POV Anto"Bagaimana rasanya? Enak?" tanyaku pada Marni yang makan dengan lahap. Kami memutuskan untuk makan di luar, sebuah kegiatan yang belum pernah kami lakukan sepanjang pernikahan kami. Rasanya seperti tengah berkencan, begitu manis dan romantis, walaupun tak ada pegangan tangan atau kata-kata cinta. Marni lebih tertarik dengan semua sajian di depannya dari pada aku suaminya. Pesonaku tak mempan pada Marni. Terasa aneh saat diabaikan.Kafe minimalis dengan menu aneka ragam itu, bahkan menyajikan es krim sebagai menu penutup. Selain tempatnya yang full AC, makanannya pun tak mengecewakan. Tempatnya bersih dan luas."Enak, sangat enak," sahut Marni mengangguk semangat. Dia telah menghabiskan sepiring makanan berat, dan segelas besar es krim buah. Akan tetapi tampaknya dia masih belum kenyang.Persis seperti anak-anak, dia tak mampu menyembunyikan wajah begitu gembira saat diberikan makanan kesukaannya. Inilah wajah paling cerah Marni sejak dia keluar dari rumah sakit setelah amnesi
Malam yang indah, Marni tak pernah minta ke bioskop, tak pernah minta dibelikan pakaian dan perhiasan mahal begitu terasa istimewa, walaupun dia memiliki banyak kekurangan. Kalau pun kami ke sini, ini bukan keinginannya, aku yang membawanya. Aku ingin memperkenalkannya pada makanan lain, selain sambal terasi.Kulihat langit yang gelap sekilas. Rasanya begitu mengesankan, sayangnya perasaan itu hanya milikku saja, sedangkan Marni malah terkesan ingin cepat sampai di rumah, nampak betul dia tak menikmati duduk berdua di atas motor kami."Katanya mau ngebut, ini sangat pelan, Mas. Aku tak sabar berjumpa dengan ranjangku."Bunga-bunga di hatiku rontok, bahkan langsung layu, jika tadi aku cemburu pada es krim dalam mulut Marni, kali ini aku cemburu dengan ranjang kami. Harusnya dia mengatakan dia rindu aku malam ini, tapi dia malah tak sabar bertemu dengan ranjangnya. Ya, posisi telah berganti, kini aku yang bertepuk sebelah tangan. Marni menghukumku dengan semua keadaannya.Sampai di rum
Pov MarniPrang! Tak sengaja aku menjatuhkan piring yang sedang kucuci. Benda itu pecah berderai mengahasilkan bunyi nyaring. Sejenak kurasakan kepalaku nyeri. Kuberjalan perlahan, mencari pegangan ke dinding, lalu duduk di meja makan."Apa? Kau tau? akan jadi apa dirimu jika kami membiarkanmu? Kau takkan jadi orang.""Iya, aku akan tetap jadi bodoh dan jorok. Bahkan setelah aku melakukan semuanya, Mas sama sekali tak menaruh hati padaku. Semuanya sia-sia. Aku menyukaimu, kamu tidak."Aku terjaga dari lamunanku, saat kilasan singkat itu datang begitu saja. Aku tersentak dengan nafas tersengal. Aku tau pasti yang terbayang itu adalah diriku dan Mas Anto. Wajah Mas Anto yang marah, menatap penuh kebencian, sementara aku tampak menyedihkan dengan wajah memelas dan ketakutan.Apakah itu yang pernah kami lalui saat aku belum amnesia? Mas Anto mengatakan bahwa kami saling mencintai, akan tetapi di kilasan itu, jelas menerangkan bahwa dia tak mencintaiku, cinta itu seperti Ibu dan Ayah, yan
Aku berjalan cepat ke arah pintu saat bunyi deru mobil disusul bunyi bel beberapa kali. Mas Anto pulang, wajah lelahnya terlihat jelas di mataku."Belum menyapu, Marni?" tanya Mas Anto melihat seisi rumah. Memang, aku baru selesai memasak, menyapu belum."Maaf, Mas. Belum."Mas Anto meletakkan tas kerjanya. Lalu mengambil sapu yang tergantung di dekat dapur. Kulihat dia mengerjakan pekerjaan rumah itu tanpa banyak bicara, bahkan tak menanggalkan baju kerjanya terlebih dahulu. Dia berbeda dengan Mas Anto yang berasa di kilasan ingatan itu.Sepuluh menit, rumah bersih, sampah makanan telah dikumpulkan Mas Anto dan dimasukkan ke tong sampah.Mas Anto duduk di sofa sambil menyandarkan tubuhnya."Mas, mau minum kopi?""Air putih saja, aku haus." Dia memejamkan matanya, tangannya diletakkan di dahi.Setelah mengambil air putih ke dapur, kusodorkan pada Mas Anto. Saat tangan kami bersentuhan, kurasakan tangan Mas Anto terasa panas dari pada biasanya."Mas sakit?""Mungkin gejala demam. Ambi
POV Marni Kukira, setelah minum obat, demam Mas Anto akan mereda. Akan tetapi, jam sebelas malam, suhu badannya makin panas. Dia bahkan mengigau beberapa kali. Mas Anto yang biasanya kuat, tampak tak berdaya dengan menggulung dirinya sendiri dan mengeluh kedinginana, padahal sudah berlapis selimut kuletakkan di tubuhnya.Aku dilanda kecemasan, baru kali ini merawat Mas Anto yang sakit. Jika di rumah kami yang dulu, bisa saja menelpon Ibu dan Ayah untuk mengadu, sedangkan di sini, kami tak kenal siapa-siapa. Kami hanya mengenal Mawar dan Pak Joko, Mas Anto pun tampak tak menyukai mereka. Tak mungkin meminta pertolongan pada mereka di tengah malam begini."Mas, Mas!" Kupanggil dia sekali lagi, matanya masih terpejam, sedangkan bibirnya mengeluarkan suara merintih.Aku bangkit, mengambil sebaskom kecil air dan mencelupkan handuk ke sana. Hanya ini yang kutahu, ilmu yang kulihat dari Ibuku setiap kali kami diserang demam. Aku tak tau dengan obat, karena kalau demam, Ibu hanya merawat kam
Aku belum memasak.""Jangan pergi!" kataku menghentikan gerakan Marni yang ingin bangkit.Matanya menatapku, tanpa ada binar yang selama ini aku harapkan."Marni, boleh aku bertanya padamu?" Kugeser dudukku, mendekat padanya."Apa, Mas?""Saat aku menciummu, memelukmu, apa yang kau rasakan?"Marni terdiam. Dia seolah-olah mengingat apa yang pernah dia rasakan padaku."Aku malu," sahutnya.Pertanyaanku tak mendapatkan jawaban. Yang ingin kudengar, mungkin dia merasakan jantungnya berdebar, atau berdetak kuat seperti akan meledak di rongga dada."Marni, aku ingin jujur padamu, tapi aku ingin kau berjanji untuk bisa memahami, bahwa yang aku ceritakan ini adalah kondisi di masa lalu. Bukan masa saat ini.""Ada apa, Mas?" "Sejujurnya, pernikahan kita tak seperti yang kuceritakan."Mata Marni melebar. "Kita dijodohkan, tanpa rasa cinta, tanpa pacaran. Layaknya orang yang dijodohkan, kita memiliki perbedaan yang sering membuat kita bertengkar. Sampai suatu waktu, kau mengatakan bahwa kau m
POV AntoMemperjuangkan hati Marni? Ya, begitulah. Setelah beberapa tips dari Mbah Google tak berlaku pada Marni, aku mencoba tips terakhir, nonton ke bioskop. Terlihat konyol memang, aku bertingkah bagaikan kekasih yang amat konyol, mencari tips untuk merebut cinta sang kekasih yang tak kunjung menoleh padanya.Marni terlihat antusias. Dia begitu bahagia saat kami masuk ke dalam bioskop. Kami memilih duduk di depan, supaya acara menonton menjadi seru. Pasti kali ini, Marni akan menangis sesenggukan, sambil memelukku dan mengucapkan terimakasih. Wah, pasti indah sekali, setelah pelukan terimakasih, pasti aku akan mendapatkan hadiah istimewa dari Marni. Membayangkannya saja sudah bahagia.Aku memilih film barat yang romantis. Tak banyak yang menonton hari ini, hanya ada beberapa pasang penonton. Mungkin kerena Film ini sudah mulai tayang mulai dari Minggu kemaren."Apakah ini film Roma Irama?" tanya Marni, membuat orang yang duduk di samping kami terkikik geli. Jelas saja mereka tertaw
"Apa ini, Pak?" tanyaku pada Pak Joko, dia tersenyum semringah dan langsung mendekatiku di dalam bus. Soalnya tempat duduk di sampingku kosong, pria baya itu sudah duduk manis di sana."Sarapan untukmu, khusus kumasak untukmu. Rasanya dijamin enak." Aku menerima dengan terpaksa. Tak enak juga rasa hati menolak pemberian Pak Joko."Jangan lupa dimakan, ya!" katanya tersenyum lebar. Setelah memberi jarak berhari-hari, Pak Joko mulai mendekatkan diri kembali. Bagiku, lebih bagus kami tak dekat sama sekali, setelah kutahu, Pak Joko mengidap kelainan seksual."Bagaimana kabar istrimu? Apa kehamilannya baik-baik saja?""Marni baik." Pak Joko memang suka menunjukkan perhatian, tapi setelah kutahu yang sebenarnya, aku malah risih. "Dia wanita yang setia." "Benar. Jarang wanita seperti itu saat ini, kau beruntung mendapatkannya, dia beruntung mendapatkanmu.""Ya, kami sama-sama beruntung."Pak Joko tersenyum, senyum yang dipaksakan."Ngomong-ngomong, aku dan Mawar akan bercerai. Tak ada al