Aduh Sinta ngajarin anak Naura yang enggak-enggak. Penasarankan seperti apa kekompakan mertua dan menantu ini. Yuk baca bab berikutnya.
Aluna musik rock membangunkan Naura yang sedang terlelap tidur. "Kenapa pagiku selalu ramai," gerutunya. Tangan Naura menyusuri samping ranjangnya mencari ponsel. Naura menyalakan ponselnya, tak lama notif pesan masuk secara beruntun. Salah satunya dari Lala.[Kamu di mana, kata Arkan kamu kabur dari rumah?][Naura, jangan bikin aku khawatir. Adelia menghubungiku katanya kalian akan bercerai.][Naura aku mohon balas pesanku. Aku enggak mau kamu kenapa-napa.]Kenapa-napa, yang benar saja. Saat ini Naura sedang berada di tempat yang nyaman dengan pemandangan yang begitu indah di sekitar saat dia membuka tirai.Tok ... tok."Naura, ayo makan!""Iya, Mah."Naura merapihkan ranjang tempatnya tidur kemudian menghampiri Sinta. Naura mengedarkan pandangannya melihat ke sekeliling tidak ada Sinta muapun Teddi di sana. "Kemana mereka." Tak lama terdengar suara tertawa dari luar rumah. Dia pun berjalan menuju sumber suara dan mendapati Sinta sedang membelakanginya seolah sedang berbicara den
'Pelakor, yang benar saja. Kenapa harus aku yang mendapatkan julukan itu, bukankah Naura yang sudah mengambil Arkan dariku,' Batinnya terus menyalahkan Naura, padahal wanita itu hanya diam tak pernah sekali pun menghalangi Liona mendekati Arkan. "Argh, sial. Kenapa kamu sejahat itu Liona," gerutunya. Tuk ... tuk. Liona mendongakkan wajahnya saat seseorang mengetuk mejanya. "Maaf menuggu lama," ujar pria yang baru saja datang. "Enggak masalah, aku juga baru datang," tutur liona menyeruput minumannya. Reza mengangkat tangannya untuk memanggil waiter. Namun, Liona berkata, "Berdiri dan datang sendiri ke kasir."Sudut bibir Reza terangkat, dia lalu pergi ke meja kasir. Lima menit berlalu dia datang sembari membawa nampan berisi dua potongan tiramisu dan kopi miliknya. "Makanlah," ucap Reza menggeser tiramisu ke depan Liona. "Apa yang ingin kamu bicarakan?" Liona menggeser tiramisu pemberian Reza. "Bukankah kita berteman baik. Aku dengar kamu akan menetap di Bali karena usahamu suks
Hening, baik Naura mau pun Arkan tetap diposisi mereka seolah tak ingin menyapa satu sama lain. "Naura, sini." Dani menarik tangan Naura agar mendekat dengan Arkan. "Ini Arkan putra semata wayang Pak Teddi, kamu udah kenal belum?""Ah iya Pak, saya sudah mengenal Pak Arkan dengan baik. Bukan begitu Pak?"Arkan kelabakan ketika Naura melempar ucapan kepadanya. "I-iya, kami sudah lama kenal.""Kalau begitu saya permisi dulu ya Pak, soalnya jam kerja saya sudah habis. Permisi."Naura melangkah keluar. Mata Arkan tak lepas dari punggung Naura yang semakin lama semakin menjauh. Ingin rasanya dia mengejar Naura tapi Dani terus mengoceh seolah menghalanginya berbicara dengan Arkan.Sementara itu, Naura berjalan dengan cepat ke lantai dua. [Mamah di mana ada Mas Arkan di sini.]Naura mengirimkan pesan ke mertuanya. Dia tak ingin salah paham kembali memperkeruh keadaan."Ayo Mah, angkat teleponku," gerutu Naura.Dia terus berusaha menghubungi mertuanya tapi panggilannya di alihkan. "Tunggu,
Hembusan angin menerpa tubuh Naura yang sedang berdiri di tepi pantai. Dia begitu menikmati sunset yang semakin lama menghilang digantikan gelapnya malam."Maaf."Naura menoleh ke sumber suara. "Maaf buat apa?""Maaf karena aku sudah membuat masalah kita semakin runyam.""Buat apa minta maaf toh memang dari awal pernikahan kita sudah salah," jelas Naura. Arkan menghela napasnya mencoba tetap tenang ketika berhadapan dengan Naura. Entah mengapa saat berhadapan dengan istrinya itu sikap kekanak-kanakan Arkan selalu muncul."Pernikahan kita enggak salah, perjanjian kita yang salah. Makanya kita perbaiki pernikahan kita dan lupakan soal kontrak itu."Naura menggeleng. "Aku enggak mau menikah sama cowok yang masih di bayang-bayangi masa lalu.""Maksudnya?""Iya Mas masih belum bisa move on dari Liona. Kalau Mas udah move on pasti reaksinya enggak akan seperti kemarin waktu aku buka ponsel Mas."Arkan memijat pelipisnya. "Itu karena aku lagi banyak masalah di kantor ditambah kamu yang teru
Naura bisa merasakan hembusan napas mengenai mulutnya. Dia tak berani mengangkat kepalanya karena malu setelah menyambar bibir Arkan lebih dulu."Aku menginginkanmu Naura."Bulu kuduk Naura meremang seketika berpacu dengan denyut jantungnya yang mulai berdebar tak karuan.Arkan kembali mendekatkan bibirnya, perlahan menempel di bibir Naura yang menyambutnya. Sesaat Naura terhanyut saat lidah Arkan mulai menyusuri didalamnya dan berdansa dengan lidah Naura seolah tak mau kalah. Arkan menangkup kedua pipi Naura— memiringkan kepalanya memperdalam ciuman mereka membuat keduanya terengah-engah sesaat."Apa aku bisa memastikan jika tubuh Mas tak pernah di jamah oleh mantan istri Mas lagi?"Arkan menyeringai, bahkan di ujung gairahnya Naura masih sempat-sempatnya membahas Liona."Apa kamu masih ragu?" Naura mengangguk.Perlahan Arkan mencondongkan tubuhnya ke depan untuk mencium bibir Naura. Keduanya saling menautkan bibir mereka. Dengan satu gerakan Arkan mampu mengangkat tubuh Naura yang b
Arkan melipat kedua tangannya di dada, sedangkan Naura masih tertunduk lesu menatap ponsel Arkan yang tergeletak di atas kasurnya. Arkan menghela napasnya. "Kenapa kamu melempar ponselku? Kamu sudah tau password-nya lalu apa lagi yang kamu cari!" kesal Arkan melihat ponselnya rusak karena ulah Naura. Baru beberapa menit yang lalu mereka berbaikan kini harus bertengkar hanya karena masalah ponsel. "Maaf, aku enggak sengaja. Aku cuma penasaran sama nomor yang kamu save dengan nama mantan majikan." Suara Arkan tercekat mendengar penuturan Naura. "Mantan majikan ... itu nomor Mamah." "Hah, Mamah?" Arkan meremas rambutnya frustasi, dia benar-benar tak habis pikir melihat istrinya yang begitu cemburuan dan masih tak percaya dengannya. Perlahan Arkan mendekati Naura— memegang kedua bahunya. "Sebenarnya apa yang kamu cari. Apa kamu mencari nomor Liona?" Naura mengangguk sembari menundukkan kepalanya karena malu. "Dengar Sayang, aku sama sekali enggak menyimpan nomor Liona. Jadi kamu mau
Disinilah Naura berada, dia harus merasakan panas serta sesaknya ibu kota setelah beberapa hari tinggal di Bali.Tangan Arkan melingkar di perut Naura menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Naura. "Apa kamu menyesal ikut aku pulang ke Jakarta?" Naura menggelengkan kepalanya. "Aku hanya cuma kasian sama Mamah.""Mamah?" Arkan menjeda ucapan kemudian memutar tubuh Naura agar berhadapan lurus dengannya. "Memangnya Mamah kenapa?"Naura menghela napasnya. "Mungkin Mas sudah tau apa yang terjadi dengan pernikahan Mamah dan Papah. Meski Mamah terlihat biasa saja tapi senyumnya itu membawa luka.""Mamah cerita sama kamu?" Naura lagi-lagi mengangguk. "Sebenarnya kejadian itu sudah lama saat aku masih SMA tapi sampai saat ini hubungan merek seperti ada jarak meski pun keduanya terlihat mesra ketika berada di dekat kita." "Hm ... aku paham kenapa Mamah bisa bersikap seperti itu. Mungkin menurut pria masalahnya sudah selesai dengan kata maaf. Sedangkan kita yang menjadi korban, luka itu engga
Semua mata tertuju pada Naura yang hanya cuek menikmati makanannya tak mempedulikan orang-orang yang menatap ke arahnya. "Suuuttt ... Naura," bisik Lala yang berada di meja yang sama. Naura tak bergeming membiarkan sahabatnya itu bicara sendiri. "Naura," panggilnya lagi. "Apa?" tanya Naura mengalihkan perhatian semua orang yang sedang makan termasuk Gebi dan rekannya. Lala tertunduk lesu, dia yakin semua seniornya akan mem-bully-nya di kantor. "Tamatlah riwayatku," desisnya. Merasa aneh dengan sikap Lala, Naura pun mengetik sesuatu di ponselnya. [Kita bicara di ponsel saja.] Melihat notif pesan dari Naura, Lala pun seger membalas pesan dari sahabatnya. [Hati-hati dengan Gebi dan ketiga temannya. Mereka bakalan nge-bully kita karena mereka enggaksuka anak baru dekat dengan staf yang sudah lama kerja.] [Apa kamu takut, biasanya kamu yang paling berani menghadapi orang-orang seperti mereka?!] Lala menoleh ke sisi kirinya memastikan jika Gebi tak melihat ke arah mereka. [Ini d