"Mati aku, kalau seperti ini pasti kebohonganku terbongkar," batin Naura merutuki kebodohannya. "Kita enggak perlu ke rumah sakit, aku sudah sembuh," ucap Naura mencoba meyakinkan pria ya yang ada di sampingnya itu. Arkan hanya mendelik tak ingin berdebat dengan Naura apa lagi mendengar penolakannya. Tak lama mobil mereka pun sampai di rumah sakit yang di tuju. Naura terus memperhatikan Arkan yang keluar dari mobil, berjalan ke arah pintu yang dekat dengannya. "Argh ... dia benar-benar menyebalkan," gerutu Naura. Dia memegang pintu menghalangi Arkan yang menariknya dari luar. "Naura buka!" Arkan menggedor-gedor kaca mobil berharap Naura membuka pintunya. Namun, keduanya malah saling tarik menarik. Kesal, Arkan lalu membuka pintu mobil yang berada di belakang kursi Naura. "Buka pintunya!" hardik Arkan. "Aku enggak mau ke Dokter," ucap Naura bersikukuh. Arkan pun berdecak, dia lalu memeluk Naura dari belakang agar dia tak bergerak. Perlahan tangannya membuka sabuk pengaman kemudi
Paginya, Naura bangun lebih awal. Namun, betapa terkejutnya Naura saat dia bangun sudah berada di atas ranjang. Dia refleks menoleh ke arah sisi kirinya dan tak mendapati Arkan tidur di sampingnya. "Kemana dia?" Naura lalu keluar dari kamar, matanya melihat ke sekeliling mencari keberadaan Arkan. Namun, sayangnya pria itu sudah tidak ada di dalam apartemen. Naura pun bernapas lega karena dia tak perlu bertegur sapa dengan pria itu. Ceklek Suara pintu terbuka membuat Naura terkejut. Dia pikir Arkan sudah pergi ternyata dia baru saja pulang berbelanja. "Om, dari mana?" Arkan sama sekali tak bergeming dan malah terkesan tak mempedulikan Naura sama sekali. Dia berjalan ke dapur memisahkan makanan yang baru dia beli. "Buat aku mana?" tanya Naura lagi. Namun, lagi-lagi Arkan bungkam, memilih menikmati sarapannya di balkon. Naura berdecak melihat kelakuan Arkan yang mendiamkannya tanpa sebab. Naura berjalan ke dapur, tapi sayangnya Arkan hanya membeli sebungkus sarapan untuknya sendi
"Naura," panggil Devan berjalan mendekatinya. "Hai, Devan," sapa Naura sembari menyunggingkan senyum termanisnya. "Mau ke mana?" tanya Naura saat melihat Devan membawa tas rangsel yang biasa digunakan untuk naik gunung. Devan menoleh ke arah tasnya lalu menjawab, "Aku mau nge-camp." "Nge-camp, di mana?" "Di tempat yang waktu itu aku tujukkan ke kamu. Oh ya, kamu mau ikut?" tanya Devan. Naura menoleh ke arah Lala seolah meminta persetujuannya dan ingin ikut serta membawa sahabatnya itu untuk di tumbalkan jika Arkan mencarinya. Lala menyilangkan jarinya, tanda jika dia melarang Naura untuk ikut bersama Devan. "Ah, maaf sepertinya Lala enggak ngebolehin aku ikut." "Kami mau ke klub malam," sela Lala sembari berbisik. "Apa kamu mau ikut?" Devan terlihat berpikir sejenak. "Aku ingin menenangkan pikiranku. Bye, Naura, La." Dia berlalu meninggalkan Naura dan juga Lala. "Ayo, kita pulang." Lala merangkul bahu Naura, menyeretnya untuk bergegas masuk ke mobilnya. "Mau aku antar pulang?"
Bagaimana bisa dia bertemu dengan orang yang sama sekali tak ada di pikirannya. Bahkan saat ini mereka sedang menikmati minuman bersama."Kamu biasa datang ke sini?" tanya Liona.Naura menggeleng pelan. "Baru kali ini, sahabatku yang merekomendasikan tempat ini," jelas Naura."Senang bertemu denganmu. Oh ya, waktu itu aku belum mengucapkan selamat atas pernikahanmu dengan Arkan. Apa kamu menyukai hadiah dariku?""Hadiah?" batin Naura. Arkan bahkan tak pernah membahas wanita ini di depannya apa lagi hadiah.Senatural mungkin Naura harus terkesan memiliki hubungan yang baik dengan suaminya itu. "Hm, terima kasih hadiahnya."Liona tersenyum senang. "Di mana kalian pertama bertemu?"Naura berpikir sejenak, masih terekam jelas saat pertama kali dia bertemu dengan pria menyebalkan yang kini menjadi suaminya."Di klub malam.""Benarkah, Arkan bilang dia pertama bertemu denganmu di kampus tempatmu kuliah?""Mati aku, kenapa jawaban kami berbeda. Ah, apa Arkan ingin menciptakan pertemuan yang b
Naura berbalik berjalan mendekati Arkan dan- Plak! Tangan Naura melayang tepat di pipi pria yang ada di depannya. "Argh, berhentilah senaif itu. Aku tahu yang kamu inginkan itu dia bukan aku. Jadi bawa dia pergi dari sini dan jangan pernah menggangguku!" Teriakan Naura begitu melengking hingga akhirnya dia sadar jika semua yang dia lakukan tadi hanya ilusi yang tak mampu dia lakukan saat ini. "Ayo, kita pulang." Devan merangkul bahu Naura membawanya menjauh dari Arkan. Tanpa mereka sadari Arkan berjalan ke arah mereka berdua lalu menarik tangan Naura dengan kasar hingga beralih ke sisinya. "Ikut aku pulang." "Dia akan pulang denganku!" ucap Devan menarik tangan Naura ke sisinya. Srreeeett! Naura terseret saat Arkan menariknya dengan kasar. "Dia istriku, aku akan membawanya pulang." Naura merasakan sakit di kedua ketiaknya saat Arkan dan Devan menarik tangannya seolah sedang berebut mainan. "Lepas, tanganku sakit,"keluh Naura berharap Devan dan Arkan melepaskan tangannya Namun
Suara desahan terus bersahutan menjadi sebuah iraman di setiap hetakan yang tercipta dari gesekan yang di lakukan oleh Arkan dan juga Naura. Mereka berdua samasekali tak peduli dengan orang-orang yang berada di balik pintu ruangan yang mungkin mendengar apa yang mereka lakukan. Arkan terus memberikan sentuhan yang membuat Naura melayang dan merasa paling di inginkan. "Eugh." Naura merasakan tubuhnya bergetar setelah berhasil meraih pelepsan yang begitu nikmat di susul erangan Arkan yang telah menyemprotkan bibit cinta di rahim istrinya. Perlahan Arkan mengurai pelukan mereka lalu mengambiil tisu untuk membersihkan cairan yang tersisa di tubuh mereka. "Mandilah, aku akan mempersiapkan pakian untukmu." Arkan mengangkan tubuh Naura dari atas meja. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat wajah Naura yang bersemu merah karena malu. Dengan langkah yang tertatih Naura masuk ke dalam kamar mandi yang berada di ujung ruangan. Saat sudah berada di dalamnya, Naura menjerit tanpa suara, dia
Brak! "Sa-Sayang." "Oops, sorry," tuturnya, melangkah masuk ke dalam ruang Arkan. Baik Arkan mau pun Liona terlihat gugup menatap Naura, entah karena mereka merasa malu setelah tertangkap basah oleh Naura. "Sayang, bukannya kita mau makan siang bareng?" Arkan mengedipkan kedua matanya seolah tak paham apa yang di maksud Naura. "Ah, aku juga mengajak Arkan makan. Gimana kalau kita makan siang bareng?" sela Liona Naura mengepalkan tangannya, ia benar-benar tak habis pikir pada Liona. Bagaimana bisa dia tidak paham jika saat ini Naura sedang cemburu atau mungkin dia sengaja membuatnya cemburu? "Ak—" Belum sempat bicara dering ponsel mengalihkan perhatian Naura. Dia lalu melihat layar ponselnya dan mendapati nama Sinta di sana. "Halo, Mah." [Naura, kamu ada di mana? Kita nge-gym yuk tapi jangan kasih tau Arkan.] "Apa Mah, nge-gym. Di mana, kebetulan aku lagi santai," ucap Naura dengan nada sedikit meninggi agar Arkan mendengar pembicaraan mereka. [Nanti Mamah suruh Mang Ujang
Naura berlari menyusuri koridor untuk masuk ke kelasnya, namun langkahnya tertahan saat dia melihat kelas yang dia tuju kosong. "Kemana mereka?" tanya Naura dalam hati. "Hei, sedang apa kamu di sana, cepat kumpul di aula!" teriak dosen yang kebetulan melintas di depan Naura. "I-iya, Bu." Naura berlari ke aula yang berada di ujung kelasnya. "Kenapa kamu enggak ngasih tahu kalau kumpul di sini?" desis Naura sambil mengatur napasnya. Lala menurunkan kacamatanya lalu menjawab, "Ku pikir kamu enggak masuk kuliah." Naura sedikit mencondongkan tubuhnya merasakan sesak di dadanya yang sudah berkurang. "Kemarin kamu ke kampus?" "Enggak, cuma titip absen doang," tuturnya sambil menyeringai. Naura mencubit perut sahabatnya itu hingga mengaduh kesakitan. "Apa yang mereka bicarakan?" "PPL, selama sebulan ini kita harus PPL sesuai jurusan," jelas Lala dengan nada yang lemah. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah sumringah. "Bu CEO bisakah aku PPL di perusahaan suamimu?" Naura tertawa