"Apa ini, Pak?" tanyaku pada Pak Joko, dia tersenyum semringah dan langsung mendekatiku di dalam bus. Soalnya tempat duduk di sampingku kosong, pria baya itu sudah duduk manis di sana."Sarapan untukmu, khusus kumasak untukmu. Rasanya dijamin enak." Aku menerima dengan terpaksa. Tak enak juga rasa hati menolak pemberian Pak Joko."Jangan lupa dimakan, ya!" katanya tersenyum lebar. Setelah memberi jarak berhari-hari, Pak Joko mulai mendekatkan diri kembali. Bagiku, lebih bagus kami tak dekat sama sekali, setelah kutahu, Pak Joko mengidap kelainan seksual."Bagaimana kabar istrimu? Apa kehamilannya baik-baik saja?""Marni baik." Pak Joko memang suka menunjukkan perhatian, tapi setelah kutahu yang sebenarnya, aku malah risih. "Dia wanita yang setia." "Benar. Jarang wanita seperti itu saat ini, kau beruntung mendapatkannya, dia beruntung mendapatkanmu.""Ya, kami sama-sama beruntung."Pak Joko tersenyum, senyum yang dipaksakan."Ngomong-ngomong, aku dan Mawar akan bercerai. Tak ada al
Pov AntoWanita itu berlari-lari kecil mengejar ombak. Dia bahkan tak peduli saat dia malah seperti anak-anak. Perutnya yang mulai menonjol, menjadi pesona tersendiri bagiku. Aku tersenyum, bagaimana bisa, si super jorok bisa semenawan itu dalam waktu beberapa bulan saja. Tak adil bagi para wanita yang berjuang setengah mati untuk mempercantik diri, atau apakah aku yang terlalu menggebu-gebu sehingga menganggap dia terlalu istimewa? Tak kuduga, dia bisa menaklukkan diriku dengan segala keunikan dan kekonyolannya.Kulitnya putih bersinar terkena cahaya matahari sore yang sebentar lagi akan kembali ke peraduannya. Senyum bahagia tak lepas dari bibirnya yang mungil tapi penuh. Dia tak berbohong, bahwa dia sangat menyukai pantai, yang hari ini baru pertama dilihatnya."Maaaaas!" serunya dari jauh, seakan ingin melawan suara debur ombak, walaupun tak begitu terdengar, aku bisa membaca gerak bibirnya yang tengah memanggilku.Pantai ini memang merupakan sebuah tempat wisata, akan tetapi tak
Pulau ini kecil dibandingkan pulau yang lain, kurang terawat menurutku. Mungkin pernah dijadikan sebagai tempat wisata yang dikunjungi kalau melihat dari sisa-sisa bangunannya, entah dengan alasan apa pulau kecil ini tak difungsikan lagi. Padahal jaraknya dekat dengan bibir pantai."Mas, indah, ya!" katanya sambil mengamati sekeliling."Lebih indah kamu," sahutku spontan. Yang dipuji tak terpengaruh sama sekali. Tak ada raut bangga, tersipu atau malu-malu. Atau bisa jadi dia tak mengerti dengan pujianku."Andaikan pulau ini punya kita dan kita buat rumah di sini, alangkah senangnya tinggal di sini ya, Mas. Setiap saat bisa melihat laut dan bermain di tepi pantai.""Indah itu, kalau sesekali melihat, kalau sudah sering malah terbiasa dan pesonanya hilang.""Begitukah, Mas?" tanya Marni. Dia tanpa sadar melepaskan pegangan tangan kami, membuatku merasa kehilangan, ingin memegang lebih dulu masih gengsi.Kubidikkan kamera HP kepada Marni yang mulai asik menapakkan kakinya di tepi pantai
POV AntoJangan tanyakan betapa beratnya malam yang kami lalui, Marni beberapa kali mengeluh dingin bahkan setelah dekapan erat yang kuberikan kepadanya. Belum lagi nyamuk yang datang mengeroyok kami, menjadikan kami makanan empuk yang menjanjikan.Seumur hidup, aku tak pernah membayangkan akan berada di situasi ini. Hidupku selalu nyaman, karena aku melakukan segala hal dengan teratur. Bahkan untuk tidur saja, aku memilih kasur mana yang layak dan tidak layak.Namun, malam ini, aku tak bisa memilih. Tanpa listrik, tanpa makanan, tanpa orang lain, hanya saung reot yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Kami terpaksa merebahkan diri di sana, karena tak ada lagi pilihan lain.Beberapa kali aku mendengar suara perut Marni, suara yang mengisyaratkan betapa laparnya wanita itu. Dia adalah wanita hamil yang kuat makan, makanan dan Marni adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sekali lagi, tak ada makanan untuk dimakan, aku bukanlah seorang petualang yang bisa menangkap ikan dengan tangan be
"Maaf, maaf sekali, Mas. Kemaren saya mendadak pulang, istri saya melahirkan, maafkan saya." Dia membungkuk beberapa kali. Mengungkapkan perasaan bersalah.Bagiku itu tak penting lagi, aku bergegas membangunkan Marni. Wanita itu membuka matanya."Sudah pagi?" Kulihat bibirnya yang kering bergerak."Hampir, ayo bangun! Pria kemaren muncul. Akhirnya kita dijemput kembali. Kita harus meninggalkan pulau ini."Marni langsung bangkit, kupegang tangannya. Membimbingnya mendekati perahu. Dia agak sempoyongan, entah karena faktor bangun tidur atau malah kelaparan."Ayo naik!"Kubantu Marni naik ke perahu. Mengambil tempat duduk yang nyaman. "Kau punya air?""Ada, Mas. Ada roti juga, semalaman saya tak tidur memikirkan Mas, tapi saya tak bisa meninggalkan rumah sakit. Saat saya telpon teman, semua tak bisa berlayar, karena hujan dan ombak yang tinggi."Aku tak mengubris, kuambil air mineral yang masih berada dalam kardus, serta dua buah roti yang berada di samping kardus air mineral."Makanlah
POV AntoTak butuh lama bagi kami untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Marni langsung menuju kamar. Selama di perjalanan, dia menguap-nguap beberapa kali. Bahkan sempat tertidur sejenak.Liburan kali ini memang unik, seperti di film-film. Terdampar di pulau tak penghuni dan merasakan lapar dan haus, adalah pengalaman yang amat buruk sekaligus mengesankan. Seumur hidup, aku tak pernah menduga hal seperti itu akan menimpaku."Hei, mandi dulu." Kusentuh lengannya. Saat ini sudah jam sembilan malam. Seperti biasa, sesampai di kamar Marni lamgsung merebahkan badannya tanpa aba-aba."Besok saja," sahutnya. Marni yang sekarang, jika tak diingatkan untuk mandi, dia bisa lupa. Aku harus bersikap menjadi mesin pengingat baginya."Aku akan panaskan air. Sebelum tidur harus mandi dan gosok gigi dulu. Tubuh kita pasti membawa debu jalan." "Aku lelah." Dia malah memperbaiki posisi tidurnya, mencari posisi yang nyaman.Marni menggeliat kecil. Matanya masih terpejam."Mandi sendiri, atau dimand
"Anak ke berapa, Mas?" tanya dia lebih dulu. "Baru pertama, Mas. Nikahnya telat." Aku menjawab dengan senyum. "Mas, anak ke berapa?" "Ini yang ke enam. Kakak dan abangnya ada di rumah.""Wah, ke-enam, ya." Aku mengangguk kagum. Sedangkan Marni, sama dengan istri pria di sampingku, matanya mulai sayu setelah menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Kursi antrian ini terletak di lorong yang langsung membelakangi taman, angin sepoi-sepoi yang sejuk di siang hari, memang membuat kondisi udara terasa nyaman. Kami mendapatkan antrian ke dua belas, sedangkan saat ini dokter masih menangani pasien nomor tiga. Masih lama. "Mengantuk?" tanyaku pada Marni. Wanita itu mengangguk."Dan lapar," sahutnya."Ayo kita jalan-jalan, kuyakin rumah sakit sebesar ini memiliki kantin.""Ayo!" Marni ikut bangkit. Duduk menunggu dengan nomor antrian yang masih jauh pasti sangat membosankan. Karena satu pasien rata-rata ditangani selama lima belas menit, artinya butuh waktu beberapa jam untuk mencapai nomo
POV MarniApa arti Mas Anto bagiku? Dia seperti Ayah, yang selalu melindungi dan mengayomi. Walaupun Mas Anto dan Ayah memiliki sikap yang berbeda, namun bersama dengannya membuatku merasa aman dan nyaman.Dia gambaran seorang laki-laki yang gagah. Tampan tentu saja, dia tinggi dan kuat, tak banyak bicara pada orang yang baru dia kenal, tapi cerewet bila telah dekat.Tak ada cacatnya Mas Anto bagiku saat ini, kecuali bayangan masa lalu tentangnya. Aku tak lagi ingin mengingat terlalu banyak. Aku ingin hidup di duniaku yang sekarang, menjadi istri Mas Anto dan akan menjadi Ibu.Kuusap perutku, dia yang masih kecil yang kulihat di monitor tadi, adalah anakku, anak Mas Anto juga. Aku sempat mengabaikannya, karena belum bisa menerima keadaan yang sekarang.Kusingkap gorden, Mas Anto tengah olahraga di samping rumah. Tubuhnya yang kekar berotot dan berkeringatnya mengkilap kena cahaya matahari pagi. Aku menikmati pemandangan itu sejenak, kami mungkin telah menghabiskan waktu berbulan-bula