Malam yang indah, Marni tak pernah minta ke bioskop, tak pernah minta dibelikan pakaian dan perhiasan mahal begitu terasa istimewa, walaupun dia memiliki banyak kekurangan. Kalau pun kami ke sini, ini bukan keinginannya, aku yang membawanya. Aku ingin memperkenalkannya pada makanan lain, selain sambal terasi.Kulihat langit yang gelap sekilas. Rasanya begitu mengesankan, sayangnya perasaan itu hanya milikku saja, sedangkan Marni malah terkesan ingin cepat sampai di rumah, nampak betul dia tak menikmati duduk berdua di atas motor kami."Katanya mau ngebut, ini sangat pelan, Mas. Aku tak sabar berjumpa dengan ranjangku."Bunga-bunga di hatiku rontok, bahkan langsung layu, jika tadi aku cemburu pada es krim dalam mulut Marni, kali ini aku cemburu dengan ranjang kami. Harusnya dia mengatakan dia rindu aku malam ini, tapi dia malah tak sabar bertemu dengan ranjangnya. Ya, posisi telah berganti, kini aku yang bertepuk sebelah tangan. Marni menghukumku dengan semua keadaannya.Sampai di rum
Pov MarniPrang! Tak sengaja aku menjatuhkan piring yang sedang kucuci. Benda itu pecah berderai mengahasilkan bunyi nyaring. Sejenak kurasakan kepalaku nyeri. Kuberjalan perlahan, mencari pegangan ke dinding, lalu duduk di meja makan."Apa? Kau tau? akan jadi apa dirimu jika kami membiarkanmu? Kau takkan jadi orang.""Iya, aku akan tetap jadi bodoh dan jorok. Bahkan setelah aku melakukan semuanya, Mas sama sekali tak menaruh hati padaku. Semuanya sia-sia. Aku menyukaimu, kamu tidak."Aku terjaga dari lamunanku, saat kilasan singkat itu datang begitu saja. Aku tersentak dengan nafas tersengal. Aku tau pasti yang terbayang itu adalah diriku dan Mas Anto. Wajah Mas Anto yang marah, menatap penuh kebencian, sementara aku tampak menyedihkan dengan wajah memelas dan ketakutan.Apakah itu yang pernah kami lalui saat aku belum amnesia? Mas Anto mengatakan bahwa kami saling mencintai, akan tetapi di kilasan itu, jelas menerangkan bahwa dia tak mencintaiku, cinta itu seperti Ibu dan Ayah, yan
Aku berjalan cepat ke arah pintu saat bunyi deru mobil disusul bunyi bel beberapa kali. Mas Anto pulang, wajah lelahnya terlihat jelas di mataku."Belum menyapu, Marni?" tanya Mas Anto melihat seisi rumah. Memang, aku baru selesai memasak, menyapu belum."Maaf, Mas. Belum."Mas Anto meletakkan tas kerjanya. Lalu mengambil sapu yang tergantung di dekat dapur. Kulihat dia mengerjakan pekerjaan rumah itu tanpa banyak bicara, bahkan tak menanggalkan baju kerjanya terlebih dahulu. Dia berbeda dengan Mas Anto yang berasa di kilasan ingatan itu.Sepuluh menit, rumah bersih, sampah makanan telah dikumpulkan Mas Anto dan dimasukkan ke tong sampah.Mas Anto duduk di sofa sambil menyandarkan tubuhnya."Mas, mau minum kopi?""Air putih saja, aku haus." Dia memejamkan matanya, tangannya diletakkan di dahi.Setelah mengambil air putih ke dapur, kusodorkan pada Mas Anto. Saat tangan kami bersentuhan, kurasakan tangan Mas Anto terasa panas dari pada biasanya."Mas sakit?""Mungkin gejala demam. Ambi
POV Marni Kukira, setelah minum obat, demam Mas Anto akan mereda. Akan tetapi, jam sebelas malam, suhu badannya makin panas. Dia bahkan mengigau beberapa kali. Mas Anto yang biasanya kuat, tampak tak berdaya dengan menggulung dirinya sendiri dan mengeluh kedinginana, padahal sudah berlapis selimut kuletakkan di tubuhnya.Aku dilanda kecemasan, baru kali ini merawat Mas Anto yang sakit. Jika di rumah kami yang dulu, bisa saja menelpon Ibu dan Ayah untuk mengadu, sedangkan di sini, kami tak kenal siapa-siapa. Kami hanya mengenal Mawar dan Pak Joko, Mas Anto pun tampak tak menyukai mereka. Tak mungkin meminta pertolongan pada mereka di tengah malam begini."Mas, Mas!" Kupanggil dia sekali lagi, matanya masih terpejam, sedangkan bibirnya mengeluarkan suara merintih.Aku bangkit, mengambil sebaskom kecil air dan mencelupkan handuk ke sana. Hanya ini yang kutahu, ilmu yang kulihat dari Ibuku setiap kali kami diserang demam. Aku tak tau dengan obat, karena kalau demam, Ibu hanya merawat kam
Aku belum memasak.""Jangan pergi!" kataku menghentikan gerakan Marni yang ingin bangkit.Matanya menatapku, tanpa ada binar yang selama ini aku harapkan."Marni, boleh aku bertanya padamu?" Kugeser dudukku, mendekat padanya."Apa, Mas?""Saat aku menciummu, memelukmu, apa yang kau rasakan?"Marni terdiam. Dia seolah-olah mengingat apa yang pernah dia rasakan padaku."Aku malu," sahutnya.Pertanyaanku tak mendapatkan jawaban. Yang ingin kudengar, mungkin dia merasakan jantungnya berdebar, atau berdetak kuat seperti akan meledak di rongga dada."Marni, aku ingin jujur padamu, tapi aku ingin kau berjanji untuk bisa memahami, bahwa yang aku ceritakan ini adalah kondisi di masa lalu. Bukan masa saat ini.""Ada apa, Mas?" "Sejujurnya, pernikahan kita tak seperti yang kuceritakan."Mata Marni melebar. "Kita dijodohkan, tanpa rasa cinta, tanpa pacaran. Layaknya orang yang dijodohkan, kita memiliki perbedaan yang sering membuat kita bertengkar. Sampai suatu waktu, kau mengatakan bahwa kau m
POV AntoMemperjuangkan hati Marni? Ya, begitulah. Setelah beberapa tips dari Mbah Google tak berlaku pada Marni, aku mencoba tips terakhir, nonton ke bioskop. Terlihat konyol memang, aku bertingkah bagaikan kekasih yang amat konyol, mencari tips untuk merebut cinta sang kekasih yang tak kunjung menoleh padanya.Marni terlihat antusias. Dia begitu bahagia saat kami masuk ke dalam bioskop. Kami memilih duduk di depan, supaya acara menonton menjadi seru. Pasti kali ini, Marni akan menangis sesenggukan, sambil memelukku dan mengucapkan terimakasih. Wah, pasti indah sekali, setelah pelukan terimakasih, pasti aku akan mendapatkan hadiah istimewa dari Marni. Membayangkannya saja sudah bahagia.Aku memilih film barat yang romantis. Tak banyak yang menonton hari ini, hanya ada beberapa pasang penonton. Mungkin kerena Film ini sudah mulai tayang mulai dari Minggu kemaren."Apakah ini film Roma Irama?" tanya Marni, membuat orang yang duduk di samping kami terkikik geli. Jelas saja mereka tertaw
"Apa ini, Pak?" tanyaku pada Pak Joko, dia tersenyum semringah dan langsung mendekatiku di dalam bus. Soalnya tempat duduk di sampingku kosong, pria baya itu sudah duduk manis di sana."Sarapan untukmu, khusus kumasak untukmu. Rasanya dijamin enak." Aku menerima dengan terpaksa. Tak enak juga rasa hati menolak pemberian Pak Joko."Jangan lupa dimakan, ya!" katanya tersenyum lebar. Setelah memberi jarak berhari-hari, Pak Joko mulai mendekatkan diri kembali. Bagiku, lebih bagus kami tak dekat sama sekali, setelah kutahu, Pak Joko mengidap kelainan seksual."Bagaimana kabar istrimu? Apa kehamilannya baik-baik saja?""Marni baik." Pak Joko memang suka menunjukkan perhatian, tapi setelah kutahu yang sebenarnya, aku malah risih. "Dia wanita yang setia." "Benar. Jarang wanita seperti itu saat ini, kau beruntung mendapatkannya, dia beruntung mendapatkanmu.""Ya, kami sama-sama beruntung."Pak Joko tersenyum, senyum yang dipaksakan."Ngomong-ngomong, aku dan Mawar akan bercerai. Tak ada al
Pov AntoWanita itu berlari-lari kecil mengejar ombak. Dia bahkan tak peduli saat dia malah seperti anak-anak. Perutnya yang mulai menonjol, menjadi pesona tersendiri bagiku. Aku tersenyum, bagaimana bisa, si super jorok bisa semenawan itu dalam waktu beberapa bulan saja. Tak adil bagi para wanita yang berjuang setengah mati untuk mempercantik diri, atau apakah aku yang terlalu menggebu-gebu sehingga menganggap dia terlalu istimewa? Tak kuduga, dia bisa menaklukkan diriku dengan segala keunikan dan kekonyolannya.Kulitnya putih bersinar terkena cahaya matahari sore yang sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Senyum bahagia tak lepas dari bibirnya yang mungil tapi penuh. Dia tak berbohong, bahwa dia sangat menyukai pantai, yang hari ini baru pertama dilihatnya."Maaaaas!" serunya dari jauh, seakan ingin melawan suara debur ombak, walaupun tak begitu terdengar, aku bisa membaca gerak bibirnya yang tengah memanggilku.Pantai ini memang merupakan sebuah tempat wisata, akan tetapi tak
POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I
POV Anto "Dia menangis terus," kataku pada Marni yang juga kehilangan akal mendiamkan Rayhan. Seperti biasa, Rayhan akan menghabiskan waktunya di siang hari untuk tidur, dan malamnya untuk begadang."Dia tidak mau menyusu," sahut Marni tak kalah panik.Keributan di kamar kami, memancing Ibu untuk bangun. Ibu masuk ke kamar yang memang sedikit terbuka."Ada apa?""Dia menangis terus," keluh Marni.Ibu mengambilnya, Rayhan terus saja menendang-nendang sehingga bedongnya terlepas."Kenapa tak dipakai kaus kakinya? AC kalian terlalu dingin, dia terbiasa di tempat hangat, jangan samakan bayi yang baru lahir dengan kita. Ini saja kalian tak faham."Ibu menggendong Rayhan, berjalan menuju box bayi yang terletak di samping ranjang. Marni belum pulih betul, ASI tersumbat sudah mulai keluar walaupun saat ini payudaranya masih bengkak."Popoknya juga basa," keluh Ibu. Dengan cekatan Ibu mengganti popok, memakaikan kaus kaki dan bedong baru. Tak lama setelah itu,bRayhan mulai tenang."Matikan AC
POV MarniTernyata, menjadi Ibu tidaklah mudah. Hamil yang melelahkan, melahirkan yang menyakitkan, ternyata tak hanya sampai di sana.Selain harus buang air dengan cara berdiri karena bekas jahitan yang masih basah, aku juga serasa mau menangis setiap menyusui Rayhan anak kami. Setiap dia menghisap, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku, sakit yang hampir mirip dengan kontraksi melahirkan. Setelah itu, darah berbingkah akan keluar setiap kali sakit itu mereda. "Itu biasa, semakin sakit, semakin cepat rahimmu menyusut," kata Ibu dengan petuah seperti biasa. Aku hanya meringis, selain perut yang amat sakit, aku juga merasakan nyeri luar biasa di puting payudaraku. Belum lagi perih di bagian jalan lahir, setiap aku bergerak sedikit, rasanya luar biasa."Berarti kau pemalas membersihkannya saat hamil, harusnya saat hamil, puting itu dibersihkan setiap habis mandi dengan minyak zaitun, dipencet agar yang menyumbat pintu ASI-nya keluar."Aku diam saja, mungkin maksud ibu baik,
Pov AntoTak mudah ternyata menjadi Ayah. Di tengah rasa yang membuncah Karena kedatangan anggota baru, aku harus menguji nyaliku melawan rasa jijik.Setelah anak kami di mandikan dan diazankan, perawat berpesan padaku untuk membawa kain kotor bergelimang darah milik Marni. Belum lagi ari-ari yang harus dibersihkan sebelum di kubur. Aku berulang kali menelepon teman kantorku, menanyakan bagaimana cara memperlakukan benda yang sebelumnya ada di rahim Marni itu.Berulang kali juga aku menahan mual. Ya Tuhan, aku tak terbiasa dengan sesuatu yang aneh dan menjijikkan. Anggap saja aku norak, akan tetapi semua ini harus dilakukan, bukan? Hanya ada kami berdua di sini, siapa yang akan kuharapkan. Akhirnya, benda kenyal yang selebar piring dan berbentuk aneh itu, selesai kubersihkan.Bunyi HP-ku terdengar dari dalam kamar. Ari-ari itu sudah bersih dan sudah kubungkus dengan kain dan di masukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat. Ya, perjuangan melelahkan itu berakhir juga, tinggal
Alangkah lucunya baju-baju kecil ini, aku tersenyum, membayangkan akan punya bayi sendiri itu, sangat membahagiakan.Sesaat kurasakan perutku agak mulas, hanya sebentar. Tak sampai dua menit. Setelah kurasa agak reda, aku kembali mengusap baju bayi yang dipilihkan Mas Anto. Kata Dokter, anak kami laki-laki, hal itu membuat Mas Anto amat senang. Kebanyakan warna pakaian yang dibelikan Mas Anto bewarna biru.Bagiku, laki-laki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat jasmani dan rohani.Setelah puas memperhatikan baju-baju lucu itu, aku berencana ingin merapikan kembali rak-rak yang berisi pot bunga, menata mereka dengan cantik.Satu jam setelah itu, aku kembali merasakan perutku mulas, lebih lama dan lebih sakit dari sebelumnya. Kupegang tiang rumah untuk mencari kekuatan, apakah ini tanda akan melahirkan? Tapi kata dokter masih tiga Minggu lagi.Mungkin karena terlalu banyak bergerak, seperti pesan Mas Anto, aku tak boleh melakukan hal berat. Baiklah, mungkin dengan tidur siang akan
POV MarniSeiring berjalannya waktu, kandunganku sudah genap memasuki usia sembilan bulan. Tak ada kendala berarti selama kehamilan, bahkan Mas Anto memujiku cantik. Ah, sejak kami mengungkapkan perasaan saling mencintai, aku dan Mas Anto lebih terbuka dari sebelumnya. Kami tak lagi canggung untuk menunjukkan kemesraan kami. Seperti pujian Mas Anto yang membuat hatiku berbunga-bunga.Kami baru saja selesai jalan pagi. Sebuah kegiatan rutin yang kami lakukan setiap hari. Dimulai setelah salat subuh, kami mengitari area kompleks lalu kembali ke rumah."Kakiku pegal," kataku sambil menaikkan kedua kakiku berselonjor di atas sofa. Tanpa diminta, Mas Anto dengan cekatan memijitnya. Rasanya nyaman sekali. Kebiasaan memijit ini juga dilakukannya tiap hari setiap kami selesai jalan pagi."Semalam, aku mendengar suara gaduh di sebelah. Padahal sudah tengah malam. Lama-lama, terganggu juga punya tetangga yang selalu ribut dengan suaminya.""Iya, mereka dari dulu memang begitu. Tapi, orang di se
Aku tersentak. Di tengah kepalaku yang sakit, aku membuka mataku dan bertemu dengan tatapan Mas Anto yang kelihatan bingung. Kemudian, telingaku berdenging kembali, diikuti oleh semua bayangan yang diputar seperti kaset rusak, terakhir, jeritanku saat mendorong Mas Anto menjauhi pohon yang akan mengenainya."Marni, kau tak apa-apa?" Mas Anto menangkapku yang hampir merosot ke lantai."Mas?" tanyaku dengan suara serak. Dia menatapku bingung.Dengan semua rasa membuncah, kupeluk erat dirinya. Ingatan itu kembali utuh dalam waktu sekejap, begitu cintanya aku padanya dulu, sampai mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawanya."Maaas!" Hampir seperti rengekan. Aku memeluknya makin erat, ternyata kami telah melewati banyak hal, Mas Anto telah memberikan begitu banyak waktu untukku mengingat bagaimana bergantungnya aku padanya dulu."Ada apa? Aku cemas, apa yang kau ingat?" Suara Mas Anto bergetar."Semuanya, aku sudah mengingat semuanya. Ya Tuhan, aku sudah mengingat semuanya." Keberi ja
POV MarniKami sampai di rumah adik-adikku jam enam sore. Aku dan Mas Anto sengaja ke rumah sebelum kembali ke Jawa Timur besok pagi. Setidaknya, malam ini bisa lepas kangen dengan adik-adikku. Kesempatan ini tak selalu ada, setelah sempat merasa asing dengan wujud mereka yang berubah, aku bertekad akan mendekatkan diri kembali pada mereka.Suasana rumah telah berbeda dari yang kuingat, lebih bersih dan catnya pun sudah ditukar, beberapa perabot lama sudah tak tampak lagi. Walaupun belum begitu akrab dengan wujud baru adik-adikku yang sudah besar, namun hati seorang Kakak tak bisa dibohongi, aku menyayangi mereka, sebagai seorang Kakak tertua yang dihormati dan pengganti Ibu bagi mereka."Kakak mau mandi atau makan dulu?" tanya Leni, sepertinya Leni habis berkutat di dapur, ada tiga menu sederhana yang sudah tersaji di meja makan, ikan asin digoreng dengan petai pakai cabe merah, gulai ayam dan sayur kates, menu yang sangat menggugah selera, mungkin sejak kutinggal menikah, Leni suda
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg