POV MarniApa arti Mas Anto bagiku? Dia seperti Ayah, yang selalu melindungi dan mengayomi. Walaupun Mas Anto dan Ayah memiliki sikap yang berbeda, namun bersama dengannya membuatku merasa aman dan nyaman.Dia gambaran seorang laki-laki yang gagah. Tampan tentu saja, dia tinggi dan kuat, tak banyak bicara pada orang yang baru dia kenal, tapi cerewet bila telah dekat.Tak ada cacatnya Mas Anto bagiku saat ini, kecuali bayangan masa lalu tentangnya. Aku tak lagi ingin mengingat terlalu banyak. Aku ingin hidup di duniaku yang sekarang, menjadi istri Mas Anto dan akan menjadi Ibu.Kuusap perutku, dia yang masih kecil yang kulihat di monitor tadi, adalah anakku, anak Mas Anto juga. Aku sempat mengabaikannya, karena belum bisa menerima keadaan yang sekarang.Kusingkap gorden, Mas Anto tengah olahraga di samping rumah. Tubuhnya yang kekar berotot dan berkeringatnya mengkilap kena cahaya matahari pagi. Aku menikmati pemandangan itu sejenak, kami mungkin telah menghabiskan waktu berbulan-bula
Tak lama kemudian, Mas Anto telah rapi dengan baju kaus lengan pendek dan celana trainingnya. Rambutnya yang masih basah tersisir rapi, aroma parfum yang telah kuhafal, menguat memenuhi udara di sekitar kami."Sepertinya enak, dijamin bersih, kan?"Ini pertanyaan Mas Anto yang sudah kuhafal di luar kepala. Setiap kali akan memakan masakanku, dia selalu bertanya, apa ini dijamin bersih? Tentu saja, aku sudah hafal apa yang harus kulakukan sebelum memasak. Kata Mas Anto, pastikan tangan dan kuku bersih, wajan dicuci terlebih dulu, bahan-bahannya dicuci dua kali.Ya, aku telah terbiasa memasak seperti yang Mas Anto katakan, walaupun di awal-awal aku sadar dari amnesia, aku sering diprotes dalam segala hal oleh Mas Anto."Tentu saja bersih, Mas.""Bagus, aku tau kau telah memasak dengan cara yang benar. Kau tau tidak? Pertengkaran kita dulu, karena kita memiliki kebiasaan yang berbeda."Aku memajukan kursiku. Aku sangat tertarik mengetahui kehidupan kami sebelum ingatanku hilang."Ceritak
POV MarniSetelah semua ingatan buruk itu, aku merasakan sentuhan di bahuku. Aku menoleh, mendapati Mas Anto yang menatapku dengan wajah berkerut. Biasanya aku akan menyambutnya dengan senyum, saat ini bibir terlalu kaku untuk digerakkan saat makian itu masih terngiang di telingaku."Kau baik-baik saja?" tanya Mas Anto. Aku tak baik-baik saja, terasa lelah mencerna semua ingatan buruk yang sama sekali tak kuinginkan. "Aku mau pulang.""Tapi acaranya baru dimulai." Mas Anto berbicara pelan, menghindari orang yang berada di samping kami. Aku tak peduli, pokoknya aku mau pulang."Aku mau pulang.""Marni ....""Aku bisa pulang sendiri, bukankah malam itu bukan Mas yang menyelamatkanku? Ada orang lain yang datang dan mengaku dialah yang membawaku ke pesta itu, Mas saat itu ada di mana? Kenapa tak kulihat keberadaanmu?" Wajah Mas Anto berubah tegang. Dia menarik tanganku menuju sebuah kursi yang agak sepi. Dia menatap penuh selidik."Apa ingatanmu kembali?"Aku menantang matanya, binar e
Saat sampai di pintu kamar, Mas Anto menarik bahuku, membuatku menoleh. Tanpa kuduga, pelukan hangat menyambutku. Dekapan ini, bagaikan dekapan Ibu. Dekapan yang seolah-olah mengatakan, bahwa semua baik-baik saja, tak ada yang perlu dirisaukan.Bagaimanapun kasarnya dia padaku di dalam ingatan itu, tetap saja dekapannya adalah tempat ternyaman bagiku. Mas Anto, suamiku yang memiliki banyak misteri."Marni, apa pun yang terjadi, apa pun yang pernah kita lewati, semua itu hanyalah kisah yang telah berlalu, kita hidup untuk masa depan, untuk kebahagiaan dan anak kita."Aku terpaku dalam pelukan Mas Anto, apa yang dia katakan menggetarkan hatiku, ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dadaku. "Dulu, kita hanya orang asing yang hanya kebetulan terikat oleh ikatan pernikahan, akan tetapi seiring berjalannya waktu, aku dan kamu adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Aku mencintaimu, Marni. Hanya itu yang perlu kau ingat."Aku memejamkan mataku sambil menghirup aroma wangi Mas Anto. In
POV Anto"Pulanglah, Anto! Ayah masuk rumah sakit!"Aku menggenggam HP-ku. Perasaan gundah gulana tengah kurasakan. Ibu tak pernah menelepon jika tak terlalu penting. Pesan tadi, berisi perintah, bukan meminta persetujuan.Aku berulangkali menelepon kembali nomor ibu, namun wanita yang melahirkanku itu tak mengangkat.Akhirnya, aku tak lagi berselera dengan makan siangku, perut terasa kenyang mendadak. Bayangan sang Ayah yang terbaring di rumah sakit mengusikku.Selama ini, ayahnya tak pernah mengeluhkan apa-apa. Dia sehat dan tak merokok. Bahkan ayahku tergolong masih kuat bahkan di usianya yang telah lebih dari tujuh puluh tahun."Ada apa, Anto? Kau tampak gelisah." Tiba-tiba saja Pak Joko datang dan duduk di depanku. Mood-ku semakin buruk, akan tetapi dia juga kawan bicara."Menurut Pak Joko, apakah kita karyawan baru bisa mendapatkan izin cuti?"Pak Joko berpikir sebentar."Kurasa bisa, jika alasannya emergency. Ada apa? Kau mau ke mana?" Pak Joko bertanya penasaran."Saya harus p
"Istirahatlah! Kalian pasti lelah." Ibu menata bantal di atas tikar kecil yang diletakkan di atas lantai kamar perawatan Ayah. Aku mengajak Marni untuk duduk di sana. Marni memang terlihat menguap beberapa kali."Kapak Ayah masuk rumah sakit?" tanyaku lagi."Kemaren sore, Ibu kira, dia hanya akan rawat jalan karena ayahmu hanya mengeluh lelah dan berkeringat. Akan tetapi, saat cek darah, gula darahnya sangat tinggi. Dokter menyuruh untuk dirawat sampai gula darahnya stabil, karena akan sangat berbahaya jika tak ditangani secara cepat.""Mungkin kebiasaan Ayah yang selalu minum kopi menjadi pemicunya." Aku menerka-nerka. Ibu mengangguk. Sedangkan Marni tak mampu menahan kelopak matanya, selain lelah, efek obat mabuk kendaraan membuat dia selalu ingin tidur."Bagaimana kabar kalian? Ibu lihat, perut Marni sudah besar, dia juga agak gemuk." "Dia kuat makan.""Bagus, hal itu bisa membuat bayi kalian sehat. Akan tetapi, mulai di usia kandungan delapan bulan, makannya harus direm.""Kenap
POV Anto"Diperkirakan, pasien meninggal satu jam yang lalu."Dokter melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya.Raungan Ibu memenuhi kamar perawatan, seiring dengan Dokter yang mencabut alat-alat medis dari tubuh Ayah.Kakiku lunglai, bahkan aku hampir saja terjatuh kalau Marni tidak menyambutku, kami terduduk berdua, Marni mendekap kepalaku ke pangkuannya. Sangat sakit rasanya kehilangan orang yang amat kita cintai.Ibu masih terisak-isak sambil memanggil Ayah yang sudah terbujur kaku. Dia pasti amat terpukul, selain suami, Ayah juga sahabat yang baik bagi Ibu.Kini, kami telah kehilangan sandaran dan tumpuan. Ayah telah pergi, untuk selamanya. Sebuah kenyataan yang harus kami terima walau menyakitkan."Ayah sudah tak ada, Marni," keluhku dengan suara serak. Aku merasa begitu kecil saat ini, butuh tempat bersandar dan perlindungan. Kurasakan sentuhan lembut di rambutku. Jemari Marni berada di atas kepalaku."Sabar, Mas. Ayah sudah tenang, beliau orang baik, pasti akan mendap
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg
POV MarniTepat setelah empat puluh hari, Ibu Mas Anto pamit ingin pulang. Dia tak bisa meninggalkan rumah terlalu lama. Padahal Mas Anto berharap, sang Ibu bisa tinggal bersama kami. Walaupun kami sering berseberangan pemikiran dengan Ibu, namun pada hakikatnya kami saling menyayangi."Ingat pesan-pesan Ibu, ya, Marni. Walaupun telah empat puluh hari, jangan sesekali meringan-ringankan badan. Jangan mengangkat beban berat.""Ya, Bu," sahutku. Travel yang akan mengantar Ibu ke bandara telah sampai di depan rumah kami.Ibu mencium Rayhan berkali-kali. Dia terlihat berat berpisah dengan Rayhan karena siang malam sering bersamanya."Ibu berangkat," kata Ibu setelah kami menyalami beliau."Hati-hati di jalan, Bu," sahut Mas Anto.Ibu mengangguk, mengusap kembali kepala botak Rayhan."Nenek ke kampung dulu, ya, Rayhan. Jadi anak yang baik ya, tidak boleh begadang malam."Rasanya ingin menangis melihat wajah Ibu yang tak rela berpisah dengan Rayhan.Kami menatap travel yang telah membawa I
POV Anto "Dia menangis terus," kataku pada Marni yang juga kehilangan akal mendiamkan Rayhan. Seperti biasa, Rayhan akan menghabiskan waktunya di siang hari untuk tidur, dan malamnya untuk begadang."Dia tidak mau menyusu," sahut Marni tak kalah panik.Keributan di kamar kami, memancing Ibu untuk bangun. Ibu masuk ke kamar yang memang sedikit terbuka."Ada apa?""Dia menangis terus," keluh Marni.Ibu mengambilnya, Rayhan terus saja menendang-nendang sehingga bedongnya terlepas."Kenapa tak dipakai kaus kakinya? AC kalian terlalu dingin, dia terbiasa di tempat hangat, jangan samakan bayi yang baru lahir dengan kita. Ini saja kalian tak faham."Ibu menggendong Rayhan, berjalan menuju box bayi yang terletak di samping ranjang. Marni belum pulih betul, ASI tersumbat sudah mulai keluar walaupun saat ini payudaranya masih bengkak."Popoknya juga basa," keluh Ibu. Dengan cekatan Ibu mengganti popok, memakaikan kaus kaki dan bedong baru. Tak lama setelah itu,bRayhan mulai tenang."Matikan AC
POV MarniTernyata, menjadi Ibu tidaklah mudah. Hamil yang melelahkan, melahirkan yang menyakitkan, ternyata tak hanya sampai di sana.Selain harus buang air dengan cara berdiri karena bekas jahitan yang masih basah, aku juga serasa mau menangis setiap menyusui Rayhan anak kami. Setiap dia menghisap, aku merasakan sakit yang luar biasa pada perutku, sakit yang hampir mirip dengan kontraksi melahirkan. Setelah itu, darah berbingkah akan keluar setiap kali sakit itu mereda. "Itu biasa, semakin sakit, semakin cepat rahimmu menyusut," kata Ibu dengan petuah seperti biasa. Aku hanya meringis, selain perut yang amat sakit, aku juga merasakan nyeri luar biasa di puting payudaraku. Belum lagi perih di bagian jalan lahir, setiap aku bergerak sedikit, rasanya luar biasa."Berarti kau pemalas membersihkannya saat hamil, harusnya saat hamil, puting itu dibersihkan setiap habis mandi dengan minyak zaitun, dipencet agar yang menyumbat pintu ASI-nya keluar."Aku diam saja, mungkin maksud ibu baik,
Pov AntoTak mudah ternyata menjadi Ayah. Di tengah rasa yang membuncah Karena kedatangan anggota baru, aku harus menguji nyaliku melawan rasa jijik.Setelah anak kami di mandikan dan diazankan, perawat berpesan padaku untuk membawa kain kotor bergelimang darah milik Marni. Belum lagi ari-ari yang harus dibersihkan sebelum di kubur. Aku berulang kali menelepon teman kantorku, menanyakan bagaimana cara memperlakukan benda yang sebelumnya ada di rahim Marni itu.Berulang kali juga aku menahan mual. Ya Tuhan, aku tak terbiasa dengan sesuatu yang aneh dan menjijikkan. Anggap saja aku norak, akan tetapi semua ini harus dilakukan, bukan? Hanya ada kami berdua di sini, siapa yang akan kuharapkan. Akhirnya, benda kenyal yang selebar piring dan berbentuk aneh itu, selesai kubersihkan.Bunyi HP-ku terdengar dari dalam kamar. Ari-ari itu sudah bersih dan sudah kubungkus dengan kain dan di masukkan ke dalam periuk yang terbuat dari tanah liat. Ya, perjuangan melelahkan itu berakhir juga, tinggal
Alangkah lucunya baju-baju kecil ini, aku tersenyum, membayangkan akan punya bayi sendiri itu, sangat membahagiakan.Sesaat kurasakan perutku agak mulas, hanya sebentar. Tak sampai dua menit. Setelah kurasa agak reda, aku kembali mengusap baju bayi yang dipilihkan Mas Anto. Kata Dokter, anak kami laki-laki, hal itu membuat Mas Anto amat senang. Kebanyakan warna pakaian yang dibelikan Mas Anto bewarna biru.Bagiku, laki-laki dan perempuan sama saja. Yang penting sehat jasmani dan rohani.Setelah puas memperhatikan baju-baju lucu itu, aku berencana ingin merapikan kembali rak-rak yang berisi pot bunga, menata mereka dengan cantik.Satu jam setelah itu, aku kembali merasakan perutku mulas, lebih lama dan lebih sakit dari sebelumnya. Kupegang tiang rumah untuk mencari kekuatan, apakah ini tanda akan melahirkan? Tapi kata dokter masih tiga Minggu lagi.Mungkin karena terlalu banyak bergerak, seperti pesan Mas Anto, aku tak boleh melakukan hal berat. Baiklah, mungkin dengan tidur siang akan
POV MarniSeiring berjalannya waktu, kandunganku sudah genap memasuki usia sembilan bulan. Tak ada kendala berarti selama kehamilan, bahkan Mas Anto memujiku cantik. Ah, sejak kami mengungkapkan perasaan saling mencintai, aku dan Mas Anto lebih terbuka dari sebelumnya. Kami tak lagi canggung untuk menunjukkan kemesraan kami. Seperti pujian Mas Anto yang membuat hatiku berbunga-bunga.Kami baru saja selesai jalan pagi. Sebuah kegiatan rutin yang kami lakukan setiap hari. Dimulai setelah salat subuh, kami mengitari area kompleks lalu kembali ke rumah."Kakiku pegal," kataku sambil menaikkan kedua kakiku berselonjor di atas sofa. Tanpa diminta, Mas Anto dengan cekatan memijitnya. Rasanya nyaman sekali. Kebiasaan memijit ini juga dilakukannya tiap hari setiap kami selesai jalan pagi."Semalam, aku mendengar suara gaduh di sebelah. Padahal sudah tengah malam. Lama-lama, terganggu juga punya tetangga yang selalu ribut dengan suaminya.""Iya, mereka dari dulu memang begitu. Tapi, orang di se
Aku tersentak. Di tengah kepalaku yang sakit, aku membuka mataku dan bertemu dengan tatapan Mas Anto yang kelihatan bingung. Kemudian, telingaku berdenging kembali, diikuti oleh semua bayangan yang diputar seperti kaset rusak, terakhir, jeritanku saat mendorong Mas Anto menjauhi pohon yang akan mengenainya."Marni, kau tak apa-apa?" Mas Anto menangkapku yang hampir merosot ke lantai."Mas?" tanyaku dengan suara serak. Dia menatapku bingung.Dengan semua rasa membuncah, kupeluk erat dirinya. Ingatan itu kembali utuh dalam waktu sekejap, begitu cintanya aku padanya dulu, sampai mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawanya."Maaas!" Hampir seperti rengekan. Aku memeluknya makin erat, ternyata kami telah melewati banyak hal, Mas Anto telah memberikan begitu banyak waktu untukku mengingat bagaimana bergantungnya aku padanya dulu."Ada apa? Aku cemas, apa yang kau ingat?" Suara Mas Anto bergetar."Semuanya, aku sudah mengingat semuanya. Ya Tuhan, aku sudah mengingat semuanya." Keberi ja
POV MarniKami sampai di rumah adik-adikku jam enam sore. Aku dan Mas Anto sengaja ke rumah sebelum kembali ke Jawa Timur besok pagi. Setidaknya, malam ini bisa lepas kangen dengan adik-adikku. Kesempatan ini tak selalu ada, setelah sempat merasa asing dengan wujud mereka yang berubah, aku bertekad akan mendekatkan diri kembali pada mereka.Suasana rumah telah berbeda dari yang kuingat, lebih bersih dan catnya pun sudah ditukar, beberapa perabot lama sudah tak tampak lagi. Walaupun belum begitu akrab dengan wujud baru adik-adikku yang sudah besar, namun hati seorang Kakak tak bisa dibohongi, aku menyayangi mereka, sebagai seorang Kakak tertua yang dihormati dan pengganti Ibu bagi mereka."Kakak mau mandi atau makan dulu?" tanya Leni, sepertinya Leni habis berkutat di dapur, ada tiga menu sederhana yang sudah tersaji di meja makan, ikan asin digoreng dengan petai pakai cabe merah, gulai ayam dan sayur kates, menu yang sangat menggugah selera, mungkin sejak kutinggal menikah, Leni suda
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg