""Tidak bisakah kita mencari tahu? Siapa yang bisa kita tanyai untuk masalah ini?" Lagi Abby kembali bertanya.Rea menggelengkan kepalanya. "Satu-satunya harapan kita hanya Jase, Nyonya. Namun, seperti yang Anda lihat, situasinya sangat tidak memungkinkan untuk bertanya. Karenanya, Saya dan Anda hanya perlu menunggu informasi dari Jase."Abigail menghela nafas. Beberapa saat kemudian dia lalu mengangguk. "Sepertinya memang hanya bisa menunggu Jase."Rea tersenyum menanggapi ucapan Abby.....Hingga hari menjelang siang, Abigail semakin dibuat khawatir saat tidak juga mendapatkan kabar dari Jase. Wanita cantik itu terus melihat ke arah jam dinding dengan harap-harap cemas."Apakah tidak sebaiknya and
"Kenapa terdengar begitu menggelikan?" Jase yang mendengar ucapan sang tuan, bergidik. "Istri? Ya, Tuhan ... Aku belum pernah mendengar tuan menggunakan nada seperti itu saat berbicara dengan wanita. Bahkan pada nyonya besar pun Tuan selalu menggunakan nada dingin dan tegas. Tapi tadi, benar-benar terdengar begitu lembut dan manusiawi."Rea yang ikut menguping menepuk pundak Jase. "Kenapa begitu terkejut? Tuan tahu bagaimana membedakan prioritas dan bukan. Nyonya Abby merupakan istrinya, sudah sepatutnya Tuan memperlakukan Nyonya berbeda dengan wanita lain."Jase mengusap belakang kepalanya."Ya, aku paham ... tapi tetap saja, aku belum terbiasa dengan sikap aneh seperti itu.""Kalau begitu biasakan mulai sekarang," tukas Rea....Sementara di pihak Abby dan Gama, setelah selesai sarapan sepasang pengantin baru tersebut menghabiskan waktu mereka untuk bersantai di taman depan--tempat yang membuat Abby kagum saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini."Kudengar Kau akan kembali b
Abigail tersenyum. "Apapun itu, aku tetap berterima kasih." Rea tidak bisa berkata apa-apa lagi selain mengangguk dengan senyum. "Ingatlah untuk berhati-hati, Nyonya. Keluarga Evans tidak sesederhana yang terlihat. Aku harap Nyonya selalu ingat untuk mawas diri. Nyonya besar yang adalah nenek Tuan Gama, juga orang yang melindungi Mia ... Aku dengan berani mengatakan bahwa beliau sangat berbahaya. Tidak seperti tuan besar Evans yang ramah pada Anda, Nyonya besar sedikit lebih keras." Abigail mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu mengangguk. "Aku mengerti." Seolah baru teringat sesuatu, Rea menatap Abby. "Aa, benar. Tuan besar menyuruhku ke sini. Tuan ingin sarapan pagi bersama." Rea melirik CCTV yang menyorot langsung mereka berdua. "Tuan menunggu Anda di ruang kerjanya." "Kenapa Ruang Kerja?" Abigail mengerutkan keningnya. "Aku ingin sarapan di meja makan. Katakan padanya untuk datang. Jika tidak, aku akan makan sendirian." Rea mengusap belakang kepalanya. "Akan saya sampaikan, Ny
Mia masih terus menunduk. Ucapan Abigail benar-benar membuatnya kehilangan kata-kata. Jika ini beberapa saat lalu, dia pasti akan beradu argumen dengan sang Nyonya. Tapi, melihat bagaimana Nyonya mudanya ini bermain kata, tidak ada pilihan lain bagi Mia selain menunduk tanpa niat membalas. Beberapa saat berlalu dalam diam. Setelah dirasa cukup, Mia lalu berdehem kecil. "Terima kasih atas perhatian Anda, Nyonya. Saya akan lebih berhati-hati ke depannya agar tidak tenggelam." Mia menarik nafas dalam. "Jika tidak ada yang ingin Anda bicarakan, Saya permisi." Abigail hanya mengangguk sebagai jawaban. Setelah Mia pergi, Rea yang sejak tadi berdiri di dekat pilar ruang makan berjalan mendekat. "Apakah Anda baik-baik saja, Nyonya?" Rea melihat ke belakang, memastikan tidak ada yang mendengar,. "Mia memang seperti itu, Aku harap Nyonya tidak mengambil hati setiap ucapan dan tindakannya." Suara Rea membuat Abby yang semula memunggungi pintu, berbalik. Wanita cantik itu melemparkan tat