Sesak, ya itu yang saat ini dirasakan Naura. Sepanjang perjalanan ke Bandara dia hanya diam, merasakan sakit di hatinya. Harusnya dia tetap di rumah dan memperbaiki hubungannya dengan Arkan. Namun, keputusan yang dia ambil mungkin malah memperkeruh keadaan mereka berdua. "Arkan enggak tahu kamu ke Surabaya, kan?" tanya Sinta. Naura mengangguk, perlahan dia memiringkan kepalanya bertumpu pada bahu Sinta. 'Mas Arkan sedang pergi bersama Liona.' Itulah kata-kata yang terlintas di pikiran Naura tapi di tak berani mengungkapkan ke mertuanya. "Semua akan baik-baik saja. Mamah yakin Arkan akan menjemput kamu di Surabaya." Naura tetap membisu, dia tak ingin mengatakan apapun yang terjadi dengan pernikahannya. Dia sadar betul jika mertuanya itu akan marah jika Naura memberitahu apa yang terjadi."Kita sudah sampai," ujar Teddi menyadarkan lamunan Naura."Ayo, Sayang. Jangan murung mulu dong!"Sudut bibir Naura terangkat berpura-pura bahagia meski hatinya sakit. Sinta terus memegang tangan
Liona mendelik melihat Rendi yang berdiri di sampingnya. Dia lalu menghampiri Arkan yang berjalan ke mobilnya. "Arkan, tunggu. Kita harus bicara!" Arkan menepis tangan Liona, lalu masuk ke dalam mobilnya. Liona pun ikut masuk ke dalam mobil Arkan, seolah di biarkan begitu saja. Arkan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke rumah Liona. "Aku enggak tahu masalah apa yang sedang mengganggu pikiranmu. Aku hanya ingin meminta maaf karena mungkin akulah salah satu penyebab masalahmu." Bukannya menjawab, Arkan malah menghentikan mobilnya di bahu jalan. "Turun." "Ap-apa?" "Aku bilang turun." Liona hanya diam. "Argh!" Arkan berteriak seolah meluapkan emosinya. Liona masih di tempat duduknya menunggu Arkan tenang. Pria itu pun menyandarkan punggungnya di kursi kemudi lalu memejamkan matanya seolah sedang mengatur emosinya. Lima menit berlalu keduanya masih dalam keheningan, tak ada yang memulai percakapan. Sesekali Liona melirik ke arah Arkan, memastikan jika m
Aluna musik rock membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur. "Kenapa pagiku selalu ramai," gerutunya. Tangan Naura menyusuri samping ranjangnya mencari ponsel. Naura menyalakan ponselnya, tak lama notif pesan masuk secara beruntun. Salah satunya dari Lala.[Kamu di mana, kata Arkan kamu kabur dari rumah?][Naura, jangan bikin aku khawatir. Adelia menghubungiku katanya kalian akan bercerai.][Naura aku mohon balas pesanku. Aku enggak mau kamu kenapa-napa.]Kenapa-napa, yang benar saja. Saat ini Naura sedang berada di tempat yang nyaman dengan pemandangan yang begitu indah di sekitar saat dia membuka tirai.Tok ... tok."Naura, ayo makan!""Iya, Mah."Naura merapihkan ranjang tempatnya tidur kemudian menghampiri Sinta. Naura mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling tidak ada Sinta muapun Teddi di sana. "Kemana mereka." Tak lama terdengar suara tertawa dari luar rumah. Dia pun berjalan menuju sumber suara dan mendapati Sinta sedang membelakanginya seolah sedang berbicara den
'Pelakor, yang benar saja. Kenapa harus aku yang mendapatkan julukan itu, bukankah Naura yang sudah mengambil Arkan dariku,' Batinnya terus menyalahkan Naura, padahal wanita itu hanya diam tak pernah sekali pun menghalangi Liona mendekati Arkan. "Argh, sial. Kenapa kamu sejahat itu Liona," gerutunya. Tuk ... tuk. Liona mendongakkan wajahnya saat seseorang mengetuk mejanya. "Maaf menuggu lama," ujar pria yang baru saja datang. "Enggak masalah, aku juga baru datang," tutur liona menyeruput minumannya. Reza mengangkat tangannya untuk memanggil waiter. Namun, Liona berkata, "Berdiri dan datang sendiri ke kasir."Sudut bibir Reza terangkat, dia lalu pergi ke meja kasir. Lima menit berlalu dia datang sembari membawa nampan berisi dua potongan tiramisu dan kopi miliknya. "Makanlah," ucap Reza menggeser tiramisu ke depan Liona. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" Liona menggeser tiramisu pemberian Reza. "Bukankah kita berteman baik. Aku dengar kamu akan menetap di Bali karena usahamu suks
Hening, baik Naura mau pun Arkan tetap diposisi mereka seolah tak ingin menyapa satu sama lain. "Naura, sini." Dani menarik tangan Naura agar mendekat dengan Arkan. "Ini Arkan putra semata wayang Pak Teddi, kamu udah kenal belum?""Ah iya Pak, saya sudah mengenal Pak Arkan dengan baik. Bukan begitu Pak?"Arkan kelabakan ketika Naura melempar ucapan kepadanya. "I-iya, kami sudah lama kenal.""Kalau begitu saya permisi dulu ya Pak, soalnya jam kerja saya sudah habis. Permisi."Naura melangkah keluar. Mata Arkan tak lepas dari punggung Naura yang semakin lama semakin menjauh. Ingin rasanya dia mengejar Naura tapi Dani terus mengoceh seolah menghalanginya berbicara dengan Arkan.Sementara itu, Naura berjalan dengan cepat ke lantai dua. [Mamah di mana ada Mas Arkan di sini.]Naura mengirimkan pesan ke mertuanya. Dia tak ingin salah paham kembali memperkeruh keadaan."Ayo Mah, angkat teleponku," gerutu Naura.Dia terus berusaha menghubungi mertuanya tapi panggilannya di alihkan. "Tunggu,
Hembusan angin menerpa tubuh Naura yang sedang berdiri di tepi pantai. Dia begitu menikmati sunset yang semakin lama menghilang digantikan gelapnya malam."Maaf."Naura menoleh ke sumber suara. "Maaf buat apa?""Maaf karena aku sudah membuat masalah kita semakin runyam.""Buat apa minta maaf toh memang dari awal pernikahan kita sudah salah," jelas Naura. Arkan menghela napasnya mencoba tetap tenang ketika berhadapan dengan Naura. Entah mengapa saat berhadapan dengan istrinya itu sikap kekanak-kanakan Arkan selalu muncul."Pernikahan kita enggak salah, perjanjian kita yang salah. Makanya kita perbaiki pernikahan kita dan lupakan soal kontrak itu."Naura menggeleng. "Aku enggak mau menikah sama cowok yang masih di bayang-bayangi masa lalu.""Maksudnya?""Iya Mas masih belum bisa move on dari Liona. Kalau Mas udah move on pasti reaksinya enggak akan seperti kemarin waktu aku buka ponsel Mas."Arkan memijat pelipisnya. "Itu karena aku lagi banyak masalah di kantor ditambah kamu yang teru
Naura bisa merasakan hembusan napas mengenai mulutnya. Dia tak berani mengangkat kepalanya karena malu setelah menyambar bibir Arkan lebih dulu."Aku menginginkanmu Naura."Bulu kuduk Naura meremang seketika berpacu dengan denyut jantungnya yang mulai berdebar tak karuan.Arkan kembali mendekatkan bibirnya, perlahan menempel di bibir Naura yang menyambutnya. Sesaat Naura terhanyut saat lidah Arkan mulai menyusuri didalamnya dan berdansa dengan lidah Naura seolah tak mau kalah. Arkan menangkup kedua pipi Naura— memiringkan kepalanya memperdalam ciuman mereka membuat keduanya terengah-engah sesaat."Apa aku bisa memastikan jika tubuh Mas tak pernah di jamah oleh mantan istri Mas lagi?"Arkan menyeringai, bahkan di ujung gairahnya Naura masih sempat-sempatnya membahas Liona."Apa kamu masih ragu?" Naura mengangguk.Perlahan Arkan mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mencium bibir Naura. Keduanya saling menautkan bibir mereka. Dengan satu gerakan Arkan mampu mengangkat tubuh Naura yang b
Arkan melipat kedua tangannya di dada, sedangkan Naura masih tertunduk lesu menatap ponsel Arkan yang tergeletak di atas kasurnya. Arkan menghela napasnya. "Kenapa kamu melempar ponselku? Kamu sudah tau password-nya lalu apa lagi yang kamu cari!" kesal Arkan melihat ponselnya rusak karena ulah Naura. Baru beberapa menit yang lalu mereka berbaikan kini harus bertengkar hanya karena masalah ponsel. "Maaf, aku enggak sengaja. Aku cuma penasaran sama nomor yang kamu save dengan nama mantan majikan." Suara Arkan tercekat mendengar penuturan Naura. "Mantan majikan ... itu nomor Mamah." "Hah, Mamah?" Arkan meremas rambutnya frustasi, dia benar-benar tak habis pikir melihat istrinya yang begitu cemburuan dan masih tak percaya dengannya. Perlahan Arkan mendekati Naura— memegang kedua bahunya. "Sebenarnya apa yang kamu cari. Apa kamu mencari nomor Liona?" Naura mengangguk sembari menundukkan kepalanya karena malu. "Dengar Sayang, aku sama sekali enggak menyimpan nomor Liona. Jadi kamu mau