Seketika hening, hanya Naura yang dengan santainya menikmati makanannya. Tanpa mempedulikan tatapan Arkan dan juga Sinta. "Mamah mau tambah lagi?" tanya Naura mengambil potongan ayam lada hitam. "Enggak usah, Mamah lagi diet. Oh ya, malam ini Mamah nginap di sni ya." "Ap-apa?" Naura dan Arkan terkejut mendengar ucapan Sinta."Kompak banget sih. Mamah lagi berantem sama Papah, karena kamu, Arkan. Kalau saja kamu enggak buat masalah di tempat gym mungkin Mamah dan Papah enggak akan ribut!" "Kenapa jadi aku yang salah sih. Kan memang Mamah yang salah udah ngajak Naura ke tempat gym. Lagi pula Papah kan udah larang Mamah ngegym karena banyak daun muda yang bikin mata Mamah melotot." Sinta mendelik kesal karena anak yang dia pikir akan membelanya malah menyudutkan dia seperti Papahnya. "Itu bukan salah Mamah. Semua salahku karena aku mau di ajak Mamah, kalau saja aku menolak mungkin enggak akan seperti ini," papar Naura mencoba membela Sinta tapi ternyata mertuanya itu semakin merasa
Brak! Naura terlempar ke lantai setelah Arkan mendorongnya dari atas tubuhnya. "Maaf, Mamah pikir kalian sedang bertengkar!" Dengan santainya Sinta kembali menutup pintu kamar. Naura menepis air mata yang sudah memenuhi pelupuk matanya. "Sakit!" "Kamu enggak apa-apa kan?" Naura masih berada di posisinya sambil memegangi kakinya yang terasasakit ketika di gerakan. "Biar aku bantu bangun." Naura menepis tangan Arkan. Dia berusaha untuk bangun tapi kakinya terlalu sakit untuk berdiri. Tak mau mendengar lagi penolakan dari Naura, Arkan pun mengangkat tubuhnya ke atas ranjang. "Biar aku liat."Naura pun pasrah saat Arkan mengangkat tubuhnya ke atas ranjang— melihat luka di kakinya. "Kita ke dokter aja." "Enggak usah!" Naura mencoba menggerakkan tubuhnya. Namun, dia merasakan sakit yang begitu parah di kakinya. "Argh, sakit!"Tak ingin mendengar rengekan Naura, Arkan pun keluar dari kamar meninggalkan dia sendiri."Dasar brengsek, bukannya nolongin," gerutu Naura kesal. ceklek. Sint
Netra terdiam saat Devan berjalan mendekat sembari membawa buket bunga di tangannya."Apa kamu mengajaknya," bisik Naura."Lebih tepatnya dia menguping pembicaraan aku dan Arkan."Seketika keduanya bungkam saat Devan berdiri tepat di depan mereka. "Gimana keadaanmu?"Sudut bibir Naura terangkat. "Seperti inilah," jawabnya pasrah.Devan menyerahkan buket bunga untuk Naura. "Semoga cepat sembuh.""Makasih, hari ini juga aku pulang kok," jelas Naura. Saat mereka berbincang dering ponsel mengalihkan perhatian ketiganya."Sebentar, aku harus mengangkat telepon dulu."Kini hanya Naura dan Devan yang berada di ruangan tersebut. "Kamu udah makan?"Naura menggeleng pelan, dari sejak dia bangun belum ada makanan yang masuk ke perutnya.Mata Devan melihat ke sekeliling dan mendapati makanan dari rumah sakit yang ada di meja. "Ini makananmu, mau aku suapi?"Devan menggeser meja lalu menyajikan makanan ke atasnya. "Makanan di sini enggak ada rasanya, mau makan dari luar?""Dari mana kamu tahu mak
Suara jarum jam yang berdetak mengiringi degub jantung yang dirasakan oleh Naura dan juga Arkan. Keduanya hanya diam menatap langit di kamar mereka."Aku lapar," tutur Naura.Pandangan Arkan terhalang bantal saat menoleh ke arah Naura.Ya, dengan sengaja mereka menyusun bantal guling sebagai penghalang agar mereka tak saling bersentuhan."Mau aku buatkan apa?" tanya Arkan."Apa saja yang penting bisa di makan," jawabnya.Arkan beranjak dari ranjang berniat membuatkan makanan untuk Naura. Namun, baru beberapa langkah dia kembali berbalik menatap ke arah Naura."Argh, kenapa Om malah menggendongku?""Karena aku enggak mau kamu makan di atas ranjang."Naura pun pasrah saat Arkan membawanya ke dapur lalu mendudukkannya di kursi. Naura hanya diam melihat suaminya itu bersiap untuk masak."Spaghetti, kamu suka kan?" tanya Arkan mengeluarkan bahan-bahan di lemari. Naura hanya mengangguk lalu memperhatikan suaminya yang sedang masak. Entah mengapa mata Naura tak bisa berpaling dari wajah Ark
Arkan mengetuk jemarinya di atas meja. Kepalanya terlalu berisik memikirkan masalah yang dia buat sendiri."Argh ... apa yang harus aku lakukan. Haruskan aku meminta bantuan Mamah? Aku yakin Mamah tau masalah kontrak ini," gumamnya. Tok ... tok! "Sial." Arkan memutar kursinya menghadap ke arah pintu. "Masuk," ucapnya lalu membenarkan duduknya. "Permisi, Pak. Ada tamu." "Siapa?" Rahang Arkan mengeras ketika melihat tamu yang datang adalah mantan istrinya."Liona," desis Arkan.Liona tersenyum lalu masuk ke ruangan yang pernah dia datangi saat masih menjadi istrinya. "Hai ... Arkan," sapanya. Matanya melihat ke sekeliling.Tidak ada yang berubah di sana kecuali foto pernikahan Arkan dan juga Naura. Foto pernikahan berukuran besar itu pun di pajang tepat di depan para tamu.Senyumannya pun seketika memudar. Ingatannya berputar ke masa saat dia masih menjadi istri Arkan.Jangankan foto pernikahan, foto kebersamaan mereka saja tidak pernah di pajang di ruang kerja atau apartemen mere
Suara ponsel yang tak berhenti itu pun membuat Naura kesal. Dia pun terpaksa membuka mata dan menggeser semua banyak yang berada di dekatnya dan—"Halo ...!"[Naura buka pesanku.]Tangan Naura menjauh sedikit untuk memastikan pesan yang masuk. "Kenapa, aku baru bangun."Terdengar suara helaan napas seolah terasa berat saat akan mengucapkannya. [Arkan lagi makan sama cewek. Mesra banget mereka, mana ceweknya cantik banget.]"Serius?" Naura begitu terkejut saat mendengar ucapan Lala.Kalau saja dia sedang tidak berpura-pura terluka. Mungkin Naura sudah menghampiri mereka.[Si cewek mulai getel rangkul tangan Arkan. Mereka keluar dari restoran, sepertinya mereka mau ke hotel.]"Hotel," gumam Naura.Tanpa permisi Naura mematikan panggilannya. Dia lalu mencari nomor Arkan lalu menghubunginya. Terdengar sambungan telepon yang terhubung dan-[Halo.]Suara Arkan terdengar dengan jelas seperti sedang berada di pinggir jalan karena Naura dapat mendengar dengan jelas suara kendaraan di sekitarny
"Mati aku, kalau seperti ini pasti kebohonganku terbongkar," batin Naura merutuki kebodohannya. "Kita enggak perlu ke rumah sakit, aku sudah sembuh," ucap Naura mencoba meyakinkan pria ya yang ada di sampingnya itu. Arkan hanya mendelik tak ingin berdebat dengan Naura apa lagi mendengar penolakannya. Tak lama mobil mereka pun sampai di rumah sakit yang di tuju. Naura terus memperhatikan Arkan yang keluar dari mobil, berjalan ke arah pintu yang dekat dengannya. "Argh ... dia benar-benar menyebalkan," gerutu Naura. Dia memegang pintu menghalangi Arkan yang menariknya dari luar. "Naura buka!" Arkan menggedor-gedor kaca mobil berharap Naura membuka pintunya. Namun, keduanya malah saling tarik menarik. Kesal, Arkan lalu membuka pintu mobil yang berada di belakang kursi Naura. "Buka pintunya!" hardik Arkan. "Aku enggak mau ke Dokter," ucap Naura bersikukuh. Arkan pun berdecak, dia lalu memeluk Naura dari belakang agar dia tak bergerak. Perlahan tangannya membuka sabuk pengaman kemudi
Paginya, Naura bangun lebih awal. Namun, betapa terkejutnya Naura saat dia bangun sudah berada di atas ranjang. Dia refleks menoleh ke arah sisi kirinya dan tak mendapati Arkan tidur di sampingnya. "Kemana dia?" Naura lalu keluar dari kamar, matanya melihat ke sekeliling mencari keberadaan Arkan. Namun, sayangnya pria itu sudah tidak ada di dalam apartemen. Naura pun bernapas lega karena dia tak perlu bertegur sapa dengan pria itu. Ceklek Suara pintu terbuka membuat Naura terkejut. Dia pikir Arkan sudah pergi ternyata dia baru saja pulang berbelanja. "Om, dari mana?" Arkan sama sekali tak bergeming dan malah terkesan tak mempedulikan Naura sama sekali. Dia berjalan ke dapur memisahkan makanan yang baru dia beli. "Buat aku mana?" tanya Naura lagi. Namun, lagi-lagi Arkan bungkam, memilih menikmati sarapannya di balkon. Naura berdecak melihat kelakuan Arkan yang mendiamkannya tanpa sebab. Naura berjalan ke dapur, tapi sayangnya Arkan hanya membeli sebungkus sarapan untuknya sendi