Membantunya mandi saja, Kae sudah berdecak kagum dengan garis-garis di tubuh sang suami, apalagi berganti pakaian. Pria itu seperti tidak ingat ada seseorang wanita yang wajahnya merah padam melihat seluruh lekuk tubuhnya. "Kae, aku mau pergi kerja dulu ya?"
"Ke mana, Bang?""Pabrik.""Abang kerja di pabrik?""Mau lihat pekerja dulu.""Oh." Namun kemudian. "Abang mandor?"Pria itu tersenyum lebar dan mendatangi Kae di ranjang, membuat wanita itu sedikit berdebar karena terkejut. Kancing baju yang belum dipasang seluruhnya membuat Kae bisa melihat lagi garis bahu pria itu yang atletis. Apalagi bau aroma parfum maskulin yang menyeruak lembut. Pria itu baru saja memakainya sebelum mengenakan kemeja. "Bukan. Abang pemiliknya." Setelah itu ia mengancingkan baju kemejanya."Oh ...." Kae mencoba membantu. Ia meraih kancing berikutnya sehingga sang pria hanya diam dan membiarkan Kae menyelesaikan sisanya. Erick begitu senang sang istri merapikan bajunya.Diperhatikannya gerakan mata Kae yang indah yang tertuju pada pakaiannya. Sungguh aneh, ada orang bertubuh gemuk tapi punya mata indah. Membuat ia merasa, Tuhan menciptakan Kae dengan tidak sia-sia."Sudah, Bang." Kalimat ini membangunkan Erick dari lamunan. Bisa-bisanya orang gemuk seperti sang istri membuatnya melamun. Apa aku mulai mengganti selera wanitaku?"Eh, apa kau bisa menggulung lengan kemejaku?" Pria ini menyodorkan lengannya pada Kae.Sang istri melirik sekilas dan kemudian mengerjakannya. "Kenapa ngak tangan pendek aja? Kenapa tangan panjang harus digulung?"Erick tersenyum tipis. "Aku tak suka bentuk tangan pendek yang menggantung. Biasanya longgar. Aku suka baju yang pas."Kae cemberut sambil melirik suaminya. "Mentang-mentang kurus.""Lho ... bagus, 'kan, kurus. Kamu tidak ingin kurus?"Mulut wanita itu makin mengerucut. "Aku mana bisa. Aku sudah dari lahir gemuk." Namun kemudian, wanita itu berhenti melipat lengan kemeja suaminya. Bagaimana ia bisa ingat saat ia dari kecil gemuk, sedang ia sendiri tidak ingat siapa dirinya? "Eh, kok aku tahu aku kecil gemuk, ya?"Seketika Erick panik. Ia kemudian berdiri sambil menyelesaikan lipatan lengan kemeja yang satu lagi. "Eh, aku berangkat dulu ya. Kamu di rumah saja. Oya, cium pipiku dulu dong." Pria itu menyodorkan pipi kanannya.Kae wajahnya memerah karena tersipu. Walaupun begitu, ia kerjakan juga. Erick kemudian menyodorkan pipi kirinya. Setelah sang istri mencium kedua pipinya, pria itu bangkit dan merapikan pakaian. "Oya, sebentar." Ia mengingat sesuatu dan pergi keluar.Tak lama Erick kembali dengan seorang wanita yang berpakaian sederhana berusia matang. "Ini Bik Inah, namanya. Kalau kamu butuh apa-apa, panggil saja dia." Pria itu kemudian meletakkan sebuah lonceng dari besi seukuran tangan berwarna emas di atas meja nakas. "Kau bunyikan ini ya, nanti dia datang." Erick sempat membunyikan dengan menggoyang-goyangkan lonceng itu hingga terdengar dentangannya."Oh, iya."Pembantu yang rambut panjangnya di konde ke belakang itu, menganggukkan kepala pada Kae. Kae membalas anggukkannya. Erick beralih pada pembantu itu. "Tolong ya, Bik?"Bik Inah mengangguk.****Setelah sang suami pergi, Kae sendirian di kamar, tapi tak masalah. Erick telah memberinya ponsel baru. Ponsel itu yang dipakainya tadi belanja online, diberi tahu Nina cara pakainya.Kini ia mencoba membuka aplikasi lain. Wanita itu menemukan aplikasi film dan tivi. Untuk beberapa saat ia menikmati menonton tivi, tapi kemudian bosan. Kae meletakkan benda pipih itu di sampingnya.Namun tiba-tiba, ia merasa ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil. Sepertinya ia sulit menahan, padahal tangannya hampir saja meraih lonceng di atas nakas. "Ah ...."****Erick pulang dan menyadari sang istri berada di sofa ruang tengah. Ia terkejut. Kae menyembunyikan kepalanya karena malu. Pria itu semakin heran. "Kae, kenapa kau di sini?"Kepala wanita itu kemudian terangkat pelan-pelan. Karena memakai cadar, Erick hanya bisa melihat dari gerak-gerik kedua mata istrinya, kalau ia terlihat takut. Pria itu mendekat. "Kae, kau kenapa?"Terlihat butir-butir air mata Kae berjatuhan. "Maaf ... maaf."Erick memeluknya. "Ada apa?""A-aku membasahi ranjang," jawab sang istri sedikit gugup.Pria itu melepas pelukan dengan segera. "Apa?" Namun kemudian ia mengerti apa yang sedang Kae bicarakan. "Oh, kamu pipis di tempat tidur?" Ia hampir tertawa tapi segera ditahannya karena sang istri menunduk makin dalam. Tangan wanita itu mulai mencubiti lengan sang suami dan memukulinya pelan."Hei, hei, hei! Maaf. Aku tak bermaksud meledekmu!" Erick berusaha meredam kemarahan sang istri dengan menghindar.Namun Kae sudah terlanjur kesal. Ia mulai keras memukuli suaminya sehingga Erick terpaksa mendekapnya hangat. "Maaf, ya. Maaf," ucapnya lembut.Sang istri mulai menangis. Pria itu menghela napas pelan. 'Apa memang wanita seperti ini ya? Padahal dia sangat galak. Atau memang kondisinya yang seperti ini karena itu dia gampang nangis? Hh ... mungkin kondisinya ....' "Maaf ya, kamu jadi dipindah di sini. Spring bed-nya jadinya dijemur?" Erick melepas pelukan.Kae mengangguk tapi masih menangis. Sang suami mengusap kepalanya. "Ya sudah, tunggu di sini saja." Ia memperhatikan wajah wanita itu. "Sudah dong nangisnya, Kae. Tidak apa-apa. Kalau masih belum kering, kita bisa tidur di kamar yang lain."Kae menghentikan tangis sambil mengusap sisa-sisa air mata dan mengangguk pelan. Entahkenapa, Erick menjadi iba dan menarik punggung sang istri ke arahnya. Ia mengusap-usap punggung Kae. "Kau sudah makan malam?"Sang wanita menggeleng. Melihat Kae bersedih seperti itu, rasanya pria itu ingin memeluknya terus. "Aku sholat sebentar. Kamu tolong minta pembantu siapkan makan malam, nanti kita makan sama-sama."Kae mengangguk. Erick melangkah ke kamar yang berada di dekat situ. Beberapa menit kemudian, pria itu kembali keluar. Di meja makan telah tersedia makanan untuk makan malam.Bik Inah tengah merapikan meja. Melihat Erick datang, ia memberi tahu. "Eh, Tuan. Makan malam sudah tersedia. Oya, ada beberapa paket dan sebuah kursi roda, datang, Tuan.""Oh, pasti itu semua buat istriku. Eh, mana kursi rodanya?"Pembantu itu memperlihatkan kursi roda yang sudah keluar dari bungkusnya, terlipat rapi dan bersandar di samping sofa yang diduduki Kae. Kemudian ia pamit. Erick begitu senang. Ia membuka kursi roda itu dan memindahkan sang istri ke sana. Pria itu mendorong Kae hingga ke meja makan. "Kita nanti bisa jalan-jalan keluar.""Iya?" Kedua bola mata sang wanita yang jernih itu, membulat sempurna."Mmh." Erick duduk di samping Kae dan mulai mengambil makanan. Ia juga mengambilkan untuk istrinya."Kenapa nasiku sedikit?""Jangan makan banyak-banyak, Kae. Aku juga makan nasi segitu.""Itu kurang," gerutu sang istri."Kae, kamu tidak kasihan padaku?" Pria itu menatap Kae. "Tubuhmu berat untuk digendong.""Nanti, 'kan aku sembuh!" Masih merengut."Kau tak ingin kurus?""Mmh?" Ditanya begitu, Kae bingung."Kae, kau tidak ingin menjadi wanita cantik?"Wanita bercadar ini memperhatikan tubuhnya. "Aku nyaman begini. Untuk apa jadi wanita cantik tapi makan sulit?"Erick menghela napas sambil memutar bola matanya. "Mmh ... setidaknya pikirkan aku. Berat lho, gendong kamu.""Mmh ...." Sang istri mulai berpikir."Coba ya, kurangi makanmu.""Nanti kalau aku lapar malam-malam, gimana?""Minum saja yang banyak!""Apa?" Kae mengangkat alisnya."Iya, begitu." Sang pria menyendok lagi lauk untuk makan. "Atau kalau tidak, kau makan buah saja.""Buah?""Iya, buah."****Sehabis makan mereka berjalan-jalan keluar rumah. Erick berusaha bersikap baik agar istrinya kelak tidak menuntutnya ketika Kae sudah sembuh. Pria ini ingin berdamai masalah kecelakaan itu.Rumah yang dimiliki Erick bentuknya lebih mirip vila yang letaknya memang di pinggir kota. Suasana malam begitu indah, banyak pepohonan cemara yang menaungi. Namun ketika bergerak ke arah jalan raya yang ramai, di kanan kirinya banyak orang yang berjualan di pinggir jalan.Kae begitu senang melihat berbagai macam pedagang tersebar di pinggir jalan. Bahkan ia memperhatikan salah satu toko yang menarik perhatiannya. "Bang, kita ke sana ya?""Apa? Toko itu?" Erick melihat ke arah mana telunjuk istrinya diarahkan. "Iya."Pria bule itu mendorong kursi roda Kae menyebrangi jalan sambil memperhatikan kendaraan yang lewat dan melihat kiri kanan, sebab kendaraan sedang banyak. Kemudian mereka masuk ke toko tersebut. Saat itu sedang tidak banyak pengunjung, tapi tetap saja kedatangan mereka menjadi perhatian karena Erick yang bule dan juga ... tentu saja, artis. Beberapa pengunjung berbisik-bisik. 'Ah, aku lupa bawa kacamata hitamku,' gumam pria itu. Ia berusaha tak peduli dan mendorong kursi roda sesuai keinginan sang istri. "Bang, mau lihat yang itu," tunjuk Kae. Keduanya mendatangi sebuah rak kue dan roti. Kae sedikit curiga melihat banyak orang di sekeliling berbisik dan menatap ke arahnya. 'Kenapa mereka menatap ke arahku? Apa karena aku naik kursi roda?
Semua karyawan di lantai itu melihat Erick mendorong kursi roda menuju lift. Baru kali itu mereka melihat pemilik perusahaan yang baru, membawa istrinya. Tadinya mereka tidak percaya bule itu punya istri karena mereka tahu pria itu memang masih lajang, tapi mendengar kemarin pemilik menyatakan dirinya sudah menikah, mereka heran. Sebab sehari-hari Erick tidak pernah terlihat berhubungan dengan wanita mana pun. Bahkan sejak dulu. Ya, perusahaan itu adalah milik ayah Erick. Sejak ayahnya pindah ke Amerika ikut kakak laki-lakinya yang sudah menikah, sang ayah memberikan perusahaan itu pada Erick. Hanya saja, pria itu tak pernah mengurusnya. Untung perusahaan berjalan dengan sistem yang bagus, sehingga tanpa ada pemiliknya pun perusahaan tetap berjalan. Semua karyawan menatap ke arah Kae yang bercadar. Berbagai dugaan muncul karena Erick yang terkenal ramah tapi berkepribadian tertutup, disukai banyak wanita. Namun sulit bagi mereka untuk mendekati Erick karena sikap misteriusnya ini. K
Para pemetik teh terkejut mendengarnya. Terutama gadis itu. Ia telah sempat memarahi Kae hingga wajahnya tegang. Sang gadis tak menyangka, wanita yang berada di dalam saung itu adalah istri pemilik kebun teh tempat ibunya bekerja. Ketika Erick hendak membuka pintu mobil, gadis berkepang dua itu buru-buru meletakkan bawaannya di saung dan mengejar pria itu. Gadis itu membantu Erick membuka pintu. "Terima kasih." Sang pria mendudukkan istrinya ke dalam mobil dan menutup pintu. Beberapa pemetik teh mendekat. Mereka melihat iba pada Erick dan Kae. Mereka tidak tahu bos mereka punya istri lumpuh. "Sakit apa, Pak?""Apa kecelakaan?""Eh ...." Erick tersenyum. "Do'akan saja biar cepat sembuh, ya?" Kemudian ia naik ke mobil. Satu-satu orang mulai berdatangan keluarga yang membawa makanan untuk pekerja teh, tapi para pemetik teh pandangannya hanya tertuju pada mobil Erick. Mereka mengiringi mobil hingga bergerak menjauh. Mereka juga melambaikan tangan. "Cepat sembuh ya, Bu!""Semoga cepa
Entah kenapa Kae kadang-kadang membuatnya kehilangan kontrol diri dan nyaman bersamanya. Namun setiap Erick mengingat apa yang sudah ia lakukan pada istrinya, ia berubah menjauh. Pria ini berusaha mengingatkan pada dirinya bahwa ia sedang berpura-pura. Tidak ada cinta di antara mereka kecuali antara pelaku dan korban yang suatu hari akan ketahuan juga. Demi hari itu datang, ia harus membuat Kae bahagia atau wanita itu akan menuntutnya. Erick masih ingat betapa dari mulut wanita ini keluar kata-kata yang menyakitkan yang membuat ia merasa semakin bersalah dalam menjalani hidup. Ia tak tahu bagaimana cara memperbaiki, pun juga membantahnya karena ia tak punya orang tempat bertanya. Dulu, ibunyalah yang selalu menanamkan agar dirinya menjalankan agama dengan benar tapi sekarang .... Pria itu melambaikan tangan seiring ia pergi keluar rumah. Sebenarnya, menjalankan kehidupan berumah tangga, ia sendiri tak yakin karena hal ini. Ia butuh tempat berpegang padahal ia adalah kepala rumah tan
Kae berusaha berenang ke permukaan. Sepertinya airnya tak terlalu dalam. Ia berenang hanya mengandalkan tangan karena kakinya tak bisa digerakkan. Saat Kae menaikkan kepala, kursi rodanya ikut tercebur dan menimpa kepala. "Ah!" Kepalanya terasa sakit tapi ia tetap berjuang untuk naik kembali. 'Bang ... tolong aku!' teriaknya dalam hati. Namun kursi roda yang berat yang menimpa tubuh lumpuhnya dari atas mau tak mau terus menekannya ke bawah. Arus yang bergerak pelan juga tak membantu. Perlahan tubuh Kae turun ke bawah. Ketika ia coba berenang ke samping, rupanya bajunya terjepit di roda kursi roda itu. Segala upaya sudah dicoba agar ia bisa lepas tapi ternyata sia-sia. Ia juga mulai kehabisan oksigen. Akhirnya tubuhnya lemas karena mulai menghirup air. 'Bang. Bang Erick ....' Tangannya berusaha menggapai ke atas. Tepat saat itu seseorang masuk ke dalam air dan mendatanginya. Erick datang dan segera menarik istrinya ke permukaan. Namun usahanya sedikit tertahan karena baju Kae ters
Sesekali Kae masih diurut oleh seorang tukang urut wanita yang didatangkan ke rumah. Sebulan kemudian ia sudah bisa berdiri. Kemudian ia ikut terapi belajar berjalan di rumah sakit dan Erick selalu menemani. "Ayo, sedikit lagi, Sayang," sahut pria itu yang memegangi istrinya dari belakang. Kae tengah berpegang pada dua buah besi di kiri kanannya dan kakinya saat ini hanya bisa bergeser. Itu pun butuh usaha yang keras. "Capek, Bang," keluhnya. "Dikit lagi, Sayang. Nanti kalau kamu sampai ujung, kita makan steak ya. Aku ketemu restoran steak yang enak di jalan dekat sini.""Iya, Bang?" Seketika Kae bersemangat. Erick yang berada di belakangnya tersenyum lebar. Ia tahu cara membujuk istrinya. Itu sangat mudah. Bicara saja tentang makanan enak, semangatnya langsung full. Kae bekerja keras dengan menggerakkan kaki kanannya ke depan dan akhirnya selesai. Ia tersenyum puas dan sang suami memeluknya dari belakang. Pria itu sangat senang bisa menemani istrinya setiap sore ke rumah sakit.
Kae mencubit tangan sang suami yang sedang mendorong dirinya sambil tersenyum lebar. "Sombong sekali kamu, Bang."Erick tertawa demikian juga Kae. Mereka sampai di mobil. Seorang satpam membukakan pintu ketika Erick menggendong Kae. Pria itu juga membantu memasukkan kursi roda Kae yang sudah dilipat ke dalam mobil. "Terima kasih." Erick kemudian masuk ke dalam mobil dan menoleh pada sang istri. "Kae pakaianmu sudah banyak yang sudah kebesaran. Sebaiknya kau beli lagi saja yang baru, yang pas dengan ukuran tubuhmu.""Padahal baju itu masih baru," rajuk istrinya. "Tidak apa-apa. Simpan saja. Barangkali nanti terpakai saat kamu hamil."Kae melirik suaminya. Erick pun salah tingkah. Tidak seharusnya ia membicarakan hal itu karena mereka bahkan belum pernah melakukan malam pertama. "Eh, Bang ....""Eh, kita berangkat saja. Nanti kesorean," potong Erick yang segera menyalakan mesin mobil. Ia tidak mau keadaan menjadi semakin canggung. Mobil pun bergerak melewati pagar rumah yang tinggi
Jessica mengangguk mengerti dan menerima map yang diserahkan bosnya. Ia kemudian pamit sambil masih melirik ke arah Kae. Sekretaris itu masih belum mengerti bagaimana Erick bisa memilih wanita bercadar itu sebagai istri, padahal hidupnya dulu sebagai artis dikelilingi banyak wanita cantik. Setelah sekretarisnya pergi, pria itu menoleh pada Kae. Erick kemudian mengambil jas yang tergantung di sandaran kursi dan membawanya ke sofa tamu. Ia menghampiri sang istri dan menyelimuti tubuhnya dengan jas miliknya. Erick membungkuk tepat di depan wajah Kae yang tertidur lelap. Ia merapikan cadar wanita itu. 'Kalau sedang tidur begini, aku tak bisa melihat matanya yang cantik itu, tapi tidak apa. Sejak dia kurus, wajahnya semakin terlihat manis saja.' Pria itu mengusap kepala sang istri dengan lembut. 'Ayo, kerja lagi!' Erick kemudian bangkit dan kembali ke meja. ****Hari telah malam, saatnya untuk tidur. Erick masuk ke dalam selimut di mana Kae sudah menantinya. Baru saja ia menarik selimu
Sasti berjongkok dengan menahan air mata. Ia mengusap pucuk kepala Gio dengan lembut. "Jadi anak yang baik ya Kak Gio ya? Jadilah pria yang bertanggung jawab.""Awab apa? (Bertanggung jawab apa?)"Sasti memeluknya dengan lembut kemudian melepasnya. Ia tak ingin ada yang tahu air matanya mulai jatuh. Segera ia menunduk. "Assalamualaikum.""Waalaikumsalam."Kae bersandar pada sang suami dengan wajah nelangsa saat melihat Sasti pergi setengah berlari. "Apakah dia akan bekerja dengan kita lagi, Bang?""Mungkin tidak. Tapi apapun alasannya, kita tak bisa memaksa seseorang untuk mau bekerja dengan kita 'kan?" Kata-kata bijak Erick akhirnya bisa membuat Kae melepas Sasti dengan ikhlas. "Semoga dia baik-baik saja ya, Bang." Kae kembali menitikkan air mata. "Mmh."Sedang Sasti yang bergegas pergi, hanya ingin melindungi Gio. 'Mungkin semakin lama aku di sini semakin aku tak bisa berlaku adil, dan aku tidak mau orang lain curiga. Aku juga tidak ingin ayahmu mengenalmu, Gio. Aku tidak ingin ka
Sasti menoleh. Hatinya teriris. Ke manapun ia pergi, ayahnya pasti akan menghantui. Ke manapun. Adakah tempat yang aman baginya untuk bersembunyi? ****"Hah ... Abi waa ...." Erick tengah bercanda dengan sang bayi yang mulai mengoceh. Bayi itu tersenyum lebar. Kulitnya putih sehingga pipinya yang tembam pink merona. Mulutnya juga mengeluarkan air liur sambil bayi itu memasukkan jemari mungilnya ke dalam mulut. "Ih, ini pasti mau tumbuh gigi nih, Sayang. Udah gatal ngorek-ngorek mulutnya terus dari tadi," terang pria bule itu pada Kae yang sibuk mengetik di ponselnya. "Ih, Abang ganggu terus nih!" Wanita itu merengut tapi ia kemudian bersandar manja pada bahu Erick mengintip bayi Abi. Pria bule itu sibuk menarik tangan sang bayi setiap kali bayi Abi memasukkan tangan mungilnya ke dalam mulut. Akibatnya bayi itu kesal dan mengoceh panjang. "Hazbaibasababa. Hazmazazamama." Matanya membesar membuat wajahnya terlihat lucu. Erick dan Kae tertawa terkekeh. Bayi itu ternyata tengah mar
Padahal ada Sasti di sana dan coba memisahkan keduanya. Lily memang suka mengatur saat sedang bermain. "Kakak, gak boleh gitu," ucap pembantu itu dengan merentangkan tangannya di depan Gio. Lily merengut. "Dia boddoh kalau dikasih tau!" Lily berkata sengit. Kebetulan Kae masuk ke dalam dan mendengar semuanya. "Eh, Lily. Sudah berapa kali dibilang ya, gak boleh ngomong gitu sama adekmu. Bagaimana kalau Papa dengar nanti, mmh?!" Suaranya terdengar lebih tegas. Ia memang tidak bisa selembut Erick bila berbicara dengan Lily yang sifatnya keras. Seketika Lily menangis. Ia langsung mendatangi sang ibu dan memeluk pinggangnya. Sasti pun berdiri sambil menggendong Gio. Kae hanya bisa menggeleng melihat kedua anaknya menangis. Ia berjongkok dan melihat wajah Lily yang basah dengan air mata. Kae menghapusnya dengan kedua ibu jari sambil menghela napas. "Lily, bicara kasar itu tidak baik. Nanti kamu tidak punya teman." Ia mulai menasihati dengan suara lembut. Biar bagaimanapun ia harus mend
"Eh tidak.""Katakan saja. Kami mendengarkan.""Eh ... bapaknya Sasti galak," ucap pembantu itu sedikit enggan. "Oh ... apa kamu takut bertemu dengannya?""Bukan, tapi aku takut saat ke sana, aku bertemu ayahnya."Kae tersenyum lebar. "Bukankah itu artinya sama saja?""Eh, iya ya?" Rani menggaruk-garuk dahinya. "Sebenarnya aku takut, saat aku tanya Sasti, ayahnya ikut campur."Erick mengerut dahi. "Kenapa?""Orangnya agak aneh," ucap pembantu itu dengan kepala miring. "Maksudnya?" Pria bermata biru itu penasaran. "Aku tidak bisa mengerti cara berpikirnya. Dia bisa tiba-tiba ikut campur dan marah-marah.""Darah tinggi atau pemabuk?""Pemabuk!""Pantas." Erick berpikir sejenak. "Tapi apa kau mau menanyakannya?""Ya ... sudah. Mudah-mudahan tidak ketemu bapaknya."****Rani berdiri di depan sebuah rumah petak berukuran sedang dengan cat dinding yang mulai terkelupas di sana sini. Dari luar tampak sepi. Ia membuka pagar dari bambu dan mengetuk pintu. Tak lama pintu dibuka oleh pria yan
Lily kemudian ke kamar mandi bersama Sasti. Gio terlihat sudah tak sabar. "Gio, kamu mau juga? Sini Mama bukain bajunya."Bocah laki-laki itu mendatangi Kae, tapi bertepatan dengan itu terdengar tangis bayi dari kamar sebelah. "Biar Gio sama aku saja." Erick menarik Gio ke arahnya. Sang istri terlihat lega. Ia kemudian keluar kamar. ****Sasti mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Ia rajin bekerja terutama mengurus anak-anak. Tidak butuh waktu lama, Lily dan Gio mulai dekat dengannya. Walaupun begitu, Lily tetap menjaga jarak, sama seperti Mukid. Karena terlalu dekat dengan kakeknya, sedikit banyak ia meniru tingkah laku pria paruh baya itu. "Mbak, baju kaosku yang warna pink mana?" Lily mencarinya di dalam lemari. "Mungkin masih belum kering, Kakak," sahut Sasti yang sibuk menemani Gio bermain. "Jadi, aku pakai yang mana?""Pakai yang lain, 'kan banyak. Bagus-bagus lagi." Gadis itu akhirnya berdiri dan mencoba mencarikan. "Ini bagaimana?" Ia memperlihatkan baju yang lain berwarn
Lily mengintip ibunya menyusui sang bayi. Ia terlihat heran. "Kenapa Mama nyussu adek? Kenapa Gio enggak?"Kae tersenyum. "Karena kalau keluarnya dari rahim Mama, itu sudah dikasih Allah plus sussunya," bisiknya. "Oh ...."Bayi Abi sedikit terganggu hingga berhenti menyussu. Ia melirik sang ibu dan Lily, tapi tak lama kembali menyussu. Pipinya mulai tembam dan betah menyusu lama. Di kulitnya yang mirip Kae, ia punya manik mata sedikit kecoklatan. Tangannya mempermainkan kerah baju ibunya, sedang dahinya tampak mulai berkeringat. "Ma, Dedek Abi kok keringetan? Memangnya sussu Mama anget?" bisik Lily penasaran. Kae kembali mengulum senyum. Memang anak kecil seusia Lily keingintahuannya banyak hingga banyak bertanya. Kae tentu saja akan memberikan informasi sebisa mungkin dengan tidak berbohong karena itu ia membekali dirinya dengan pengetahuan. "Bukan sussunya yang anget tapi badan Mama. Jadi dengan sendirinya sussunya jadi anget."Lily mengangguk-angguk dan memperhatikan bayi itu.
Beberapa saat kemudian, Kae dipindah ke ruang perawatan. Ia dipasang infus setelah siuman. Wajahnya terlihat pucat. "Mau dengar yang mana dulu? Berita baik atau buruk?" Erick terlihat bingung mendengar pertanyaan sang dokter. "Maksudnya apa, dok?""Ada satu masalah lagi yang menyebabkan kami sedikit lama memeriksanya.""Iya?" Namun ketika dokter itu masih terdiam dan memberi reaksi untuk memilih, pria bule itu terpaksa memilih. "Bagaimana kalau kabar buruknya dulu.""Istri Anda dalam kondisi lemah. Rahimnya tidak kuat. Hampir saja dia keguguran.""Apa?" Erick melebarkan kedua mata. "Ke ... guguran?" Ia melongo. "Iya, untung saja selamat. Jadi ....""Yang benar, dok?" Erick meraih bahu dokter pria itu dan mengguncang-guncangnya. Terukir senyum di bibir pria bule ini. "Istri Saya hamil ... istri Saya hamil?" "Iya, Pak. Iya. Tapi dia harus bed rest karena kondisi rahimnya yang lemah. Dia tak boleh turun dari tempat tidur untuk waktu yang lama.""Baik, dok, akan aku usahakan."Dokt
"Itu 'kan waktu pertama kali kita bertemu." Erick menggelengkan kepalanya. Rasanya sulit bicara dengan Tarra karena wanita itu bicara berdasarkan situasinya. "Apa menurutmu dia mau tinggal dengan orang asing?" "Aku 'kan ibunya." "Apa dia bicara denganmu semalam?" "Oh, belum saja." Pria bule itu mendengus mendengar jawaban-jawaban dari Tarra. "Begini." Erick mengangkat kedua tangan. "Apa kau pernah bertemu dengan buyutmu?" Wanita cantik itu mengerut kening. "Oh, mereka sudah tidak ada ketika aku lahir." "Kalau misalnya mereka masih hidup, Maukah kamu tinggal dengannya?" "Aku 'kan belum pernah bertemu?" Hidung wanita cantik itu berkerut. Begitulah bicara dengan wanita cantik ini. Butuh usaha keras karena Erick selalu kesulitan bicara, bahkan untuk hal yang mudah karena otaknya tak sampai. Sesuai dengan yang banyak dibicarakan orang, bahwa wanita cantik itu tidak pintar. "Seandainya. Seandainya nih ... kamu punya kesempatan bertemu dengan buyutmu. Maukah kau tinggal
Rumah Tarra sangat mewah. Mirip istana walau hanya gedung dua lantai. Rumah itu dihiasi dengan barang-barang mahal dan bergaya Renaisans. Bahkan langit-langitnya dilukiskan dengan gambar orang-orang jaman itu. Wanita itu membawa mereka ke sebuah ruang makan dengan meja kayu besar berukir. Ada sebuah lukisan buah-buahan di salah satu dinding dengan meja tertata rapi dengan peralatan makan dan lauk. Tarra mempersilakan Erick dan keluarganya untuk duduk. suami-istri itu duduk dengan mengapit kedua anaknya. Seorang pria bule berambut hitam kecoklatan turun lewat anak tangga sambil memegangi pagar besi yang diukir indah. Ia melangkah sambil memperhatikan tamu yang sudah datang. Pandangannya tertuju pada anak perempuan berkerudung yang duduk di samping Erick. Gio yang berkulit sedikit gelap, sulit terlihat dari meja karena kurang tingginya hingga luput dari pandangan. Saat suami Tarra berdiri dekat meja, barulah ia bisa melihat bocah laki-laki itu. Sang pria tersenyum lebar, membuat waja