Akhirnya Naura ngaku kalau dia suka sama Arkan. Kira-kira kontrak mereka berakhir atau berlanjut ya? Baca cerita selanjutnya di bab berikutnya 🥰
Suara desahan terus bersahutan menjadi sebuah iraman di setiap hetakan yang tercipta dari gesekan yang di lakukan oleh Arkan dan juga Naura. Mereka berdua samasekali tak peduli dengan orang-orang yang berada di balik pintu ruangan yang mungkin mendengar apa yang mereka lakukan. Arkan terus memberikan sentuhan yang membuat Naura melayang dan merasa paling di inginkan. "Eugh." Naura merasakan tubuhnya bergetar setelah berhasil meraih pelepsan yang begitu nikmat di susul erangan Arkan yang telah menyemprotkan bibit cinta di rahim istrinya. Perlahan Arkan mengurai pelukan mereka lalu mengambiil tisu untuk membersihkan cairan yang tersisa di tubuh mereka. "Mandilah, aku akan mempersiapkan pakian untukmu." Arkan mengangkan tubuh Naura dari atas meja. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat wajah Naura yang bersemu merah karena malu. Dengan langkah yang tertatih Naura masuk ke dalam kamar mandi yang berada di ujung ruangan. Saat sudah berada di dalamnya, Naura menjerit tanpa suara, dia
Brak! "Sa-Sayang." "Oops, sorry," tuturnya, melangkah masuk ke dalam ruang Arkan. Baik Arkan mau pun Liona terlihat gugup menatap Naura, entah karena mereka merasa malu setelah tertangkap basah oleh Naura. "Sayang, bukannya kita mau makan siang bareng?" Arkan mengedipkan kedua matanya seolah tak paham apa yang di maksud Naura. "Ah, aku juga mengajak Arkan makan. Gimana kalau kita makan siang bareng?" sela Liona Naura mengepalkan tangannya, ia benar-benar tak habis pikir pada Liona. Bagaimana bisa dia tidak paham jika saat ini Naura sedang cemburu atau mungkin dia sengaja membuatnya cemburu? "Ak—" Belum sempat bicara dering ponsel mengalihkan perhatian Naura. Dia lalu melihat layar ponselnya dan mendapati nama Sinta di sana. "Halo, Mah." [Naura, kamu ada di mana? Kita nge-gym yuk tapi jangan kasih tau Arkan.] "Apa Mah, nge-gym. Di mana, kebetulan aku lagi santai," ucap Naura dengan nada sedikit meninggi agar Arkan mendengar pembicaraan mereka. [Nanti Mamah suruh Mang Ujang
Naura berlari menyusuri koridor untuk masuk ke kelasnya, namun langkahnya tertahan saat dia melihat kelas yang dia tuju kosong. "Kemana mereka?" tanya Naura dalam hati. "Hei, sedang apa kamu di sana, cepat kumpul di aula!" teriak dosen yang kebetulan melintas di depan Naura. "I-iya, Bu." Naura berlari ke aula yang berada di ujung kelasnya. "Kenapa kamu enggak ngasih tahu kalau kumpul di sini?" desis Naura sambil mengatur napasnya. Lala menurunkan kacamatanya lalu menjawab, "Ku pikir kamu enggak masuk kuliah." Naura sedikit mencondongkan tubuhnya merasakan sesak di dadanya yang sudah berkurang. "Kemarin kamu ke kampus?" "Enggak, cuma titip absen doang," tuturnya sambil menyeringai. Naura mencubit perut sahabatnya itu hingga mengaduh kesakitan. "Apa yang mereka bicarakan?" "PPL, selama sebulan ini kita harus PPL sesuai jurusan," jelas Lala dengan nada yang lemah. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah sumringah. "Bu CEO bisakah aku PPL di perusahaan suamimu?" Naura tertawa
Langkah Naura terseok-seok, sampai dia tak memperhatikan jalannya. Bugh! tubuhnya membentur tembok, perlahan luruh ke lantai. Naura menyandarkan punggungnya, menekuk kakinya sembari memeluknya dengan erat. Pikirannya terlalu penuh dengan banyak beban yang dia pikul sendiri. Di buang keluarga, dicampakan oleh orang-orang yang dia pikir akan menjadi keluarga dan orang-orang yang akan melindunginya. "Kenapa seperti ini. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" batin Naura. Dia menangis terseduh-seduh tanpa suara agar tidak menggangu penghuni unit apartemen yang ada di depan apartemen mereka. CeklekSeketika Naura memalingkan wajahnya berpura-pura mengikat tali sepatunya saat tetangga apartemen membuka pintu.Tepat saat wanita itu berjalan ke arah lift, Naura segera membuka pintu apartemennya."Argh, di saat melow seperti ini kenapa dia keluar dari apartemen sih!" gerutu Naura. Kejadian itu pun sontak menghentikan air mata Naura seketika. "Argh, aku lapar."Dia bergegas ke dapur u
Sesak, ya itu yang saat ini dirasakan Naura. Sepanjang perjalanan ke Bandara dia hanya diam, merasakan sakit di hatinya. Harusnya dia tetap di rumah dan memperbaiki hubungannya dengan Arkan. Namun, keputusan yang dia ambil mungkin malah memperkeruh keadaan mereka berdua. "Arkan enggak tahu kamu ke Surabaya, kan?" tanya Sinta. Naura mengangguk, perlahan dia memiringkan kepalanya bertumpu pada bahu Sinta. 'Mas Arkan sedang pergi bersama Liona.' Itulah kata-kata yang terlintas di pikiran Naura tapi di tak berani mengungkapkan ke mertuanya. "Semua akan baik-baik saja. Mamah yakin Arkan akan menjemput kamu di Surabaya." Naura tetap membisu, dia tak ingin mengatakan apapun yang terjadi dengan pernikahannya. Dia sadar betul jika mertuanya itu akan marah jika Naura memberitahu apa yang terjadi."Kita sudah sampai," ujar Teddi menyadarkan lamunan Naura."Ayo, Sayang. Jangan murung mulu dong!"Sudut bibir Naura terangkat berpura-pura bahagia meski hatinya sakit. Sinta terus memegang tangan
Liona mendelik melihat Rendi yang berdiri di sampingnya. Dia lalu menghampiri Arkan yang berjalan ke mobilnya. "Arkan, tunggu. Kita harus bicara!" Arkan menepis tangan Liona, lalu masuk ke dalam mobilnya. Liona pun ikut masuk ke dalam mobil Arkan, seolah di biarkan begitu saja. Arkan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke rumah Liona. "Aku enggak tahu masalah apa yang sedang mengganggu pikiranmu. Aku hanya ingin meminta maaf karena mungkin akulah salah satu penyebab masalahmu." Bukannya menjawab, Arkan malah menghentikan mobilnya di bahu jalan. "Turun." "Ap-apa?" "Aku bilang turun." Liona hanya diam. "Argh!" Arkan berteriak seolah meluapkan emosinya. Liona masih di tempat duduknya menunggu Arkan tenang. Pria itu pun menyandarkan punggungnya di kursi kemudi lalu memejamkan matanya seolah sedang mengatur emosinya. Lima menit berlalu keduanya masih dalam keheningan, tak ada yang memulai percakapan. Sesekali Liona melirik ke arah Arkan, memastikan jika m
Aluna musik rock membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur. "Kenapa pagiku selalu ramai," gerutunya. Tangan Naura menyusuri samping ranjangnya mencari ponsel. Naura menyalakan ponselnya, tak lama notif pesan masuk secara beruntun. Salah satunya dari Lala.[Kamu di mana, kata Arkan kamu kabur dari rumah?][Naura, jangan bikin aku khawatir. Adelia menghubungiku katanya kalian akan bercerai.][Naura aku mohon balas pesanku. Aku enggak mau kamu kenapa-napa.]Kenapa-napa, yang benar saja. Saat ini Naura sedang berada di tempat yang nyaman dengan pemandangan yang begitu indah di sekitar saat dia membuka tirai.Tok ... tok."Naura, ayo makan!""Iya, Mah."Naura merapihkan ranjang tempatnya tidur kemudian menghampiri Sinta. Naura mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling tidak ada Sinta muapun Teddi di sana. "Kemana mereka." Tak lama terdengar suara tertawa dari luar rumah. Dia pun berjalan menuju sumber suara dan mendapati Sinta sedang membelakanginya seolah sedang berbicara den
'Pelakor, yang benar saja. Kenapa harus aku yang mendapatkan julukan itu, bukankah Naura yang sudah mengambil Arkan dariku,' Batinnya terus menyalahkan Naura, padahal wanita itu hanya diam tak pernah sekali pun menghalangi Liona mendekati Arkan. "Argh, sial. Kenapa kamu sejahat itu Liona," gerutunya. Tuk ... tuk. Liona mendongakkan wajahnya saat seseorang mengetuk mejanya. "Maaf menuggu lama," ujar pria yang baru saja datang. "Enggak masalah, aku juga baru datang," tutur liona menyeruput minumannya. Reza mengangkat tangannya untuk memanggil waiter. Namun, Liona berkata, "Berdiri dan datang sendiri ke kasir."Sudut bibir Reza terangkat, dia lalu pergi ke meja kasir. Lima menit berlalu dia datang sembari membawa nampan berisi dua potongan tiramisu dan kopi miliknya. "Makanlah," ucap Reza menggeser tiramisu ke depan Liona. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" Liona menggeser tiramisu pemberian Reza. "Bukankah kita berteman baik. Aku dengar kamu akan menetap di Bali karena usahamu suks