Sesaat Naura terdiam saat melihat Adelia berdiri di depannya. Matanya terus menatap Naura seolah mengejeknya. "Ngapain kamu di sini?" tanyanya dengan nada ketus. Naura menghela napasnya dengan kasar, sebenarnya ia tak mau meladeni ucapan Adelia tapi jika di biarkan wanita itu pasti akan berulah dan semakin membuat Naura malu di hadapan mertuanya. "Mau belajar masak," jawab Naura seolah membalas apa yang di lakukan oleh kakaknya itu. Adelia berdecak kemudian mendekati Naura. Ia meneliti penampilan adiknya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Ada rasa iri di hati Adelia saat melihat adiknya mengenakan pakaian serta sepatu bermerek. "Naura, Sayang," panggil Sinta sembari melambaikan tangannya. Naura pun menoleh sembari membalas lambaian tangan mertuanya itu. "Iya, Mah." Seketika Naura memalingkan wajahnya dari Sinta lalu menoleh ke arah Adelia seolah menunjukkan padanya kalau dia juga memiliki ibu yang menyayanginya dengan tulus. "Ck ... dasar enggak tau diri," cibir Adelia. Kemba
Naura menenggelamkan kepalanya di bawah selimut. Dia masih mengingat jelas saat Arkan menutup tubuhnya dengan bajunya, sedangkan dia sendiri bertelanjang dada karena memberikan baju untuknya."Aku rela mereka melihat tubuhku bukan tubuhmu," bisik Arkan saat di dalam lift.Lucu memang, tapi begitu berkesan bagi Naura. Bahkan dia tak melepaskan tangannya dari bahu Naura.Ketika hatinya berbunga seketika berubah saat melihat layar ponselnya menyala dengan menampilkan nama PAPAH."Tumben Papah telepon aku," gumam Naura. Dengan ragu dia pun menggeser tombol hijau. "Halo, Pah."[Naura apa yang kamu lakukan di tempat gym? Sampai hati kamu berselingkuh di belakang Arkan!]Naura mengerutkan dahinya bagaimana bisa Toni menuduhnya berselingkuh. "Maksud Papah apa?" [Kamu berduaan sama pria lain, di pergoki sama suamimu sendiri bahkan direkam sama orang lain kamu enggak malu apa?!] Ingatan Naura kembali saat dia berada di tempat gym, dia sama sekali tak melihat ada orang yang merekamnya karena
"Ayo, cepat turun," ujar Arkan. Naura membuka matanya melihat ke sekeliling. "Di mana kita?" tanya Naura karena ia tertidur sepanjang perjalanan pulang dari rumah orang tuanya. "Karena kamu tidur terlalu pulas, makanya aku membawamu ke sini." "Di mana ini?" tanya Naura yang masih bingung serta asing dengan tempat yang mereka datangi. "Ini resort temanku. Lebih tepatnya kita sedang berada di Bandung," jelas Arkan. "Hah, Bandung?" Arkan mengangguk lalu kelur dari dalam mobil. Tak ingin sendiri, Naura pun ikut keluar-berjalan beriringan dengan suaminya. "Om meeting jam lima sore?" tanya Naura penasaran karena dia baru tahu kalau ada meeting di sore hari. Naura pikir jika meeting itu di lakukan hanya di jam kerja saja. Namun, nyatanya bisa di lakukan di luar jam kerja atas kesepakatan bersama. "Selamat sore, ada yang bisa saya bantu," ucap resepsionis. "Aku mau bertemu dengan Pak Darwin." Resepsionis itu pun melihat ke mejanya lalu berkata, "Dengan Pak Arkan?""Iya, saya sendiri
"Eugh ...." Naura merasakan tubuhnya begitu rileks meski baru saja bangun. Perlahan dia membuka mata, hal pertama yang dia lihat adalah flapon kamar yang terasa aneh untuknya. "Di mana ini?" gumam Naura. Dia pun menoleh ke sisi kirinya. "Astaga." Betapa terkejutnya Naura hingga menutup mulutnya dengan selimut saat melihat kepala seorang pria yang membelakanginya. Naura bisa melihat dengan jelas punggung polos pria itu. Dengan ragu, dia pun membuka selimutnya."Arrrghhh ...!!" Naura berteriak dengan kencang karena terkejut dengan apa yang baru saja lihat. "Berisik banget sih!" geruttu Arkan berbalik menatap Naura yang ada di belakangnya. "Kenapa kamu berteriak?" "Kenapa Om ada di sini, la-lalu baju kita?" gerutu Naura. "Kita sudah dewasa, haruskah aku menjelaskan apa yang sudah terjadi semalam? Bukannya itu yang kamu inginkan!" Naura mengerutkan dahinya, dia tak mengerti dengan arah pembicaraan Arkan. "Argh, aku sudah tau pasti kamu akan melupakan apa yang sudah terjadi semalam
Wajah Arkan terus membayangi pikiran Naura. Seperti sebuah rekaman video yang terus berputar di kepalanya."Eugh ...." Seketika bulu kuduknya meremang kala mengingat suara desahan Arkan di telinganya. "Argh, ini benar-benar membuatku gila," gumam Naura.Kegundahan Naura rupanya menarik perhatian Lala yang sedang membawa makanan yang mereka pesan."Kamu kenapa, apa ada masalah?" tanya Lala menyajikan makanan ke depan Naura.Naura bergumam sembari menutup wajahnya. Terlihat jelas jika ia begitu frustasi menghadapi masalahnya."Aku harus gimana?"Lala mengerutkan dahinya. "Maksudmu apa. Kamu bahkan belum cerita?"Naura berteriak tanpa suara sambil meremas rambutnya. "Sepertinya aku mulai jatuh cinta sama dia.""Dia siapa, jangan bilang kamu suka sama Devan lagi?! Ingat Naura kamu sudah punya suami, kamu harus mencintai Arkan saja."Naura mendelik bagaimana bisa Lala berpikir soal Devan sementara yang ada di pikirannya itu Arkan. "La, menurutmu apa rumah tanggaku dengan Om Arkan akan be
Seketika hening, hanya Naura yang dengan santainya menikmati makanannya. Tanpa mempedulikan tatapan Arkan dan juga Sinta. "Mamah mau tambah lagi?" tanya Naura mengambil potongan ayam lada hitam. "Enggak usah, Mamah lagi diet. Oh ya, malam ini Mamah nginap di sni ya." "Ap-apa?" Naura dan Arkan terkejut mendengar ucapan Sinta."Kompak banget sih. Mamah lagi berantem sama Papah, karena kamu, Arkan. Kalau saja kamu enggak buat masalah di tempat gym mungkin Mamah dan Papah enggak akan ribut!" "Kenapa jadi aku yang salah sih. Kan memang Mamah yang salah udah ngajak Naura ke tempat gym. Lagi pula Papah kan udah larang Mamah ngegym karena banyak daun muda yang bikin mata Mamah melotot." Sinta mendelik kesal karena anak yang dia pikir akan membelanya malah menyudutkan dia seperti Papahnya. "Itu bukan salah Mamah. Semua salahku karena aku mau di ajak Mamah, kalau saja aku menolak mungkin enggak akan seperti ini," papar Naura mencoba membela Sinta tapi ternyata mertuanya itu semakin merasa
Brak! Naura terlempar ke lantai setelah Arkan mendorongnya dari atas tubuhnya. "Maaf, Mamah pikir kalian sedang bertengkar!" Dengan santainya Sinta kembali menutup pintu kamar. Naura menepis air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. "Sakit!" "Kamu enggak apa-apa kan?" Naura masih berada di posisinya sambil memegangi kakinya yang terasasakit ketika di gerakan. "Biar aku bantu bangun." Naura menepis tangan Arkan. Dia berusaha untuk bangun tapi kakinya terlalu sakit untuk berdiri. Tak mau mendengar lagi penolakan dari Naura, Arkan pun mengangkat tubuhnya ke atas ranjang. "Biar aku liat."Naura pun pasrah saat Arkan mengangkat tubuhnya ke atas ranjang— melihat luka di kakinya. "Kita ke dokter aja." "Enggak usah!" Naura mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun, dia merasakan sakit yang begitu parah di kakinya. "Argh, sakit!"Tak ingin mendengar rengekan Naura, Arkan pun keluar dari kamar meninggalkan dia sendiri."Dasar brengsek, bukannya nolongin," gerutu Naura kesal. ceklek. Sint
Netra terdiam saat Devan berjalan mendekat sembari membawa buket bunga di tangannya."Apa kamu mengajaknya," bisik Naura."Lebih tepatnya dia menguping pembicaraan aku dan Arkan."Seketika keduanya bungkam saat Devan berdiri tepat di depan mereka. "Gimana keadaanmu?"Sudut bibir Naura terangkat. "Seperti inilah," jawabnya pasrah.Devan menyerahkan buket bunga untuk Naura. "Semoga cepat sembuh.""Makasih, hari ini juga aku pulang kok," jelas Naura. Saat mereka berbincang dering ponsel mengalihkan perhatian ketiganya."Sebentar, aku harus mengangkat telepon dulu."Kini hanya Naura dan Devan yang berada di ruangan tersebut. "Kamu udah makan?"Naura menggeleng pelan, dari sejak dia bangun belum ada makanan yang masuk ke perutnya.Mata Devan melihat ke sekeliling dan mendapati makanan dari rumah sakit yang ada di meja. "Ini makananmu, mau aku suapi?"Devan menggeser meja lalu menyajikan makanan ke atasnya. "Makanan di sini enggak ada rasanya, mau makan dari luar?""Dari mana kamu tahu mak