Share

4. Akting

Penulis: Ingflora
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Me-nikah?" Kae membulatkan matanya yang sayu.

Erick memulai aktingnya, memasang wajah sedih dan mulai membuat kedua netranya berkaca-kaca. "Maafkan aku, Kae. Aku yang membuatmu begini. Saat kau ngambek, kau berlari keluar dari mobil dan tidak melihat ada mobil yang sedang melaju kencang. Kau tertabrak mobil itu. Dibanding mengejar mobil itu, aku lebih memilih membawamu ke rumah sakit, Kae. Maafkan aku." Pria bule itu menundukkan kepala agar terlihat penuh penyesalan.

Wanita itu melongo mendengar pengakuan Erick. Semua makin terlihat membingungkan. Ia tidak tahu harus bagaimana menanggapi ini semua.

Pria itu sendiri, sedang memikirkan strategi berikutnya. Ia melakukan dengan mulus di hadapan dokter dan suster yang kebetulan ada di sana. Keduanya terharu melihat kesungguhan dan tanggung jawab yang coba Erick emban.

Sang pria mengeratkan genggaman, dan kembali menatap ke arah kedua netra Kae dengan sendu. "Kau bilang kau tak mau pacaran, kau ingin menikah saja, tapi waktu itu aku tak menjawabnya. Kini aku akan mengabulkan permintaanmu. Bagaimana kalau kita menikah saja sekarang, bukankah itu yang kau mau?"

"Ta-tapi ...." Kae masih melongo. Ia mencoba menggali ingatan tapi tak satu pun yang bisa ia temukan. Ia tak ingat apa pun.

"Ini agar aku bisa merawatmu. Orang tuamu 'kan sudah tiada. Aku tak leluasa menolongmu karena kita bukan mahram-nya."

Wanita itu semakin bingung. Kenapa ia tak ingat apa pun? Bagaimana ini?

Erick menyelidik di kedua netra cantik milik Kae. Wanita ini dalam kebimbangan yang dalam, karena itu pria ini meneruskan dramanya kembali. "Aku tahu kau masih bimbang. Jadi, bagaimana kalau begini saja. Aku takkan melakukan apa pun padamu kecuali kau menginginkannya. Kita menikah dan aku merawatmu, itu saja. Bagaimana?"

Netra Kae mulai melembut, walau masih terlihat bimbang. Namun begitu ia tak punya pilihan, hingga terpaksa mengangguk pelan. Erick lega. Dilihatnya suster dan dokter yang mendengarkan, ikut terharu.

"Eh, dok, apa aku bisa mendapatkan penghulu hari ini juga?" tanya Erick pada dokter yang masih berdiri di tempat.

"Eh, malam ini?"

"Iya, dok. Tolong." Pria bule itu juga menoleh pada suster yang berdiri di kaki ranjang. "Sus, kenapa calon istri Saya jilbabnya dilepas?"

"Eh, karena kepalanya ada luka. Sebaiknya pakai jilbab instan saja."

"Sekalian carikan cadar." Erick mulai memerintah.

"Cadar?" Netra suster itu membola.

"Dia tadinya pakai cadar, tapi jatuh di jalan."

"Oh, iya. Baiklah."

"Oh, iya. Satu lagi. Pindahkan dia ke kamar VIP."

Suster dan dokter itu pun pamit. Erick menatap Kae dengan senyum terukir di wajah. Babak baru kehidupannya akan di mulai.

****

Erick berdiri menghadap jendela besar di hadapan. Ia memasukkan kedua tangan di kantong celana jeans-nya. Pria ini tidak sedang mengagumi pemandangan di luar, tapi sedang memintal benang kusut di kepala yang tak kunjung selesai. Dalam sehari, nasibnya berubah drastis. Dari lajang menjadi pria yang telah menikah. Menikah pun secara mendadak dengan wanita yang membencinya, betapa takdir sedang menertawakannya saat ini.

"Bang ...."

Suara lembut Kae membangunkannya dari lamunan. Ada perasaan ingin tertawa saat itu tapi ditahannya. Walau terdengar aneh, wanita galak ini tengah bicara lembut padanya, hingga ia harus terus bersandiwara.

Erick menutup jendela dengan menarik gorden tebal itu ke samping. "Kau butuh apa? Kenapa kau belum tidur?" Ia jadi ikut-ikutan bicara lembut.

"Abang kenapa belum tidur?" Kae balik bertanya. Ia menarik selimutnya sedikit lebih tinggi.

Pria bertubuh jangkung itu datang mendekat. Ia duduk di tepi ranjang sambil memandangi sang wanita. Ada rasa bersalah terselip di lubuk hatinya. Ia hampir saja membu.nuh Kae, tapi takdir Tuhan telah menyelamatkannya. Ia bersyukur wanita ini masih hidup. Kalau tidak, namanya akan viral sebagai seorang pembu.nuh, dan bukan tidak mungkin dirinya akan masuk penjara.

Erick memperhatikan kepala Kae yang sebagian diperban. Sebagian lagi terbuka dengan rambut sang istri tergerai panjang melewati bahu dan sedikit bergelombang. Ia tentu saja prihatin. "Kepalamu masih sakit?"

"Sedikit."

"Kenapa belum tidur?"

Kae menggeleng. "Gak tau. Abang sendiri, kenapa belum tidur?"

Pria itu hanya tersenyum kecil. Ia merapikan selimut istrinya yang membuat wanita itu sedikit malu. Wajahnya tersipu-sipu. Bagaimana tidak? Ia terbangun dengan ingatan yang hilang dan tiba-tiba seorang pria bule datang mengaku sebagai pacarnya.

Pria tampan ini tanpa basa basi langsung melamarnya di depan seorang dokter dan suster, tanpa memikirkan dirinya yang tak tahu sedang menyasar di dunia mana. Menimbang niat baiknya, akhirnya ia mengiyakan karena memang ia tak punya seseorang pun tempatnya bersandar. Sepertinya, pria ini bisa diandalkan.

"Bagaimana kalau kita tidur bersama?"

"Hah?"

Tanpa menunggu jawaban, pria itu masuk ke dalam selimut. Kae membelalakkan matanya karena panik. Ranjang itu juga ukuran single dan bila harus berbagi, berarti mereka harus bersempit-sempitan di atas ranjang. Erick mengangkat punggung istrinya agar bisa menyelipkan tangannya di sana. Kae terkejut saat sang suami mendekap tubuhnya.

Erick merapatkan tubuh dan menarik selimut ke atas. Ranjang itu memang cukup sempit karena sang istri sedikit gemuk. Karena itu ia berpelukan agar tidak jatuh ke belakang. "Ayo, sekarang kita tidur."

Terlihat wajah Kae yang kaku menatap ke arah pria itu. Kenapa jadi begini? Bukankah katanya ia akan menunggu persetujuannya untuk melakukan apa pun pada dirinya, tapi kenapa ia lancang?

Erick menangkap gelagat kebingungan dari wajah Kae. "Oh, Kae. Kita hanya saling membantu untuk bisa tidur. Ngak papa, 'kan?"

"Eh ... gak papa," sahut sang wanita dengan wajah tegang. Padahal jantungnya tengah berdetak kencang. Bisa-bisanya sang suami membuat jantungnya berdebar seperti ini.

Pria itu bisa melihat ketegangan pada wajah wanita yang tidak pernah disentuh pria seakrab ini, sedang di dunia Erick, berdekatan dengan lawan jenis sudah tak aneh lagi. Apalagi cuma sekedar berpelukan. "Jangan berpikir yang aneh-aneh."

Kae menatap aneh pada sang suami. Aneh apanya? Mereka, 'kan suami istri? Kini wanita itu mengerut dahi menatap suaminya.

"Eh, maksudku. Aku bilang tidur, ya tidur. Aku tidak berniat melakukan hal yang tidak kamu inginkan, sekarang. Aku hanya ingin menghiburmu saja, agar kamu cepat tidur."

Kae terlihat lega. "Oh ... eh, kalau kamu tidak masalah, karena ranjang ini terlalu kecil untuk kita berdua."

"Tidak apa-apa. 'Kan aku bilang, aku akan menjagamu. Anggap saja aku kakakmu."

Kae meletakkan kepalanya di lengan Erick pelan dan menatap pria itu lekat. Lama-lama kedua netranya terlihat sendu. "Aku tidak mengingatmu. Maaf."

"Tidak apa-apa." Wajah mereka yang begitu dekat membuat Erick langsung bisa melihat istrinya menitikkan air mata.

"Aku juga tidak ingat siapa-siapa," katanya mulai menangis.

"Sst, jangan menangis. Aku ada di sini. Aku akan melindungimu, Kae. Tenang saja," bisik Erick tepat di telinga sang istri. Ia mengangkat kepala dan mengecup kening Kae. Pria itu menarik tubuh istrinya dalam pelukan untuk meredakan tangisnya. Tentu saja, ia ikut merasa bersalah.

Wanita itu kemudian mulai terlihat tenang. Karena Kae susah bergerak, pria itu hanya memeluknya dari samping. Erick menunggunya dengan sabar sampai istrinya tertidur dalam pelukan. Ia bertekad akan menjaga wanita itu sampai Kae sembuh. Menurut dokter, kaki istrinya masih punya kemungkinan untuk sembuh, karena itu ia bersemangat untuk membawa Kae pulang.

****

"Bang." Kae menepuk pelan bahu Erick. "Bang ...," ucapnya sekali lagi.

"Mmh." Kelopak mata pria itu bergerak pelan dan membuka, mencari tahu siapa yang telah membangunkannya. Sebentar kemudian ia tersadar. "Eh, Kae. Ada apa?"

"Sholat, Bang. Udah masuk waktu Subuh."

"Mmh?" Erick berusaha membuka matanya yang masih lengket. "Sebentar lagi ya, masih ngantuk ini." Pria itu kembali memejamkan mata dan makin mengeratkan pelukan.

Tiba-tiba .... "Ah!" Erick kembali membuka matanya. Wanita itu baru saja mencubit lengannya. "Kae ...."

Bab terkait

  • Istri Simpanan Sang Idola   5. Sholat

    "Kamu laki-laki, Bang. Kepala keluarga. Kamu harusnya menuntun istrinya ke jalan yang benar. Kalau aku masuk neraka, Abang yang diminta pertanggungjawabannya lho!""Lho, kok aku? Sendiri-sendirilah!" Pria itu terbangun karena kesal. "Aku istri Abang!""Apa hubungannya?" Mulut pria bule itu merengut. "Di dalam agama islam, dosa istri, suami yang tanggung," ucap Kae tegas. "Enak aja ....""Ini bener, Bang!"Erick menatap istrinya yang berada di sampingnya. Kantuknya tiba-tiba hilang karena dongkol, tapi mendengar kata-kata Kae membuatnya tertegun sesaat. "Ck!" Ia mengusap kasar wajahnya. "Iya ...." Jawabnya dengan malas. Pria itu kemudian mengangkat sedikit punggung sang istri karena ingin menarik tangannya tapi kemudian .... "Ah!""Kenapa, Bang?" Kae memperhatikan lengan Erick yang terlihat kaku sebelah dan mata suaminya itu terpejam menahan sakit. "Tanganku kram!"Sang istri meraih lengan pria itu dan memijitnya pelan. "Kram ya."Netra Erick sedikit terbuka walaupun ia masih memame

  • Istri Simpanan Sang Idola   6. Mandi

    Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?""Oh, begitu. Ok. Baiklah."Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari. "Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya. "Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang. "Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping. "Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika s

  • Istri Simpanan Sang Idola   7. Di Rumah

    Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?""Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya. "Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya. Diperhatikannya gerakan mata Kae yan

  • Istri Simpanan Sang Idola   8. Mimpi

    Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?

  • Istri Simpanan Sang Idola   9. Kebun Teh

    Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K

  • Istri Simpanan Sang Idola   10. Terapi

    Para pemetik teh terkejut mendengarnya. Terutama gadis itu. Ia telah sempat memarahi Kae hingga wajahnya tegang. Sang gadis tak menyangka, wanita yang berada di dalam saung itu adalah istri pemilik kebun teh tempat ibunya bekerja. Ketika Erick hendak membuka pintu mobil, gadis berkepang dua itu buru-buru meletakkan bawaannya di saung dan mengejar pria itu. Gadis itu membantu Erick membuka pintu. "Terima kasih." Sang pria mendudukkan istrinya ke dalam mobil dan menutup pintu. Beberapa pemetik teh mendekat. Mereka melihat iba pada Erick dan Kae. Mereka tidak tahu bos mereka punya istri lumpuh. "Sakit apa, Pak?""Apa kecelakaan?""Eh ...." Erick tersenyum. "Do'akan saja biar cepat sembuh, ya?" Kemudian ia naik ke mobil. Satu-satu orang mulai berdatangan keluarga yang membawa makanan untuk pekerja teh, tapi para pemetik teh pandangannya hanya tertuju pada mobil Erick. Mereka mengiringi mobil hingga bergerak menjauh. Mereka juga melambaikan tangan. "Cepat sembuh ya, Bu!""Semoga cepa

  • Istri Simpanan Sang Idola   11. Kemajuan

    Entah kenapa Kae kadang-kadang membuatnya kehilangan kontrol diri dan nyaman bersamanya. Namun setiap Erick mengingat apa yang sudah ia lakukan pada istrinya, ia berubah menjauh. Pria ini berusaha mengingatkan pada dirinya bahwa ia sedang berpura-pura. Tidak ada cinta di antara mereka kecuali antara pelaku dan korban yang suatu hari akan ketahuan juga. Demi hari itu datang, ia harus membuat Kae bahagia atau wanita itu akan menuntutnya. Erick masih ingat betapa dari mulut wanita ini keluar kata-kata yang menyakitkan yang membuat ia merasa semakin bersalah dalam menjalani hidup. Ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki, pun juga membantahnya karena ia tak punya orang tempat bertanya. Dulu, ibunyalah yang selalu menanamkan agar dirinya menjalankan agama dengan benar tapi sekarang .... Pria itu melambaikan tangan seiring ia pergi keluar rumah. Sebenarnya, menjalankan kehidupan berumah tangga, ia sendiri tak yakin karena hal ini. Ia butuh tempat berpegang padahal ia adalah kepala rumah tan

  • Istri Simpanan Sang Idola   12. Sungai

    Kae berusaha berenang ke permukaan. Sepertinya airnya tak terlalu dalam. Ia berenang hanya mengandalkan tangan karena kakinya tak bisa digerakkan. Saat Kae menaikkan kepala, kursi rodanya ikut tercebur dan menimpa kepala. "Ah!" Kepalanya terasa sakit tapi ia tetap berjuang untuk naik kembali. 'Bang ... tolong aku!' teriaknya dalam hati. Namun kursi roda yang berat yang menimpa tubuh lumpuhnya dari atas mau tak mau terus menekannya ke bawah. Arus yang bergerak pelan juga tak membantu. Perlahan tubuh Kae turun ke bawah. Ketika ia coba berenang ke samping, rupanya bajunya terjepit di roda kursi roda itu. Segala upaya sudah dicoba agar ia bisa lepas tapi ternyata sia-sia. Ia juga mulai kehabisan oksigen. Akhirnya tubuhnya lemas karena mulai menghirup air. 'Bang. Bang Erick ....' Tangannya berusaha menggapai ke atas. Tepat saat itu seseorang masuk ke dalam air dan mendatanginya. Erick datang dan segera menarik istrinya ke permukaan. Namun usahanya sedikit tertahan karena baju Kae ters

Bab terbaru

  • Istri Simpanan Sang Idola   65. Terbaik

    Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka

  • Istri Simpanan Sang Idola   64. Pulang

    Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar

  • Istri Simpanan Sang Idola   63. Ibu

    Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend

  • Istri Simpanan Sang Idola   62. Pindah

    "Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan

  • Istri Simpanan Sang Idola   61. Sakit

    Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn

  • Istri Simpanan Sang Idola   60. Pembantu Baru

    Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.

  • Istri Simpanan Sang Idola   59. Akhirnya

    Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt

  • Istri Simpanan Sang Idola   58. Sakit

    "Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal

  • Istri Simpanan Sang Idola   57. Makan Malam

    Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja

DMCA.com Protection Status