POV MarniSetelah semua ingatan buruk itu, aku merasakan sentuhan di bahuku. Aku menoleh, mendapati Mas Anto yang menatapku dengan wajah berkerut. Biasanya aku akan menyambutnya dengan senyum, saat ini bibir terlalu kaku untuk digerakkan saat makian itu masih terngiang di telingaku."Kau baik-baik saja?" tanya Mas Anto. Aku tak baik-baik saja, terasa lelah mencerna semua ingatan buruk yang sama sekali tak kuinginkan. "Aku mau pulang.""Tapi acaranya baru dimulai." Mas Anto berbicara pelan, menghindari orang yang berada di samping kami. Aku tak peduli, pokoknya aku mau pulang."Aku mau pulang.""Marni ....""Aku bisa pulang sendiri, bukankah malam itu bukan Mas yang menyelamatkanku? Ada orang lain yang datang dan mengaku dialah yang membawaku ke pesta itu, Mas saat itu ada di mana? Kenapa tak kulihat keberadaanmu?" Wajah Mas Anto berubah tegang. Dia menarik tanganku menuju sebuah kursi yang agak sepi. Dia menatap penuh selidik."Apa ingatanmu kembali?"Aku menantang matanya, binar e
Saat sampai di pintu kamar, Mas Anto menarik bahuku, membuatku menoleh. Tanpa kuduga, pelukan hangat menyambutku. Dekapan ini, bagaikan dekapan Ibu. Dekapan yang seolah-olah mengatakan, bahwa semua baik-baik saja, tak ada yang perlu dirisaukan.Bagaimanapun kasarnya dia padaku di dalam ingatan itu, tetap saja dekapannya adalah tempat ternyaman bagiku. Mas Anto, suamiku yang memiliki banyak misteri."Marni, apa pun yang terjadi, apa pun yang pernah kita lewati, semua itu hanyalah kisah yang telah berlalu, kita hidup untuk masa depan, untuk kebahagiaan dan anak kita."Aku terpaku dalam pelukan Mas Anto, apa yang dia katakan menggetarkan hatiku, ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dadaku. "Dulu, kita hanya orang asing yang hanya kebetulan terikat oleh ikatan pernikahan, akan tetapi seiring berjalannya waktu, aku dan kamu adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Aku mencintaimu, Marni. Hanya itu yang perlu kau ingat."Aku memejamkan mataku sambil menghirup aroma wangi Mas Anto. In
POV Anto"Pulanglah, Anto! Ayah masuk rumah sakit!"Aku menggenggam HP-ku. Perasaan gundah gulana tengah kurasakan. Ibu tak pernah menelepon jika tak terlalu penting. Pesan tadi, berisi perintah, bukan meminta persetujuan.Aku berulangkali menelepon kembali nomor ibu, namun wanita yang melahirkanku itu tak mengangkat.Akhirnya, aku tak lagi berselera dengan makan siangku, perut terasa kenyang mendadak. Bayangan sang Ayah yang terbaring di rumah sakit mengusikku.Selama ini, ayahnya tak pernah mengeluhkan apa-apa. Dia sehat dan tak merokok. Bahkan ayahku tergolong masih kuat bahkan di usianya yang telah lebih dari tujuh puluh tahun."Ada apa, Anto? Kau tampak gelisah." Tiba-tiba saja Pak Joko datang dan duduk di depanku. Mood-ku semakin buruk, akan tetapi dia juga kawan bicara."Menurut Pak Joko, apakah kita karyawan baru bisa mendapatkan izin cuti?"Pak Joko berpikir sebentar."Kurasa bisa, jika alasannya emergency. Ada apa? Kau mau ke mana?" Pak Joko bertanya penasaran."Saya harus p
"Istirahatlah! Kalian pasti lelah." Ibu menata bantal di atas tikar kecil yang diletakkan di atas lantai kamar perawatan Ayah. Aku mengajak Marni untuk duduk di sana. Marni memang terlihat menguap beberapa kali."Kapak Ayah masuk rumah sakit?" tanyaku lagi."Kemaren sore, Ibu kira, dia hanya akan rawat jalan karena ayahmu hanya mengeluh lelah dan berkeringat. Akan tetapi, saat cek darah, gula darahnya sangat tinggi. Dokter menyuruh untuk dirawat sampai gula darahnya stabil, karena akan sangat berbahaya jika tak ditangani secara cepat.""Mungkin kebiasaan Ayah yang selalu minum kopi menjadi pemicunya." Aku menerka-nerka. Ibu mengangguk. Sedangkan Marni tak mampu menahan kelopak matanya, selain lelah, efek obat mabuk kendaraan membuat dia selalu ingin tidur."Bagaimana kabar kalian? Ibu lihat, perut Marni sudah besar, dia juga agak gemuk." "Dia kuat makan.""Bagus, hal itu bisa membuat bayi kalian sehat. Akan tetapi, mulai di usia kandungan delapan bulan, makannya harus direm.""Kenap
POV Anto"Diperkirakan, pasien meninggal satu jam yang lalu."Dokter melihat jam tangan yang melingkar di pergelangannya.Raungan Ibu memenuhi kamar perawatan, seiring dengan Dokter yang mencabut alat-alat medis dari tubuh Ayah.Kakiku lunglai, bahkan aku hampir saja terjatuh kalau Marni tidak menyambutku, kami terduduk berdua, Marni mendekap kepalaku ke pangkuannya. Sangat sakit rasanya kehilangan orang yang amat kita cintai.Ibu masih terisak-isak sambil memanggil Ayah yang sudah terbujur kaku. Dia pasti amat terpukul, selain suami, Ayah juga sahabat yang baik bagi Ibu.Kini, kami telah kehilangan sandaran dan tumpuan. Ayah telah pergi, untuk selamanya. Sebuah kenyataan yang harus kami terima walau menyakitkan."Ayah sudah tak ada, Marni," keluhku dengan suara serak. Aku merasa begitu kecil saat ini, butuh tempat bersandar dan perlindungan. Kurasakan sentuhan lembut di rambutku. Jemari Marni berada di atas kepalaku."Sabar, Mas. Ayah sudah tenang, beliau orang baik, pasti akan mendap
POV Marni"Kakak!" Leni bergegas memelukku, diikuti oleh adik-adikku yang lain. "Ayo, duduk!" Kubimbing tangan Leni untuk duduk di karpet merah, kami duduk melingkar. Agak terpisah dengan pelayat lain."Maaf, Kak. Kami baru sampai, sulit mencari carteran mobil ke sini. Tapi untungnya, mobil bak punya Pak Tasman ada, sehingga kami sampai juga di sini.""Tak apa, bagaimana kabar kalian? Kalian sehat, kan?" "Kami sehat, Kak. Turut berduka cita, ya, Kak. Ayah Bang Anto orang yang sangat baik, bahkan saat kakak di Jawa pun, beliau sesekali datang ke rumah mengantar beras dan uang."Aku terenyuh mendengarnya. Ayah Mas Anto memang baik."Mas Anto pasti terpukul. Kita sudah merasakan bagaimana rasanya kehilangan Ayah ...." Leni mengambil napas panjang. Matanya berkaca-kaca. Walaupun memoriku belum kembali secara utuh, tapi sepanjang ingatanku yang tersisa, Ayah kami adalah sosok yang baik."Kapan kita berziarah?" tanyaku pada Leni. Ada kerinduan yang menyesakkan di dalam dadaku."Kita tungg
POV MarniKami sampai di rumah adik-adikku jam enam sore. Aku dan Mas Anto sengaja ke rumah sebelum kembali ke Jawa Timur besok pagi. Setidaknya, malam ini bisa lepas kangen dengan adik-adikku. Kesempatan ini tak selalu ada, setelah sempat merasa asing dengan wujud mereka yang berubah, aku bertekad akan mendekatkan diri kembali pada mereka.Suasana rumah telah berbeda dari yang kuingat, lebih bersih dan catnya pun sudah ditukar, beberapa perabot lama sudah tak tampak lagi. Walaupun belum begitu akrab dengan wujud baru adik-adikku yang sudah besar, namun hati seorang Kakak tak bisa dibohongi, aku menyayangi mereka, sebagai seorang Kakak tertua yang dihormati dan pengganti Ibu bagi mereka."Kakak mau mandi atau makan dulu?" tanya Leni, sepertinya Leni habis berkutat di dapur, ada tiga menu sederhana yang sudah tersaji di meja makan, ikan asin digoreng dengan petai pakai cabe merah, gulai ayam dan sayur kates, menu yang sangat menggugah selera, mungkin sejak kutinggal menikah, Leni suda
Aku tersentak. Di tengah kepalaku yang sakit, aku membuka mataku dan bertemu dengan tatapan Mas Anto yang kelihatan bingung. Kemudian, telingaku berdenging kembali, diikuti oleh semua bayangan yang diputar seperti kaset rusak, terakhir, jeritanku saat mendorong Mas Anto menjauhi pohon yang akan mengenainya."Marni, kau tak apa-apa?" Mas Anto menangkapku yang hampir merosot ke lantai."Mas?" tanyaku dengan suara serak. Dia menatapku bingung.Dengan semua rasa membuncah, kupeluk erat dirinya. Ingatan itu kembali utuh dalam waktu sekejap, begitu cintanya aku padanya dulu, sampai mengorbankan nyawaku demi menyelamatkan nyawanya."Maaas!" Hampir seperti rengekan. Aku memeluknya makin erat, ternyata kami telah melewati banyak hal, Mas Anto telah memberikan begitu banyak waktu untukku mengingat bagaimana bergantungnya aku padanya dulu."Ada apa? Aku cemas, apa yang kau ingat?" Suara Mas Anto bergetar."Semuanya, aku sudah mengingat semuanya. Ya Tuhan, aku sudah mengingat semuanya." Keberi ja