"Kamu laki-laki, Bang. Kepala keluarga. Kamu harusnya menuntun istrinya ke jalan yang benar. Kalau aku masuk neraka, Abang yang diminta pertanggungjawabannya lho!"
"Lho, kok aku? Sendiri-sendirilah!" Pria itu terbangun karena kesal."Aku istri Abang!""Apa hubungannya?" Mulut pria bule itu merengut."Di dalam agama islam, dosa istri, suami yang tanggung," ucap Kae tegas."Enak aja ....""Ini bener, Bang!"Erick menatap istrinya yang berada di sampingnya. Kantuknya tiba-tiba hilang karena dongkol, tapi mendengar kata-kata Kae membuatnya tertegun sesaat. "Ck!" Ia mengusap kasar wajahnya. "Iya ...." Jawabnya dengan malas. Pria itu kemudian mengangkat sedikit punggung sang istri karena ingin menarik tangannya tapi kemudian .... "Ah!""Kenapa, Bang?" Kae memperhatikan lengan Erick yang terlihat kaku sebelah dan mata suaminya itu terpejam menahan sakit."Tanganku kram!"Sang istri meraih lengan pria itu dan memijitnya pelan. "Kram ya."Netra Erick sedikit terbuka walaupun ia masih memamerkan gigi putihnya, tapi pijitan itu setidaknya mengurangi rasa nyeri pada lengan yang ditindih oleh tubuh istrinya yang gemuk itu, semalaman. Pelan-pelan, rasa nyeri itu hilang. Ia mulai bernapas lega."Udah?" Kae menghentikan pijatannya."Mmh." Sang pria menarik tangannya dan mengecek kram di sepanjang lengan kanannya itu. "Makasih.""Sudah, sekarang Abang sholat.""Sebentar." Erick sedikit merengut. Walau dalam keadaan rambut yang berantakan, ia tetap terlihat tampan. Bahkan baju kemejanya yang kusut akibat dipakai tidur, tidak mengurangi ketampanannya. "Aku bisa 'kan, tidur sebentar. Aku masih ngantuk, Kae." Pria ini masih menawar."Aku mau sholat. Kalau Abang gak mau sholat, tidur aja di sofa sana," usir istrinya, karena dia tidak bisa sholat di tempat tidur kalau Erick masih di sana.Pria itu turun dengan mulut masih mengerucut. Ia duduk di sofa sambil memperhatikan Kae tayamum. Namun ketika istrinya kesulitan mengambil jilbab instannya di meja nakas, Erick terpaksa kembali berdiri dan membantunya. Ia juga membantu memasangkan jilbab."Makasih."Kae sebenarnya kesal karena suaminya tidak langsung sholat. Itu ditunjukkan dengan mulut yang merengut ketika dibantu memasangkan jilbab, sehingga mau tak mau Erick mengalah."Ya udah, aku sholat.""Kamu jadi imam, dong!"Pria itu menghela napas. "Ya udah." Ia kemudian ke kamar mandi dan wudhu. Setelah itu keluar dan melirik ruangan itu. Ternyata sholat menghadap ke jendela. Itu terlihat dari tanda panah di langit-langit ruangan. Erick kemudian menggendong istrinya dan memindahkannya ke sofa. Ia menggeser meja agar bisa sholat di depan.Seusai sholat, pria itu menggendong lagi istrinya untuk kembali ke ranjang. Di saat bersamaan, terdengar suara ketukan di pintu dan seorang petugas masuk membawa baki makanan. "Oh, mau dibawa ke mana pasiennya, Pak?" sahut petugas wanita itu. Ia meletakkan sebuah baki di meja nakas."Oh, kami baru selesai sholat berjamaah." Terang Erick yang sudah berada di tepi ranjang.Petugas itu membantu menepikan selimut dan kemudian menutup kaki pasien dengan selimut itu ketika Kae duduk di atas ranjang. "Ada sarapan pagi buat yang nunggu pasien juga.""Oh, terima kasih."****Erick merapikan cadar istrinya. Pria itu kini menatap Kae sambil menggenggam tangannya. "Ingat, cadar dan jilbabnya tak boleh dibuka kecuali izin dariku. Jadi kalau ada yang ingin membuka cadarmu, walaupun itu untuk pemeriksaan kesehatan, tidak boleh ya. Tunggu aku kembali.""Tapi bagaimana kalau dokter yang minta?" tanya Kae bingung. Ia meraih tangan suaminya."Suruh mereka telepon aku.""Bagaimana kalau Abang kasih aku HP, biar bisa telepon Abang."Erick melirik tas Kae yang berada di atas meja. "Aku hanya punya satu HP. HPmu juga rusak, mau aku servis. Sudah, lakukan saja seperti yang aku bilang." Ia kembali menggenggam tangan sang istri. "Gak papa, mereka gak akan maksa. Kita 'kan VIP.""Tapi jangan lama-lama ya." Dari kedua netranya, Kae terlihat cemas. Kembali, ia meraih tangan sang suami."Enggak, cuma sebentar kok." Pria itu berdiri dan meraih tas milik sang istri. Sempat ia menoleh pada istrinya sekali lagi sebelum pergi. "Tenang saja. Sebaiknya kamu istirahat." Erick memakai kacamata hitamnya begitu keluar dari rumah sakit.Beberapa orang menghampirinya ketika melangkah ke arah mobil. "Maaf, Mas Erick ya?"Erick menoleh sekilas. Mereka membawa alat perekam. Ia sudah tahu dengan siapa ia berhadapan."Katanya Mas sudah menikah?""Pacarnya kecelakaan?""Bagaimana keadaannya, Mas?"Erik tak menjawab. Ia membuka pintu mobil dan masuk, tapi ia membuka jendela kaca di sampingnya. "Maaf ya, Saya sedang buru-buru.""Tapi Mas ...."Tidak didengar lagi pertanyaan yang datang berikutnya karena ia menghidupkan mesin mobil dan menjalankannya. Ia meninggalkan para wartawan di tempat itu.Ternyata wartawan telah mencium keberadaannya di sana. Ia harus secepatnya membawa Kae keluar dari rumah sakit, atau mereka akan mengetahui masalah kecelakaan itu. Erick sangat geram sampai-sampai ngebut di jalan.****Erick masuk ke dalam ruang perawatan itu bersama dua orang wanita. Kae bingung dibuatnya. Kedua wanita itu tersenyum ke arahnya."Kae, ini temanku. Nina dan Bona. Aku bawa mereka untuk bantu kamu."Kedua wanita itu mendekati brankar, mengikuti Erick. Mereka menunggu pria itu bicara. "Kae, mereka akan bantu kamu belanja.""Belanja?" Kedua mata istrinya membulat sempurna."Iya. Aku ingin membelikanmu pakaian dan barang-barang pribadi lainnya. Jakarta itu jauh kalau hanya mengambil barang-barangmu. Lebih baik beli yang baru.""Semuanya?""Tidak apa-apa, Kae. Aku sanggup membelikannya.""Oh." Setelah hilang keterkejutannya, ia kembali bicara. "Oh, iya. Dokter tadi mencari kamu.""Aku? Ok. Kamu dengan mereka dulu ya." Erick kemudian meninggalkan ruangan dan mencari dokter di tempat prakteknya. Di sana sedang ada antrean tapi ia bisa segera masuk setelah lapor ke suster di sana. Kebetulan pasien berikutnya belum masuk dan ia membuka kaca mata hitamnya di dalam ruangan sehingga tidak ada pengunjung yang mengenalinya. Walaupun begitu, postur tubuh bulenya tetap menjadi perhatian orang, jadi tetap saja ada yang penasaran kenapa ia pakai kacamata hitam di dalam rumah sakit."Bagaimana dengan istriku, dok?"Pria berjas putih itu menyodorkan amplop berukuran besar. "Ini hasil rontgen kepala, pinggul serta kakinya. Istri Anda sudah boleh pulang. Besok usahakan datang untuk terapi.""Kenapa tidak hari ini saja?""Dokter untuk terapinya tidak ada untuk hari ini.""Haa ...." Erick menghela napas. "Memangnya ahli terapinya tidak datang tiap hari?""Iya. 'Kan pasiennya jarang, jadi tidak tiap hari," imbuh dokter itu lagi."Apa Saya bisa minta nomor teleponnya saja, biar dia datang ke rumah?""Oh, tidak bisa begitu. Itu sudah peraturan rumah sakit.""Aku akan bayar dua kali lipat, plus ongkos ke rumahku. Apa dia tidak tertarik?" Erick mencondongkan tubuhnya ke depan dengan senyum lebar.****Erick memperhatikan istrinya tengah sibuk dengan teman barunya. Nina dan Bona di kamar. Nina berperawakan sedang dengan rambut sebahu yang diwarnai pirang sedang Bona berperawakan sedikit gemuk mirip Kae hanya saja tubuhnya pendek. Kae termasuk tinggi dengan tinggi badan 160 senti. Kedua teman Erick ini adalah penata rias yang membantunya mencarikan pakaian atau barang lainnya.Terdengar dering telepon yang berasal dari ponsel Erick. Pria itu segera menyalakan ponselnya dan bergerak keluar ruangan. Ia melakukan itu karena managernya yang menelepon. "Halo.""Aku mendengar gosip, kau sudah menikah. Aku juga dengar pacarmu kecelakaan. Apa ini semua benar? Bukankah Tarra pergi ke Paris?"Otak pria bule itu berpikir cepat. Apakah ia harus berterus terang atau berbohong? Ia kemudian memulainya dengar suara yang dipelankan. "Sangkal saja. Aku di sini sibuk dengan pekerjaan baruku. Tolong tangani ya?""Oh, begitu. Ok. Baiklah."Setelah mematikan ponselnya ia kembali masuk ke dalam kamar. Erick kini sudah berada di rumah dan Kae berada di kamarnya. Diperhatikannya sang istri begitu senang dengan barang-barang yang dibawa Nina dan Bona. Nina memperlihatkan barang-barang yang dibawa, sedang Bona yang merapikan pakaian di dalam lemari. "Bang, ini mukenanya bagus banget. Bahannya lembut." Kae menyentuh bahan mukena dan mengusapkannya ke wajah. Senyumnya terukir seiring ia merasakan kelembutan bahan mukena itu di pipinya. "Oh, syukurlah kalau kau suka," sahut Erick senang. "Barang-barang lainnya akan datang lewat pengiriman," imbuh Nina dari samping. "Ada lagi?" tanya sang pria yang meletakkan kedua tangan di saku celananya sambil sedikit membungkuk, membuat Nina seketika s
Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?""Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya. "Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya. Diperhatikannya gerakan mata Kae yan
Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?
Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K
Para pemetik teh terkejut mendengarnya. Terutama gadis itu. Ia telah sempat memarahi Kae hingga wajahnya tegang. Sang gadis tak menyangka, wanita yang berada di dalam saung itu adalah istri pemilik kebun teh tempat ibunya bekerja. Ketika Erick hendak membuka pintu mobil, gadis berkepang dua itu buru-buru meletakkan bawaannya di saung dan mengejar pria itu. Gadis itu membantu Erick membuka pintu. "Terima kasih." Sang pria mendudukkan istrinya ke dalam mobil dan menutup pintu. Beberapa pemetik teh mendekat. Mereka melihat iba pada Erick dan Kae. Mereka tidak tahu bos mereka punya istri lumpuh. "Sakit apa, Pak?""Apa kecelakaan?""Eh ...." Erick tersenyum. "Do'akan saja biar cepat sembuh, ya?" Kemudian ia naik ke mobil. Satu-satu orang mulai berdatangan keluarga yang membawa makanan untuk pekerja teh, tapi para pemetik teh pandangannya hanya tertuju pada mobil Erick. Mereka mengiringi mobil hingga bergerak menjauh. Mereka juga melambaikan tangan. "Cepat sembuh ya, Bu!""Semoga cepa
Entah kenapa Kae kadang-kadang membuatnya kehilangan kontrol diri dan nyaman bersamanya. Namun setiap Erick mengingat apa yang sudah ia lakukan pada istrinya, ia berubah menjauh. Pria ini berusaha mengingatkan pada dirinya bahwa ia sedang berpura-pura. Tidak ada cinta di antara mereka kecuali antara pelaku dan korban yang suatu hari akan ketahuan juga. Demi hari itu datang, ia harus membuat Kae bahagia atau wanita itu akan menuntutnya. Erick masih ingat betapa dari mulut wanita ini keluar kata-kata yang menyakitkan yang membuat ia merasa semakin bersalah dalam menjalani hidup. Ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki, pun juga membantahnya karena ia tak punya orang tempat bertanya. Dulu, ibunyalah yang selalu menanamkan agar dirinya menjalankan agama dengan benar tapi sekarang .... Pria itu melambaikan tangan seiring ia pergi keluar rumah. Sebenarnya, menjalankan kehidupan berumah tangga, ia sendiri tak yakin karena hal ini. Ia butuh tempat berpegang padahal ia adalah kepala rumah tan
Kae berusaha berenang ke permukaan. Sepertinya airnya tak terlalu dalam. Ia berenang hanya mengandalkan tangan karena kakinya tak bisa digerakkan. Saat Kae menaikkan kepala, kursi rodanya ikut tercebur dan menimpa kepala. "Ah!" Kepalanya terasa sakit tapi ia tetap berjuang untuk naik kembali. 'Bang ... tolong aku!' teriaknya dalam hati. Namun kursi roda yang berat yang menimpa tubuh lumpuhnya dari atas mau tak mau terus menekannya ke bawah. Arus yang bergerak pelan juga tak membantu. Perlahan tubuh Kae turun ke bawah. Ketika ia coba berenang ke samping, rupanya bajunya terjepit di roda kursi roda itu. Segala upaya sudah dicoba agar ia bisa lepas tapi ternyata sia-sia. Ia juga mulai kehabisan oksigen. Akhirnya tubuhnya lemas karena mulai menghirup air. 'Bang. Bang Erick ....' Tangannya berusaha menggapai ke atas. Tepat saat itu seseorang masuk ke dalam air dan mendatanginya. Erick datang dan segera menarik istrinya ke permukaan. Namun usahanya sedikit tertahan karena baju Kae ters
Sesekali Kae masih diurut oleh seorang tukang urut wanita yang didatangkan ke rumah. Sebulan kemudian ia sudah bisa berdiri. Kemudian ia ikut terapi belajar berjalan di rumah sakit dan Erick selalu menemani. "Ayo, sedikit lagi, Sayang," sahut pria itu yang memegangi istrinya dari belakang. Kae tengah berpegang pada dua buah besi di kiri kanannya dan kakinya saat ini hanya bisa bergeser. Itu pun butuh usaha yang keras. "Capek, Bang," keluhnya. "Dikit lagi, Sayang. Nanti kalau kamu sampai ujung, kita makan steak ya. Aku ketemu restoran steak yang enak di jalan dekat sini.""Iya, Bang?" Seketika Kae bersemangat. Erick yang berada di belakangnya tersenyum lebar. Ia tahu cara membujuk istrinya. Itu sangat mudah. Bicara saja tentang makanan enak, semangatnya langsung full. Kae bekerja keras dengan menggerakkan kaki kanannya ke depan dan akhirnya selesai. Ia tersenyum puas dan sang suami memeluknya dari belakang. Pria itu sangat senang bisa menemani istrinya setiap sore ke rumah sakit.
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja