POV AntoJangan tanyakan betapa beratnya malam yang kami lalui, Marni beberapa kali mengeluh dingin bahkan setelah dekapan erat yang kuberikan kepadanya. Belum lagi nyamuk yang datang mengeroyok kami, menjadikan kami makanan empuk yang menjanjikan.Seumur hidup, aku tak pernah membayangkan akan berada di situasi ini. Hidupku selalu nyaman, karena aku melakukan segala hal dengan teratur. Bahkan untuk tidur saja, aku memilih kasur mana yang layak dan tidak layak.Namun, malam ini, aku tak bisa memilih. Tanpa listrik, tanpa makanan, tanpa orang lain, hanya saung reot yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Kami terpaksa merebahkan diri di sana, karena tak ada lagi pilihan lain.Beberapa kali aku mendengar suara perut Marni, suara yang mengisyaratkan betapa laparnya wanita itu. Dia adalah wanita hamil yang kuat makan, makanan dan Marni adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Sekali lagi, tak ada makanan untuk dimakan, aku bukanlah seorang petualang yang bisa menangkap ikan dengan tangan be
"Maaf, maaf sekali, Mas. Kemaren saya mendadak pulang, istri saya melahirkan, maafkan saya." Dia membungkuk beberapa kali. Mengungkapkan perasaan bersalah.Bagiku itu tak penting lagi, aku bergegas membangunkan Marni. Wanita itu membuka matanya."Sudah pagi?" Kulihat bibirnya yang kering bergerak."Hampir, ayo bangun! Pria kemaren muncul. Akhirnya kita dijemput kembali. Kita harus meninggalkan pulau ini."Marni langsung bangkit, kupegang tangannya. Membimbingnya mendekati perahu. Dia agak sempoyongan, entah karena faktor bangun tidur atau malah kelaparan."Ayo naik!"Kubantu Marni naik ke perahu. Mengambil tempat duduk yang nyaman. "Kau punya air?""Ada, Mas. Ada roti juga, semalaman saya tak tidur memikirkan Mas, tapi saya tak bisa meninggalkan rumah sakit. Saat saya telpon teman, semua tak bisa berlayar, karena hujan dan ombak yang tinggi."Aku tak mengubris, kuambil air mineral yang masih berada dalam kardus, serta dua buah roti yang berada di samping kardus air mineral."Makanlah
POV AntoTak butuh lama bagi kami untuk pulang ke rumah. Sesampai di rumah, Marni langsung menuju kamar. Selama di perjalanan, dia menguap-nguap beberapa kali. Bahkan sempat tertidur sejenak.Liburan kali ini memang unik, seperti di film-film. Terdampar di pulau tak penghuni dan merasakan lapar dan haus, adalah pengalaman yang amat buruk sekaligus mengesankan. Seumur hidup, aku tak pernah menduga hal seperti itu akan menimpaku."Hei, mandi dulu." Kusentuh lengannya. Saat ini sudah jam sembilan malam. Seperti biasa, sesampai di kamar Marni lamgsung merebahkan badannya tanpa aba-aba."Besok saja," sahutnya. Marni yang sekarang, jika tak diingatkan untuk mandi, dia bisa lupa. Aku harus bersikap menjadi mesin pengingat baginya."Aku akan panaskan air. Sebelum tidur harus mandi dan gosok gigi dulu. Tubuh kita pasti membawa debu jalan." "Aku lelah." Dia malah memperbaiki posisi tidurnya, mencari posisi yang nyaman.Marni menggeliat kecil. Matanya masih terpejam."Mandi sendiri, atau dimand
"Anak ke berapa, Mas?" tanya dia lebih dulu. "Baru pertama, Mas. Nikahnya telat." Aku menjawab dengan senyum. "Mas, anak ke berapa?" "Ini yang ke enam. Kakak dan abangnya ada di rumah.""Wah, ke-enam, ya." Aku mengangguk kagum. Sedangkan Marni, sama dengan istri pria di sampingku, matanya mulai sayu setelah menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. Kursi antrian ini terletak di lorong yang langsung membelakangi taman, angin sepoi-sepoi yang sejuk di siang hari, memang membuat kondisi udara terasa nyaman. Kami mendapatkan antrian ke dua belas, sedangkan saat ini dokter masih menangani pasien nomor tiga. Masih lama. "Mengantuk?" tanyaku pada Marni. Wanita itu mengangguk."Dan lapar," sahutnya."Ayo kita jalan-jalan, kuyakin rumah sakit sebesar ini memiliki kantin.""Ayo!" Marni ikut bangkit. Duduk menunggu dengan nomor antrian yang masih jauh pasti sangat membosankan. Karena satu pasien rata-rata ditangani selama lima belas menit, artinya butuh waktu beberapa jam untuk mencapai nomo
POV MarniApa arti Mas Anto bagiku? Dia seperti Ayah, yang selalu melindungi dan mengayomi. Walaupun Mas Anto dan Ayah memiliki sikap yang berbeda, namun bersama dengannya membuatku merasa aman dan nyaman.Dia gambaran seorang laki-laki yang gagah. Tampan tentu saja, dia tinggi dan kuat, tak banyak bicara pada orang yang baru dia kenal, tapi cerewet bila telah dekat.Tak ada cacatnya Mas Anto bagiku saat ini, kecuali bayangan masa lalu tentangnya. Aku tak lagi ingin mengingat terlalu banyak. Aku ingin hidup di duniaku yang sekarang, menjadi istri Mas Anto dan akan menjadi Ibu.Kuusap perutku, dia yang masih kecil yang kulihat di monitor tadi, adalah anakku, anak Mas Anto juga. Aku sempat mengabaikannya, karena belum bisa menerima keadaan yang sekarang.Kusingkap gorden, Mas Anto tengah olahraga di samping rumah. Tubuhnya yang kekar berotot dan berkeringatnya mengkilap kena cahaya matahari pagi. Aku menikmati pemandangan itu sejenak, kami mungkin telah menghabiskan waktu berbulan-bula
Tak lama kemudian, Mas Anto telah rapi dengan baju kaus lengan pendek dan celana trainingnya. Rambutnya yang masih basah tersisir rapi, aroma parfum yang telah kuhafal, menguat memenuhi udara di sekitar kami."Sepertinya enak, dijamin bersih, kan?"Ini pertanyaan Mas Anto yang sudah kuhafal di luar kepala. Setiap kali akan memakan masakanku, dia selalu bertanya, apa ini dijamin bersih? Tentu saja, aku sudah hafal apa yang harus kulakukan sebelum memasak. Kata Mas Anto, pastikan tangan dan kuku bersih, wajan dicuci terlebih dulu, bahan-bahannya dicuci dua kali.Ya, aku telah terbiasa memasak seperti yang Mas Anto katakan, walaupun di awal-awal aku sadar dari amnesia, aku sering diprotes dalam segala hal oleh Mas Anto."Tentu saja bersih, Mas.""Bagus, aku tau kau telah memasak dengan cara yang benar. Kau tau tidak? Pertengkaran kita dulu, karena kita memiliki kebiasaan yang berbeda."Aku memajukan kursiku. Aku sangat tertarik mengetahui kehidupan kami sebelum ingatanku hilang."Ceritak
POV MarniSetelah semua ingatan buruk itu, aku merasakan sentuhan di bahuku. Aku menoleh, mendapati Mas Anto yang menatapku dengan wajah berkerut. Biasanya aku akan menyambutnya dengan senyum, saat ini bibir terlalu kaku untuk digerakkan saat makian itu masih terngiang di telingaku."Kau baik-baik saja?" tanya Mas Anto. Aku tak baik-baik saja, terasa lelah mencerna semua ingatan buruk yang sama sekali tak kuinginkan. "Aku mau pulang.""Tapi acaranya baru dimulai." Mas Anto berbicara pelan, menghindari orang yang berada di samping kami. Aku tak peduli, pokoknya aku mau pulang."Aku mau pulang.""Marni ....""Aku bisa pulang sendiri, bukankah malam itu bukan Mas yang menyelamatkanku? Ada orang lain yang datang dan mengaku dialah yang membawaku ke pesta itu, Mas saat itu ada di mana? Kenapa tak kulihat keberadaanmu?" Wajah Mas Anto berubah tegang. Dia menarik tanganku menuju sebuah kursi yang agak sepi. Dia menatap penuh selidik."Apa ingatanmu kembali?"Aku menantang matanya, binar e
Saat sampai di pintu kamar, Mas Anto menarik bahuku, membuatku menoleh. Tanpa kuduga, pelukan hangat menyambutku. Dekapan ini, bagaikan dekapan Ibu. Dekapan yang seolah-olah mengatakan, bahwa semua baik-baik saja, tak ada yang perlu dirisaukan.Bagaimanapun kasarnya dia padaku di dalam ingatan itu, tetap saja dekapannya adalah tempat ternyaman bagiku. Mas Anto, suamiku yang memiliki banyak misteri."Marni, apa pun yang terjadi, apa pun yang pernah kita lewati, semua itu hanyalah kisah yang telah berlalu, kita hidup untuk masa depan, untuk kebahagiaan dan anak kita."Aku terpaku dalam pelukan Mas Anto, apa yang dia katakan menggetarkan hatiku, ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dadaku. "Dulu, kita hanya orang asing yang hanya kebetulan terikat oleh ikatan pernikahan, akan tetapi seiring berjalannya waktu, aku dan kamu adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan. Aku mencintaimu, Marni. Hanya itu yang perlu kau ingat."Aku memejamkan mataku sambil menghirup aroma wangi Mas Anto. In