Dalam gegas Erick melewati jalan sempit yang dipenuhi penumpang di kanan kiri hingga ia sampai ke tujuan. Namun, alangkah terkejutnya ia, seorang wanita berjilbab tengah duduk di kursi yang seharusnya jadi miliknya. Erick bertelak pinggang. "Hei, Mbak atau Ibu-Saya tidak tahu ya, tapi kenapa duduk di kursiku?!" tanyanya dengan suara tajam.
Wanita bertubuh sedikit gemuk itu menoleh. Walaupun pipinya sedikit tembam, wajahnya terlihat manis dengan kulit putih bersih. Ia merengut walau sempat kaget dengan siapa ia bicara.Tentu saja. Siapa yang tak kenal Erick Adrian, seorang aktor indo yang tengah naik daun. Wajahnya yang bak patung Yunani dengan iris mata sedikit kebiruan, tengah berdiri di hadapan.Melihat dibentak seperti itu, sang wanita sebal bukan main. Untung, seorang Pramugari buru-buru datang menengahi. Ia menarik wanita itu agar berdiri dan meminta maaf pada Erick. "Eh, maaf, Mas. Pesawat Mbak ini delayed karena rusak, sehingga ia terpaksa ditransfer ke sini. Karena kelas yang lainnya penuh, jadi ia dipindah ke sini."'Mmh, pasti dari kelas ekonomi. Kurang ajar banget, ini maskapai. Memasukkan orang dari kelas ekonomi ke first class. Harusnya dia dimasukkan ke penerbangan berikutnya saja, bukan ke pesawat ini.' Namun Erick tak mau berkomentar karena dirinya seorang artis terkenal. Ia tak mau gara-gara ini, namanya viral sebagai artis yang sombong, padahal ia sangat kesal. Wanita ini sembarangan duduk di kursi yang sudah dipesannya."Maaf ya, Mas?" Pramugari itu kembali meminta maaf dengan menyatukan kedua tangan di depan wajah. Pria itu hanya melihat saja wanita ini dipindah ke tempat yang kebetulan tak jauh darinya.Erick mencoba tak peduli. Ia menyibukkan diri dengan merapikan duduknya dan melihat ke arah jendela. Karena mereka duduk di satu deret yang sama, pria itu bisa melihat sang wanita sedang sibuk melihat ponsel dari bayangan kaca jendela. Wanita itu sama sekali tak peduli dengan keadaan sekitar.sang pria memperhatikan dengan dahi berkerut. Biasanya wanita atau seorang gadis akan tergila-gila melihat ketampanannya. Mereka mencuri-curi pandang melihat keberadaan dirinya di dekat mereka, tapi wanita ini tidak. Sang wanita sibuk mengetik dengan ponsel, tanpa peduli keberadaan artis terkenal ini di dalam pesawat.Erick jadi penasaran, apa yang sedang diketik wanita itu karena sedari tadi jemarinya tak berhenti bergerak. 'Apa dia seorang pebisnis? Ah, sikapku tadi tidak sopan padanya ya?'Sebenarnya Erick adalah pria yang sopan bila bertemu siapa saja, tapi karena taksinya terjebak kemacetan, mood-nya jadi buruk karena harus mengejar pesawat agar tak ketinggalan. Kini ia menyesal dan ingin berbaikan, tapi rasanya tak mungkin. Ia takut ditolak, di mana penumpang first class itu hampir penuh dan semua orang bisa menyaksikan dirinya dipermalukan di depan mereka."Mbak, pesawat hendak berangkat. Sebaiknya, ponselnya dimatikan," sahut Pramugari yang tadi memindahkan wanita itu di sana."Oh, maaf." Sang wanita berjilbab mematikan ponselnya. Sekilas tanpa sengaja kedua netranya melihat Erick yang menahan tawa. Tentu saja ia jadi cemberut walaupun kemudian pria itu membuang pandangannya ke depan.Ia kesal karena pesawatnya delayed dan sekarang bertemu dengan aktor yang menyebalkan. Harinya begitu buruk, karena ia sudah datang lebih pagi tapi pesawat bermasalah. Dipindahkan ke pesawat yang lebih bonafit, ia malah dipermalukan oleh seorang aktor terkenal. 'Mmh, dasar sombong. Memang kamu siapa?'****Pria itu terbangun dengan malasnya. Terbayang lagi kejadian tadi malam hingga ia menggerakkan tangannya ke samping, mencari-cari tubuh indah yang menghangatkannya tadi malam. Namun kosong. Ia memutar kepala dan tak menemukan siapa pun di sampingnya. Seketika ia terkejut. Apa ia bermimpi?Pelan ia duduk dan memastikan penglihatan. Rasanya ia tidak bermimpi. Kemudian pria ini turun dari ranjang dan meraih kimono tidurnya. Ia menggunakannya sambil melangkah keluar kamar."Halo, Sayang." Ternyata wanita itu telah berpakaian rapi dan sedang mengaduk-aduk kopi di meja makan. Rambutnya yang panjang bergelombang tengah tergerai indah melewati bahu. Dengan dagu runcing dan wajah yang cantik, ia tersenyum pada Erick."Kau mau pergi?" Pria itu menggaruk-garuk rambut hitam bergelombangnya yang berantakan.Wanita tinggi semampai itu kemudian duduk di kursi terdekat dengan menyilangkan kaki. Terlihat kakinya yang jenjang terbalut celana jeans ketat yang dipakainya. "Aku 'kan sudah bilang, hari ini aku akan berangkat ke Paris. Aku sudah tekan kontrak dengan sebuah agensi model di sana. Ada beberapa proyek yang sudah dijadwalkan untukku, jadi aku tak boleh datang terlambat. Mungkin, aku akan keliling dunia, jadi aku tak bisa pulang dalam jangka waktu dua tahun.""Tapi, kenapa kau memaksaku untuk tidur denganmu tadi malam? Bagaimana kalau kau tiba-tiba hamil?"Wanita itu hanya tersenyum lebar memamerkan giginya yang putih. Ia tampak terlihat tenang. Sang wanita meniup pelan cangkir kopi di tangan, sebelum meneguknya sedikit. "Bukankah semalam kita pakai pengaman?""Eufh ...." Erick menghela napas.Wanita itu beranjak berdiri dan meninggalkannya. "Bye, Erick ...." Ia mengangkat tangannya tanpa melihat."Tarra ...."Terdengar bunyi sepatu hak tinggi wanita itu yang mulai menjauh. Tarra adalah pacar Erick selama 2 tahun. Wanita ini kini tengah mengejar cita-citanya sebagai foto model kelas dunia di Paris mulai hari ini. Kini tinggal pria indo itu sendirian di apartemen.****"Bagaimana?" Erick baru saja masuk ke ruangan manajernya. Ia menarik kursi yang berada di depan sehingga mereka duduk berhadapan dengan hanya dipisahkan oleh sebuah meja kerja."Sudah datang, Mas, tapi aku belum bilang siapa artisnya. Mas, bicara aja langsung dengannya ya?" Pria muda bertubuh kurus itu mulai berdiri. Ia merapikan berkas di meja dan memasukkannya pada rak buku di belakangnya."Maksudmu, kamu bilang keperluannya?" tanya pria bule itu sedikit bingung."'Kan Mas mau ubah image playboy-nya jadi artis yang lebih religi, nih. Penulis ini juga menulis cerita yang bagus-bagus, cuma novelnya belum terkenal. Dia author online yang masih baru.""Jadi ceritanya sesuai dengan yang aku minta?""Iya. Aku sudah baca salah satu novelnya kok. Pas banget dengan yang Mas mau.""Ya, udah. Biar aku yang bicara." Pria bule itu berdiri dengan bersemangat. Ia yakin bisa mendapatkan peran itu, apalagi penulisnya belum terkenal dan ditawari novelnya akan difilmkan. Author mana yang akan menolak?Ditambah lagi, ia yang akan memainkannya. Tak ada yang akan menyangsikan ketampanan dan kepiawaiannya memainkan peran, karena film-film yang dimainkan selalu laris seperti kacang goreng. Karena itu kekayaannya terus bertambah.Erick mengikuti sang manajer pindah ruangan. Ia memasuki sebuah ruangan lain di mana ada meja besar buat meeting, di tengah ruangan. Seorang wanita berjilbab sedikit panjang duduk menyamping sambil memainkan ponselnya. Walaupun begitu, Erick segera mengenali wanita ini. Wanita itu pun terkejut ketika menatap ke arah pintu.Sang manajer segera memperkenalkan wanita itu pada Erick. "Ini nama penanya, Dara Jamilah." Ia menoleh pada Dara. "Mbak kenal aktor film romantis ini 'kan, Mbak? Erick Adrian.""Kamu ...."Beda dengan Erick yang terkejut, wanita ini menekan gigi gerahamnya karena kesal. Ia tak menyangka artis macam apa yang tengah ditawarkan padanya."Oh, Mas kenal?" tanya manajernya terkejut."Eh, kami sempat ketemu di pesawat tapi tidak kenal," terang Erick pelan."Oh, begitu. Kalau begitu, kalian silakan bicara." Manajer Erick mempersilakan.Aktor itu belum sempat menarik kursinya ketika Dara langsung berdiri. Tingkah wanita itu membuat kedua pria itu bingung melihatnya. Dara membuka tas tali yang disilang di tubuhnya dan memasukkan ponsel itu ke dalamnya. "Maaf, aku tak tertarik." Ia melangkah pergi."Hei, kamu pikir kau siapa!" Erick yang kesal dan merasa dilecehkan, kini memaki Dara dengan bertelak pinggang.Wanita berjilbab itu kini memutar tubuhnya menghadap sang pria bule dengan wajah dingin. "Sehebat-hebatnya kamu, orang hanya ingin melihat kamu di atas ranjang," ucapnya ketus. "Hei, jaga mulutmu, ya! Itu hanya peran, bukan sungguhan!" "Bukan sungguhan? Oya? Apa kamu tidak bersentuhan? Melihat tubuhnya? Tidak merasakan hal yang aneh ketika berada dalam satu ranjang?" Dara bertubi-tubi menjejalinya dengan pertanyaan yang menyindir dan pedas. Sempat terdiam sambil menelan ludah karena kalimat wanita ini seperti menelan jangi dirinya, Erick geram. "Ini hanya pekerjaan. Aku berusaha profesional!" tangkisnya lugas. "Mmh! Profesional?" Ejek sang wanita, melipat tangan di dada. "Jadi kalau kamu diminta untuk disorot tanpa pakaian, apa kamu akan melakukannya? Bagaimana bisa ada orang pintar membodohimu dengan kalimat 'profesional', dan dengan uang yang banyak sehingga kamu tunduk padanya?""Ini bukan masalah uang. Ini semata-mata pekerjaan," elak Erick lirih. Seketika, ia lelah menerangk
Sebuah mobil yang berlari kencang, berhenti mendadak, tapi bukan berarti bisa menghindari tabrakan. Tubuh sang wanita sempat terpelanting ke kaca depan mobil sebelum akhirnya menggelinding jatuh ke trotoar. Sopir ojol yang melihat kejadian itu, kaget. Ia kabur bersama motornya demi menghindari masalah. Pengendara mobil tentu saja syok. Ia tak lain adalah Erick. Sempat bingung harus berbuat apa, akhirnya ia mencoba turun. 'A-aku menabrak orang? Jelas-jelas aku lihat orang itu mental ke kaca mobilku, tapi apa dia baik-baik saja?' Perlahan Erick bergerak ke depan. Ia sedikit gemetar karena ia belum pernah menabrak orang sebelumnya dan ia khawatir akan keadaannya. Sesosok tubuh tergeletak tepat di depan mobil. Tubuh itu tertelungkup, tapi ia yakin itu perempuan karena memakai jilbab. Yang anehnya, ia melihat orang itu punya pakaian yang sama dengan seseorang yang ditemuinya hari ini. Benarkah? Eh .... Masih dalam kebingungan, ia berjongkok. Tubuh itu belum bergerak. Hari sudah mulai g
"Me-nikah?" Kae membulatkan matanya yang sayu. Erick memulai aktingnya, memasang wajah sedih dan mulai membuat kedua netranya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Kae. Aku yang membuatmu begini. Saat kau ngambek, kau berlari keluar dari mobil dan tidak melihat ada mobil yang sedang melaju kencang. Kau tertabrak mobil itu. Dibanding mengejar mobil itu, aku lebih memilih membawamu ke rumah sakit, Kae. Maafkan aku." Pria bule itu menundukkan kepala agar terlihat penuh penyesalan. Wanita itu melongo mendengar pengakuan Erick. Semua makin terlihat membingungkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini semua. Pria itu sendiri, sedang memikirkan strategi berikutnya. Ia melakukan dengan mulus di hadapan dokter dan suster yang kebetulan ada di sana. Keduanya terharu melihat kesungguhan dan tanggung jawab yang coba Erick emban. Sang pria mengeratkan genggaman, dan kembali menatap ke arah kedua netra Kae dengan sendu. "Kau bilang kau tak mau pacaran, kau ingin menikah saja, tapi waktu itu aku ta
"Kamu laki-laki, Bang. Kepala keluarga. Kamu harusnya menuntun istrinya ke jalan yang benar. Kalau aku masuk neraka, Abang yang diminta pertanggungjawabannya lho!""Lho, kok aku? Sendiri-sendirilah!" Pria itu terbangun karena kesal. "Aku istri Abang!""Apa hubungannya?" Mulut pria bule itu merengut. "Di dalam agama islam, dosa istri, suami yang tanggung," ucap Kae tegas. "Enak aja ....""Ini bener, Bang!"Erick menatap istrinya yang berada di sampingnya. Kantuknya tiba-tiba hilang karena dongkol, tapi mendengar kata-kata Kae membuatnya tertegun sesaat. "Ck!" Ia mengusap kasar wajahnya. "Iya ...." Jawabnya dengan malas. Pria itu kemudian mengangkat sedikit punggung sang istri karena ingin menarik tangannya tapi kemudian .... "Ah!""Kenapa, Bang?" Kae memperhatikan lengan Erick yang terlihat kaku sebelah dan mata suaminya itu terpejam menahan sakit. "Tanganku kram!"Sang istri meraih lengan pria itu dan memijitnya pelan. "Kram ya."Netra Erick sedikit terbuka walaupun ia masih memame
Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?""Oh, begitu. Ok. Baiklah."Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari. "Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya. "Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang. "Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping. "Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika s
Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?""Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya. "Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya. Diperhatikannya gerakan mata Kae yan
Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?
Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja