So sweet banget Arkan. Kira-kira Naura luluh enggak ya. Penasaran kelanjutannya yuk baca bab selanjutnya.
Naura menenggelamkan kepalanya di bawah selimut. Dia masih mengingat jelas saat Arkan menutup tubuhnya dengan bajunya, sedangkan dia sendiri bertelanjang dada karena memberikan baju untuknya."Aku rela mereka melihat tubuhku bukan tubuhmu," bisik Arkan saat di dalam lift.Lucu memang, tapi begitu berkesan bagi Naura. Bahkan dia tak melepaskan tangannya dari bahu Naura.Ketika hatinya berbunga seketika berubah saat melihat layar ponselnya menyala dengan menampilkan nama PAPAH."Tumben Papah telepon aku," gumam Naura. Dengan ragu dia pun menggeser tombol hijau. "Halo, Pah."[Naura apa yang kamu lakukan di tempat gym? Sampai hati kamu berselingkuh di belakang Arkan!]Naura mengerutkan dahinya bagaimana bisa Toni menuduhnya berselingkuh. "Maksud Papah apa?" [Kamu berduaan sama pria lain, di pergoki sama suamimu sendiri bahkan direkam sama orang lain kamu enggak malu apa?!] Ingatan Naura kembali saat dia berada di tempat gym, dia sama sekali tak melihat ada orang yang merekamnya karena
"Ayo, cepat turun," ujar Arkan. Naura membuka matanya melihat ke sekeliling. "Di mana kita?" tanya Naura karena ia tertidur sepanjang perjalanan pulang dari rumah orang tuanya. "Karena kamu tidur terlalu pulas, makanya aku membawamu ke sini." "Di mana ini?" tanya Naura yang masih bingung serta asing dengan tempat yang mereka datangi. "Ini resort temanku. Lebih tepatnya kita sedang berada di Bandung," jelas Arkan. "Hah, Bandung?" Arkan mengangguk lalu kelur dari dalam mobil. Tak ingin sendiri, Naura pun ikut keluar-berjalan beriringan dengan suaminya. "Om meeting jam lima sore?" tanya Naura penasaran karena dia baru tahu kalau ada meeting di sore hari. Naura pikir jika meeting itu di lakukan hanya di jam kerja saja. Namun, nyatanya bisa di lakukan di luar jam kerja atas kesepakatan bersama. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu," ucap resepsionis. "Aku mau bertemu dengan Pak Darwin." Resepsionis itu pun melihat ke mejanya lalu berkata, "Dengan Pak Arkan?""Iya, saya sendiri
"Eugh ...." Naura merasakan tubuhnya begitu rileks meski baru saja bangun. Perlahan dia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah flapon kamar yang terasa aneh untuknya. "Di mana ini?" gumam Naura. Dia pun menoleh ke sisi kirinya. "Astaga." Betapa terkejutnya Naura hingga menutup mulutnya dengan selimut saat melihat kepala seorang pria yang membelakanginya. Naura bisa melihat dengan jelas punggung polos pria itu. Dengan ragu, dia pun membuka selimutnya."Arrrghhh ...!!" Naura berteriak dengan kencang karena terkejut dengan apa yang baru saja lihat. "Berisik banget sih!" geruttu Arkan berbalik menatap Naura yang ada di belakangnya. "Kenapa kamu berteriak?" "Kenapa Om ada di sini, la-lalu baju kita?" gerutu Naura. "Kita sudah dewasa, haruskah aku menjelaskan apa yang sudah terjadi semalam? Bukannya itu yang kamu inginkan!" Naura mengerutkan dahinya, dia tak mengerti dengan arah pembicaraan Arkan. "Argh, aku sudah tau pasti kamu akan melupakan apa yang sudah terjadi semalam
Wajah Arkan terus membayangi pikiran Naura. Seperti sebuah rekaman video yang terus berputar di kepalanya."Eugh ...." Seketika bulu kuduknya meremang kala mengingat suara desahan Arkan di telinganya. "Argh, ini benar-benar membuatku gila," gumam Naura.Kegundahan Naura rupanya menarik perhatian Lala yang sedang membawa makanan yang mereka pesan."Kamu kenapa, apa ada masalah?" tanya Lala menyajikan makanan ke depan Naura.Naura bergumam sembari menutup wajahnya. Terlihat jelas jika ia begitu frustasi menghadapi masalahnya."Aku harus gimana?"Lala mengerutkan dahinya. "Maksudmu apa. Kamu bahkan belum cerita?"Naura berteriak tanpa suara sambil meremas rambutnya. "Sepertinya aku mulai jatuh cinta sama dia.""Dia siapa, jangan bilang kamu suka sama Devan lagi?! Ingat Naura kamu sudah punya suami, kamu harus mencintai Arkan saja."Naura mendelik bagaimana bisa Lala berpikir soal Devan sementara yang ada di pikirannya itu Arkan. "La, menurutmu apa rumah tanggaku dengan Om Arkan akan be
Seketika hening, hanya Naura yang dengan santainya menikmati makanannya. Tanpa mempedulikan tatapan Arkan dan juga Sinta. "Mamah mau tambah lagi?" tanya Naura mengambil potongan ayam lada hitam. "Enggak usah, Mamah lagi diet. Oh ya, malam ini Mamah nginap di sni ya." "Ap-apa?" Naura dan Arkan terkejut mendengar ucapan Sinta."Kompak banget sih. Mamah lagi berantem sama Papah, karena kamu, Arkan. Kalau saja kamu enggak buat masalah di tempat gym mungkin Mamah dan Papah enggak akan ribut!" "Kenapa jadi aku yang salah sih. Kan memang Mamah yang salah udah ngajak Naura ke tempat gym. Lagi pula Papah kan udah larang Mamah ngegym karena banyak daun muda yang bikin mata Mamah melotot." Sinta mendelik kesal karena anak yang dia pikir akan membelanya malah menyudutkan dia seperti Papahnya. "Itu bukan salah Mamah. Semua salahku karena aku mau di ajak Mamah, kalau saja aku menolak mungkin enggak akan seperti ini," papar Naura mencoba membela Sinta tapi ternyata mertuanya itu semakin merasa
Brak! Naura terlempar ke lantai setelah Arkan mendorongnya dari atas tubuhnya. "Maaf, Mamah pikir kalian sedang bertengkar!" Dengan santainya Sinta kembali menutup pintu kamar. Naura menepis air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. "Sakit!" "Kamu enggak apa-apa kan?" Naura masih berada di posisinya sambil memegangi kakinya yang terasasakit ketika di gerakan. "Biar aku bantu bangun." Naura menepis tangan Arkan. Dia berusaha untuk bangun tapi kakinya terlalu sakit untuk berdiri. Tak mau mendengar lagi penolakan dari Naura, Arkan pun mengangkat tubuhnya ke atas ranjang. "Biar aku liat."Naura pun pasrah saat Arkan mengangkat tubuhnya ke atas ranjang— melihat luka di kakinya. "Kita ke dokter aja." "Enggak usah!" Naura mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun, dia merasakan sakit yang begitu parah di kakinya. "Argh, sakit!"Tak ingin mendengar rengekan Naura, Arkan pun keluar dari kamar meninggalkan dia sendiri."Dasar brengsek, bukannya nolongin," gerutu Naura kesal. ceklek. Sint
Netra terdiam saat Devan berjalan mendekat sembari membawa buket bunga di tangannya."Apa kamu mengajaknya," bisik Naura."Lebih tepatnya dia menguping pembicaraan aku dan Arkan."Seketika keduanya bungkam saat Devan berdiri tepat di depan mereka. "Gimana keadaanmu?"Sudut bibir Naura terangkat. "Seperti inilah," jawabnya pasrah.Devan menyerahkan buket bunga untuk Naura. "Semoga cepat sembuh.""Makasih, hari ini juga aku pulang kok," jelas Naura. Saat mereka berbincang dering ponsel mengalihkan perhatian ketiganya."Sebentar, aku harus mengangkat telepon dulu."Kini hanya Naura dan Devan yang berada di ruangan tersebut. "Kamu udah makan?"Naura menggeleng pelan, dari sejak dia bangun belum ada makanan yang masuk ke perutnya.Mata Devan melihat ke sekeliling dan mendapati makanan dari rumah sakit yang ada di meja. "Ini makananmu, mau aku suapi?"Devan menggeser meja lalu menyajikan makanan ke atasnya. "Makanan di sini enggak ada rasanya, mau makan dari luar?""Dari mana kamu tahu mak
Suara jarum jam yang berdetak mengiringi degub jantung yang dirasakan oleh Naura dan juga Arkan. Keduanya hanya diam menatap langit di kamar mereka."Aku lapar," tutur Naura.Pandangan Arkan terhalang bantal saat menoleh ke arah Naura.Ya, dengan sengaja mereka menyusun bantal guling sebagai penghalang agar mereka tak saling bersentuhan."Mau aku buatkan apa?" tanya Arkan."Apa saja yang penting bisa di makan," jawabnya.Arkan beranjak dari ranjang berniat membuatkan makanan untuk Naura. Namun, baru beberapa langkah dia kembali berbalik menatap ke arah Naura."Argh, kenapa Om malah menggendongku?""Karena aku enggak mau kamu makan di atas ranjang."Naura pun pasrah saat Arkan membawanya ke dapur lalu mendudukkannya di kursi. Naura hanya diam melihat suaminya itu bersiap untuk masak."Spaghetti, kamu suka kan?" tanya Arkan mengeluarkan bahan-bahan di lemari. Naura hanya mengangguk lalu memperhatikan suaminya yang sedang masak. Entah mengapa mata Naura tak bisa berpaling dari wajah Ark
Satu bulan berlalu hubungan Naura dan Arkan semakin erat. Meski harus menjalani hubungan long distance relationship, tak menghalangi rasa cinta Arkan untuk anak dan istrinya."Pagi, Sayang."Perlahan Naura membuka mata saat mendengar suara bariton berbisik di telinganya."Kapan kamu datang?""Lima menit yang lalu. Aku rindu memeluk tubuhmu, Sayang."Seketika Naura membuka matanya. "Axel, di mana dia?"Arkan mengeratkan pelukannya. "Dia di bawah sama Papah dan Bu Dila.""Oh." Naura hanya ber-oh-ria lalu menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. "Kamu mau ke mana?""Mau buat sarapan," jawab Naura mengikat rambutnya. Namun, Arkan menarik tubuh Naura hingga tergeletak di atas kasurnya. "Aku masih kangen, diam di sini sebentar saja."Naura lalu membiarkan Arkan untuk memeluknya beberapa saat sampai dia puas meluapkan rasa rindunya."PAPA ...." teriak Axel."Tuh anaknya manggil, sana samperin."Arkan menghela napasnya lalu mencium bibir Naura dengan lembut. "Ku menginginkanmu Sayang." Tanga
Suara gemercik air membangunkan Naura dari tidurnya. Dia lalu mengibas selimut yang menutupi tubuhnya dan— "Argh." Naura berteriak histeris saat melihat tubuhnya yang polos tanpa sehelai benang pun. "Apa yang terjadi, di mana bajuku?" gerutu Naura. Tak lama dia mendengar suara seseorang membuka pintu. Naura pun segera menutup tubuhnya dengan selimut berpura-pura tidur untuk melihat siapa orang yang keluar dari kamar mandi. Sedikit demi sedikit Naura membuka matanya dan mendapati Arkan yang sedang memakai pakaiannya setelah mandi. "Arkan, jadi aku tidur dengan dia. Tunggu, kenapa aku bisa bersama Arkan?" batinnya. Naura mencoba mengingat kembali apa yang terjadi di klub semalam. Ingatannya mulai berputar seperti sebuah rekaman dan berakhir saat dia mencium Arkan. Naura begitu menikmati ciuman itu hingga membuatnya tak ingin melepaskan sedetik pun kesempatan itu. "Aku mencintaimu, Naura." "Aku juga mencintaimu, Arkan," ucap Naura dengan sadar hingga membuat wajahnya bers
Dentuman musik mengalun begitu kencang hingga memekikkan telinga. Namun, hal itu malah menarik atmosfer di sekitar membuat orang-orang yang berada di dalam klub ikut terhanyut dengan irama musik yang dibawakan oleh seorang DJ. "Naura, ayo turun!" ajak Sela saat mereka memasuki klub malam. "Kamu aja aku tunggu di bar ya." "Jangan di bar kita cari meja saja," ujar Sela. Matanya melihat ke sekeliling mencari tempat yang kosong. Namun, sayang tidak ada tempat kosong. Hampir semua meja terisi penuh oleh orang-orang yang sedang menikmati malam panjang mereka. "Tunggu, bukankah itu Arkan. Kita ikut di meja dia saja." Naura mencekal tangan Sela, tapi wanita itu terus berjalan meninggalkannya begitu saja. Mau tidak mau Naura pun mengikuti Sela hingga berhenti tepat di depan meja Arkan. "Hai, Arkan. Sendiri aja nih, boleh gabung?" Arkan mendelik, tanpa bicara dia bergeser tanda jika dia mempersilahkan mereka untuk duduk bersama dengannya. "Terima kasih, aku titip Naura dulu ya. B
Deburan ombak mengalihkan perhatian Naura dari Roni dan Sela yang sedang berbincang. Padahal meeting sudah berakhir dan mereka berdua masih asik bersama."Ini." Naura menoleh ke samping saat Raka memberikan kopi untuknya. "Makasih.""Sama-sama."Naura kembali menoleh ke arah Sela dan Roni, tapi mereka sudah tidak ada di sana. "Ke mana mereka pergi?""Siapa? Oh Pak Roni dan Bu Sela, paling ke hotel.""Hah, kok bisa secepat itu?"Raka tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi terkejut Naura. "Kamu tenang saja mereka sedang melihat lokasi untuk penempatan barang-barang.""Oh," ujar Naura bernapas lega. Naura pun memilih berteduh di bawah pohon yang rindang lalu menurunkan bokongnya di atas pasir. "Menurutmu bagaimana Bu Sela dan Pak Roni?""Maksudnya?"Raka tersenyum lalu menjawab, "Aku sudah lama ikut kerja dengan Pak Roni, aku tau dia tertarik pada Bosmu.""Oh, aku pikir Pak Roni bukan tipe pria idaman Bu Sela. Apa lagi usia mereka terpaut jauh, aku nggak yakin hubungan mereka akan b
Setelah pertemuan Sela dan Arkan, wanita itu terus mendiamkan Naura seolah kesal kepada.Naura pun tidak tahu harus melakukan apa karena Sela terus memalingkan wajahnya."Sebentar lagi kita sampai, apa kamu akan terus bersikap seperti itu?"Sela mendelik dan hanya menggerakkan tubuhnya seolah tak memperdulikan Naura. Kesal, Naura pun menginjak rem hingga tubuh Sela terhuyung ke depan. "Argh ... Kamu gila, apa kamu ingin aku mati?""Lihat kamu masih hidup dan berteriak dengan kencang."Sela mendelik, dengan anggunnya dia merapihkan rambutnya. "Aku kesal karena kamu nggak ngasih tahu aku kalau Arkan ada di sini.""Aku juga nggak tahu kalau dia datang ke sini. Lagi pula baru tadi pagi aku ketemu sama dia. Tunggu, kenapa kamu sekesal ini sama aku. Apa kamu masih mengharapkan dia?""Hah, yang benar saja. Mana mungkin aku mau sama duda apa lagi bekas karyawanku," cibirnya.Naura berdecak kembali mengendarai mobilnya. "Berhenti berbohong buktinya kamu kesal saat melihat aku dan Arkan bersa
Deburan ombak mengalun indah menemani Naura yang sedang menikmati kopi di pagi buta. Dia sama sekali tak bisa tidur nyenyak saat berada jauh dari putra semata wayangnya.Tok,tok."Permisi, room service."Naura menoleh ke arah pintu lalu beranjak dari kursinya.CeklekNaura terkejut melihat staf hotel membawakan sarapan ke kamarnya. "Maaf aku nggak pesan, mungkin salah kamar."Staf tersebut melihat kartu untuk memastikan jika mereka tidak salah kamar. "Dengan Ibu Naura kamar 210""Iya aku Naura, tapi aku nggak pesan," tutur Naura mencoba menjelaskan. Tak lama ponsel Naura berdering terlihat nama Arkan di sana. "Halo."[Selamat menikmati sarapannya.]"Apa, jadi kamu yang kirim makanan ini. Dari mana kamu tahu aku ada di hotel ini?"[Selamat menikmati, Sayang.]Arkan mematikan panggilannya sepihak. Mau tidak mau Naura pun mempersilahkan staf untuk masuk dan menyajikan makanan pesanan Arkan.Sudut bibir Naura terangkat saat melihat makanan pesanan Arkan. Tak lupa dia mengabadikan momen
Naura merapihkan beberapa pakaian ke dalam koper. Tak lupa dia pun memasukkan beberapa berkas ke dalam tasnya."Sudah di masukkan semua? Awas nanti ada yang ketinggalan!" ucap Dila sambil mengajak Axel bermain."Sepertinya sudah beres semua. Bu, aku titip Axel beberapa hari ya.""Iya, kamu tenang saja. Ibu akan menjaga Axel dengan baik, lagi pula Pak Teddi juga ada pasti dia membantu Ibu menjaga Axel."Naura tersenyum lalu beranjak dari lantai. "Aku siap-siap dulu."Seolah mengerti, Dila mengajak Axel untuk keluar dari kamar Naura.Tok, tok."Permisi."Dila menuruni anak tangga lalu menghampiri tamu yang baru saja datang."Siapa Bi?" tanya Dila saat dia berjalan ke arahnya."Itu Bu, temennya Bu Naura," jawabnya."Oh Sela. Tolong buatkan minuman buat Sela ya." Dila pun menghampiri Sela yang sedang duduk di sofa. "Eh, Sela.""Tante, hai Axel," sapa Sela saat melihat Axel tersenyum menatapnya.Mereka pun duduk bersampingan sambil bermain dengan Axel. "Acaranya mendadak ya?" selidik Dila.
Suara bising di sekitar tak mengalihkan perhatian Naura dari berkas yang ada di hadapannya. Brak!Hening seketika, semua yang ada di ruang meeting diam menatap ke arah Naura. "Ini kenapa bisa beda?"Naura menggeser berkas yang ada di depannya. "Laporan keuangan ganti, salah tuh! Teliti dulu sebelum di kirim. Ini lagi, bukannya klien kita minta ganti kursi, kenapa masih ditulis kursi dengan merek yang sama?""Ma-maaf Bu, tapi Bu Sela sudah setuju dengan merek itu," jelas Kevin.Seketika Naura menoleh ke arah Sela. "Apa, aku nggak tau ya. Kevin, kamu benar-benar ya, harusnya kamu bilang kalau barangnya di ganti, aku kan nggak tahu."Sela langsung menggeser kursinya mendekati Naura seolah menyerang Kevin."Ta-tapi Bu Se—"Mata Sela hampir saja keluar memelototi Kevin bahkan mulutnya berkomat-kamit seolah menyuruhnya tutup mulut."Bereskan semuanya, kerjakan dengan baik dan teliti. Baiklah, meeting kita tutup, selamat siang."Naura keluar dari ruang meeting di ikuti Sela di belakang. Wan
Hening, seketika Naura tak mendengar suara apapun kecuali detak jantungnya yang begitu cepat.Mata Naura terpaku pada wajah pria yang selalu membuat hatinya berdesir. "Papa," teriak Axel berjalan ke arah mereka.Refleks Arkan melepaskan tangannya dari pinggang Naura. "Sayang." Axel berlari memeluk Arkan dengan erat. "Ayo, kita cari makan," sambung Arkan meninggalkan Naura yang masih mematung. Sorak dari para tamu undangan pun kembali riuh saat Adelia bersiap melempar buket bunga yang dia pegang. "Naura, sini!" panggil Adelia. Dengan enggan Naura pun ikut ke kerumunan yang bersiap menerima buket bunga. Semua bersiap hanya Naura yang diam dan ikut berdiri dengan kerumunan."Satu, dua, tiga."Buket itu pun melayang ke arah Naura, tapi seketika tubuhnya terhuyung ke depan saat seseorang mendorongnya dari belakang. "Argh," ucap Naura terkejut. Namun, dengan cepat pria itu menarik tangan Naura hingga menyentuh tubuhnya. "Woa, selamat Bro!" teriak Reza mengalihkan perhatian semua yang