Bagaimana bisa dia bertemu dengan orang yang sama sekali tak ada di pikirannya. Bahkan saat ini mereka sedang menikmati minuman bersama."Kamu biasa datang ke sini?" tanya Liona.Naura menggeleng pelan. "Baru kali ini, sahabatku yang merekomendasikan tempat ini," jelas Naura."Senang bertemu denganmu. Oh ya, waktu itu aku belum mengucapkan selamat atas pernikahanmu dengan Arkan. Apa kamu menyukai hadiah dariku?""Hadiah?" batin Naura. Arkan bahkan tak pernah membahas wanita ini di depannya apa lagi hadiah.Senatural mungkin Naura harus terkesan memiliki hubungan yang baik dengan suaminya itu. "Hm, terima kasih hadiahnya."Liona tersenyum senang. "Di mana kalian pertama bertemu?"Naura berpikir sejenak, masih terekam jelas saat pertama kali dia bertemu dengan pria menyebalkan yang kini menjadi suaminya."Di klub malam.""Benarkah, Arkan bilang dia pertama bertemu denganmu di kampus tempatmu kuliah?""Mati aku, kenapa jawaban kami berbeda. Ah, apa Arkan ingin menciptakan pertemuan yang b
Naura berbalik berjalan mendekati Arkan dan- Plak! Tangan Naura melayang tepat di pipi pria yang ada di depannya. "Argh, berhentilah senaif itu. Aku tahu yang kamu inginkan itu dia bukan aku. Jadi bawa dia pergi dari sini dan jangan pernah menggangguku!" Teriakan Naura begitu melengking hingga akhirnya dia sadar jika semua yang dia lakukan tadi hanya ilusi yang tak mampu dia lakukan saat ini. "Ayo, kita pulang." Devan merangkul bahu Naura membawanya menjauh dari Arkan. Tanpa mereka sadari Arkan berjalan ke arah mereka berdua lalu menarik tangan Naura dengan kasar hingga beralih ke sisinya. "Ikut aku pulang." "Dia akan pulang denganku!" ucap Devan menarik tangan Naura ke sisinya. Srreeeett! Naura terseret saat Arkan menariknya dengan kasar. "Dia istriku, aku akan membawanya pulang." Naura merasakan sakit di kedua ketiaknya saat Arkan dan Devan menarik tangannya seolah sedang berebut mainan. "Lepas, tanganku sakit,"keluh Naura berharap Devan dan Arkan melepaskan tangannya Namun
Suara desahan terus bersahutan menjadi sebuah iraman di setiap hetakan yang tercipta dari gesekan yang di lakukan oleh Arkan dan juga Naura. Mereka berdua samasekali tak peduli dengan orang-orang yang berada di balik pintu ruangan yang mungkin mendengar apa yang mereka lakukan. Arkan terus memberikan sentuhan yang membuat Naura melayang dan merasa paling di inginkan. "Eugh." Naura merasakan tubuhnya bergetar setelah berhasil meraih pelepsan yang begitu nikmat di susul erangan Arkan yang telah menyemprotkan bibit cinta di rahim istrinya. Perlahan Arkan mengurai pelukan mereka lalu mengambiil tisu untuk membersihkan cairan yang tersisa di tubuh mereka. "Mandilah, aku akan mempersiapkan pakian untukmu." Arkan mengangkan tubuh Naura dari atas meja. Sudut bibirnya terangkat ketika melihat wajah Naura yang bersemu merah karena malu. Dengan langkah yang tertatih Naura masuk ke dalam kamar mandi yang berada di ujung ruangan. Saat sudah berada di dalamnya, Naura menjerit tanpa suara, dia
Brak! "Sa-Sayang." "Oops, sorry," tuturnya, melangkah masuk ke dalam ruang Arkan. Baik Arkan mau pun Liona terlihat gugup menatap Naura, entah karena mereka merasa malu setelah tertangkap basah oleh Naura. "Sayang, bukannya kita mau makan siang bareng?" Arkan mengedipkan kedua matanya seolah tak paham apa yang di maksud Naura. "Ah, aku juga mengajak Arkan makan. Gimana kalau kita makan siang bareng?" sela Liona Naura mengepalkan tangannya, ia benar-benar tak habis pikir pada Liona. Bagaimana bisa dia tidak paham jika saat ini Naura sedang cemburu atau mungkin dia sengaja membuatnya cemburu? "Ak—" Belum sempat bicara dering ponsel mengalihkan perhatian Naura. Dia lalu melihat layar ponselnya dan mendapati nama Sinta di sana. "Halo, Mah." [Naura, kamu ada di mana? Kita nge-gym yuk tapi jangan kasih tau Arkan.] "Apa Mah, nge-gym. Di mana, kebetulan aku lagi santai," ucap Naura dengan nada sedikit meninggi agar Arkan mendengar pembicaraan mereka. [Nanti Mamah suruh Mang Ujang
Naura berlari menyusuri koridor untuk masuk ke kelasnya, namun langkahnya tertahan saat dia melihat kelas yang dia tuju kosong. "Kemana mereka?" tanya Naura dalam hati. "Hei, sedang apa kamu di sana, cepat kumpul di aula!" teriak dosen yang kebetulan melintas di depan Naura. "I-iya, Bu." Naura berlari ke aula yang berada di ujung kelasnya. "Kenapa kamu enggak ngasih tahu kalau kumpul di sini?" desis Naura sambil mengatur napasnya. Lala menurunkan kacamatanya lalu menjawab, "Ku pikir kamu enggak masuk kuliah." Naura sedikit mencondongkan tubuhnya merasakan sesak di dadanya yang sudah berkurang. "Kemarin kamu ke kampus?" "Enggak, cuma titip absen doang," tuturnya sambil menyeringai. Naura mencubit perut sahabatnya itu hingga mengaduh kesakitan. "Apa yang mereka bicarakan?" "PPL, selama sebulan ini kita harus PPL sesuai jurusan," jelas Lala dengan nada yang lemah. Namun, sedetik kemudian wajahnya berubah sumringah. "Bu CEO bisakah aku PPL di perusahaan suamimu?" Naura tertawa
Langkah Naura terseok-seok, sampai dia tak memperhatikan jalannya. Bugh! tubuhnya membentur tembok, perlahan luruh ke lantai. Naura menyandarkan punggungnya, menekuk kakinya sembari memeluknya dengan erat. Pikirannya terlalu penuh dengan banyak beban yang dia pikul sendiri. Di buang keluarga, dicampakan oleh orang-orang yang dia pikir akan menjadi keluarga dan orang-orang yang akan melindunginya. "Kenapa seperti ini. Kenapa harus aku yang mengalami semua ini?" batin Naura. Dia menangis terseduh-seduh tanpa suara agar tidak menggangu penghuni unit apartemen yang ada di depan apartemen mereka. CeklekSeketika Naura memalingkan wajahnya berpura-pura mengikat tali sepatunya saat tetangga apartemen membuka pintu.Tepat saat wanita itu berjalan ke arah lift, Naura segera membuka pintu apartemennya."Argh, di saat melow seperti ini kenapa dia keluar dari apartemen sih!" gerutu Naura. Kejadian itu pun sontak menghentikan air mata Naura seketika. "Argh, aku lapar."Dia bergegas ke dapur u
Sesak, ya itu yang saat ini dirasakan Naura. Sepanjang perjalanan ke Bandara dia hanya diam, merasakan sakit di hatinya. Harusnya dia tetap di rumah dan memperbaiki hubungannya dengan Arkan. Namun, keputusan yang dia ambil mungkin malah memperkeruh keadaan mereka berdua. "Arkan enggak tahu kamu ke Surabaya, kan?" tanya Sinta. Naura mengangguk, perlahan dia memiringkan kepalanya bertumpu pada bahu Sinta. 'Mas Arkan sedang pergi bersama Liona.' Itulah kata-kata yang terlintas di pikiran Naura tapi di tak berani mengungkapkan ke mertuanya. "Semua akan baik-baik saja. Mamah yakin Arkan akan menjemput kamu di Surabaya." Naura tetap membisu, dia tak ingin mengatakan apapun yang terjadi dengan pernikahannya. Dia sadar betul jika mertuanya itu akan marah jika Naura memberitahu apa yang terjadi."Kita sudah sampai," ujar Teddi menyadarkan lamunan Naura."Ayo, Sayang. Jangan murung mulu dong!"Sudut bibir Naura terangkat berpura-pura bahagia meski hatinya sakit. Sinta terus memegang tangan
Liona mendelik melihat Rendi yang berdiri di sampingnya. Dia lalu menghampiri Arkan yang berjalan ke mobilnya. "Arkan, tunggu. Kita harus bicara!" Arkan menepis tangan Liona, lalu masuk ke dalam mobilnya. Liona pun ikut masuk ke dalam mobil Arkan, seolah di biarkan begitu saja. Arkan mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi agar segera sampai ke rumah Liona. "Aku enggak tahu masalah apa yang sedang mengganggu pikiranmu. Aku hanya ingin meminta maaf karena mungkin akulah salah satu penyebab masalahmu." Bukannya menjawab, Arkan malah menghentikan mobilnya di bahu jalan. "Turun." "Ap-apa?" "Aku bilang turun." Liona hanya diam. "Argh!" Arkan berteriak seolah meluapkan emosinya. Liona masih di tempat duduknya menunggu Arkan tenang. Pria itu pun menyandarkan punggungnya di kursi kemudi lalu memejamkan matanya seolah sedang mengatur emosinya. Lima menit berlalu keduanya masih dalam keheningan, tak ada yang memulai percakapan. Sesekali Liona melirik ke arah Arkan, memastikan jika m