Sebuah mobil yang berlari kencang, berhenti mendadak, tapi bukan berarti bisa menghindari tabrakan. Tubuh sang wanita sempat terpelanting ke kaca depan mobil sebelum akhirnya menggelinding jatuh ke trotoar. Sopir ojol yang melihat kejadian itu, kaget. Ia kabur bersama motornya demi menghindari masalah.
Pengendara mobil tentu saja syok. Ia tak lain adalah Erick. Sempat bingung harus berbuat apa, akhirnya ia mencoba turun.'A-aku menabrak orang? Jelas-jelas aku lihat orang itu mental ke kaca mobilku, tapi apa dia baik-baik saja?' Perlahan Erick bergerak ke depan. Ia sedikit gemetar karena ia belum pernah menabrak orang sebelumnya dan ia khawatir akan keadaannya.Sesosok tubuh tergeletak tepat di depan mobil. Tubuh itu tertelungkup, tapi ia yakin itu perempuan karena memakai jilbab. Yang anehnya, ia melihat orang itu punya pakaian yang sama dengan seseorang yang ditemuinya hari ini. Benarkah? Eh ....Masih dalam kebingungan, ia berjongkok. Tubuh itu belum bergerak. Hari sudah mulai gelap dan tempat itu sepi karena ia melewati jalan alternatif ke luar kota. Karena itu ia ngebut agar cepat sampai tujuan. Alih-alih sampai, ia malah menabrak orang.Orang ini tiba-tiba saja muncul dari rimbunan pohon hingga ia tak sempat mengelak. Sekarang, apa mungkin wanita ini adalah wanita yang sama yang ditemuinya tadi? Hah ....Ia memberanikan diri melihat tubuh itu dengan seksama. Tidak ada darah yang terlihat. 'Ya Allah, jangan sampai aku menghilangkan nyawa orang. Aku takut sekali, ini.' Kembali tangannya gemetar ketika mencoba membalik tubuh wanita itu. Benar saja. Ia adalah Dara, penulis yang ditemuinya tadi, tapi kenapa mereka bertemu lagi dengan cara begini? "Ya Allah, apa yang telah aku lakukan?" Pria itu menjenggut rambutnya karena frustasi.Erick memperhatikan tubuh gempal wanita ini. Tak terlihat luka di tubuh Dara karena berpakaian tertutup, apalagi ia tak sadarkan diri. Pria itu mengusap wajahnya dengan kasar. Perlahan ia mengulurkan kedua jari ke depan hidung Dara. 'Dia bernapas? Ah, syukurlah.'Tiba-tiba dari dahi Dara mengeluarkan da rah segar. Seketika Erick panik. 'Ya Allah ... selamatkan dia, Tuhan. Selamat dia. Aku berjanji akan membuatnya bahagia. Apapun itu, jadi selamat dia.' Dengan cepat pria itu menggendong wanita itu dengan kedua tangan dan membawanya ke jok belakang. Ia melajukan mobilnya dengan kencang. Kebetulan ia tahu rumah sakit terdekat dari tempat itu.Sesampainya di rumah sakit, Dara mendapatkan penanganan serius karena Erick mengatakan bahwa Dara adalah korban kecelakaan. Seorang suster mendatanginya. "Maaf, Mas. Apa Mas yang akan bertanggung jawab dengan korban?""Oh, iya."Suster itu menyerahkan tas Dara pada Erick. "Mas siapanya?""Eh, Saya ... pacarnya," sahut sang pria sambil mengambil tas itu.Sang suster mengerut dahi karena ia tahu ia berhadapan dengan seorang artis terkenal. Sepengetahuannya, pacar Erick adalah model terkenal, bukan wanita ini. "Mas bukannya Erick Adrian?"Itulah yang ditakutkan Erick, tapi ia harus bertanggung jawab. Ia tak bisa lari dari kenyataan. "Eh, iya ... tapi dia pacarku yang sekarang, Sus. Bagaimana keadaannya?" Namun kemudian, ia menyesal. Bagaimana kalau Dara bangun dan menyangkal semua? Ia begitu bingung, harus bohong dari mana."Oh, maaf, Mas. Masih diperiksa. Mas sebaiknya mengurus administrasi, agar kita bisa cepat menanganinya.""Ok, baiklah. Tapi tolong, selamatkan dia ya, Sus." Erick sampai memegangi tangan suster itu, memohon. Wajahnya terlihat begitu khawatir."Apa dia korban kecelakaan? Sebaiknya Mas melapor ke polisi juga. Untuk sekarang, Mas sebaiknya mengurus administrasi dulu saja."Erick kemudian mengurus administrasi. Hanya saja, ketika ingin menulis data Dara, ia kebingungan. Ia baru sadar kalau selama ini hanya tahu nama pena penulis itu, sedang nama aslinya, ia tidak tahu. Pria itu kemudian memeriksa isi tas Dara dan melihat ponsel wanita itu yang layarnya telah retak. Namun, ponsel itu masih bisa dinyalakan. Setelah memeriksanya beberapa saat ...."Kaemila Adjani." Erick juga memeriksa KTP wanita itu dan mendapatkan nama yang sama. Tak lama, ia menyelesaikan administrasi dan kembali ke tempat semula. Ia menunggu dengan cemas.Banyak hal yang berputar di kepalanya. Bagaimana kalau wanita ini sadar dan menuntutnya, atau tulang di tubuh wanita itu ada yang retak atau patah? Belum lagi ia begitu takut keberadaannya di tempat itu dicium media. Ini semua gara-gara ia mengenakan kacamata hitam ketika menyetir tadi. Padahal ia hendak melepasnya karena hari menjelang malam, tapi ia terlambat membuka dan terjadilah kecelakaan itu. Sungguh, menyesal sekarang tak ada gunanya.Suster itu kembali keluar dari pintu di hadapannya. "Mas, pasiennya sudah siuman."Seketika Erick panik. Ia tak tahu apa ia harus bersandiwara atau jujur apa adanya. Ia kemudian menimbang-nimbang sambil berjalan mengikuti suster itu masuk ke kamar perawatan. Di sana ada seorang dokter dan Dara terbaring lemah di atas ranjang brankar. Sebelum mendatangi sang wanita, dokter itu datang mendekat."Eh, begini ya? Ada berita buruk. Kecelakaan ini bisa dibilang cukup parah. Dari pinggang ke bawah dia lumpuh dan dia juga hilang ingatan."Erick melongo. Haruskah ia senang atau sedih? Wanita itu hilang ingatan tapi juga lumpuh.Dokter itu menepuk bahu sang artis. "Aku dengar dia pacarmu ya? Mungkin dia tidak ingat siapa dirimu." Ia menunduk prihatin.'Itu lebih baik! Eh, tapi bukan maksudku mensyukurinya, tapi aku akan bertanggung jawab tanpa harus kena omelannya. Dia tidak akan menyebarkan ke publik apa yang terjadi antara aku dan dia agar nama baikku tetap terjaga. Tapi ... bagaimana cara meredam gosip yang akan timbul setelah ini, sebab pencari berita akan mencari tahu siapa Kaemila sebenarnya.Aku sebenarnya tidak tahu siapa dia, tapi dia masih lajang. Sebaiknya aku menikah saja dengannya agar media tidak usil mencari tahu tentang Kaemila, dan saat Kae sadar dia tidak akan menuntutku. Dengan begitu kita bisa cerai baik-baik.'Kemudian dengan mantap ia melangkah menemui Kae. Wanita itu terbaring di ranjang dengan wajah pucat dan lemah. Kepalanya diperban. Kae terlihat bingung saat Erick duduk di tepi ranjang sambil menatap ke arahnya. "Kamu siapa?" tanyanya pelan.Erick masih mencari tahu kebenaran wanita ini hilang ingatan, dari kedua manik mata cantik milik sang wanita. Ia baru menyadari, wanita yang bertubuh sedikit gemuk itu punya mata cantik yang membuatnya menarik. "Kau tak ingat aku?"Mata indah itu menyusuri lekuk wajah tampan pria di hadapan. Ia sama sekali tak ingat apa pun tentang pria ini. Kenapa ia bisa lupa? Siapa dia?"Kae." Untuk pertama kalinya, Erick menyebut nama asli wanita itu.Sang wanita mengerut dahi. "Kae? Siapa Kae?""Namamu Kae. Apa kau tak ingat dirimu?"Dengan pelan, Kae menggeleng. Bukan saja dirinya, kenapa ia sampai di kamar itu saja ia tak ingat. Yang ia tahu, kakinya tak bisa digerakkan. Diagnosa dokter, kakinya lumpuh."Bagaimana dengan aku, pacarmu.""Pacar?" Kedua netra wanita itu membola. Pria tampan ini pacarnya? Benarkah?"Iya."Kae masih terlihat bingung, tidak tahu harus berkata apa. Semuanya tampak baru. Dokter, suster bahkan pria yang mengaku pacarnya ini. Haruskah ia percaya? "Maaf, aku tidak tahu, tapi aku benar-benar tidak tahu. Kenapa aku ada di sini?""Kau kecelakaan Kae. Aku menolongmu.""Kau menolongku?"Sebelum wanita itu bertanya lebih jauh, Erick mengalihkan perhatian. Pria itu melirik dokter yang masih berdiri di sana. "Dok, berapa lama orang bisa hilang ingatan?""Mmh. Tergantung. Ada yang cepat, beberapa hari bisa sembuh. Ada ju—""Terima kasih dok." Pria tampan itu segera beralih pada Kae. Ia meraih tangan sang wanita. "Kae, maukah kau menikah denganku?""Me-nikah?" Kae membulatkan matanya yang sayu. Erick memulai aktingnya, memasang wajah sedih dan mulai membuat kedua netranya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Kae. Aku yang membuatmu begini. Saat kau ngambek, kau berlari keluar dari mobil dan tidak melihat ada mobil yang sedang melaju kencang. Kau tertabrak mobil itu. Dibanding mengejar mobil itu, aku lebih memilih membawamu ke rumah sakit, Kae. Maafkan aku." Pria bule itu menundukkan kepala agar terlihat penuh penyesalan. Wanita itu melongo mendengar pengakuan Erick. Semua makin terlihat membingungkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini semua. Pria itu sendiri, sedang memikirkan strategi berikutnya. Ia melakukan dengan mulus di hadapan dokter dan suster yang kebetulan ada di sana. Keduanya terharu melihat kesungguhan dan tanggung jawab yang coba Erick emban. Sang pria mengeratkan genggaman, dan kembali menatap ke arah kedua netra Kae dengan sendu. "Kau bilang kau tak mau pacaran, kau ingin menikah saja, tapi waktu itu aku ta
"Kamu laki-laki, Bang. Kepala keluarga. Kamu harusnya menuntun istrinya ke jalan yang benar. Kalau aku masuk neraka, Abang yang diminta pertanggungjawabannya lho!""Lho, kok aku? Sendiri-sendirilah!" Pria itu terbangun karena kesal. "Aku istri Abang!""Apa hubungannya?" Mulut pria bule itu merengut. "Di dalam agama islam, dosa istri, suami yang tanggung," ucap Kae tegas. "Enak aja ....""Ini bener, Bang!"Erick menatap istrinya yang berada di sampingnya. Kantuknya tiba-tiba hilang karena dongkol, tapi mendengar kata-kata Kae membuatnya tertegun sesaat. "Ck!" Ia mengusap kasar wajahnya. "Iya ...." Jawabnya dengan malas. Pria itu kemudian mengangkat sedikit punggung sang istri karena ingin menarik tangannya tapi kemudian .... "Ah!""Kenapa, Bang?" Kae memperhatikan lengan Erick yang terlihat kaku sebelah dan mata suaminya itu terpejam menahan sakit. "Tanganku kram!"Sang istri meraih lengan pria itu dan memijitnya pelan. "Kram ya."Netra Erick sedikit terbuka walaupun ia masih memame
Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?""Oh, begitu. Ok. Baiklah."Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari. "Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya. "Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang. "Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping. "Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika s
Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?""Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya. "Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya. Diperhatikannya gerakan mata Kae yan
Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?
Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K
Para pemetik teh terkejut mendengarnya. Terutama gadis itu. Ia telah sempat memarahi Kae hingga wajahnya tegang. Sang gadis tak menyangka, wanita yang berada di dalam saung itu adalah istri pemilik kebun teh tempat ibunya bekerja. Ketika Erick hendak membuka pintu mobil, gadis berkepang dua itu buru-buru meletakkan bawaannya di saung dan mengejar pria itu. Gadis itu membantu Erick membuka pintu. "Terima kasih." Sang pria mendudukkan istrinya ke dalam mobil dan menutup pintu. Beberapa pemetik teh mendekat. Mereka melihat iba pada Erick dan Kae. Mereka tidak tahu bos mereka punya istri lumpuh. "Sakit apa, Pak?""Apa kecelakaan?""Eh ...." Erick tersenyum. "Do'akan saja biar cepat sembuh, ya?" Kemudian ia naik ke mobil. Satu-satu orang mulai berdatangan keluarga yang membawa makanan untuk pekerja teh, tapi para pemetik teh pandangannya hanya tertuju pada mobil Erick. Mereka mengiringi mobil hingga bergerak menjauh. Mereka juga melambaikan tangan. "Cepat sembuh ya, Bu!""Semoga cepa
Entah kenapa Kae kadang-kadang membuatnya kehilangan kontrol diri dan nyaman bersamanya. Namun setiap Erick mengingat apa yang sudah ia lakukan pada istrinya, ia berubah menjauh. Pria ini berusaha mengingatkan pada dirinya bahwa ia sedang berpura-pura. Tidak ada cinta di antara mereka kecuali antara pelaku dan korban yang suatu hari akan ketahuan juga. Demi hari itu datang, ia harus membuat Kae bahagia atau wanita itu akan menuntutnya. Erick masih ingat betapa dari mulut wanita ini keluar kata-kata yang menyakitkan yang membuat ia merasa semakin bersalah dalam menjalani hidup. Ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki, pun juga membantahnya karena ia tak punya orang tempat bertanya. Dulu, ibunyalah yang selalu menanamkan agar dirinya menjalankan agama dengan benar tapi sekarang .... Pria itu melambaikan tangan seiring ia pergi keluar rumah. Sebenarnya, menjalankan kehidupan berumah tangga, ia sendiri tak yakin karena hal ini. Ia butuh tempat berpegang padahal ia adalah kepala rumah tan
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja